Sikap
Gereja terhadap Wisata Danau Toba
Indonesia
di anugerahkan oleh Tuhan sumberdaya alam yang melimpah ruah. Terkhusus Danau
Toba yang menjadi salah satu tujuan wisata Internasional. Menurut catatan Wikipedia, danau Toba
adalah sebuah danau
tekto-vulkanik dengan ukuran panjang
100 kilometer
dan lebar
30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia
dan Asia Tenggara. Menariknya, di tengah
danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir. Tampak keseriusan Pemerintahan Jokowi membentuk Badan Otoritas Danau Toba (BODT) melalui
Perpres dengan mempersiapkan alokasi dana sebesar Rp 2 triliun lebih. Tapi tak
jarang juga ditemukan pro dan kontra terkait penetapan ini.
Popularitas wisata Danau Toba semakin meningkat informasinya
bagi mancanegara. Popularitas wisata ini ternyata sudah dikampanyekan dahulu
melalui rombongan Ratu Belanda Wilhelmina tahun 1940 bahkan banyak yang
penasaran tempat pengasingan Presiden RI Soekarno. Selain nilai budaya,
lingkungan hidup, historis yang sangat kaya akan pengetahuan. Objek wisata ini
akan menjadi potensi ekonomi bagi warga sekitaran danau toba.
Siapa pengelolah Danau Toba?
Lagu
anak medan, “biar kambing dikampung sendiri tapi banteng di perantauan”, ini
menjadi kekuatiran sendiri, kita bisa Berjaya dikampung orang lain sementara
tanah kita menjadi dikuasai oleh investor asing. Alasan pemerintah lokal
sekitaran danau toba sering dianggap tidak mampu mengelolah, beberapa fakta
mengarahkan tentang festival Danau Toba yang tidak mampu memperbaiki alam
dengan pencemaran danau sehingga kurangnya minat wisatawan untuk mau datang.
Saat ini di Danau Toba, sektor swasta asing maupun dalam
negeri akan diarahkan untuk berinvestasi membangun amenitas, seperti resort
wisata dan hotel standar internasional serta fasilitas pendukung pariwisata
lainnya. Sementara paradigma kehidupan modern memacu hidup kapitalistik
menghilangkan kearifan lokal. Rakyat mulai terpengaruh oleh pikiran
kapitalistik bahwa lahan adalah potensi untuk dikomersialkan demi keuntungan
ekonomi.
Sementara Pemerintah selalu mendorong percepatan ini dengan
mendorong inventasi asing menanam modal. Arus capital membuat kegiuran dengan
membuat harga tanah mahal untuk mendorong pembangunan infraksturktur dan
pembangunan restaurant dan hotel. Dengan demikian, Budaya selalu kalah dengan
kapital, selalu tersingkir oleh para pemilik modal
Pandangan Alkitab tentang teologi
Tanah
Tanah
adalah karunia Tuhan yang Maha Kuasa bagi seluruh makhluk human dan non human.
Tanah merupakan tempat pertemuan semua ciptaam, berinteraksi dan berkorelasi
satu dengan yang lain. Tanah meruapan tempat tinggal, tempat bekerja, tempat
makhluk hidup berasal, dan tempat akan kemana pula makhluk hidup pergi. Tanah
memiliki dimensi nilai ekonomi, sosial, cultural, politik, dan ekologis.
Sehingga tak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tak
henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit.
Seiring
perkembangan waktu, nilai jual tanah semakin meningkat pertumbuhan yang semakin
meningkat dibumi (http://informasipedia.com/kependudukan/jumlah-penduduk-dunia/458-jumlah-penduduk-dunia-tahun-2015.html),
sementara pemerintah lebih mementingkan pihak investor. Namun sejarah Alkitab
mencatat peristiwa tentang pentingnya tanah:
1.
Kisah penciptaan dalam Alkitab mencatan bahwa tanah
(bumi) adalah ciptaan Tuhan tempat tinggal manusia dan makhluk non human.
Penetapan Sabat juga menggambarkan Tuhan adalah pemelihara semua ciptaan, dan
tanah adalah tempat Tuhan bertemu, bersekutu dan tinggal bersama ciptaanNya,
sehingga seluruhnya menjadi sangat amat baik. Tema tanah sebagai sumber
pemberian Allah yang digunakan seluas-luasnya untuk mencapai kesejahteraan seluruh
komunitas sehingga melahirkan undang-undang pertanahan (Im 25:23-28) adalah
refleksi teologis tanah dalam memerhatikan aspek kesejahteraan komunal/bersama
(dimensi ekonomi). Tema Penciptaan (Kej 1-2) adalah refleksi teologis
tanah dalam memehatikan aspek pemeliharaan lingkungan hidup, termasuk
konservasi ekologi tanah (dimensi ekologi). Pater Peter C. Aman, OFM menegaskan
logika penciptaan manusia adalah logika ekologis, tepatnya eco-system. Urutan
proses penciptaan dengan jelas memperlihatkan bahwa keberadaan serta kehidupan
makhluk ciptaan saling bergantung. Adanya ketergantungan itu dimungkinkan oleh
adanya tanah, terra, earth (ibu bumi atau ibu pertiwi). Itulah sebabnya,
mengapa dalam semua bahasa, kebudayaan serta kearifan lokal (local-wisdom),
tanah dan ibu selalu dipertautkan, tak terpisahkan. Tanah, bumi, adalah ibu
atau sumber dari semua makhluk hidup.
2. Tanah
Kanaan merupakan tujuan dari orang Israel setelah keluaran (peristiwa eksodus),
walaupun Allah menciptakan seluruh dunia (Maz 95:4; Yesaya 40:28), namun Allah
telah menentukan suatu tanah yang khusus bagi orang yang khusus yaitu bagi
keturunan Abraham (Kej 12:2; Ul 26:5) yaitu tanah Kanaan. Konsep tanah
dalam perjanjian lama memiliki banyak istilah, Misalnya dengan kata אֲדָמָה (adama)
yang artinya tanah, istri. Kata tanah juga disebut dengan kata אֶרֶץ
(erets), yang artinya bumi, negeri. Kata tanah juga biasa disebut dengan
kata אֲחֻזָּה (akhuzza), yang artinya milik, tanah milik. Selain itu
juga, bahwa kata אֲדָמָה dan kata אֶרֶץ (erets) ini juga memiliki
persamaan dengan kata שָדֶה yang artinya adalah sebidang tanah. Menurut Gerhard Von Rad
pemanggilan Abraham, pemberian janji tanah (yang menjadi tanah pusaka Israel)
dan pemilihan bangsa Israel menjadi suatu bangsa adalah suatu hal yang memiliki
dimensi kerangka keselamatan yang dikerjakan oleh Allah bagi Israel secara
khusus dan bagi dunia secara umum. Janji tanah kepada Abraham menjadikan bangsa
Israel menjadi suatu bangsa yang berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan yang
dimaksud dalam hal ini adalah dalam hubungan mereka dengan Allah, dimana
kehidupan mereka adalah harus berpusat kepada Allah.
Dalam Kejadian 17:8 Allah
mengikatkan diri kepada manusia, dan memberikan suatu janji yang bersifat kekal
kepada Abraham. Itulah sebabnya dalam ikatan janji Allah dengan Abraham
keturunannya dikaitkan di dalamnya. Dalam Kejadian 17:7-8 ini Allah sendiri
menjanjikan suatu kebaikan kepada manusia, dan segala kebaikan dari yang
dijanjikan oleh Allah ini mencapai puncaknya dengan janji Allah bahwa Allah
akan menjadi Allah bagi Abraham sendiri dan bagi keturunan Abraham tersebut.
Dengan demikian, puncak dari segala janji Allah adalah bahwa Allah akan menjadi
Allah Abraham dan Allah keturunanya, dan hal itu dibuktikan dengan pemberian
tanah Kanaan kepada Abraham dan kepada keturunan Abraham sendiri. Oleh karena
itu, tidak ada alasan yang tepat bagi bangsa Israel untuk berpaling dari Allah
jika mereka ingin benar-benar hidup di tanah yang diberikan oleh Allah kepada
mereka untuk mereka tempati.
Dengan demikian, tanah merupakan bukti adanya hubungan istimewa itu
3.
Peristiwa kebun anggor nabot (1 Raja 21:1-10)
menunjukan pembahaman tanah bagi Ahab dan Nabot sangatlah berbeda. Bagi Ahab,
tanah adalah simbol status dan kekuasaan sekaligus alat untuk melipatgandakan
harta kekayaan. Lembah Yizreel sebagaimana arti namanya “Allah menabur”
terkenal dengan tanahnya yang subur. Dengan demikian pandangan raja Ahab
terhadap kebun anggur Nabot tidak lebih dari sekadar properti yang bisa
dikembangkan untuk meningkatkan nilai ekonominya. Pandangan Nabot, sebaliknya,
tanah kebun anggur itu simbol ikatan janji dan tempat perjumpaan leluhurnya
dengan Allah.
Sikap Gereja tentang Pengembangan
Danau Toba
Ati
Hidebrant Rambe mengatakan “salah satu temuan yang cukup memprihatikan adalah
pelik dan kompleksnya kasus-kasus agraria yang sangat serius dihadapi umat
berbanding terbalik dengan minimnya bahkan kecenderungan nihilnya perhatian
(petinggi-petinggi) gereja untuk berjuang bersama para warga yang menjadi
korban perampasan lahan kehidupan oleh penguasa raksasa dan pemilik modal.
Demikian halnya minimnya kesadaran gereja untuk ikut serta secara serius dan
konsisten dalam arak-arakan pemeliharaan dan pemulihan alam lingkungan yang
telah tercemar dan rusak”. Terjadinya degradasi yang parah, baik hutan di
sekitar kawasan, maupun pencemaran air yang massif bahkan terjadinya
penggusuran warga dan terjadinya tindak kriminalisasi yang berkepanjangan di
sekitar Danau Toba
Kita
mengingat bagaimana perkembangan kota Jakarta dengan tersingkirnya warga asli
yaitu Betawi. Contoh ekstrem di wilayah DKI
Jakarta. Di mana, warga Betawi tergeser di daerah-daerah pinggiran. Budaya asli
Betawi pun tergerus. Tanah-tanah dijual ke pemilik modal, dijadikan pusat-pusat
perbelanjaan, hotel, dan sejenisnya, orang Betawi mulai tersingkirkan. Hal ini
tentunya bisa terjadi dengan orang batak tersingkir dari tanahnya sendiri.
Lalu bagaimana sikap gereja terhadap pengembangan Danau Toba
1. Mendorong pemerintah untuk mengutamakan masyarakat lokal
dalam pembangunan pariwisata kawasan danau toba. Gereja harus pro-aktif
mencermati dan mengkritisi program pembangunan, seperti program pengembangan
parawisata di kawasan Danau Toba, dengan memperhatikan keberadaan masyarakat
lokal dan adat. Tentunya Gereja melakukan penolakan seperti penolakan tempat
hiburan malam.
2. Gereja meningkatkan sinerginitas dengan lembaga peduli
terhadap isu penyelamatan lingkungan. Untuk itu, Gereja perlu memperkuat proses
pembinaan warga gereja dan pendidikan pemeliharaan lingkungan. Gereja perlu menumbuhkan
kesadaran baru dan memperkuat kemampuan warga gereja untuk menyikapi dan
bertindak konkrit mengatasi persoalan ekologi.
3.
Gereja mendorong mempertahankan kearifan
budaya lokal dalam pengembangan wisata sekaligus melestarikan tanah adat. Ketika pinggiran Danau Toba
dikuasai investor maka akses penduduk lokal akan hilang ke Danau Toba.
No comments:
Post a Comment