AJARAN KEKRISTENAN
TENTANG KESELAMATAN
DAN KEMAJEMUKAN AGAMA
PENDAHULUAN
Pada akhir-akhir
ini di Negara kita Indonesia, tindakan kekerasan atas nama agama semakin marak
terjadi. Peristiwa di Tolikara Papua, pembakaran dan pembongkaran Gereja di
Aceh Singkil dan Jambi serta aksi di Bitung Sulawesi Utara tindakan protes
demonstran menolak pendirian rumah ibadah dan juga masih banyak lagi
kasus-kasus interfaith yang belum
tuntas dibicarakan dalam tataran dunia global itu sendiri. Terkhusus Negara
kita Indonesia yang sejak dahulu dikenal Negara yang menjunjung tinggi nilai
keberagamanan, tentunya ini menjadi menjadi peristiwa memilukan bagi negara
kita akan situasi dalam memahami multi kultural keberagaman sebagai pemberian
Tuhan Yang Maha Esa atas kehidupan kepada kita. Pada pembahasan ini, Penulis
akan memaparkan bagaimana ajaran kekristenan tentang memahami keselamatan dan
kemajemukan dalam agama itu sendiri.
Krisis ini
sangat dasyat karena mengganggu ketentraman hidup seluruh manusia yang
didalamnya kekerasan seperti terorisme. Agama sering dipakai untuk menjadi skenario
kekerasan. Misalnya, karena orang al-Qaedah adalah orang Islam, maka mereka
dikaitkan dengan terorisme. Hal ini tentunya mengganggu peradapan manusia masa
kini.
Pertanyaan
kritis yang bisa tanyakan adalah Siapakah yang pantas disalahkan: agama atau manusia yang beragama? Pertanyaan ini
sah saja karena sulit membedakan antara agama semata-mata dan orang yang
memeluknya?. Mengutip teolog Karl Bart tentang agama adalah hasil pemikiran, dengan dengan demikian
buatan manusia. Dengan agamanya, manusia mendekatkan diri pada Allah, dan hendaknya
jugalah menyenangkan Allah sedikit banyak terpaksa menyenangkan manusia yang
religious yang begitu sibuk itu. Yang penulis pahami adalah bilamana agama
ikut bertanggungjawab atas kekacauan sekarang ini, maka manusia
bertanggungjawab juga, bukan Allah.
Karl Barth dalam
pandangannya tentang Agama juga menekankan Agama adalah buatan manusia. Allah ingin berkomunikasi dengan manusia,
karena itu sebenarnya tema suatu agama adalah percakapan antara Allah dan
manusia. Allah bukan Allah yang monologis, melainkan yang dialogis, yang mau
bercakap dengan makhluknya secara bermakna. Agama yang sebenarnya adalah proses
komuniksi yang hidup antara manusia. Agama itu ibarat rekaman dari sisi
manusia, semacam protokol yang dipertanggungjawabkan oleh manusia, bukan Allah.
Alkitab
Sebagai Cermin Keselamatan
Alkitab
memperlihatkan kepada kita umat manusia, bahwa baik Kristen maupun orang dari
kepercayaan lain adalah manusia juga. Maka wawasan Alkitab untuk manusia, baik perseorangan
maupun keluarga atau masyarakat, adalah juga wawasan untuk kita dan untuk dunia
masa kini.
Sebagai contoh,
kita telah melihat bagaimana orang dari masa Alkitab cenderung menghubungkan
para allah mereka dengan raja, tempat dan orang; bagaimana Perjanjian Lama dan
Baru secara radikal menantang ide ini. Terkadang orang Kristen di Barat
berpikir bahwa Islam aneh sebab mengkaitkan politik dan agama, atau bahwa
kepercayaan Sikh aneh sebab hampir seluruh penganutnya orang Punjab.
Studi kita memperlihatkan bahwa justru Kekristenan yang aneh, sebab ia
menantang kaitan politis dan merangkul semua orang. Ini harus membuat kita
bertanya bagaimana kita memperhitungkan hubungan kepercayaan orang kuasa dalam
misi kita, dan relasi-relasi sosial serta politis kita.
Sukar
mencocokkan keseluruhan kepercayaan ke dalam satu kategori tertentu.
Kenyataannya ialah kepercayaan mana pun diterima dan dipraktikan dalam
cara-cara berbeda oleh orang yang berbeda. Sama seperti agama Kanaan berubah
bersama waktu, agama masa kini pun terus berubah. Menurut Penulis mustahil
menemukan satu tempat dalam Alkitab yang
memperhatikan kepercayaan tertentu mana pun secara keseluruhan, apalagi yang
memperlihatkan bagaimana harus memperlakukan semua orang bukan Kristen. Juga
tidak mungkin mengganggap satu kelompok tertentu dari masa Alkitab melalui
kelompok mana pun masa kini.
Contoh melihat
muslim dan islam dalam Alkitab. Sebagian akan melihat ke Syariah, hukum Islam,
dan berkata bahwa Islam legalistik, karena itu kita dapat melihat Muslim dalam
catatan Injil-injil tentang orang Farisi. Yang lain akan melihat pada
kelompok-kelompok Muslim militant, dan berkata bahwa Islam bersifat politis,
sehingga kita dapat melihat Islam dalam kisah penakklukan Israel oleh Asyur dan
Babel. Namun ini bukan keseluruhan kisah. Ada Muslim yang dengan tulus mencari
Allah mereka sembahyang, berpuasa,
memberi sedekah kepada yang miskin, dan siap menanti Allah kapan saja. Kita
dapat melihat mereka dalam diri Kornelius, yang doanya didengar Allah dan yang
kepadanya Petrus diutus. Yang menarik adalah rintangan bukan datang dari
Kornelius tetapi dari Petrus. Pengertian Petrus tentang kekudusan menyebabkan
ia tidak bersedia mengunjungi rumah Kornelius; dan ia sangat kaget bahwa Allah
bersedia memberikan Roh Kudus kepada orang bukan Yahudi. Disi mudah kita lihat
kesejajaran: ada banyak tempat di mana orang Kristen enggan mengunjungi orang
Muslim, dan ada banyak orang Kristen meragukan bahwa Muslim dapat beriman
kepada Yesus Kristus.
Barangkali hal
terdekat dengan Islam dalam Alkitab ialah agama Yahudi di zaman Yesus. Hal ini
tidak mengherankan, sebab Islam tumbuh dari akar-akar Yahudi dan Kristen. Kita
dapat melihat beberapa hal berikut dalam Islam:
1. Kaitan
erat antara hukum agamawi dan kebudayaan
2. Monoteisme
kaku yang menyebabkan inkarnasi semacam hujatan
3. Ide-ide
kuat tentang apa yang dibolehkan dan tidak dibolehkan
4. Kaitan
antara agama, manusia dan politik. Islam, seperti halnya Yudaisme pada abad
pertama, dikaitkan dengan komunitas,
5. Keragaman,
seperti Yahudaisme abad pertama, sikap Islam terhadap komunitas-mounitas dari
kebudayaan dan kepercayaan lain beragam adanya.
Untuk banyak
orang Kristen di seluruh dunia, pertanyaan paling mendesak tentang orang dari
kepercayaan lain ialah apakah kita dapat hidup dalam damai. Perjanjian Baru
memberi tahu kita bahwa politik tidak boleh didahulukan–Yesus memburaikan
kaitan antara raja, orang, dan allah, dan kerajaanNya bukan dari dunia ini.
Namun kita ada di dalam dunia ini, dan kita hidup dalam komunitas manusia.
Alkitab
menyatakan dan memerlihatkan sosiopolitis pada banyak situasi, dan disitu kita
menemukan sesuatu dari situasi kita.
-
Ada masa ketika umat
Allah berada di bawah tekanan. Mereka tertindas itu ialah minoritas di Mesir di
Keluaran 1-15, dan di Persia dan Kitab Ester.
-
Ada masa ketika umat
Allah aman, bahkan berkuasa. Yosua dan Hakim-hakim memperlihatkan sekelompok
suku yang mendapatkan tanah dan jati diri.
Alkitab
menawarkan wawasan tentang bagaimana kita dapat bereaksi dalam situasi yang
berbeda, dan tentang apa yang Allah yang inginkan dari kita dan bagimana Ia
akan bertindak bagi kita.
Dalam 1 Petrus
2:9 kita melihat para pengikut Kristus harus menjadi bangsa yang kudus dan
imamat yang rajani; mereka harus hidup sedemikian rupa agar orang kafir melihat
kehidupan mereka yang baik dan memuliakan Allah (Bab 12). Perjanjian Baru
menjelaskan bahwa orang Kristen harus berbagi kabar baik tentang Yesus Kristus
dengan setiap orang yang telah Allah ciptakan, dan itu termasuk orang dari
semua kepercayaan dan yang tidak beragama.
Seperti Petrus
dipanggil untuk mewartakan Injil kepada orang Yahudi, maka sebagian kita
dipanggil untuk mewartakan Injil kepada orang yang telah mengetahui sebagian
dari kisah Alkitab.
Di Yerusalem
Petrus menyampaikan khotbah yang sangat efektif sesudah satu peristiwa
penyembuhan (Kis.3). Dengan hati-hati ia mengingatkan para pendengarnya tentang
apa yang mereka sudah ketahui, lalu memimpin mereka ke sang Mesias yang telah
lama dinanti-nanti.
Masa kini kita
sering berbicara kepada orang yang telah tahu sesuatu tentang kisah Alkitab.
Apakah yang telah diketahui oleh para pendengar Petrus tentang Allah dan
tentang Yesus? Pikiran tentang terakhir kali Anda berbagi Injil dengan
seseorang. Apa yang mereka telah tahu menurut pengandaian Anda?
Kitab Injil
memperlihatkan kita bagaimana Yesus berurusan dengan segala jenis orang, dari
perseorangan dengan berbagai kebutuhan sampai para pemimpin yang bermusuhan.
Maka catatan ini memberi kita sumber yang kaya bagi misi dalam tempat-tempat di
mana kita melihat aspek-aspek agama yang sama. Keseluruhan metode Allah
mengusulkan sebuah strategi untuk misi: pertama, menemukan seorang kunci dan
menumbuhan ia dalam imannya kepada Kristus; kemudian, membangun
keluarga-keluarga yang menghidupi kehidupan Kristen, lalu menumbuhkan komunitas-komunitas
yang dapat memperlihatkan kepada orang lain seperti apa Allah sesungguhnya.
Sebagimana contoh Abraham mengusulkan sebuah pola untuk memanggil orang dari
kepercayaan lain untuk mengikuti Kristus. Dalam sejarah Israel enggan untuk
membagi berkat bagi bangsa-bangsa lain , seperti halnya Petrus dan Yunus cepat
belajar, dan bergembira melihat kemurahan hati Allah yang universal. Sebagai
contoh tentang kehidupan Hindu di Inggris, haruskah orang Hindu diizinkan
membangun kuil di Inggris? Sebagian mengatakan, Ya, Alkitab berkata kita harus
mengasihi orang pendatang dan
memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Mereka adalah
penduduk Inggris. Mereka harus memiliki kebebasan mempraktekan agama mereka,
bahkan meski itu tidak benar. Bukankah kita ingin bebas mendirikan gereja di
India?. Lihat kisah Elia dan para nabi baal! Penyembahan Hindu adalah
penyembahan berhala, dan kita tidak boleh mendorong penyembahan tidak benar di
dalam satu Negara Kristen.
Jika orang Hindu
itu adalah warga Inggris yang menginginkan kebebasan untuk mempraktekan
kepercayaan mereka, bagian kunci Alkitab boleh jadi adalah perlakuan adil
kepada kaum minoritas. Di ekstrim lain, jika orang Hindu memberi dana asing dan
mendeklarasikan keunggulan Hindu, prinsip kunci Alkitab adalah menyaksikan
Ketuhanan Kristus.
Ajaran Alkitab
Tentang Keselamatan
Pembicaraan
tentang keselamatan yang universal sesuatu yang amat sensitive bagi orang
Kristen di Indonesia dalam percakapan yang berkaitan dengan kemajemukan
agama-agama. Setiap kali ada usaha untuk memperluas wawasan umat kristiani
kearah apresiasi terhadap agama lain, setiap kali pula ada reaksi yang
menyesalkan apresiasi ini sebagai sesuatu yang mengurangi nilai keselamatan
yang ada pada Yesus Kristus. Bahkan, apabila dapat diperlihatkan bahwa
sepanjang sejarah penghayatan iman yang berlangsung dari zaman Alkitab,
sekalipun ada proses apresiasi dan pengambilahlian dari agama lain, hal ini
juga dianggap sebagai sesuatu yang merugikan jati diri agama Kristen sendiri.
Cara berpikirnya sederhana saja: kalau yang lain itu diapresiasikan berarti ada
yang baik pada yang lain itu. Jadi, kalau ada pada yang yang lain, untuk apa
kita menjadi kristiani, untuk apa kita menerima keselamatan dari Kristus?
Cara berpikir
seperti ini “orang percaya” sangat dipertentangkan dengan manusia-manusia yang
lain. Atau dengan kata lain, dipertentangkan dengan manusia-manusia lain. Atau
dengan kata lain, dipertentangkan dengan anyk orang. orang percaya adalah orang
yang selamat, sedangkan orang banyak adalah yang tidak/belum selamat. Bisa
dikatakan bahwa dasar itu diambil dari Yohanes 3:16, “Allah mengasihi dunia
ini, oleh karena itu PutraNya yang tunggal dikaruniakanNya kepada dunia, supaya
setiap orang yang percaya kepadaNya mendapatkan keselamatan. Tekanannya ada
pada setiap orang percaya. Jadi, percaya dulu, baru selamat.”
Di dalam
Perjanjian Baru tidak ada universalisme begitu saja. Oleh karena itu, adalah
patut memperhatikan ungkapan setiap orang percaya dalam ayat ini. Bagian
pertama dari ayat 16 mulai dengan mengemukakan kasih Allah yang besar kepada
dunia ini, sehingga ia rela mengaruniakan anakNya, sedangkan ayat 17
mengemukakan bahwa anakNya diutus bukan untuk menghakimi melainkan untuk
menyelamatkan. Memang sulit untuk menekankan bahwa tekanannya adalah mengenai
pengasihan Allah kepada dunia. Tetapi minimal yang dapat dikatakan mengenai
konteks Yohanes 3:16 adalah bahwa ada tekanan yang seimbang di antara kasih
Allah dan keputusan yang harus diambil oleh manusia, bukan tekanan yang
menonjolkan orag harus percaya saja.
Akan halnya
“orang banyak”, kita melihat didalam Injil-injil, terutama Injil Markus, bahwa
Yesus melayani orang-orang banyak (ochlos) tanpa menekankan mengenai pemuridan
mereka. Rupanya, Yesus digambarkan melayani dua golongan, para murid dan orang
banyak. Para murid tidak dipertentangkan dengan orang banyak. Bahkan, dalam
Injil Markus para murid disebut degil.
Ketika Yesus
berada saat terakhir dalam menghadapi kesengsaraanNya, tidak ada seorangpun
disampingNya. Orang banyak sudah melarikan diri semua, begitu pula para murid!
Kalau Yesus sendiri tidak memberi batasan yang sangat jelas mengenai keberadaan
murid dan keberadaan orang banyak, perbuatan kita di masa kini yang malah
menarik garis batas yang jelas dan mempertentangkan antara keduanya yang
merupakan segala sesuatu yang gegabah dan riskan.
Idea mengenai
sejarah keselamatan sudah banyak ditanggalkan dalam teologi biblika. Namun,
tetap benar dan sah, bahwa pembicaraan mengenai keselamatan umat
berhubungan erat dengan keselamatan dunia.
Pada bagian-bagian yang paling tajam menekankan pada umat, seperti kitab Wahyu,
pada akhirnya tetap ada perhatian pada dunia, sekalipun dunia itu adalah langit
baru dan bumi baru. Kalau kita kembali kepada pembahasan kita diatas, mengenai
penciptaan, kita akan menyadari bahwa penciptaan manusia dalam narasi Kejadian
pasal 1-11 disusul dengan pemanggilan Abraham dalam Kejadian 12. Pemanggilan
Abraham dalam Torah bermuara pada pemanggilan Musa dalam Keluaran pasal 3 dan
akhirnya pembebasan umat Israel dari Mesir dan kisah awal mengenai jati diri
Israel sebagai umat Allah. Jadi, dari universal garisnya menjadi agak sempit ke
garis partikular. Namun sebaliknya, dalam penghayatan umat mengenai keberadaan
umat Israel sesudah pembuangan dalam syair-syair Hamba Tuan, kita melihat garis
yang berlawanan arah dari garis partikular ke garis universal.
Dari pemahaman
ini, sangat jelaslah bahwa keselamatan dalam Alkitab tidak bisa diartikan hanya
mutlak bersifat partikularistik. Dalam Alkitab sendiri jelas, bahwa keselamatan
juga mengandung makna universalistik. Kalau tidak demikian, mana mungkin Injil
menyebar ke lingkungan yang lebih luas daripada kekristenan Yahudi yang
membatasi keselamatan dalam Kristus
hanya pada keyahudian saja? Paulus digambarkan menghantam pembatasan ini dalam
seranganya terhadap praktik sunat yang mau diterapkan oleh Kristen Yahudi
terhadap Non- Yahudi. Tetapi, oleh banyak orang Kristen sekarang ini cara
berpikir orang Kristen Yahudi itu mau diambil ali. Jadi, bukannya mengikuti
Paulus, melainkan mengikuti lawan-lawan Paulus! Oleh karena jasa Paulus,
keselamatan terbuka bagi orang-orang non Yahudi. Namun, oleh banyak orang
Kristen sekarang, keselamatan ditutup menjadi hak eksekutif dari kelompok
Kristen saja. Kalau dulu orang Kristen Yahudi berkata kepada dunia: engkau
harus disunat dulu selamat, sekarang banyak orang kristiani berkata kepada
dunia: engkau harus percaya dulu atau dibabtis dulu baru selamat. Praktik
baptis dalam kenyataan telah mengganti praktik sunat, padahal maksud Paulus bukan
mengganti praktik sunat dengan praktik babtis melainkan menghapus sunat! Itu
berarti, babtisan tidak dapat dianggap sejalan dengan sunat, atau dengan kata
lain babtisan harus berfungsi lain daripada sunat. Disini tidak ada maksud
untuk merelatifkan keselamatan dengan misalnya merumuskan bahwa Kristus
menyelamatkan semua orang di semua agama. Namun, dalam kehidupan Kristiani yang
sehari-hari berkomunikasi dengan masyarakat yang bersifat majemuk, pemahaman
keselamatan yang bersifat non-majemuk tidak mungkin dapat dipertahankan. Kita
memiliki dasar Alkitab yang kuat kalau kita berpindah dari pemahaman
keselamatan yang eksklusif ke pemahaman keselamatan yang inklusif.
Keselamatan di
dalam Kristus menurut iman kristiani pada dewasa ini tidak diartikan semata-mata
hanya bersifat spiritual, vertikal dan seberang sana. Semua golongan akan
setuju, bahwa keselamatan bersifat menyeluruh, holistik, meliputi rohani maupun
jasmani, vertikal maupun horizontal. Keselamatan diwartakan, dan sementara itu
mewartakan secara konkret juga melakukan tindakan-tindakan sosial. Tetapi,
hubungan langsung antara keselamatan dan tindakan sosial biasanya menjadi
masalah bagi umat kristiani.
Penutup
Alkitab menjadi
dasar yang harus kita tunjukan bahwasahnya memuaskan bagi usaha kerukunan dan
dialog umat beragama. Namun, pada akhirnya dasar teologis dalam memahaminya
secara teologis berkaitan dengan shalom
yang biasa diartikan damai. Shalom
yang dihubungkan dengan situasi dalam damai dalam dunia dan masyarakat namun
berasal dari Allah.