AJARAN KEKRISTENAN TENTANG
KESELAMATAN
DAN KEMAJEMUKAN AGAMA
PENDAHULUAN
Pada akhir-akhir ini di Negara kita
Indonesia, tindakan kekerasan atas nama agama semakin marak terjadi. Peristiwa
di Tolikara Papua, pembakaran dan pembongkaran Gereja di Aceh Singkil dan Jambi
serta aksi di Bitung Sulawesi Utara tindakan protes demonstran menolak
pendirian rumah ibadah dan juga masih banyak lagi kasus-kasus interfaith yang belum tuntas dibicarakan
dalam tataran dunia global itu sendiri. Terkhusus Negara kita Indonesia yang
sejak dahulu dikenal Negara yang menjunjung tinggi nilai keberagamanan,
tentunya ini menjadi menjadi peristiwa memilukan bagi negara kita akan situasi
dalam memahami multi kultural keberagaman sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa
atas kehidupan kepada kita. Pada pembahasan ini, Penulis akan memaparkan
bagaimana ajaran kekristenan tentang memahami keselamatan dan kemajemukan dalam
agama itu sendiri.
Pemahaman
Agama[1]
Krisis ini sangat dasyat karena
mengganggu ketentraman hidup seluruh manusia yang didalamnya kekerasan seperti
terorisme. Agama sering dipakai untuk menjadi skenario kekerasan. Misalnya,
karena orang al-Qaedah adalah orang Islam, maka mereka dikaitkan dengan
terorisme. Hal ini tentunya mengganggu peradapan manusia masa kini.
Pertanyaan kritis yang bisa tanyakan
adalah Siapakah yang pantas disalahkan: agama
atau manusia yang beragama? Pertanyaan ini sah saja karena sulit
membedakan antara agama semata-mata dan orang yang memeluknya?. Mengutip teolog
Karl Bart tentang agama adalah hasil
pemikiran, dengan dengan demikian buatan manusia. Dengan agamanya, manusia mendekatkan
diri pada Allah, dan hendaknya jugalah menyenangkan Allah sedikit banyak
terpaksa menyenangkan manusia yang religious yang begitu sibuk itu. Yang
penulis pahami adalah bilamana agama ikut bertanggungjawab atas kekacauan
sekarang ini, maka manusia bertanggungjawab juga, bukan Allah.
Karl Barth dalam pandangannya tentang Agama
juga menekankan Agama adalah buatan manusia.
Allah ingin berkomunikasi dengan manusia, karena itu sebenarnya tema
suatu agama adalah percakapan antara Allah dan manusia. Allah bukan Allah yang
monologis, melainkan yang dialogis, yang mau bercakap dengan makhluknya secara
bermakna. Agama yang sebenarnya adalah proses komuniksi yang hidup antara
manusia. Agama itu ibarat rekaman dari sisi manusia, semacam protokol yang dipertanggungjawabkan
oleh manusia, bukan Allah.
Alkitab
Sebagai Cermin Keselamatan[2]
Alkitab memperlihatkan kepada kita umat
manusia, bahwa baik Kristen maupun orang dari kepercayaan lain adalah manusia
juga. Maka wawasan Alkitab untuk manusia, baik perseorangan maupun keluarga
atau masyarakat, adalah juga wawasan untuk kita dan untuk dunia masa kini.
Sebagai contoh, kita telah melihat
bagaimana orang dari masa Alkitab cenderung menghubungkan para allah mereka
dengan raja, tempat dan orang; bagaimana Perjanjian Lama dan Baru secara
radikal menantang ide ini. Terkadang orang Kristen di Barat berpikir bahwa
Islam aneh sebab mengkaitkan politik dan agama, atau bahwa kepercayaan Sikh
aneh sebab hampir seluruh penganutnya orang Punjab[3].
Studi kita memperlihatkan bahwa justru Kekristenan yang aneh, sebab ia
menantang kaitan politis dan merangkul semua orang. Ini harus membuat kita
bertanya bagaimana kita memperhitungkan hubungan kepercayaan orang kuasa dalam
misi kita, dan relasi-relasi sosial serta politis kita.
Sukar mencocokkan keseluruhan
kepercayaan ke dalam satu kategori tertentu. Kenyataannya ialah kepercayaan
mana pun diterima dan dipraktikan dalam cara-cara berbeda oleh orang yang
berbeda. Sama seperti agama Kanaan berubah bersama waktu, agama masa kini pun
terus berubah. Menurut Penulis mustahil menemukan satu tempat dalam
Alkitab yang memperhatikan kepercayaan
tertentu mana pun secara keseluruhan, apalagi yang memperlihatkan bagaimana
harus memperlakukan semua orang bukan Kristen. Juga tidak mungkin mengganggap
satu kelompok tertentu dari masa Alkitab melalui kelompok mana pun masa kini.
Contoh melihat muslim dan islam dalam
Alkitab. Sebagian akan melihat ke Syariah, hukum Islam, dan berkata bahwa Islam
legalistik, karena itu kita dapat melihat Muslim dalam catatan Injil-injil
tentang orang Farisi. Yang lain akan melihat pada kelompok-kelompok Muslim
militant, dan berkata bahwa Islam bersifat politis, sehingga kita dapat melihat
Islam dalam kisah penakklukan Israel oleh Asyur dan Babel. Namun ini bukan
keseluruhan kisah. Ada Muslim yang dengan tulus mencari Allah mereka
sembahyang, berpuasa, memberi sedekah
kepada yang miskin, dan siap menanti Allah kapan saja. Kita dapat melihat
mereka dalam diri Kornelius, yang doanya didengar Allah dan yang kepadanya
Petrus diutus. Yang menarik adalah rintangan bukan datang dari Kornelius tetapi
dari Petrus. Pengertian Petrus tentang kekudusan menyebabkan ia tidak bersedia
mengunjungi rumah Kornelius; dan ia sangat kaget bahwa Allah bersedia
memberikan Roh Kudus kepada orang bukan Yahudi. Disi mudah kita lihat
kesejajaran: ada banyak tempat di mana orang Kristen enggan mengunjungi orang
Muslim, dan ada banyak orang Kristen meragukan bahwa Muslim dapat beriman
kepada Yesus Kristus.
Barangkali hal terdekat dengan Islam
dalam Alkitab ialah agama Yahudi di zaman Yesus. Hal ini tidak mengherankan,
sebab Islam tumbuh dari akar-akar Yahudi dan Kristen. Kita dapat melihat
beberapa hal berikut dalam Islam:
1.
Kaitan erat antara hukum agamawi dan
kebudayaan
2.
Monoteisme kaku yang menyebabkan
inkarnasi semacam hujatan
3.
Ide-ide kuat tentang apa yang dibolehkan
dan tidak dibolehkan
4.
Kaitan antara agama, manusia dan
politik. Islam, seperti halnya Yudaisme pada abad pertama, dikaitkan dengan
komunitas,
5.
Keragaman, seperti Yahudaisme abad pertama,
sikap Islam terhadap komunitas-mounitas dari kebudayaan dan kepercayaan lain
beragam adanya.
Untuk banyak orang Kristen di seluruh
dunia, pertanyaan paling mendesak tentang orang dari kepercayaan lain ialah
apakah kita dapat hidup dalam damai. Perjanjian Baru memberi tahu kita bahwa
politik tidak boleh didahulukan–Yesus memburaikan kaitan antara raja, orang,
dan allah, dan kerajaanNya bukan dari dunia ini. Namun kita ada di dalam dunia
ini, dan kita hidup dalam komunitas manusia.
Alkitab menyatakan dan memerlihatkan
sosiopolitis pada banyak situasi, dan disitu kita menemukan sesuatu dari
situasi kita.
-
Ada masa ketika umat Allah berada di
bawah tekanan. Mereka tertindas itu ialah minoritas di Mesir di Keluaran 1-15,
dan di Persia dan Kitab Ester.
-
Ada masa ketika umat Allah aman, bahkan
berkuasa. Yosua dan Hakim-hakim memperlihatkan sekelompok suku yang mendapatkan
tanah dan jati diri.
Alkitab
menawarkan wawasan tentang bagaimana kita dapat bereaksi dalam situasi yang
berbeda, dan tentang apa yang Allah yang inginkan dari kita dan bagimana Ia
akan bertindak bagi kita.
Dalam 1 Petrus 2:9 kita melihat para
pengikut Kristus harus menjadi bangsa yang kudus dan imamat yang rajani; mereka
harus hidup sedemikian rupa agar orang kafir melihat kehidupan mereka yang baik
dan memuliakan Allah (Bab 12). Perjanjian Baru menjelaskan bahwa orang Kristen
harus berbagi kabar baik tentang Yesus Kristus dengan setiap orang yang telah
Allah ciptakan, dan itu termasuk orang dari semua kepercayaan dan yang tidak
beragama.
Seperti Petrus dipanggil untuk
mewartakan Injil kepada orang Yahudi, maka sebagian kita dipanggil untuk
mewartakan Injil kepada orang yang telah mengetahui sebagian dari kisah
Alkitab.
Di Yerusalem Petrus menyampaikan khotbah
yang sangat efektif sesudah satu peristiwa penyembuhan (Kis.3). Dengan
hati-hati ia mengingatkan para pendengarnya tentang apa yang mereka sudah
ketahui, lalu memimpin mereka ke sang Mesias yang telah lama dinanti-nanti.
Masa kini kita sering berbicara kepada
orang yang telah tahu sesuatu tentang kisah Alkitab. Apakah yang telah
diketahui oleh para pendengar Petrus tentang Allah dan tentang Yesus? Pikiran
tentang terakhir kali Anda berbagi Injil dengan seseorang. Apa yang mereka
telah tahu menurut pengandaian Anda?
Kitab Injil memperlihatkan kita
bagaimana Yesus berurusan dengan segala jenis orang, dari perseorangan dengan
berbagai kebutuhan sampai para pemimpin yang bermusuhan. Maka catatan ini
memberi kita sumber yang kaya bagi misi dalam tempat-tempat di mana kita
melihat aspek-aspek agama yang sama. Keseluruhan metode Allah mengusulkan
sebuah strategi untuk misi: pertama, menemukan seorang kunci dan menumbuhan ia
dalam imannya kepada Kristus; kemudian, membangun keluarga-keluarga yang
menghidupi kehidupan Kristen, lalu menumbuhkan komunitas-komunitas yang dapat
memperlihatkan kepada orang lain seperti apa Allah sesungguhnya. Sebagimana
contoh Abraham mengusulkan sebuah pola untuk memanggil orang dari kepercayaan
lain untuk mengikuti Kristus. Dalam sejarah Israel enggan untuk membagi berkat
bagi bangsa-bangsa lain , seperti halnya Petrus dan Yunus cepat belajar, dan
bergembira melihat kemurahan hati Allah yang universal. Sebagai contoh tentang
kehidupan Hindu di Inggris, haruskah orang Hindu diizinkan membangun kuil di
Inggris? Sebagian mengatakan, Ya, Alkitab berkata kita harus mengasihi orang pendatang dan memperlakukan orang lain
seperti kita ingin diperlakukan. Mereka adalah penduduk Inggris. Mereka harus
memiliki kebebasan mempraktekan agama mereka, bahkan meski itu tidak benar.
Bukankah kita ingin bebas mendirikan gereja di India?. Lihat kisah Elia dan
para nabi baal! Penyembahan Hindu adalah penyembahan berhala, dan kita tidak
boleh mendorong penyembahan tidak benar di dalam satu Negara Kristen.
Jika orang Hindu itu adalah warga Inggris
yang menginginkan kebebasan untuk mempraktekan kepercayaan mereka, bagian kunci
Alkitab boleh jadi adalah perlakuan adil kepada kaum minoritas. Di ekstrim
lain, jika orang Hindu memberi dana asing dan mendeklarasikan keunggulan Hindu,
prinsip kunci Alkitab adalah menyaksikan Ketuhanan Kristus.
Ajaran Alkitab Tentang
Keselamatan[4]
Pembicaraan tentang keselamatan yang
universal sesuatu yang amat sensitive bagi orang Kristen di Indonesia dalam
percakapan yang berkaitan dengan kemajemukan agama-agama. Setiap kali ada usaha
untuk memperluas wawasan umat kristiani kearah apresiasi terhadap agama lain,
setiap kali pula ada reaksi yang menyesalkan apresiasi ini sebagai sesuatu yang
mengurangi nilai keselamatan yang ada pada Yesus Kristus. Bahkan, apabila dapat
diperlihatkan bahwa sepanjang sejarah penghayatan iman yang berlangsung dari
zaman Alkitab, sekalipun ada proses apresiasi dan pengambilahlian dari agama
lain, hal ini juga dianggap sebagai sesuatu yang merugikan jati diri agama
Kristen sendiri. Cara berpikirnya sederhana saja: kalau yang lain itu
diapresiasikan berarti ada yang baik pada yang lain itu. Jadi, kalau ada pada
yang yang lain, untuk apa kita menjadi kristiani, untuk apa kita menerima
keselamatan dari Kristus?
Cara berpikir seperti ini “ orang percaya”
sangat dipertentangkan dengan manusia-manusia yang lain. Atau dengan kata lain,
dipertentangkan dengan manusia-manusia lain. Atau dengan kata lain,
dipertentangkan dengan anyk orang. orang percaya adalah orang yang selamat,
sedangkan orang banyak adalah yang tidak/belum selamat. Bisa dikatakan bahwa
dasar itu diambil dari Yohanes 3:16, “Allah mengasihi dunia ini, oleh karena
itu PutraNya yang tunggal dikaruniakanNya kepada dunia, supaya setiap orang
yang percaya kepadaNya mendapatkan keselamatan. Tekanannya ada pada setiap
orang percaya. Jadi, percaya dulu, baru selamat.”
Di dalam Perjanjian Baru tidak ada
universalisme begitu saja. Oleh karena itu, adalah patut memperhatikan ungkapan
setiap orang percaya dalam ayat ini. Bagian pertama dari ayat 16 mulai dengan
mengemukakan kasih Allah yang besar kepada dunia ini, sehingga ia rela
mengaruniakan anakNya, sedangkan ayat 17 mengemukakan bahwa anakNya diutus
bukan untuk menghakimi melainkan untuk menyelamatkan. Memang sulit untuk
menekankan bahwa tekanannya adalah mengenai pengasihan Allah kepada dunia.
Tetapi minimal yang dapat dikatakan mengenai konteks Yohanes 3:16 adalah bahwa
ada tekanan yang seimbang di antara kasih Allah dan keputusan yang harus
diambil oleh manusia, bukan tekanan yang menonjolkan orag harus percaya saja.
Akan halnya “orang banyak”, kita melihat
didalam Injil-injil, terutama Injil Markus, bahwa Yesus melayani orang-orang
banyak (ochlos) tanpa menekankan mengenai pemuridan mereka. Rupanya, Yesus
digambarkan melayani dua golongan, para murid dan orang banyak. Para murid
tidak dipertentangkan dengan orang banyak. Bahkan, dalam Injil Markus para
murid disebut degil.
Ketika Yesus berada saat terakhir dalam
menghadapi kesengsaraanNya, tidak ada seorangpun disampingNya. Orang banyak
sudah melarikan diri semua, begitu pula para murid! Kalau Yesus sendiri tidak
memberi batasan yang sangat jelas mengenai keberadaan murid dan keberadaan
orang banyak, perbuatan kita di masa kini yang malah menarik garis batas yang
jelas dan mempertentangkan antara keduanya yang merupakan segala sesuatu yang
gegabah dan riskan.
Idea mengenai sejarah keselamatan sudah
banyak ditanggalkan dalam teologi biblika. Namun, tetap benar dan sah, bahwa
pembicaraan mengenai keselamatan umat berhubungan erat dengan keselamatan dunia. Pada
bagian-bagian yang paling tajam menekankan pada umat, seperti kitab Wahyu, pada
akhirnya tetap ada perhatian pada dunia, sekalipun dunia itu adalah langit baru
dan bumi baru. Kalau kita kembali kepada pembahasan kita diatas, mengenai
penciptaan, kita akan menyadari bahwa penciptaan manusia dalam narasi Kejadian
pasal 1-11 disusul dengan pemanggilan Abraham dalam Kejadian 12. Pemanggilan
Abraham dalam Torah bermuara pada pemanggilan Musa dalam Keluaran pasal 3 dan
akhirnya pembebasan umat Israel dari Mesir dan kisah awal mengenai jati diri
Israel sebagai umat Allah. Jadi, dari universal garisnya menjadi agak sempit ke
garis partikular. Namun sebaliknya, dalam penghayatan umat mengenai keberadaan
umat Israel sesudah pembuangan dalam syair-syair Hamba Tuan, kita melihat garis
yang berlawanan arah dari garis partikular ke garis universal.
Dari pemahaman ini, sangat jelaslah
bahwa keselamatan dalam Alkitab tidak bisa diartikan hanya mutlak bersifat
partikularistik. Dalam Alkitab sendiri jelas, bahwa keselamatan juga mengandung
makna universalistik. Kalau tidak demikian, mana mungkin Injil menyebar ke
lingkungan yang lebih luas daripada kekristenan Yahudi yang membatasi
keselamatan dalam Kristus hanya pada
keyahudian saja? Paulus digambarkan menghantam pembatasan ini dalam seranganya
terhadap praktik sunat yang mau diterapkan oleh Kristen Yahudi terhadap Non-
Yahudi. Tetapi, oleh banyak orang Kristen sekarang ini cara berpikir orang
Kristen Yahudi itu mau diambil ali. Jadi, bukannya mengikuti Paulus, melainkan
mengikuti lawan-lawan Paulus! Oleh karena jasa Paulus, keselamatan terbuka bagi
orang-orang non Yahudi. Namun, oleh banyak orang Kristen sekarang, keselamatan
ditutup menjadi hak eksekutif dari kelompok Kristen saja. Kalau dulu orang
Kristen Yahudi berkata kepada dunia: engkau harus disunat dulu selamat,
sekarang banyak orang kristiani berkata kepada dunia: engkau harus percaya dulu
atau dibabtis dulu baru selamat. Praktik baptis dalam kenyataan telah mengganti
praktik sunat, padahal maksud Paulus bukan mengganti praktik sunat dengan
praktik babtis melainkan menghapus sunat! Itu berarti, babtisan tidak dapat
dianggap sejalan dengan sunat, atau dengan kata lain babtisan harus berfungsi
lain daripada sunat. Disini tidak ada maksud untuk merelatifkan keselamatan
dengan misalnya merumuskan bahwa Kristus menyelamatkan semua orang di semua
agama. Namun, dalam kehidupan Kristiani yang sehari-hari berkomunikasi dengan
masyarakat yang bersifat majemuk, pemahaman keselamatan yang bersifat
non-majemuk tidak mungkin dapat dipertahankan. Kita memiliki dasar Alkitab yang
kuat kalau kita berpindah dari pemahaman keselamatan yang eksklusif ke
pemahaman keselamatan yang inklusif.
Keselamatan di dalam Kristus menurut
iman kristiani pada dewasa ini tidak diartikan semata-mata hanya bersifat
spiritual, vertikal dan seberang sana. Semua golongan akan setuju, bahwa
keselamatan bersifat menyeluruh, holistik, meliputi rohani maupun jasmani,
vertikal maupun horizontal. Keselamatan diwartakan, dan sementara itu
mewartakan secara konkret juga melakukan tindakan-tindakan sosial. Tetapi,
hubungan langsung antara keselamatan dan tindakan sosial biasanya menjadi
masalah bagi umat kristiani.
Penutup
Alkitab menjadi dasar yang harus kita
tunjukan bahwasahnya memuaskan bagi usaha kerukunan dan dialog umat beragama.
Namun, pada akhirnya dasar teologis dalam memahaminya secara teologis berkaitan
dengan shalom yang biasa diartikan
damai. Shalom yang dihubungkan dengan
situasi dalam damai dalam dunia dan masyarakat namun berasal dari Allah.
[1]
Kutipan tulisan Prof. Dr. Olaf Schumann, Agama dan Budaya Global dari
Perspektif Teologis, hlm. 9-11.
[3] Provinsi Punjab atau Panjab
diucapkan (bantuan·info) (Punjabi/Urdu: پنجاب) di Pakistan adalah wilayah yang paling
banyak penduduknya di negara itu dan merupakan tempat asal suku Punjabi
dan berbagai kelompok lainnya. Daerah-daerah sekitarnya adalah Sindh di selatan, , Balochistan
dan North West
Frontier Province
di sebelah barat, Azad Kashmir
yang dikuasai Pakistan, Jammu dan
Kashmir yang
dikuasai India dan Islamabad di sebelah utara, serta Punjab India dan Rajasthan di sebelah timur. Bahasa-bahasa
utamanya adalah bahasa Punjabi,
bahasa Seraiki,
dan Urdu. Ibukota provinsinya adalah Lahore. Nama Punjab secara harafiah
diterjemahkan dari bahasa Persia
menjadi kata Panj (پنج), yang mempunyai akar yang sama dengan kata Pāñca
dalam bahasa Sanskerta,
yang berarti "lima", dan Āb (آب), yang berakar sama dengan
bahasa Sanskerta Āp,
yang berarti "air". Karenanya nama Punjab dapat diterjemahkan sebagai
"kelima air", atau negeri lima sungai, yang merujuk kepada Sungai Beas,
Ravi,
Sutlej,
Chenab
dan Jhelum.
Sebagian dari Indus juga terletak di Punjab, tetapi
tidak dianggap sebagai bagian dari "kelima" sungai.
[4]
TimBalitbang PGI, Merentas Jalan Teologi Agama, hlm. 117-120.
No comments:
Post a Comment