GEREJA MENYIKAPI KRISIS EKOLOGI
I.
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi bukan saja hanya menyisakan kenangan baik bagi umat manusia.
Melainkan perkembangan itu juga banyak meninggalkan kenangan yang pahit bagi
kelangsungan hidup manusia. Hampir setiap saat dalam pemberitaan media massa
selalu ditampilkan kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah manusia
baik itu banjir, kebakaran hutan, longsor, gempa dan lain-lain. Kerusakan dan
bencana alam itu terjadi bukan hanya fenomena alam semata, melainkan juga
karena kerakusan dan kecerobohan manusia.
Untuk menyikapi hal tersebut bukanlah
semata-mata hanya tanggung jawab pemerintah atau hanya segelintir orang saja,
melainkan setiap orang terpanggil untuk mengatasi masalah tersebut. Gereja juga
sebagai wujud tubuh Kristus yang nyata dalam dunia ini terpanggil untuk ikut
serta menyuarakan suara kenabiannya dalam menyikapi krisis ekologi tersebut. Melalui peran serta Gereja, sangat diharapkan adanya
perubahan-perubahan yang nyata dalam masalah ekologi. Kalau kita hanya diam dan
menunggu bukan tidak mungkin dunia saat ini telah diambang kehancuran. Saat ini
belum ada kata terlambat untuk berbuat lebih banyak dalam menyikapi masalah
ekologi.
Untuk menyikapi krisis lingkungan tersebut
pada tanggal 3-14 Desember 2007 PBB telah melakukan konvensi perubahan iklim di
Nusa Dua, Bali. Berkurangnya hutan di dunia ini dan bertambahnya kadar karbon
dituding sebagai penyebab utama naiknya suhu permukaan bumi. Dan Indonesia
dianggap sebagai salah satu yang bertanggung jawab atas menciutnya kapasitas
paru-paru dunia, karena Indonesia merupakan negara yang laju kerusakan hutanya
tercepat di dunia. Melalui konvensi tersebut Indonesia menyatakan bersedia
mempertahankan fungsi hutannya sebagai paru-paru dunia apabila didukung oleh
semua negara-negara lain di dunia ini.
Gereja juga harus bersifat bijaksana untuk
menyelamatkan dunia ini, baik itu melalui pembinaan warga jemaat, khotbah
maupun secara langsung menyuarakan apa yang menjadi tanggung jawab manusia di bumi
yang diciptakan Allah. Manusia sering beranggapan bahwa alam ini diciptakan
hanya untuk manusia, sehingga manusia berhak menguasai segalanya. Melalui peran
serta Gereja sangat diharapkan setiap orang terlebih warga jemaat akan sadar
dari kerakusan mereka untuk menguasai dunia ini. Dengan demikian mereka akan
menyadari panggilan dan tanggung jawabnya untuk memelihara dan menggunakan alam
sesuai kebutuhan mereka.
Untuk mempermudah pembahasan sajian ini,
maka penyaji membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
II.
Dasar Teologis Keutuhan ciptaan
Allah menciptakan dunia ini dengan segala
isinya, baik adanya (Kej. 1: 1). Semua diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
ciptaan yang lain. Artinya, semua ciptaan saling membutuhkan (ada mata rantai
kehidupan yang tidak pernah putus). Keberadaan manusia sebagai Imago Dei yang menerima mandat dari Allah (Kej. 1:
27-28), yaitu menguasai dan menaklukkan bukanlah hak istimewa, melainkan
tanggung jawab yang sangat istimewa yang harus dipertanggung jawabkan. Manusia
sebagai gambar dan rupa Allah terpanggil untuk hidup seirama dengan Allah
mengasihi dan memelihara ciptaanNya.
Kebaikan alam semesta dinyatakan Allah
pada setiap langkah penciptaanNya, bukan hanya pada saat manusia diciptakan.
Bukan Allah yang menyatakan segala sesuatu itu berguna untuk manusia, melainkan
baik adanya, sebelum dan terlepas dari kehadiran manusia. Alam semesta turut
menderita akibat dosa manusia (Kej. 3: 17; Terkutuklah
tanah karena engkau). Sebaliknya kalau manusia diselamatkan dari dosanya,
maka alam semesta turut sembuh dari luka-lukanya dan setiap mahluk akan
berdamai satu dengan yang lain (Yes 11: 6-9). Oleh karena itu Kristologi perlu
ditransformasikan dari sudut pandang penciptaan, dengan prinsip dasar alam
semesta adalah baik dan Allah mau menyelamatkannya.
Manusia tidaklah superior atas segala
ciptaan. Manusia berada bersama (disamping) ciptaan yang lain, di dalam
solidaritas dengan ciptaan yang lain, meskipun tetap dalam perbedaan-perbedaan.
Atas dasar solidaritas inilah manusia harus memandang semua ciptaan Allah
secara integral (keutuhan ciptaan), sebagaimana diciptakan Allah sebagai suatu
yang baik (Kej. 1: 10-12). Segala mahluk hidup berada dalam relasi saling
bergantung dan saling memerlukan (ekosistem). Merusak keutuhan ciptaan ini,
berarti memusnahkan semua hal yang mendukung hidup manusia itu sendiri. Maka
disinilah panggilan kepada suatu pola hidup baru yang berdasar pada
penatalayanan dan pengasihan, bukan penguasaan dan eksploitasi atas ciptaan
yang lain (bnd. Maz 104).
Perwujudan suatu teologi keutuhan ciptaan
adalah bagaimana membaca kisah-kisah penciptaan dalam Perjanjian Lama dalam
konteks keprihatinan ekologis dewasa ini. Sehingga kita tidak hanya berbicara
dalam kerangka suatu teologi secara antroposentrik
(berpusat pada manusia) saja, melainkan harus berteologi secara kosmosentrilk (berpusatkan kepada
kosmos), yang di dalamnya juga termasuk manusia. Harkat manusia bukanlah hanya
meningkatkan nilai manusia agar berada di atas ciptaan lain, melainkan manusia harus
mengikat harkat keseluruhan kehidupan termasuk kehidupan alam semesta.
Ketidakadilan terhadap lingkungan adalah
juga akibat ketidakadilan dalam bermasyarakat. Ketidakadilan terhadap lingkungan tidak dapat diatasi tanpa
mengatasi ketidakadilan dalam hidup bermasyarakat. Ada hubungan timbal balik
yang erat antara ketidakadilan dalam hidup bermasyarakat dan ketidakadilan
terhadap lingkungan (bnd. Yer 29: 11-14). Keutuhan ciptaan akan dapat dicapai
apabila terlebih dahulu sesama manusia itu saling menghargai dan tidak saling merugikan
yang satu dengan yang lainya. Kemerosotan moral manusia dalam bermasyarakat
merupakan penyebab utama kemerosotan mutu lingkungan hidup.
III.
Kerusakan Lingkungan sebagai Ancaman
Kehidupan
a.
Efek Rumah Kaca
Matahari adalah
sumber utama energi yang menerangi bumi. Sebagian besar energi yang menyinari
bumi adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya yang tampak apabila
mengenai permukaan bumi akan berubah dari cahaya menjadi panas dan akan
menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan memantulkan kembali sebagian dari panas
ini sebagi radiasi infra merah gelombang penjang ke angkasa luar walaupun
sebagian tetap terperangkap di atmosfer bumi. Akibatnya panas tersebut akan
tersimpan di permukaan bumi. Fungsi dari gas-gas tersebut seperti kaca dalam
rumah kaca, sehingga gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca. Semakin banyak
panas yang terperangkap dibawahnya, berarti semakin meningkat konsentrasi
gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Efek rumah kaca tidak merugikan apabila tidak
berlebihan. Secara alami, efek rumah kaca sangat penting karena bumi menjadi
cukup hangat sehingga mendukung hidup manusia. Tanpa efek rumah kaca, kehidupan
manusia di muka bumi akan terganggu kerena suhu rata-rata bumi akan berkisar -20
0C. Efek rumah kaca sangatlah penting untuk menetapkan suhu yang
layak bagi kehidupan di bumi. Kenaikan efek rumah kaca secara berlebihan
disebabkan oleh pembakaran bahan bakar minyak (BBM), dan bahan bakar organik
lainya untuk menunjang aktivitas manusia. Jika emisi gas rumah kaca tersebut
terus meningkat maka akan terjadi perubahan iklim yang sangat drastis sepanjang
sejarah bumi ini yang mungkin saat ini dikenal dengan sebutan pemanasan global
(Global warming).
b.
Pemanasan Global (Global Warming)
Pemanasan global meningkat karena
aktivitas manusia yang semakin berkembang. Sejak revolusi industri konsentrasi
karbon dioksida (CO2) di atmosfer
semakin meningkat. Hal ini diakibatkan oleh pembakaran yang berasal dari bahan
bakar fosil dan pembakaran sejumlah besar hutan-hutan. Pemanasan global
diakibatkan oleh konsentrasi CO2 yang semakin tinggi sehingga mengakibatkan
naiknya temperatur bumi antara 1,5 – 4,5 0C. Konsentrasi gas-gas
rumah kaca di atmosfer mengharuskan pengurangan 60 % emisi CO2. kalau tidak,
gunung-gunung es yang terdapat di kutub utara dan kutub selatan akan mencair.
Kalau ini terjadi dataran-dataran bumi yang lebih rendah akan tenggelam.
Namun pemanasan global masih bisa di cegah
atau paling tidak dibiarkan mengikuti siklus normalnya seperti sekarang.
Caranya dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil serta mengurangi
pemakaian gas rumah kaca lainya. Jika tidak manusia akan secara nyata
menghancurkan kehidupanya sendiri. Kerusakan sistem cuaca di muka bumi ini juga
dapat menyebabkan lahan-lahan akan semakin mengering dan tersebarnya penyakit
mematikan. Diperkirakan apabila temperatur global masih meningkat sebesar 1,5 –
2,5 0C, paling tidak 30 % spesies tumbuhan dan hewan akan punah.
c.
Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk sangatlah mempengaruhi
terjadinya krisi ekologi saat ini. Pengrusakan lingkungan hidup sangat
berkaitan erat dengan kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Jumlah penduduk
dunia kian hari kian bertambah banyak. Diperkirakan sumber daya alam tidak
mencukupi memenuhi kebutuhan hidup lebih dari 6 milyar jiwa penduduk bumi. Penduduk
beberapa kota besar di duni ini sekarang sudah mengkuatirkan ketersediaan air
minum dan persediaan energi. Bukan saja hanya ketersediaan energi atau air
minum yang menjadi perhatian serius saat ini di daerah perkotaan. Melainkan
juga keterbatasan pangan dan lokasi pemukiman, sehingga saat ini di kota-kota
besar seperti Jakarta banyak warga yang mendirikan rumah-rumah di pinggiran
kali, di bawah jembatan dan pinggiran rell kereta api.
Pertambahan jumlah penduduk juga telah
menyebabkan manusia untuk berusaha bertahan hidup dengan segala upaya. Setiap
orang demi kebutuhan hidupnya harus menggunakan persediaan sumber daya alam
yang ada. Banyak yang dulunya adalah hutan tropis kemudian di gantikan menjadi
lingkungan perkotaan, pemukiman, lokasi industri dan tempat rekreasi.
Segelintir orang mungkin menerima perubahan ini karena memberikan keuntungan
baginya, namun banyak juga karena pengalih fungsian lahan tersebut merasa
dirugikan.
Perambahan hutan untuk membuka lahan baru
dalam pertanian atau mungkin saja hanya untuk kayu bakar, telah menyebabkan
banyaknya terjadi longsor dan banjir dewasa ini. Disamping itu juga budaya
konsumerisme telah merasuki segenap jiwa manusia saat ini. Manusia tidak pernah
puas akan apa yang sudah dimilikinya. Dengan demikian banyak pemilik modal
ataupun para pejabat saat ini yang melakukan penggundulan hutan secara
besar-besaran untuk keuntungan pribadi saja. Perhatian utamanya adalah hidup
hari ini dan memerlukan kebutuhan masa depan. Tidak jarang lagi orang-orang
kaya di negeri ini bangga untuk mengoleksi berbagai jenis mobil mewah di
garasinya. Dan apabila ditanya kegunaan mobil tersebut, dengan santainya mereka
akan menjawab ini hanya sekedar hobi, tanpa memikirkan energi yang akan habis
untuk keperluan hobinya tersebut. Kalau seluruh penduduk bumi ingin hidup
makmur, ada dua pilihan yang sama-sama tidak mungkin terjadi yaitu mengurangi
jumlah penduduk global 87,5 % atau menemukan delapan bumi baru.
d.
Pembangunan
Pembangunan yang keliru dapat dikatakan
merupakan penyebab pertama terjadinya krisis ekologi. Hal ini terjadi karena
pembangunan selalu membutuhkan energi yang sangat besar, misalnya pembangunan
industri dan pembangunan infrastruktur. Setiap negara akan merasa bangga
apabila negaranya dikatakan negara industri, kotanya dihiasi bangunan-bangunan
pencakar langit dan jumlah militernya cukup banyak. Tanpa memikirkan sumber
daya alam yang akan habis oleh pembangunan tersebut. Industri sangat
membutuhkan bahan mentah dan bahan bakar yang banyak, demikian juga
bangunan-bangunan besar sangat membutuhkan energi listrik, dan juga militer
sangat membutuhkan alokasi dana yang cukup besar. Hal tersebut secara nyata
telah menyebabkan berkurangnya sumber daya alam yang ada, sehingga perlu ada
suatu sikap untuk yang konkrit untuk menanggulangi kelestarian lingkungan.
Industri-industri
besar akan banyak menghasilkan limbah industri yang menyebabkan tanah akan
keracunan, polusi udara bahkan polusi suara. Demikian juga bertambahnya jumlah
penduduk akan menyebabkan bertambahnya limbah rumah tangga, berupa sampah
organik dan sampah anorganik. Pembangunan dapat direncanakan untuk mengambil
manfaat lingkungan yang sebaik-baiknya. Pembangunan harus dilakukan dengan
terlebih dahulu memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan
lingkungan tersebut. Metode perencanaan pengelolaan lingkungan yang demikian
disebut analisis dampak lingkungan (ADL). Dengan demikian pemerintah harus
tegas untuk menerapkan solusi penanggulangan limbah, baik itu limbah industri
maupun limbah rumah tangga. Jika tidak demikian kebijakan pembangunan
pemerintah ini bukan lagi demi kemakmuran masyarakat melainkan akan
mengakibatkan kehancuran hidup masyarakat.
IV.
Sikap Gereja dalam Menyikapi Krisis
Ekologis: Memihak atau Menolak
a.
Gereja Ikut Bersalah Menyebabkan Krisis
Ekologi
Sejarah zending di Indonesia, umumnya
mencatat adanya suatu sikap bermusuhan dengan alam lingkungan. Hal ini
didasarkan pada prinsip zending bahwa semua bentuk penyembahan agama suku serta
media dan fasilitasnya (hutan, pohon dan air) adalah kafir, bertentangan dengan
Allah maka harus dimusnahkan. Disini dimulailah proses desakralisasi alam oleh
Gereja, yang membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup. Untuk memperkenalkan kuasa Kristus yang
melampaui kuasa di dunia ini, di demostrasikan dengan menebang pohon besar yang
diyakini masyarakat tradisional memiliki penghuni dan di anggap angker.
Masalahnya, pohon menjadi korban sementara setan terus gentayangan. Hal ini
mungkin juga dapat kita temukan dalam sejarah zending di tanah Batak dimana
pada awalnya segala bentuk penyembahan berhala di musnahkan dan dianggap kafir
oleh para Missionaris. Sehingga tidak jarang pargodungan di bangun
ditempat-tempat yang dulu di anggap angker (Misalnya, bona ni hariara). Hal ini mungkin menunjukkan sikap yang arogan dari
Gereja tanpa memikirkan dampaknya di masa mendatang.
Namun, pada saat sekarang ini mungkin kita
tidak lagi pernah melihat Gereja membakar atau memusnahkan barang-barang yang
dianggap kafir. Tetapi walaupun demikian sikap Gereja dari dulu sampai sekarang
sepertinya tidak berbeda jauh. Gereja hanya memikirkan kepentinganya sendiri
tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya.
Saat ini Gereja hanya selalu berpikir untuk
membangun gedung yang megah dilengkapi fasilitas yang serba lengkap. Tanpa
memikirkan berapa besar sumber daya yang akan terbuang begitu saja. Begitu juga
setiap gereja saat ini sudah ada kebiasaan mengcopy tata kebaktian dan warta
jemaat untuk dibagikan kepada warga jemaat. Pengurus Gereja tidak berpikir
bahwa untuk kertas yang digunakan setiap minggu itu sudah berapa batang pohon
yang akan ditebang dari hutan. Mungkin itu hanya persoalan sepeleh yang tidak
terpikirkan Gereja, namun akibatnya sudah sangat buruk bagi lingkungan.
Di masa lalu budaya suku termasuk budaya
religiusnya mempunyai pemahaman yang baik mengenai alam sebagai saudara bagi
manusia, bahkan kadang-kadang kita mendengar dari penduduk bahwa mereka
bersaudara dengan alam. Namun kesadaran itu telah hilang dengan berkembangnya
modernisasi, teknologi dan kepercayaan. Hutan lalu di anggap sebagai tempat roh
jahat atau binatang buas yang membahayakan manusia, oleh karena itu manusia
kemudian menebang hutan di sekitarnya supaya kelihatan tidak kumuh. Dan
akhirnya hutan menjadi berkurang tanpa tujuan dan alasan yang jelas bagi
manusia itu sendiri.
b.
Gereja Pro-Kehidupan
Panggilan Gereja dalam saat ini adalah membangun
kesadaran warga jemaat bahwa kelestarian dan kesinambungan alam bukanlah
sesuatu yang terjadi otomatis. Gereja harus mengingatkan warganya bahwa alam
adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikanya.
Gereja harus menanamkan kesadaran bahwa kesadaran ekologi merupakan akibat
langsung dari iman akan penciptaan, dan iman akan penciptaan merupakan akibat
langsung dari iman kepada Allah sebagai pencipta. Manusia harus menghormati
Sang Pencipta dengan menjaga kelestarian ciptaanNya, dan dengan demikian
keutuhan dan kelestarian ciptaan menjadi berkat bagi semua yang hidup.
Visi
agama-agama harus menekankan makna dan nilai kosmos bagi manusia. Manusia bukan
tuan atau penguasa dunia, melainkan manusia adalah penjaga kosmos. Dunia atau
kosmos merupakan ciptaan dan hadiah (anugerah) dari Allah bagi manusia. Manusia
harus menjaga keutuhan atau keharmonisan relasi antara pelbagai elemen dalam
dunia. Lingkungan hidup merupakan penyangga perikehidupan yang amat penting.
Oleh karena itu kita harus mempertahankan keberadaanya dalam keseimbangan yang
dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan usaha pemeliharaan keseimbangan
alam yang terus-menerus.
Dewasa
ini mungkin kita sudah mulai melihat adanya sikap gereja yang lebih baik dalam
menyikapi krisis ekologi. Gereja-gereja saat ini sudah mulai serius membahas
tentang krisis lingkungan hidup yang terjadi. Misalnya, dalam masalah
Indorayaon atau TPL (Toba Pulp Lestari), HKBP sudah tegas dengan sikapnya. J.
R. Hutauruk sewaktu menjabat Ephorus dengan tegas
mengatakan, apabila Indorayon memang terbukti merusak lingkungan dan kesehatan
sebaiknya harus ditutup. Dan apabila pihak Indorayon sudah melakukan penanganan
limbah yng benar dan tidak lagi merugikan masyarakat dan lingkungan, HKBP
mendukung supaya Indorayon tetap beroperasi. Bahkan salah satu Pendeta HKBP
(Miduk Sirait) harus mendekam di penjara karena bersama masyarakat menyuarakan
Indorayon harus ditutup karena merugikan bagi masyarakat sekitarnya dan merusak
lingkungan.
Disamping
sikap di atas memang sudah banyak kita lihat upaya-upaya Gereja untuk mengatasi
krisis ekologi, demikian juga halnya dengan persekutuan-persekutuan oikumenis
(JPIC: Justice Peace Integrity of
Creation). Dalam beberapa tahun terakhir ini kita melihat Gereja-gereja
sudah banyak membicarakan tentang teologi dan ekologi. Bahkan tidak jarang
gereja turun langsung untuk melakukan penghijauan di beberapa lokasi yang sudah
gundul. Namun, sikap demikian tidak akan berjalan optimal apabila hal itu tidak
dengan secepatnya di sosialisasikan dan di lakukan di kalangan jemaat itu
sendiri. Gereja saat ini terpanggil untuk pro kehidupan, dan lingkungan gereja
harus menjadi panutan penghijauan bagi jemaatnya.
Gereja
harus memainkan peranan dalam membangkitkan kesadaran ekologis masyarakat.
Kebijakan-kebijakan gereja sebaiknya jangan terlalu mementingkan waktu sesaat,
melainkan gereja harus menatap jauh ke masa depan. Orientasi Kristen yang
bersifat antroposentrik selama ini telah mengakibatkan munculnya pendekatan ke
alam yang bersifat instrumental, bukan lagi bersifat menghormati dan
memelihara. Oleh karena itu Gereja harus memainkan peranan yang konstruktif
dalam upaya merumuskan dan menilai ulang teologi agar lebih peka terhadap
masalah-masalah lingkungan. Dengan demikian akan muncul kesadaran dalam manusia
bahwa diantara dirinya dan lingkunganya terdapat hubungan yang sangat erat yang
tidak terpisahkan. Sehingga lama kelamaan perhatian akan krisis lingkungan
hidup bukan lagi urusan masing-masing negara atau Gereja, melainkan sudah
menjadi keprihatinan masyarakat dunia secara bersama.
V.
Kesimpulan
Krisis ekologi merupakan ancaman dunia
yang sangat mematikan. Gereja terpanggil menyuarakan suara nabiahnya dalam
menangani krisis tersebut, baik itu melalui pengajaran, khotbah maupun tindakan
konkrit. Melalui keikutsertaan gereja tersebut, diharapkan setiap orang
terutama warga Gereja akan sadar akan pentingnya hubungan alam dengan dan
dirinya sendiri. Krisis ekologi tidak akan dapat teratasi secara otomatis,
melainkan hal ini sangat membutuhkan kesadaran dan tanggung jawab seluruh
pihak. Setiap orang harus membudayakan hemat energi sesuai kebutuhan saja,
dengan demikian energi atau sumber daya alam akan terpelihara dengan baik.
Manusia harus mengikis sikap egoisme dan sikap konsumeristis, karena bumi ini
hanya cukup menyediakan kebutuhan semua orang namun tidak cukup menyediakan
untuk ketamakan manusia. Sehingga dengan pemahaman yang demikian keutuhan
ciptaan akan dapat kita pelihara dengan baik.
Kepustakaan
Buntaran, Freddy, Saudari
Bumi, Saudara Manusia, (Yogyakarta: Kanisius), 1996
Chang,
William, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius), 2001
Chapman, Audrey
R. dkk (ed), Bumi Yang Terdesak, (Bandung: Mizan Pustaka), 2000
DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Edisi Ketiga, 2002
Kristanto,
Philip, , Ekologi Industri,
(Yogyakarta:
Andi), 2004
Nainggolan,
Binsar, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari bagi
Warga Gereja, (Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP), 2007
Singgih,
Emanuel Gerit, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad
Ke 21, (Yogyakarta: Kanisius), 1997
Soemarwoto,
Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Djembatan), 2004
Susanta,
Gatot & Sutjahjo, Hari (Peny), Akankah Indonesia
Tenggelam Akibat Pemanasan Global, (Jakarta: Penebar Plus), 2007
Tinambunan, Victor, Gereja dan Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis
Multi Wajah, (Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP), 2006
Tule, Philipus
dan Djulei, Wilhelmus (ed), Agama-agama
Kerabat dalam Semesta, (Ende: Nusa Indah), 1994,
No comments:
Post a Comment