Tuesday, 31 January 2017

GEREJA MENYIKAPI KRISIS EKOLOGI



GEREJA MENYIKAPI KRISIS EKOLOGI

I.                Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja hanya menyisakan kenangan baik bagi umat manusia. Melainkan perkembangan itu juga banyak meninggalkan kenangan yang pahit bagi kelangsungan hidup manusia. Hampir setiap saat dalam pemberitaan media massa selalu ditampilkan kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah manusia baik itu banjir, kebakaran hutan, longsor, gempa dan lain-lain. Kerusakan dan bencana alam itu terjadi bukan hanya fenomena alam semata, melainkan juga karena kerakusan dan kecerobohan manusia.
Untuk menyikapi hal tersebut bukanlah semata-mata hanya tanggung jawab pemerintah atau hanya segelintir orang saja, melainkan setiap orang terpanggil untuk mengatasi masalah tersebut. Gereja juga sebagai wujud tubuh Kristus yang nyata dalam dunia ini terpanggil untuk ikut serta menyuarakan suara kenabiannya dalam menyikapi krisis ekologi tersebut. Melalui peran serta Gereja, sangat diharapkan adanya perubahan-perubahan yang nyata dalam masalah ekologi. Kalau kita hanya diam dan menunggu bukan tidak mungkin dunia saat ini telah diambang kehancuran. Saat ini belum ada kata terlambat untuk berbuat lebih banyak dalam menyikapi masalah ekologi.

Untuk menyikapi krisis lingkungan tersebut pada tanggal 3-14 Desember 2007 PBB telah melakukan konvensi perubahan iklim di Nusa Dua, Bali. Berkurangnya hutan di dunia ini dan bertambahnya kadar karbon dituding sebagai penyebab utama naiknya suhu permukaan bumi. Dan Indonesia dianggap sebagai salah satu yang bertanggung jawab atas menciutnya kapasitas paru-paru dunia, karena Indonesia merupakan negara yang laju kerusakan hutanya tercepat di dunia. Melalui konvensi tersebut Indonesia menyatakan bersedia mempertahankan fungsi hutannya sebagai paru-paru dunia apabila didukung oleh semua negara-negara lain di dunia ini.

Gereja juga harus bersifat bijaksana untuk menyelamatkan dunia ini, baik itu melalui pembinaan warga jemaat, khotbah maupun secara langsung menyuarakan apa yang menjadi tanggung jawab manusia di bumi yang diciptakan Allah. Manusia sering beranggapan bahwa alam ini diciptakan hanya untuk manusia, sehingga manusia berhak menguasai segalanya. Melalui peran serta Gereja sangat diharapkan setiap orang terlebih warga jemaat akan sadar dari kerakusan mereka untuk menguasai dunia ini. Dengan demikian mereka akan menyadari panggilan dan tanggung jawabnya untuk memelihara dan menggunakan alam sesuai kebutuhan mereka.
Untuk mempermudah pembahasan sajian ini, maka penyaji membuat sistematika penulisan sebagai berikut:

II.              Dasar Teologis Keutuhan ciptaan
Allah menciptakan dunia ini dengan segala isinya, baik adanya (Kej. 1: 1). Semua diciptakan untuk memenuhi kebutuhan ciptaan yang lain. Artinya, semua ciptaan saling membutuhkan (ada mata rantai kehidupan yang tidak pernah putus). Keberadaan manusia sebagai Imago Dei  yang menerima mandat dari Allah (Kej. 1: 27-28), yaitu menguasai dan menaklukkan bukanlah hak istimewa, melainkan tanggung jawab yang sangat istimewa yang harus dipertanggung jawabkan. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah terpanggil untuk hidup seirama dengan Allah mengasihi dan memelihara ciptaanNya.
Kebaikan alam semesta dinyatakan Allah pada setiap langkah penciptaanNya, bukan hanya pada saat manusia diciptakan. Bukan Allah yang menyatakan segala sesuatu itu berguna untuk manusia, melainkan baik adanya, sebelum dan terlepas dari kehadiran manusia. Alam semesta turut menderita akibat dosa manusia (Kej. 3: 17; Terkutuklah tanah karena engkau). Sebaliknya kalau manusia diselamatkan dari dosanya, maka alam semesta turut sembuh dari luka-lukanya dan setiap mahluk akan berdamai satu dengan yang lain (Yes 11: 6-9). Oleh karena itu Kristologi perlu ditransformasikan dari sudut pandang penciptaan, dengan prinsip dasar alam semesta adalah baik dan Allah mau menyelamatkannya.
Manusia tidaklah superior atas segala ciptaan. Manusia berada bersama (disamping) ciptaan yang lain, di dalam solidaritas dengan ciptaan yang lain, meskipun tetap dalam perbedaan-perbedaan. Atas dasar solidaritas inilah manusia harus memandang semua ciptaan Allah secara integral (keutuhan ciptaan), sebagaimana diciptakan Allah sebagai suatu yang baik (Kej. 1: 10-12). Segala mahluk hidup berada dalam relasi saling bergantung dan saling memerlukan (ekosistem). Merusak keutuhan ciptaan ini, berarti memusnahkan semua hal yang mendukung hidup manusia itu sendiri. Maka disinilah panggilan kepada suatu pola hidup baru yang berdasar pada penatalayanan dan pengasihan, bukan penguasaan dan eksploitasi atas ciptaan yang lain (bnd. Maz 104).

Perwujudan suatu teologi keutuhan ciptaan adalah bagaimana membaca kisah-kisah penciptaan dalam Perjanjian Lama dalam konteks keprihatinan ekologis dewasa ini. Sehingga kita tidak hanya berbicara dalam kerangka suatu teologi secara antroposentrik (berpusat pada manusia) saja, melainkan harus berteologi secara kosmosentrilk (berpusatkan kepada kosmos), yang di dalamnya juga termasuk manusia. Harkat manusia bukanlah hanya meningkatkan nilai manusia agar berada di atas ciptaan lain, melainkan manusia harus mengikat harkat keseluruhan kehidupan termasuk kehidupan alam semesta.
Ketidakadilan terhadap lingkungan adalah juga akibat ketidakadilan dalam bermasyarakat. Ketidakadilan  terhadap lingkungan tidak dapat diatasi tanpa mengatasi ketidakadilan dalam hidup bermasyarakat. Ada hubungan timbal balik yang erat antara ketidakadilan dalam hidup bermasyarakat dan ketidakadilan terhadap lingkungan (bnd. Yer 29: 11-14). Keutuhan ciptaan akan dapat dicapai apabila terlebih dahulu sesama manusia itu saling menghargai dan tidak saling merugikan yang satu dengan yang lainya. Kemerosotan moral manusia dalam bermasyarakat merupakan penyebab utama kemerosotan mutu lingkungan hidup.

III.            Kerusakan Lingkungan sebagai Ancaman Kehidupan
a.     Efek Rumah Kaca
Matahari adalah sumber utama energi yang menerangi bumi. Sebagian besar energi yang menyinari bumi adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya yang tampak apabila mengenai permukaan bumi akan berubah dari cahaya menjadi panas dan akan menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan memantulkan kembali sebagian dari panas ini sebagi radiasi infra merah gelombang penjang ke angkasa luar walaupun sebagian tetap terperangkap di atmosfer bumi. Akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Fungsi dari gas-gas tersebut seperti kaca dalam rumah kaca, sehingga gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca. Semakin banyak panas yang terperangkap dibawahnya, berarti semakin meningkat konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer.
            Efek rumah kaca tidak merugikan apabila tidak berlebihan. Secara alami, efek rumah kaca sangat penting karena bumi menjadi cukup hangat sehingga mendukung hidup manusia. Tanpa efek rumah kaca, kehidupan manusia di muka bumi akan terganggu kerena suhu rata-rata bumi akan berkisar -20 0C. Efek rumah kaca sangatlah penting untuk menetapkan suhu yang layak bagi kehidupan di bumi. Kenaikan efek rumah kaca secara berlebihan disebabkan oleh pembakaran bahan bakar minyak (BBM), dan bahan bakar organik lainya untuk menunjang aktivitas manusia. Jika emisi gas rumah kaca tersebut terus meningkat maka akan terjadi perubahan iklim yang sangat drastis sepanjang sejarah bumi ini yang mungkin saat ini dikenal dengan sebutan pemanasan global (Global warming).
b.     Pemanasan Global (Global Warming)
Pemanasan global meningkat karena aktivitas manusia yang semakin berkembang. Sejak revolusi industri konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer semakin meningkat. Hal ini diakibatkan oleh pembakaran yang berasal dari bahan bakar fosil dan pembakaran sejumlah besar hutan-hutan. Pemanasan global diakibatkan oleh konsentrasi CO2 yang semakin tinggi sehingga mengakibatkan naiknya temperatur bumi antara 1,5 – 4,5 0C. Konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer mengharuskan pengurangan 60 % emisi CO2. kalau tidak, gunung-gunung es yang terdapat di kutub utara dan kutub selatan akan mencair. Kalau ini terjadi dataran-dataran bumi yang lebih rendah akan tenggelam.

Namun pemanasan global masih bisa di cegah atau paling tidak dibiarkan mengikuti siklus normalnya seperti sekarang. Caranya dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil serta mengurangi pemakaian gas rumah kaca lainya. Jika tidak manusia akan secara nyata menghancurkan kehidupanya sendiri. Kerusakan sistem cuaca di muka bumi ini juga dapat menyebabkan lahan-lahan akan semakin mengering dan tersebarnya penyakit mematikan. Diperkirakan apabila temperatur global masih meningkat sebesar 1,5 – 2,5 0C, paling tidak 30 % spesies tumbuhan dan hewan akan punah.

c.               Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk sangatlah mempengaruhi terjadinya krisi ekologi saat ini. Pengrusakan lingkungan hidup sangat berkaitan erat dengan kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Jumlah penduduk dunia kian hari kian bertambah banyak. Diperkirakan sumber daya alam tidak mencukupi memenuhi kebutuhan hidup lebih dari 6 milyar jiwa penduduk bumi. Penduduk beberapa kota besar di duni ini sekarang sudah mengkuatirkan ketersediaan air minum dan persediaan energi. Bukan saja hanya ketersediaan energi atau air minum yang menjadi perhatian serius saat ini di daerah perkotaan. Melainkan juga keterbatasan pangan dan lokasi pemukiman, sehingga saat ini di kota-kota besar seperti Jakarta banyak warga yang mendirikan rumah-rumah di pinggiran kali, di bawah jembatan dan pinggiran rell kereta api.

Pertambahan jumlah penduduk juga telah menyebabkan manusia untuk berusaha bertahan hidup dengan segala upaya. Setiap orang demi kebutuhan hidupnya harus menggunakan persediaan sumber daya alam yang ada. Banyak yang dulunya adalah hutan tropis kemudian di gantikan menjadi lingkungan perkotaan, pemukiman, lokasi industri dan tempat rekreasi. Segelintir orang mungkin menerima perubahan ini karena memberikan keuntungan baginya, namun banyak juga karena pengalih fungsian lahan tersebut merasa dirugikan.
Perambahan hutan untuk membuka lahan baru dalam pertanian atau mungkin saja hanya untuk kayu bakar, telah menyebabkan banyaknya terjadi longsor dan banjir dewasa ini. Disamping itu juga budaya konsumerisme telah merasuki segenap jiwa manusia saat ini. Manusia tidak pernah puas akan apa yang sudah dimilikinya. Dengan demikian banyak pemilik modal ataupun para pejabat saat ini yang melakukan penggundulan hutan secara besar-besaran untuk keuntungan pribadi saja. Perhatian utamanya adalah hidup hari ini dan memerlukan kebutuhan masa depan. Tidak jarang lagi orang-orang kaya di negeri ini bangga untuk mengoleksi berbagai jenis mobil mewah di garasinya. Dan apabila ditanya kegunaan mobil tersebut, dengan santainya mereka akan menjawab ini hanya sekedar hobi, tanpa memikirkan energi yang akan habis untuk keperluan hobinya tersebut. Kalau seluruh penduduk bumi ingin hidup makmur, ada dua pilihan yang sama-sama tidak mungkin terjadi yaitu mengurangi jumlah penduduk global 87,5 % atau menemukan delapan bumi baru.

d.     Pembangunan
Pembangunan yang keliru dapat dikatakan merupakan penyebab pertama terjadinya krisis ekologi. Hal ini terjadi karena pembangunan selalu membutuhkan energi yang sangat besar, misalnya pembangunan industri dan pembangunan infrastruktur. Setiap negara akan merasa bangga apabila negaranya dikatakan negara industri, kotanya dihiasi bangunan-bangunan pencakar langit dan jumlah militernya cukup banyak. Tanpa memikirkan sumber daya alam yang akan habis oleh pembangunan tersebut. Industri sangat membutuhkan bahan mentah dan bahan bakar yang banyak, demikian juga bangunan-bangunan besar sangat membutuhkan energi listrik, dan juga militer sangat membutuhkan alokasi dana yang cukup besar. Hal tersebut secara nyata telah menyebabkan berkurangnya sumber daya alam yang ada, sehingga perlu ada suatu sikap untuk yang konkrit untuk menanggulangi kelestarian lingkungan.
Industri-industri besar akan banyak menghasilkan limbah industri yang menyebabkan tanah akan keracunan, polusi udara bahkan polusi suara. Demikian juga bertambahnya jumlah penduduk akan menyebabkan bertambahnya limbah rumah tangga, berupa sampah organik dan sampah anorganik. Pembangunan dapat direncanakan untuk mengambil manfaat lingkungan yang sebaik-baiknya. Pembangunan harus dilakukan dengan terlebih dahulu memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan tersebut. Metode perencanaan pengelolaan lingkungan yang demikian disebut analisis dampak lingkungan (ADL). Dengan demikian pemerintah harus tegas untuk menerapkan solusi penanggulangan limbah, baik itu limbah industri maupun limbah rumah tangga. Jika tidak demikian kebijakan pembangunan pemerintah ini bukan lagi demi kemakmuran masyarakat melainkan akan mengakibatkan kehancuran hidup masyarakat.

IV.            Sikap Gereja dalam Menyikapi Krisis Ekologis: Memihak atau Menolak
a.     Gereja Ikut Bersalah Menyebabkan Krisis Ekologi
Sejarah zending di Indonesia, umumnya mencatat adanya suatu sikap bermusuhan dengan alam lingkungan. Hal ini didasarkan pada prinsip zending bahwa semua bentuk penyembahan agama suku serta media dan fasilitasnya (hutan, pohon dan air) adalah kafir, bertentangan dengan Allah maka harus dimusnahkan. Disini dimulailah proses desakralisasi alam oleh Gereja, yang membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup.      Untuk memperkenalkan kuasa Kristus yang melampaui kuasa di dunia ini, di demostrasikan dengan menebang pohon besar yang diyakini masyarakat tradisional memiliki penghuni dan di anggap angker. Masalahnya, pohon menjadi korban sementara setan terus gentayangan. Hal ini mungkin juga dapat kita temukan dalam sejarah zending di tanah Batak dimana pada awalnya segala bentuk penyembahan berhala di musnahkan dan dianggap kafir oleh para Missionaris. Sehingga tidak jarang pargodungan di bangun ditempat-tempat yang dulu di anggap angker (Misalnya, bona ni hariara). Hal ini mungkin menunjukkan sikap yang arogan dari Gereja tanpa memikirkan dampaknya di masa mendatang.
Namun, pada saat sekarang ini mungkin kita tidak lagi pernah melihat Gereja membakar atau memusnahkan barang-barang yang dianggap kafir. Tetapi walaupun demikian sikap Gereja dari dulu sampai sekarang sepertinya tidak berbeda jauh. Gereja hanya memikirkan kepentinganya sendiri tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya.

 Saat ini Gereja hanya selalu berpikir untuk membangun gedung yang megah dilengkapi fasilitas yang serba lengkap. Tanpa memikirkan berapa besar sumber daya yang akan terbuang begitu saja. Begitu juga setiap gereja saat ini sudah ada kebiasaan mengcopy tata kebaktian dan warta jemaat untuk dibagikan kepada warga jemaat. Pengurus Gereja tidak berpikir bahwa untuk kertas yang digunakan setiap minggu itu sudah berapa batang pohon yang akan ditebang dari hutan. Mungkin itu hanya persoalan sepeleh yang tidak terpikirkan Gereja, namun akibatnya sudah sangat buruk bagi lingkungan.

Di masa lalu budaya suku termasuk budaya religiusnya mempunyai pemahaman yang baik mengenai alam sebagai saudara bagi manusia, bahkan kadang-kadang kita mendengar dari penduduk bahwa mereka bersaudara dengan alam. Namun kesadaran itu telah hilang dengan berkembangnya modernisasi, teknologi dan kepercayaan. Hutan lalu di anggap sebagai tempat roh jahat atau binatang buas yang membahayakan manusia, oleh karena itu manusia kemudian menebang hutan di sekitarnya supaya kelihatan tidak kumuh. Dan akhirnya hutan menjadi berkurang tanpa tujuan dan alasan yang jelas bagi manusia itu sendiri.

b.     Gereja Pro-Kehidupan
            Panggilan Gereja dalam saat ini adalah membangun kesadaran warga jemaat bahwa kelestarian dan kesinambungan alam bukanlah sesuatu yang terjadi otomatis. Gereja harus mengingatkan warganya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikanya. Gereja harus menanamkan kesadaran bahwa kesadaran ekologi merupakan akibat langsung dari iman akan penciptaan, dan iman akan penciptaan merupakan akibat langsung dari iman kepada Allah sebagai pencipta. Manusia harus menghormati Sang Pencipta dengan menjaga kelestarian ciptaanNya, dan dengan demikian keutuhan dan kelestarian ciptaan menjadi berkat bagi semua yang hidup.
            Visi agama-agama harus menekankan makna dan nilai kosmos bagi manusia. Manusia bukan tuan atau penguasa dunia, melainkan manusia adalah penjaga kosmos. Dunia atau kosmos merupakan ciptaan dan hadiah (anugerah) dari Allah bagi manusia. Manusia harus menjaga keutuhan atau keharmonisan relasi antara pelbagai elemen dalam dunia. Lingkungan hidup merupakan penyangga perikehidupan yang amat penting. Oleh karena itu kita harus mempertahankan keberadaanya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan usaha pemeliharaan keseimbangan alam yang terus-menerus.
            Dewasa ini mungkin kita sudah mulai melihat adanya sikap gereja yang lebih baik dalam menyikapi krisis ekologi. Gereja-gereja saat ini sudah mulai serius membahas tentang krisis lingkungan hidup yang terjadi. Misalnya, dalam masalah Indorayaon atau TPL (Toba Pulp Lestari), HKBP sudah tegas dengan sikapnya. J. R. Hutauruk sewaktu menjabat Ephorus dengan tegas mengatakan, apabila Indorayon memang terbukti merusak lingkungan dan kesehatan sebaiknya harus ditutup. Dan apabila pihak Indorayon sudah melakukan penanganan limbah yng benar dan tidak lagi merugikan masyarakat dan lingkungan, HKBP mendukung supaya Indorayon tetap beroperasi. Bahkan salah satu Pendeta HKBP (Miduk Sirait) harus mendekam di penjara karena bersama masyarakat menyuarakan Indorayon harus ditutup karena merugikan bagi masyarakat sekitarnya dan merusak lingkungan.
            Disamping sikap di atas memang sudah banyak kita lihat upaya-upaya Gereja untuk mengatasi krisis ekologi, demikian juga halnya dengan persekutuan-persekutuan oikumenis (JPIC: Justice Peace Integrity of Creation). Dalam beberapa tahun terakhir ini kita melihat Gereja-gereja sudah banyak membicarakan tentang teologi dan ekologi. Bahkan tidak jarang gereja turun langsung untuk melakukan penghijauan di beberapa lokasi yang sudah gundul. Namun, sikap demikian tidak akan berjalan optimal apabila hal itu tidak dengan secepatnya di sosialisasikan dan di lakukan di kalangan jemaat itu sendiri. Gereja saat ini terpanggil untuk pro kehidupan, dan lingkungan gereja harus menjadi panutan penghijauan bagi jemaatnya.
            Gereja harus memainkan peranan dalam membangkitkan kesadaran ekologis masyarakat. Kebijakan-kebijakan gereja sebaiknya jangan terlalu mementingkan waktu sesaat, melainkan gereja harus menatap jauh ke masa depan. Orientasi Kristen yang bersifat antroposentrik selama ini telah mengakibatkan munculnya pendekatan ke alam yang bersifat instrumental, bukan lagi bersifat menghormati dan memelihara. Oleh karena itu Gereja harus memainkan peranan yang konstruktif dalam upaya merumuskan dan menilai ulang teologi agar lebih peka terhadap masalah-masalah lingkungan. Dengan demikian akan muncul kesadaran dalam manusia bahwa diantara dirinya dan lingkunganya terdapat hubungan yang sangat erat yang tidak terpisahkan. Sehingga lama kelamaan perhatian akan krisis lingkungan hidup bukan lagi urusan masing-masing negara atau Gereja, melainkan sudah menjadi keprihatinan masyarakat dunia secara bersama.

V.              Kesimpulan
Krisis ekologi merupakan ancaman dunia yang sangat mematikan. Gereja terpanggil menyuarakan suara nabiahnya dalam menangani krisis tersebut, baik itu melalui pengajaran, khotbah maupun tindakan konkrit. Melalui keikutsertaan gereja tersebut, diharapkan setiap orang terutama warga Gereja akan sadar akan pentingnya hubungan alam dengan dan dirinya sendiri. Krisis ekologi tidak akan dapat teratasi secara otomatis, melainkan hal ini sangat membutuhkan kesadaran dan tanggung jawab seluruh pihak. Setiap orang harus membudayakan hemat energi sesuai kebutuhan saja, dengan demikian energi atau sumber daya alam akan terpelihara dengan baik. Manusia harus mengikis sikap egoisme dan sikap konsumeristis, karena bumi ini hanya cukup menyediakan kebutuhan semua orang namun tidak cukup menyediakan untuk ketamakan manusia. Sehingga dengan pemahaman yang demikian keutuhan ciptaan akan dapat kita pelihara dengan baik.




















Kepustakaan
Buntaran, Freddy,  Saudari Bumi, Saudara Manusia, (Yogyakarta: Kanisius), 1996
Chang, William, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius), 2001
Chapman, Audrey R. dkk (ed),  Bumi Yang Terdesak, (Bandung: Mizan Pustaka), 2000   
DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Edisi Ketiga, 2002
Kristanto, Philip, , Ekologi Industri, (Yogyakarta: Andi), 2004
Nainggolan, Binsar, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari bagi Warga Gereja, (Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP), 2007
Singgih, Emanuel Gerit, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad Ke 21, (Yogyakarta: Kanisius), 1997
Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Djembatan), 2004
Susanta, Gatot & Sutjahjo, Hari (Peny), Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global, (Jakarta: Penebar Plus), 2007
Tinambunan, Victor, Gereja dan Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis Multi Wajah, (Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP), 2006
Tule, Philipus dan Djulei, Wilhelmus (ed), Agama-agama Kerabat dalam Semesta, (Ende: Nusa Indah), 1994,


No comments:

Post a Comment