Hidup sebagai anak Allah
(1 Yohanes 3:1-10)
Saudara
terkasih, Di tengah pengaruh iklan
dan media yang menawarkan kenikmatan hidup, sulit bagi kita untuk melihat apa
yang sungguh penting dalam hidup ini. Kita pikir, kita perlu cantik, cerdas dan
kaya dalam hidup. Lalu, kita pun melihat tiga hal itu sebagai tujuan utama yang
harus diraih dalam hidup. Jika gagal, lalu kita merasa tak berguna. Apakah
kecerdasan, kecantikan dan kekayaan adalah tujuan tertinggi hidup manusia?
Inilah pertanyaan penting yang harus kita pikirkan bersama. Ada yang bilang,
Tuhan-lah yang menjadi tujuan hidup manusia. Bagi banyak orang, pendapat itu
terdengar terlalu abstrak, dan tidak banyak membantu di dalam kehidupan
sehari-hari.
Pada waktu surat Yohanes ditulis, banyak beredar
ajaran guru-guru palsu dari aliran Gnostik. Mereka mengajarkan bahwa
manusia yang sejati adalah roh, sedangkan apa yang terjadi pada tubuh jasmani
tidaklah penting. Tubuh ini pada dasarnya adalah jahat, karena itu tidak
ada salahnya kalau keinginannya dipuaskan. Mereka mengatakan, bisa saja
orang berbuat dosa dengan tubuhnya tanpa merugikan rohnya. Tentu saja,
ajaran tersebut sangat bertolak belakang dengan ajaran kekristenan.
Saudara yang terkasih dalam nama Yesus Kristus, lalu
apa yang menjadi tujuan hidup kita? Aristoteles memakai istilah Eudaimonia (kebahagiaan dan kepenuhan
hidup). Ia mengingatkan kepada kita, apa yang sungguh penting dalam hidup ini.
Bukanlah nama besar dan uang yang sungguh menjadi tujuan manusia, melainkan
kebahagiaan dan kepenuhan hidup. Tidak ada yang lain. Ini hanya dapat dicapai,
jika kita mengembangkan kemampuan khas kita, yakni akal budi, baik dalam bentuk
teori untuk memahami alam, maupun akal budi di dalam tindakan. Bentuk nyata
dari semua ini adalah keutamaan hidup yang diperoleh melalui jalan tengah,
yakni titik sikap hidup yang melampaui ekstrem-ekstrem yang ada. Orang tidak
boleh jatuh pada sikap-sikap keras dalam hidup, melainkan harus selalu
melampaui sikap-sikap tersebut. Ini hanya dicapai, jika orang dididik untuk menjadi
orang yang berkeutamaan. Teori tidak dapat membuat orang menjadi keutamaan,
melainkan pembiasaan sikap hidup. Orang yang terbiasa berbuat baik akan menjadi
orang yang baik. Ini akan mewarnai seluruh tindakan dan sikap hidupnya.
Lalu apa yang harus kita biasakan agar kita memiliki
kebahagiaan dan kepenuhan hidup sebagai tujuan hidup Kristen?
1. Bersyukur
Karena meskipun dunia tidak mengenal kita, tetapi
Allah Bapa kita mengenal siapa kita. (Ayat 1), Bersyukurlah karena Dia telah
menebus kita dari kuasa dosa (Ayat 5).
2.
Hidup suci
Menjadi
anak-anak Allah merupakan dorongan bagi orang percaya untuk hidup seperti
Yesus. Pergumulan dan persoalan hidup, seharusnya membuat kita bergantung
sepenuhnya kepada Yesus. Hal ini tentu semakin membentuk orang percaya menjadi
serupa dengan Yesus. Inilah hidup suci yaitu hidup yang tidak pernah lari dari
pergumulan dan persoalan hidup.
3.
Hidup yang berkenan bagi Allah
Di
dalam Yesus tidak ada dosa. Sehingga setiap orang yang percaya pada Yesus pun
demikian. Lebih tegas dikatakan dalam ayat 9 bahwa setiap orang yang lahir dari Allah tidak berbuat dosa. Ayat 8 dan 10 juga mengutarakan hal yang senada. Sebaliknya,
berbuat dosa menjadi bukti bahwa ia tidak berada dalam Yesus. Namun, bagi
anak-anak Allah kemungkinan untuk berbuat dosa dan tidak berbuat dosa sangat
terbuka. Sampai Yesus datang kedua kali, maka anak-anak Allah hidup di dalam
ketegangan di antara dua kemungkinan tersebut.
Fungsi asali
kita sebagai anak-anak Allah: tidak berbuat dosa lagi.
Inilah perjuangan kita bersama sebagai pribadi yang dikenal oleh Tuhan. Dia tahu bahwa kita bergumul dengan dosa-dosa kita, Dia tahu kita ada di “gudang pegadaian” … Bersyukurlah karena kita telah direbut kembali oleh Dia dan mengembalikan fungsi awal kita sebagai anak-anak ciptaan Tuhan yang diciptakan untuk kebaikan.
Inilah perjuangan kita bersama sebagai pribadi yang dikenal oleh Tuhan. Dia tahu bahwa kita bergumul dengan dosa-dosa kita, Dia tahu kita ada di “gudang pegadaian” … Bersyukurlah karena kita telah direbut kembali oleh Dia dan mengembalikan fungsi awal kita sebagai anak-anak ciptaan Tuhan yang diciptakan untuk kebaikan.
“Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam
Dia, tidak berbuat dosa lagi;
setiap orang yang tetap berbuat dosa tidak melihat dan mengenal Dia”
setiap orang yang tetap berbuat dosa tidak melihat dan mengenal Dia”
Pdt. Anry Krismanto Nababan, S.Th, M.Pdk