Tuesday, 31 January 2017

SIKAP GEREJA TERHADAP WISATA DANAU TOBA



Sikap Gereja terhadap Wisata Danau Toba

Indonesia di anugerahkan oleh Tuhan sumberdaya alam yang melimpah ruah. Terkhusus Danau Toba yang menjadi salah satu tujuan wisata Internasional. Menurut catatan Wikipedia, danau Toba adalah sebuah danau tekto-vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Menariknya, di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir. Tampak keseriusan Pemerintahan Jokowi membentuk Badan Otoritas Danau Toba (BODT) melalui Perpres dengan mempersiapkan alokasi dana sebesar Rp 2 triliun lebih. Tapi tak jarang juga ditemukan pro dan kontra terkait penetapan ini.
Popularitas wisata Danau Toba semakin meningkat informasinya bagi mancanegara. Popularitas wisata ini ternyata sudah dikampanyekan dahulu melalui rombongan Ratu Belanda Wilhelmina tahun 1940 bahkan banyak yang penasaran tempat pengasingan Presiden RI Soekarno. Selain nilai budaya, lingkungan hidup, historis yang sangat kaya akan pengetahuan. Objek wisata ini akan menjadi potensi ekonomi bagi warga sekitaran danau toba.

Siapa pengelolah Danau Toba?
Lagu anak medan, “biar kambing dikampung sendiri tapi banteng di perantauan”, ini menjadi kekuatiran sendiri, kita bisa Berjaya dikampung orang lain sementara tanah kita menjadi dikuasai oleh investor asing. Alasan pemerintah lokal sekitaran danau toba sering dianggap tidak mampu mengelolah, beberapa fakta mengarahkan tentang festival Danau Toba yang tidak mampu memperbaiki alam dengan pencemaran danau sehingga kurangnya minat wisatawan untuk mau datang.
Saat ini di Danau Toba, sektor swasta asing maupun dalam negeri akan diarahkan untuk berinvestasi membangun amenitas, seperti resort wisata dan hotel standar internasional serta fasilitas pendukung pariwisata lainnya. Sementara paradigma kehidupan modern memacu hidup kapitalistik menghilangkan kearifan lokal. Rakyat mulai terpengaruh oleh pikiran kapitalistik bahwa lahan adalah potensi untuk dikomersialkan demi keuntungan ekonomi.
Sementara Pemerintah selalu mendorong percepatan ini dengan mendorong inventasi asing menanam modal. Arus capital membuat kegiuran dengan membuat harga tanah mahal untuk mendorong pembangunan infraksturktur dan pembangunan restaurant dan hotel. Dengan demikian, Budaya selalu kalah dengan kapital, selalu tersingkir oleh para pemilik modal


Pandangan Alkitab tentang teologi Tanah
Tanah adalah karunia Tuhan yang Maha Kuasa bagi seluruh makhluk human dan non human. Tanah merupakan tempat pertemuan semua ciptaam, berinteraksi dan berkorelasi satu dengan yang lain. Tanah meruapan tempat tinggal, tempat bekerja, tempat makhluk hidup berasal, dan tempat akan kemana pula makhluk hidup pergi. Tanah memiliki dimensi nilai ekonomi, sosial, cultural, politik, dan ekologis. Sehingga tak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit.
Seiring perkembangan waktu, nilai jual tanah semakin meningkat pertumbuhan yang semakin meningkat dibumi (http://informasipedia.com/kependudukan/jumlah-penduduk-dunia/458-jumlah-penduduk-dunia-tahun-2015.html), sementara pemerintah lebih mementingkan pihak investor. Namun sejarah Alkitab mencatat peristiwa tentang pentingnya tanah:
1.     Kisah penciptaan dalam Alkitab mencatan bahwa tanah (bumi) adalah ciptaan Tuhan tempat tinggal manusia dan makhluk non human. Penetapan Sabat juga menggambarkan Tuhan adalah pemelihara semua ciptaan, dan tanah adalah tempat Tuhan bertemu, bersekutu dan tinggal bersama ciptaanNya, sehingga seluruhnya menjadi sangat amat baik. Tema tanah sebagai sumber pemberian Allah yang digunakan seluas-luasnya untuk mencapai kesejahteraan seluruh komunitas sehingga melahirkan undang-undang pertanahan (Im 25:23-28) adalah refleksi teologis tanah dalam memerhatikan aspek kesejahteraan komunal/bersama (dimensi ekonomi).  Tema Penciptaan (Kej 1-2) adalah refleksi teologis tanah dalam memehatikan aspek pemeliharaan lingkungan hidup, termasuk konservasi ekologi tanah (dimensi ekologi). Pater Peter C. Aman, OFM menegaskan logika penciptaan manusia adalah logika ekologis, tepatnya eco-system. Urutan proses penciptaan dengan jelas memperlihatkan bahwa keberadaan serta kehidupan makhluk ciptaan saling bergantung. Adanya ketergantungan itu dimungkinkan oleh adanya tanah, terra, earth (ibu bumi atau ibu pertiwi). Itulah sebabnya, mengapa dalam semua bahasa, kebudayaan serta kearifan lokal (local-wisdom), tanah dan ibu selalu dipertautkan, tak terpisahkan. Tanah, bumi, adalah ibu atau sumber dari semua makhluk hidup.
2.     Tanah Kanaan merupakan tujuan dari orang Israel setelah keluaran (peristiwa eksodus), walaupun Allah menciptakan seluruh dunia (Maz 95:4; Yesaya 40:28), namun Allah telah menentukan suatu tanah yang khusus bagi orang yang khusus yaitu bagi keturunan Abraham (Kej 12:2; Ul 26:5) yaitu tanah Kanaan.  Konsep tanah dalam perjanjian lama memiliki banyak istilah, Misalnya dengan kata אֲדָמָה (adama) yang artinya tanah, istri. Kata tanah juga disebut dengan  kata אֶרֶץ (erets), yang artinya bumi, negeri. Kata tanah juga biasa disebut dengan kata  אֲחֻזָּה (akhuzza), yang artinya milik, tanah milik. Selain itu juga, bahwa kata  אֲדָמָה dan kata אֶרֶץ (erets) ini juga memiliki persamaan dengan kata שָדֶה yang artinya adalah sebidang tanah. Menurut Gerhard Von Rad pemanggilan Abraham, pemberian janji tanah (yang menjadi tanah pusaka Israel) dan pemilihan bangsa Israel menjadi suatu bangsa adalah suatu hal yang memiliki dimensi kerangka keselamatan yang dikerjakan oleh Allah bagi Israel secara khusus dan bagi dunia secara umum. Janji tanah kepada Abraham menjadikan bangsa Israel menjadi suatu bangsa yang berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan yang dimaksud dalam hal ini adalah dalam hubungan mereka dengan Allah, dimana kehidupan mereka adalah harus berpusat kepada Allah.
Dalam Kejadian 17:8 Allah mengikatkan diri kepada manusia, dan memberikan suatu janji yang bersifat kekal kepada Abraham. Itulah sebabnya dalam ikatan janji Allah dengan Abraham keturunannya dikaitkan di dalamnya. Dalam Kejadian 17:7-8 ini Allah sendiri menjanjikan suatu kebaikan kepada manusia, dan segala kebaikan dari yang dijanjikan oleh Allah ini mencapai puncaknya dengan janji Allah bahwa Allah akan menjadi Allah bagi Abraham sendiri dan bagi keturunan Abraham tersebut. Dengan demikian, puncak dari segala janji Allah adalah bahwa Allah akan menjadi Allah Abraham dan Allah keturunanya, dan hal itu dibuktikan dengan pemberian tanah Kanaan kepada Abraham dan kepada keturunan Abraham sendiri. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang tepat bagi bangsa Israel untuk berpaling dari Allah jika mereka ingin benar-benar hidup di tanah yang diberikan oleh Allah kepada mereka untuk mereka tempati. Dengan demikian, tanah merupakan bukti adanya hubungan istimewa itu
3.     Peristiwa kebun anggor nabot (1 Raja 21:1-10) menunjukan pembahaman tanah bagi Ahab dan Nabot sangatlah berbeda. Bagi Ahab, tanah adalah simbol status dan kekuasaan sekaligus alat untuk melipatgandakan harta kekayaan. Lembah Yizreel sebagaimana arti namanya “Allah menabur” terkenal dengan tanahnya yang subur. Dengan demikian pandangan raja Ahab terhadap kebun anggur Nabot tidak lebih dari sekadar properti yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan nilai ekonominya. Pandangan Nabot, sebaliknya, tanah kebun anggur itu simbol ikatan janji dan tempat perjumpaan leluhurnya dengan Allah.
Sikap Gereja tentang Pengembangan Danau Toba
Ati Hidebrant Rambe mengatakan “salah satu temuan yang cukup memprihatikan adalah pelik dan kompleksnya kasus-kasus agraria yang sangat serius dihadapi umat berbanding terbalik dengan minimnya bahkan kecenderungan nihilnya perhatian (petinggi-petinggi) gereja untuk berjuang bersama para warga yang menjadi korban perampasan lahan kehidupan oleh penguasa raksasa dan pemilik modal. Demikian halnya minimnya kesadaran gereja untuk ikut serta secara serius dan konsisten dalam arak-arakan pemeliharaan dan pemulihan alam lingkungan yang telah tercemar dan rusak”. Terjadinya degradasi yang parah, baik hutan di sekitar kawasan, maupun pencemaran air yang massif bahkan terjadinya penggusuran warga dan terjadinya tindak kriminalisasi yang berkepanjangan di sekitar Danau Toba
Kita mengingat bagaimana perkembangan kota Jakarta dengan tersingkirnya warga asli yaitu Betawi. Contoh ekstrem di wilayah DKI Jakarta. Di mana, warga Betawi tergeser di daerah-daerah pinggiran. Budaya asli Betawi pun tergerus. Tanah-tanah dijual ke pemilik modal, dijadikan pusat-pusat perbelanjaan, hotel, dan sejenisnya, orang Betawi mulai tersingkirkan. Hal ini tentunya bisa terjadi dengan orang batak tersingkir dari tanahnya sendiri.

Lalu bagaimana sikap gereja terhadap pengembangan Danau Toba
1.     Mendorong pemerintah untuk mengutamakan masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata kawasan danau toba. Gereja harus pro-aktif mencermati dan mengkritisi program pembangunan, seperti program pengembangan parawisata di kawasan Danau Toba, dengan memperhatikan keberadaan masyarakat lokal dan adat. Tentunya Gereja melakukan penolakan seperti penolakan tempat hiburan malam.
2.     Gereja meningkatkan sinerginitas dengan lembaga peduli terhadap isu penyelamatan lingkungan. Untuk itu, Gereja perlu memperkuat proses pembinaan warga gereja dan pendidikan pemeliharaan lingkungan. Gereja perlu menumbuhkan kesadaran baru dan memperkuat kemampuan warga gereja untuk menyikapi dan bertindak konkrit mengatasi persoalan ekologi.
3.     Gereja mendorong mempertahankan kearifan budaya lokal dalam pengembangan wisata sekaligus melestarikan tanah adat. Ketika pinggiran Danau Toba dikuasai investor maka akses penduduk lokal akan hilang ke Danau Toba.

No comments:

Post a Comment