YESUS
KRISTUS DAN TOLERANSI BERAGAMA
Pendahuluan
Dalam situasi saat ini, tampak setiap
agama masih terlalu menonjolkan kekhasannya masing-masing tanpa mau
meninggalkan berkorban demi kerukunan beragama demi kelancaran dialog. Krisis
ini sangat dasyat karena mengganggu ketentraman hidup seluruh manusia yang
didalamnya terbalut unsur kekerasan. Agama sering dipakai untuk menjadi
skenario kekerasan.
Dalam kelompok KeKristenan sendiri juga
banyak yang memahami Yesus Kristus sebagai juru selamat menjadi penghalang
dalam hidup bertoleransi. Dalam pembahasan ini, Penulis memaparkan pemahaman
dan sikap Yesus Kristus dalam mengajarkan Toleransi Beragama.
Isi
1.
Pengertian
Toleransi
beragama adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kebebasan agama yang
dianut dan kepercayaan yang dihayati oleh pihak atau golongan lain. Hal ini
dapat terjadi karena keberadaan atau eksistensi suatu golongan, agama, atau kepercayaan,
diakui dan dihormati oleh pihak lain.
Pengakuan
tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam tatanan kenegaraan,
tatanan kemasyarakat maupun dihadapan Tuhan yang Esa, tetapi juga
perbedaan-perbedaan dalam cara penghayatan dan peribadatannya yang sesuai
dengan dasar kemanusian yang adil dan beradab.[1]
2.Sikap
Yesus Terhadap Orang Yang Ber-Agama Lain[2]
Kita wajib berpedoman kepada sikap Yesus
terhadap orang yang beragama lain. Pada zamanNya, hampir setiap hari Yesus
selalu bertemu dengan orang yang beragama lain. Bukan hanya sekedar warga agama
lain yang Ia temui, tetapi juga tokoh pemimpin orang yang beragama lain seperti
Nikodemus, pemimpin Parisi, Saduki, dll. Dalam pertemuan itu, Yesus bukan hanya
berbasabasi, bukan hanya sekedar bertemu, tetapi sebagai Rabbi, Yesus
menyampaikan berbagai pengajaran, tegoran, pengharapan, dan bahkan pemikiran
yang luar biasa terhadap orang yang beragama lain. Pada zamanNya, Yesus bertemu
dengan orang yang beragama Yahudi, dengan orang yang beragama Samaria, orang
yang beragama Kanani. Dalam pertemuan tersebut melalui perkataan, Yesus tidak
pernah menyalahkan ajaran agama manapun, walaupun tentu Yesus tau ada ajaran
yang salah dalam agama orang yang Dia temui, tetapi Yesus tidak pernah
menyalahkan ajaran agama manapun.
Bahkan Yesus mengikuti kebiasaan orang
Yahudi seperti; masuk Synagoge, walaupun dia bukan penganut agama Yahudi.
Seterusnya, ada 4 bagian sikap Yesus terhadap agama lain, sekaligus menjadi
cermin bagi kita untuk mengambil sikap terhadap orang yang beragama lain pada
masa kini sebagai berikut:
Yesus
Menghargai dan Menghormati Ajaran Agama Lain[3]
Ketika Yesus muncul sebagai Mesias di
tengah masyarakat Yahudi, banyak orang mengira, bahwa Yesus datang untuk
menghancurkan agama Yahudi, sekaligus menggantikannya dengan ajaran agama baru.
Nyatanya tidak, malah Yesus menghargai ajaran agama Yahudi, dan selalu mengutip
ajaran agama Yahudi dan ayat dari kitab Yahudi pada saat Yesus menyampaikan
ajaranNya. Walaupun Yesus bukan pengikut dan bukan penerus agama Yahudi, namun
Yesus tetap menghargai dan menghormati ajaran agama Yahudi. Untuk itu Yesus berkata:
“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau
kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk
menggenapinya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya, sebelum lenyap langit dan bumi ini, satu iota, atau satu titikpun
tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi (Matius
5:17-18). Demikian juga ketika Yesus bertemu dengan perempuan Samaria, Yesus
tidak menyalahkan agama Samaria. Tetapi ada sikap yang cerdas dari Yesus dengan
cara selalu mengutip ajaran atau ayat kitab suci agama orang yang bersangkutan,
agar melalui itu orang bersangkutan dapat menerima ajaran baru dari Yesus.
Yesus
Mengikuti Adat Kebiasaan Yahudi[4]
Dalam kehidupan sehari-hari, Yesus
mengenakan jubah pakaian orang Yahudi, sehingga Dia tampil dan dikenal sebagi
orang Yahudi. Ketika Yesus bertemu dengan perempuan samaria di Sumur itu,
perempuan Samaria langsung mengenal Yesus sebagai orang Yahudi dari pakaianNya.
Selain dari pakaianNya, Yesus sering mengikuti pesta adat pernikahan orang
Yahudi seperti pesta di kota Kana. Yesus juga mengikuti kebiasaan jamuan makan
yang dilaksanakan menurut tradisi dan adat Yahudi. Dan yang paling khas, Yesus
selalu menyuci kaki sebelum memasuki rumah orang yang menjamuNya, atau kakiNya
dibiarkan dicuci oleh pemilik rumah yang akan menjamunya. Semuanya itu
merupakan tradisi adat Yahudi yang dilaksanakan dan diikuti Yesus. Demikian
dalam memasuki synagogue, dan membaca
kitab suci di Synagoge sebagai pertanda bahwa Yesus mengikuti tradisi keagamaan
Yahudi, walaupun seterusnya, Yesus tidak memerintahkan murid-muridNya untuk
melakukan pembabtisan ala Yohanes Pembabtis. Berdasarkan data tersebut, Yesus
mengikuti sebagian tradisi adat dan
tradisi agama orang Yahudi. Yesus mau mengikuti adat dan tradisi tersebut
karena Dia hidup di kalangan umat Yahudi. Seandainya Yesus hidup tinggal
dikalangan suku lain, tentu Dia akan mengikuti tradisi adat setempat yang tidak
bertentangan dengan kebenaran Tuhan. Tujuan Yesus mengikuti tradisi adat dan
agama tersebut, supaya melalui kondisi orang Yahudi menerima ajaranNya.
Yesus
menentang dan menegor sebagian Tradisi Adat dan Agama Yahudi[5]
Ternyata tidak semua tradisi adat dan
agama Yahudi yang diikuti Yesus. Sebahagian dari tradisi adat dan keagamaan
ditentang dan dikritik Yesus. Misalnya kebiasaan puasa orang Yahudi tidak
diikuti dan tak disetujui oleh Yesus dilakukan sesuai hukum agama Yahudi (Lukas
5: 35-39). Demikian juga dengan hukum Sabat, yang secara sengaja tidak diikuti
oleh Yesus, karena pemahaman Sabat menurut agama Yahudi tidak disetujui oleh
Yesus ( Lukas 6:1-11).
Yesus
Menawarkan Ajaran Yang Lebih Baik Untuk Diikuti Orang Yahudi[6]
Dalam realita, Yesus tidak pernah
menyalahkan ajaran Agama Yahudi. Yesus menghargai dan menghormati ajaran agama
Yahudi. Tetapi di pihak lain, Yesus menawarkan ajaran baru untuk menggenapi dan
menyempurnakan ajaran agama Yahudi. Itulah sikap yang sangat bijak dan cerdas
dari Yesus yang perlu ditiru oleh orang Kristen. Yesus datang bukan untuk
menghancurkan agama Yahudi, tetapi untuk menggenapi dan menyempurnakannya. Karena itu Yesus datang menawarkan
keselamatan berdasarkan anugerah yang disediakan bagi semua orang yang beriman.
Ketika Yesus berdialog dengan orang
Yahudi anak muda yang kaya. Anak muda itu merasa sudah melakukan seluruh
ketentuan agama yang wajib menurut agama Yahudi. Namun dia belum merasa yakin
untuk memiliki surga. Menurut agama Yahudi, tidak ada lagi yang kurang bagi
seorang yang muda itu untuk masuk surga. Namun menurut Yesus, masih ada yang
kurang, yaitu keterikatan dengan harta materinya membuat dia tidak bisa masuk
sorga. Karena itu, untuk menyempurnakan ajaran agama Yahudi, Yesus datang
menawarkan ajaran kasih dan anugerah yang beriman. Pada masa kini, kita tidak
boleh menyalahkan ajaran agama manapun, tetapi kita hanya menawarkan
kesempurnaan Kristus bagi semua orang.
3.
Makna
Keselamatan dalam Kehidupan Bersama dengan yang Lain[7]
Suatu yang amat
sensitif bagi orang Kristen di Indonesia
dalam percakapan-percakapan yang berkaitan dengan multikultural. Setiap kali
ada usaha memperluas wawasan umat kristiani kearah apresiasi terhadap agama
lain, setiapkali pula ada reaksi yang menyesalkan apresiasi ini sebagai
sesuatu yang mengurangi nilai
keselamatan yang ada pada Yesus Kristus. Bahkan, apabila data diperlihatkan
bahwa sepanjang sejarah penghayatan iman yang berlangsung dizaman Alkitab,
sekalipun ada proses apresiasi dang pengambilahlian dari agam lain, hal ini
juga dianggap sebagai suatu yang merugikan jati diri agama Kristen sendiri.
Cara berpikirnya sederhana saja: kalau yang lain itu diapresiasi berarti ada
yang baik pada yang lain itu. Jadi kalau ada yang ada pada yang lain, untuk apa
menjadi kristiani, untuk apa kita menerima keselamatan Kristiani?
Dalam Yohanes
3:16 kata setiap orang percaya menitik
beratkan pada; ayat 16 mulai dengan mengemukakan kasih Allah yang besar pada
dunia ini, sehingga rela mengkaruniakan anakNya; sedangkan ayat 17 mengemukakan
bahwa anakNya bukan untuk menghakimi melainkan untuk menyelamatkan. Tekannannya
mengenai konteks pengasihan Allah akan dunia. Dalam konteks Yohanes 3:16
teknannya adalah kasih Allah dan keputusan yang harus diambil manusia, bukan
tekanan yang menonjolkan orang (harus) percaya
saja. Keselamatan dalam Alkitab tidak bisa diartikan hanya mutlak bersifat
partikulastik. Didalam Alkitab jelas bahwa keselamatan juga mengandung makna
universalistik. Kalau tidak demikian, mana mungkin Injil menyebar kelingkungan
yang lebih luas daripada Kekristenan Yahudi yang membatasi keselamatan dalam
Kristus hanya dalam keyahudian saja?.
Untuk itu,
sebagaimana dikatakan oleh Franz Magnis Soeseno, sebenarnya antar umat beragama
dimungkinkan terjadi apabila masing-masing mengembangkan semangat toleransi dan
keterbukaan kesediaan untuk bekerjasama. Apabila agama-agama berhasil membuka
diri dan menganut wawasan kemanusiaan kemanusiaan sesuai dengan hakekat mereka,
justru akan mampu menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi. Semangat
toleransi yang menghargai eksistensi
orang lain dan nilai-nilai di dalamnya pada hakekatnya tidak datang dari luar,
melainkan dari dalam setiap individu. Artinya, semangat toleransi bukanlah
produk berpikir dan perasaan maklmum yang dihasilkan oleh
pertimbangan-pertimbangan rasional atau perasaan. Semangat toleransi yang benar
seharusnya merupakan peristiwa iman, lahir sebagai akibat perjupangannya dengan
Tuhan. Orang beriman yang sungguh-sungguh beriman pada hakekatnya berjiwa
toleran dengan semua orang tanpa pandang bulu, sehingga tidak perlu diatur oleh
sebuah undang-undang ataupun peraturan pemerintah. Seseorang tidak serta merta
menjadi toleran dengan sesamanya oleh karena sebuah aturan atau undang-undang.
Secara teologis
dapat dikatakan bahwa semangat toleransi yang dinamis dan aktif membangun kehidupan
masyarakat, bangsa dan Negara adalah merupakan buah penghayatan Firman Tuhan.
Sebagaimana diingatkan oleh nabi Yeremia kepada orang-orang Yahudi yang
terbuang di Babilonia: “Usahakanlah kesejahteraaan kota ke mana kamu Aku buang,
dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah
kesejahteraanmu” ( Yeremia 29:7). Orang percaya hidup sebagi bagian integral
dari bangsa dan Negara dimana dia hidup dan berkarya, terlepas dari ideologi
dan kepercayaan mayoritas masyarakat. Namun, kualitas komunikasi dan pelayanan
orang percaya tidak ditentukan oleh
konteks ssosial politik masyarakatnya, melainkan ditentukan oleh konteks sosial
politik masyarakatnya, melainkan ditentukan oleh nilai-nilai kemanusian
universal dari Firman Tuhan. Panggilan orang percaya bukanlah membangun ghetto atau komunitas neo-Qumran dan neo
Essena, yang mengisolir dari diri komunitas sosial dan realitas didalamnya
justru tidak dapat mempertahankan eksistensinya di tengah arus globalisasi,
sehingga suatu komunitas akan tetap eksis apabila secara dinamis mengambil
peranan aktif ditengah-tengah arus perubahan. Justru dalam konteks inilah, kita
memahami ajaran Tuhan Yesus, bahwa orang percaya terpanggil untuk menjadi garam
dan terang bagi masyarakat dan bangsanya sehingga semua orang dapat memahami
damai sejahtera Allah (Matius 5:13-16)[8]
4.
Hal-hal
yang perlu kita lakukan ditengah Pluralisme agama[9]
Orang Kristen
yang cerdas dan beriman selalu diakui, dan akan menjadi pemimpin di kalangan
masyarakat. Orang Kristen beriman mampu berbuat sesuatu yang baik
dilingkungannya, sehingga dia dikenal dan diakui sebagai manusia yang patut
ditiru oleh berbagai pihak. Bukan hanya dikalangan umat Kristen, tetapi juga
dikenal oleh umat beragama lain karena cakupan ruang lingkup pekerjaannya tidak
terbatas hanya dikalangan umat Kristen saja. Orang Kristen yang bijak mampu
berbuat sesuatu yang baik dilingkungannya. Ada 5 pokok tugas orang Kristen
ditengah pluralism agama. Kelima pokok tugas tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Menghargai orang yang beragama lain
Kita
wajib meniru sikap Yesus menghargai agama lain, bahkan secara bijak menggunakan
ajaran agama lain untuk menegur kesalahan orang yang beragama lain. Misalnya,
jika FPI membakar atau menutup gereja, maka kita pakai ayat al Quran surat al-Ankabut
ayat 46 yang mengatakan: “ jangan berselisih dengan orang Nasrani dan Yahudi…’
Orang lain tidak mungkin dapat kita salahkan berdasarkan ajaran agama kita
sendiri. Tetapi mereka kita salahkan berdasarkan ajaran agama mereka.
2.
Memahami ajaran agama lain
Sama
seperti Yesus selalu menggunakan ajaran agama lain untuk menegur orang yang
bersangkutan. Menegur orang Yahudi, dengan menggunakan ajaran agama Yahudi.
Untuk itu Yesus telah lebih dahulu memahami ajaran agama masyarakat sekitar.
Seandainya agama Islam ada pada zaman Yesus, dan orang Isalam ada disekitarnya,
tentu Yesus akan memakai ajaran Isalam untuk menegur orang Isalam. Orang
Kristen yang bijak pada masa kini wajib memahami ajaran agama masyarakat
sekitarnya. Bagaimana bisa orang Kristen mengatakan ajaran Kristen yang benar
kalau dia sendiri tidak tahu ajaran agama lain? Dengan mempelajari agama lain,
maka iman kita akan semakin diperkuat. Seorang pemuda Kristen akan diperkaya
dalam pemahaman ajaran agamanya, jika dia memahami ajaran agama lain. Dan
pemuda akan dimampukan memberitakan Injil kepada orang lain. Dan pemuda akan
dimampukan dan memberitakan Injil kepada orang lain, jika mereka memahami
ajaran agama orang yang bersangkutan.
3.
Mengusahakan, agar agama kristen
dipahami oleh orang yang beragama lain.
Tugas
utama semua orang Kristen termasuk pendeta adalah untuk mengusahakan agar orang
beragama lain memahami ajaran agama Kristen. Bagaimana caranya/ tentu merupakan
hal yang tidak mungkin jika kita memahami lebih dahulu ajaran agama lain. Untuk
memperkenalkan Kristus kepada orang Islam, kita lebih dahulu membicarakan
bagaimana al-Qur’an berbicara tentang Kristus. Apapun yang mau didiskusikan
bersaa orang yang beragama lain, mulailah dari ajaran ahamanya, dari
keyakinannya, dan bukan dari agama kita sendiri.
4.
Mengusahakan kerukunan umat beragama
Mewujudkan
kerukunan adalah merupakan tugas semua orang beragama. Setiap orang tidak bisa
bekerja dengan baik kalau kondisi kerukunan masyarakat terganggu. Dan orang
Kristen tidak akan ampu memberitakan Injil, jika kerukunan dengan umat beragama
lain terganggu.
Ada
3 langkah mengusahakan kerukunan
1. Mengusahakan
kebersamaan dengan orang lain
Kita perlu menumbuhkan iklim saling
menghormati dan menghargai. Dalam rangka itulah bebrapa waktu lalu
dialog-dialog antar umat beragama perlu digiatkan [10]
2. Kerukunan
melalui kemauan menolong sesama
Orang yang berbeda agama itu bisa
saling menolong jika ada beban berat yang dialami sesama. Ada banyak beban
berat yang bisa terjadi kepada setiap orang, seperti kemalangan, kemalingan,
bencana dan musibah. Ketika musibah terjadi, orang bingung mau mencari
pertolongan, untuk itu disinilah peran kita yang konkrit menolong mereka.
3. Mengusahakan
melalui budaya
Orang yang berbeda agama akan
berbeda pikiran jika bersama-sama mendiskussikan masalah agama. Budaya dan adat bisa menjadi alat untuk
menciptakan kerukunan, dan untuk mempertemukan orang yang berbeda agama. Setiap
orang akan merasa indah dan baik, jika secara bersama melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan adat budayanya.
Penutup
Toleransi antar umat
beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama
masyarakat yang menganut agama lain dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan
prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan
baik untuk beribadah maupun tidak beribadah
dari satu pihak ke pihak lain. Sebagai implementasinya
dalam praktik kehidupan sosial dapat dimulai dari sikap kebersamaan antara
penganut keagamaan dalam kehidupan sehari-hari
Tak ada penyekat lagi bagi kita untuk
hidup bertoleransi, setiap hari Yesus selalu bertemu dengan orang yang beragama
lain. Untuk itu, Semangat toleransi yang
menghargai eksistensi orang lain dan nilai-nilai di dalamnya pada
hakekatnya tidak datang dari luar, melainkan dari dalam setiap individu.
[1]
Sudibjo, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 16, ( Jakarta : Cipta Adi
Pustaka, 1994), hlm.384-385.
[2]
Marolop Sinaga, Paragdigma Baru Penginjilan, ( Padang: Sukabina Press,2012),
hlm. 100.
[3] Ibid, hlm. 101.
[4] Ibid.hlm.102.
[5] Ibid. hlm. 102-103.
[6] Ibid, hlm. 103.
[7]
Team Balitbang PGI, Merentas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, (
Jakarta:BPK G.Mulia, 2007), hlm.115-120.
[8]
Ulrich Beyer, Menjadi Guru Semua Bangsa, ( LSAPA: Pematangsiantar, 2009), hlm.
119-120.
[9]
Op.Cit., Marolop Sinaga, hlm. 105-106.
[10]
Dr. A.A Yewangoe, Agama dan kerukunan, ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009),
hlm. 36.
No comments:
Post a Comment