Tuesday, 31 January 2017

YESUS KRISTUS DAN TOLERANSI BERAGAMA



YESUS KRISTUS DAN TOLERANSI BERAGAMA

Pendahuluan
Dalam situasi saat ini, tampak setiap agama masih terlalu menonjolkan kekhasannya masing-masing tanpa mau meninggalkan berkorban demi kerukunan beragama demi kelancaran dialog. Krisis ini sangat dasyat karena mengganggu ketentraman hidup seluruh manusia yang didalamnya terbalut unsur kekerasan. Agama sering dipakai untuk menjadi skenario kekerasan.
Dalam kelompok KeKristenan sendiri juga banyak yang memahami Yesus Kristus sebagai juru selamat menjadi penghalang dalam hidup bertoleransi. Dalam pembahasan ini, Penulis memaparkan pemahaman dan sikap Yesus Kristus dalam mengajarkan Toleransi Beragama.

Isi
1. Pengertian
Toleransi beragama adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kebebasan agama yang dianut dan kepercayaan yang dihayati oleh pihak atau golongan lain. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan atau eksistensi suatu golongan, agama, atau kepercayaan, diakui dan dihormati oleh pihak lain.
Pengakuan tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam tatanan kenegaraan, tatanan kemasyarakat maupun dihadapan Tuhan yang Esa, tetapi juga perbedaan-perbedaan dalam cara penghayatan dan peribadatannya yang sesuai dengan dasar kemanusian yang adil dan beradab.[1]

2.Sikap Yesus Terhadap Orang Yang Ber-Agama Lain[2]
Kita wajib berpedoman kepada sikap Yesus terhadap orang yang beragama lain. Pada zamanNya, hampir setiap hari Yesus selalu bertemu dengan orang yang beragama lain. Bukan hanya sekedar warga agama lain yang Ia temui, tetapi juga tokoh pemimpin orang yang beragama lain seperti Nikodemus, pemimpin Parisi, Saduki, dll. Dalam pertemuan itu, Yesus bukan hanya berbasabasi, bukan hanya sekedar bertemu, tetapi sebagai Rabbi, Yesus menyampaikan berbagai pengajaran, tegoran, pengharapan, dan bahkan pemikiran yang luar biasa terhadap orang yang beragama lain. Pada zamanNya, Yesus bertemu dengan orang yang beragama Yahudi, dengan orang yang beragama Samaria, orang yang beragama Kanani. Dalam pertemuan tersebut melalui perkataan, Yesus tidak pernah menyalahkan ajaran agama manapun, walaupun tentu Yesus tau ada ajaran yang salah dalam agama orang yang Dia temui, tetapi Yesus tidak pernah menyalahkan ajaran agama manapun.
Bahkan Yesus mengikuti kebiasaan orang Yahudi seperti; masuk Synagoge, walaupun dia bukan penganut agama Yahudi. Seterusnya, ada 4 bagian sikap Yesus terhadap agama lain, sekaligus menjadi cermin bagi kita untuk mengambil sikap terhadap orang yang beragama lain pada masa kini sebagai berikut:

Yesus Menghargai dan Menghormati Ajaran Agama Lain[3]
Ketika Yesus muncul sebagai Mesias di tengah masyarakat Yahudi, banyak orang mengira, bahwa Yesus datang untuk menghancurkan agama Yahudi, sekaligus menggantikannya dengan ajaran agama baru. Nyatanya tidak, malah Yesus menghargai ajaran agama Yahudi, dan selalu mengutip ajaran agama Yahudi dan ayat dari kitab Yahudi pada saat Yesus menyampaikan ajaranNya. Walaupun Yesus bukan pengikut dan bukan penerus agama Yahudi, namun Yesus tetap menghargai dan menghormati ajaran agama Yahudi. Untuk itu Yesus berkata: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya, sebelum lenyap langit dan bumi ini, satu iota, atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi (Matius 5:17-18). Demikian juga ketika Yesus bertemu dengan perempuan Samaria, Yesus tidak menyalahkan agama Samaria. Tetapi ada sikap yang cerdas dari Yesus dengan cara selalu mengutip ajaran atau ayat kitab suci agama orang yang bersangkutan, agar melalui itu orang bersangkutan dapat menerima ajaran baru dari Yesus.

Yesus Mengikuti Adat Kebiasaan Yahudi[4]
Dalam kehidupan sehari-hari, Yesus mengenakan jubah pakaian orang Yahudi, sehingga Dia tampil dan dikenal sebagi orang Yahudi. Ketika Yesus bertemu dengan perempuan samaria di Sumur itu, perempuan Samaria langsung mengenal Yesus sebagai orang Yahudi dari pakaianNya. Selain dari pakaianNya, Yesus sering mengikuti pesta adat pernikahan orang Yahudi seperti pesta di kota Kana. Yesus juga mengikuti kebiasaan jamuan makan yang dilaksanakan menurut tradisi dan adat Yahudi. Dan yang paling khas, Yesus selalu menyuci kaki sebelum memasuki rumah orang yang menjamuNya, atau kakiNya dibiarkan dicuci oleh pemilik rumah yang akan menjamunya. Semuanya itu merupakan tradisi adat Yahudi yang dilaksanakan dan diikuti Yesus. Demikian dalam memasuki synagogue, dan membaca kitab suci di Synagoge sebagai pertanda bahwa Yesus mengikuti tradisi keagamaan Yahudi, walaupun seterusnya, Yesus tidak memerintahkan murid-muridNya untuk melakukan pembabtisan ala Yohanes Pembabtis. Berdasarkan data tersebut, Yesus mengikuti  sebagian tradisi adat dan tradisi agama orang Yahudi. Yesus mau mengikuti adat dan tradisi tersebut karena Dia hidup di kalangan umat Yahudi. Seandainya Yesus hidup tinggal dikalangan suku lain, tentu Dia akan mengikuti tradisi adat setempat yang tidak bertentangan dengan kebenaran Tuhan. Tujuan Yesus mengikuti tradisi adat dan agama tersebut, supaya melalui kondisi orang Yahudi menerima ajaranNya. 

Yesus menentang dan menegor sebagian Tradisi Adat dan Agama Yahudi[5]
Ternyata tidak semua tradisi adat dan agama Yahudi yang diikuti Yesus. Sebahagian dari tradisi adat dan keagamaan ditentang dan dikritik Yesus. Misalnya kebiasaan puasa orang Yahudi tidak diikuti dan tak disetujui oleh Yesus dilakukan sesuai hukum agama Yahudi (Lukas 5: 35-39). Demikian juga dengan hukum Sabat, yang secara sengaja tidak diikuti oleh Yesus, karena pemahaman Sabat menurut agama Yahudi tidak disetujui oleh Yesus ( Lukas 6:1-11).

Yesus Menawarkan Ajaran Yang Lebih Baik Untuk Diikuti Orang Yahudi[6]
Dalam realita, Yesus tidak pernah menyalahkan ajaran Agama Yahudi. Yesus menghargai dan menghormati ajaran agama Yahudi. Tetapi di pihak lain, Yesus menawarkan ajaran baru untuk menggenapi dan menyempurnakan ajaran agama Yahudi. Itulah sikap yang sangat bijak dan cerdas dari Yesus yang perlu ditiru oleh orang Kristen. Yesus datang bukan untuk menghancurkan agama Yahudi, tetapi untuk menggenapi dan menyempurnakannya.   Karena itu Yesus datang menawarkan keselamatan berdasarkan anugerah yang disediakan bagi semua orang yang beriman.
Ketika Yesus berdialog dengan orang Yahudi anak muda yang kaya. Anak muda itu merasa sudah melakukan seluruh ketentuan agama yang wajib menurut agama Yahudi. Namun dia belum merasa yakin untuk memiliki surga. Menurut agama Yahudi, tidak ada lagi yang kurang bagi seorang yang muda itu untuk masuk surga. Namun menurut Yesus, masih ada yang kurang, yaitu keterikatan dengan harta materinya membuat dia tidak bisa masuk sorga. Karena itu, untuk menyempurnakan ajaran agama Yahudi, Yesus datang menawarkan ajaran kasih dan anugerah yang beriman. Pada masa kini, kita tidak boleh menyalahkan ajaran agama manapun, tetapi kita hanya menawarkan kesempurnaan Kristus bagi semua orang.

3.   Makna Keselamatan dalam Kehidupan Bersama dengan yang Lain[7]
Suatu yang amat sensitif  bagi orang Kristen di Indonesia dalam percakapan-percakapan yang berkaitan dengan multikultural. Setiap kali ada usaha memperluas wawasan umat kristiani kearah apresiasi terhadap agama lain, setiapkali pula ada reaksi yang menyesalkan apresiasi ini sebagai sesuatu  yang mengurangi nilai keselamatan yang ada pada Yesus Kristus. Bahkan, apabila data diperlihatkan bahwa sepanjang sejarah penghayatan iman yang berlangsung dizaman Alkitab, sekalipun ada proses apresiasi dang pengambilahlian dari agam lain, hal ini juga dianggap sebagai suatu yang merugikan jati diri agama Kristen sendiri. Cara berpikirnya sederhana saja: kalau yang lain itu diapresiasi berarti ada yang baik pada yang lain itu. Jadi kalau ada yang ada pada yang lain, untuk apa menjadi kristiani, untuk apa kita menerima keselamatan Kristiani?
Dalam Yohanes 3:16 kata setiap orang percaya  menitik beratkan pada; ayat 16 mulai dengan mengemukakan kasih Allah yang besar pada dunia ini, sehingga rela mengkaruniakan anakNya; sedangkan ayat 17 mengemukakan bahwa anakNya bukan untuk menghakimi melainkan untuk menyelamatkan. Tekannannya mengenai konteks pengasihan Allah akan dunia. Dalam konteks Yohanes 3:16 teknannya adalah kasih Allah dan keputusan yang harus diambil manusia, bukan tekanan yang menonjolkan  orang (harus) percaya saja. Keselamatan dalam Alkitab tidak bisa diartikan hanya mutlak bersifat partikulastik. Didalam Alkitab jelas bahwa keselamatan juga mengandung makna universalistik. Kalau tidak demikian, mana mungkin Injil menyebar kelingkungan yang lebih luas daripada Kekristenan Yahudi yang membatasi keselamatan dalam Kristus hanya dalam keyahudian saja?.
Untuk itu, sebagaimana dikatakan oleh Franz Magnis Soeseno, sebenarnya antar umat beragama dimungkinkan terjadi apabila masing-masing mengembangkan semangat toleransi dan keterbukaan kesediaan untuk bekerjasama. Apabila agama-agama berhasil membuka diri dan menganut wawasan kemanusiaan kemanusiaan sesuai dengan hakekat mereka, justru akan mampu menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi. Semangat toleransi yang  menghargai eksistensi orang lain dan nilai-nilai di dalamnya pada hakekatnya tidak datang dari luar, melainkan dari dalam setiap individu. Artinya, semangat toleransi bukanlah produk berpikir dan perasaan maklmum yang dihasilkan oleh pertimbangan-pertimbangan rasional atau perasaan. Semangat toleransi yang benar seharusnya merupakan peristiwa iman, lahir sebagai akibat perjupangannya dengan Tuhan. Orang beriman yang sungguh-sungguh beriman pada hakekatnya berjiwa toleran dengan semua orang tanpa pandang bulu, sehingga tidak perlu diatur oleh sebuah undang-undang ataupun peraturan pemerintah. Seseorang tidak serta merta menjadi toleran dengan sesamanya oleh karena sebuah aturan atau undang-undang.
Secara teologis dapat dikatakan bahwa semangat toleransi yang dinamis dan aktif membangun kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara adalah merupakan buah penghayatan Firman Tuhan. Sebagaimana diingatkan oleh nabi Yeremia kepada orang-orang Yahudi yang terbuang di Babilonia: “Usahakanlah kesejahteraaan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” ( Yeremia 29:7). Orang percaya hidup sebagi bagian integral dari bangsa dan Negara dimana dia hidup dan berkarya, terlepas dari ideologi dan kepercayaan mayoritas masyarakat. Namun, kualitas komunikasi dan pelayanan orang percaya  tidak ditentukan oleh konteks ssosial politik masyarakatnya, melainkan ditentukan oleh konteks sosial politik masyarakatnya, melainkan ditentukan oleh nilai-nilai kemanusian universal dari Firman Tuhan. Panggilan orang percaya bukanlah membangun ghetto atau komunitas neo-Qumran dan neo Essena, yang mengisolir dari diri komunitas sosial dan realitas didalamnya justru tidak dapat mempertahankan eksistensinya di tengah arus globalisasi, sehingga suatu komunitas akan tetap eksis apabila secara dinamis mengambil peranan aktif ditengah-tengah arus perubahan. Justru dalam konteks inilah, kita memahami ajaran Tuhan Yesus, bahwa orang percaya terpanggil untuk menjadi garam dan terang bagi masyarakat dan bangsanya sehingga semua orang dapat memahami damai sejahtera Allah (Matius 5:13-16)[8]

4.   Hal-hal yang perlu kita lakukan ditengah Pluralisme agama[9]
Orang Kristen yang cerdas dan beriman selalu diakui, dan akan menjadi pemimpin di kalangan masyarakat. Orang Kristen beriman mampu berbuat sesuatu yang baik dilingkungannya, sehingga dia dikenal dan diakui sebagai manusia yang patut ditiru oleh berbagai pihak. Bukan hanya dikalangan umat Kristen, tetapi juga dikenal oleh umat beragama lain karena cakupan ruang lingkup pekerjaannya tidak terbatas hanya dikalangan umat Kristen saja. Orang Kristen yang bijak mampu berbuat sesuatu yang baik dilingkungannya. Ada 5 pokok tugas orang Kristen ditengah pluralism agama. Kelima pokok tugas tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Menghargai orang yang beragama lain
Kita wajib meniru sikap Yesus menghargai agama lain, bahkan secara bijak menggunakan ajaran agama lain untuk menegur kesalahan orang yang beragama lain. Misalnya, jika FPI membakar atau menutup gereja, maka kita pakai ayat al Quran surat al-Ankabut ayat 46 yang mengatakan: “ jangan berselisih dengan orang Nasrani dan Yahudi…’ Orang lain tidak mungkin dapat kita salahkan berdasarkan ajaran agama kita sendiri. Tetapi mereka kita salahkan berdasarkan ajaran agama mereka.
2.     Memahami ajaran agama lain
Sama seperti Yesus selalu menggunakan ajaran agama lain untuk menegur orang yang bersangkutan. Menegur orang Yahudi, dengan menggunakan ajaran agama Yahudi. Untuk itu Yesus telah lebih dahulu memahami ajaran agama masyarakat sekitar. Seandainya agama Islam ada pada zaman Yesus, dan orang Isalam ada disekitarnya, tentu Yesus akan memakai ajaran Isalam untuk menegur orang Isalam. Orang Kristen yang bijak pada masa kini wajib memahami ajaran agama masyarakat sekitarnya. Bagaimana bisa orang Kristen mengatakan ajaran Kristen yang benar kalau dia sendiri tidak tahu ajaran agama lain? Dengan mempelajari agama lain, maka iman kita akan semakin diperkuat. Seorang pemuda Kristen akan diperkaya dalam pemahaman ajaran agamanya, jika dia memahami ajaran agama lain. Dan pemuda akan dimampukan memberitakan Injil kepada orang lain. Dan pemuda akan dimampukan dan memberitakan Injil kepada orang lain, jika mereka memahami ajaran agama orang yang bersangkutan.
3.     Mengusahakan, agar agama kristen dipahami oleh orang yang beragama lain.
Tugas utama semua orang Kristen termasuk pendeta adalah untuk mengusahakan agar orang beragama lain memahami ajaran agama Kristen. Bagaimana caranya/ tentu merupakan hal yang tidak mungkin jika kita memahami lebih dahulu ajaran agama lain. Untuk memperkenalkan Kristus kepada orang Islam, kita lebih dahulu membicarakan bagaimana al-Qur’an berbicara tentang Kristus. Apapun yang mau didiskusikan bersaa orang yang beragama lain, mulailah dari ajaran ahamanya, dari keyakinannya, dan bukan dari agama kita sendiri.
4.     Mengusahakan kerukunan umat beragama
Mewujudkan kerukunan adalah merupakan tugas semua orang beragama. Setiap orang tidak bisa bekerja dengan baik kalau kondisi kerukunan masyarakat terganggu. Dan orang Kristen tidak akan ampu memberitakan Injil, jika kerukunan dengan umat beragama lain terganggu.
Ada 3 langkah mengusahakan kerukunan
1.     Mengusahakan kebersamaan dengan orang lain
Kita perlu menumbuhkan iklim saling menghormati dan menghargai. Dalam rangka itulah bebrapa waktu lalu dialog-dialog antar umat beragama perlu digiatkan [10]
2.     Kerukunan melalui kemauan menolong sesama
Orang yang berbeda agama itu bisa saling menolong jika ada beban berat yang dialami sesama. Ada banyak beban berat yang bisa terjadi kepada setiap orang, seperti kemalangan, kemalingan, bencana dan musibah. Ketika musibah terjadi, orang bingung mau mencari pertolongan, untuk itu disinilah peran kita yang konkrit menolong mereka.
3.     Mengusahakan melalui budaya
Orang yang berbeda agama akan berbeda pikiran jika bersama-sama mendiskussikan masalah agama.  Budaya dan adat bisa menjadi alat untuk menciptakan kerukunan, dan untuk mempertemukan orang yang berbeda agama. Setiap orang akan merasa indah dan baik, jika secara bersama melakukan sesuatu yang berhubungan dengan adat budayanya.

Penutup
Toleransi antar umat beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup  bersama masyarakat yang menganut agama lain dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan baik untuk beribadah maupun tidak beribadah dari satu pihak ke pihak lain. Sebagai implementasinya dalam praktik kehidupan sosial dapat dimulai dari sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam kehidupan sehari-hari
Tak ada penyekat lagi bagi kita untuk hidup bertoleransi, setiap hari Yesus selalu bertemu dengan orang yang beragama lain. Untuk itu, Semangat toleransi yang  menghargai eksistensi orang lain dan nilai-nilai di dalamnya pada hakekatnya tidak datang dari luar, melainkan dari dalam setiap individu.


[1] Sudibjo, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 16, ( Jakarta : Cipta Adi Pustaka, 1994), hlm.384-385.
[2] Marolop Sinaga, Paragdigma Baru Penginjilan, ( Padang: Sukabina Press,2012), hlm. 100.
[3] Ibid, hlm. 101.
[4] Ibid.hlm.102.
[5] Ibid. hlm. 102-103.
[6] Ibid, hlm. 103.
[7] Team Balitbang PGI, Merentas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, ( Jakarta:BPK G.Mulia, 2007), hlm.115-120.
[8] Ulrich Beyer, Menjadi Guru Semua Bangsa, ( LSAPA: Pematangsiantar, 2009), hlm. 119-120.
[9] Op.Cit., Marolop Sinaga, hlm. 105-106.
[10] Dr. A.A Yewangoe, Agama dan kerukunan, ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 36.

No comments:

Post a Comment