Tuesday, 31 January 2017

KORUPSI SEBAGAI TANTANGAN GEREJA DAN MASYARAKAT



KORUPSI SEBAGAI TANTANGAN GEREJA DAN MASYARAKAT
1.     Pendahuluan
Korupsi bukan hal yang jarang lagi didengarkan di kalangan masyarakat. Korupsi menjadi semacam penyakit bagi mereka yang menduduki sebuah jabatan atau mengelola  sebuah instansi. ‘Penyakit’ itu dialami mulai dari pejabat yang tinggi hingga mereka yang menjabat di tingkat daerah. Mengapa terjadi budaya penyakit yang demikian? Terlebih di negara Indonesia yang sangat menjungjung tinggi kebudayaan dan hukum. Nama-nama pejabat satu persatu tercuak di media karena penyakit ini.
Setelah diratifikasinya Konvensi PBB Melawan Antikorupsi (UN Convention Againts Corruption) oleh 94 negara pada Desember 2003 maka kejahatan korupsi dapat dilaporkan ke United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)—badan PBB yang menangani tindak kriminal, termasuk kejahatan korupsi yang berkantor di Vienna. Jelas konvensi ini adalah sebuah terobosan karena negara yang meratifikasi bersepakat untuk mengembalikan aset-aset yang dikorup, saling membantu, membekukan rekening bank, melucuti properti, dan mengekstradisi tersangka pelaku. Beberapa negara juga telah menerapkan strategi sendiri dalam pemberantasan korupsi, terutama meningkatkan hukuman pelaku korupsi dalam proses penindakan. Di Indonesia sendiri ada perdebatan antara para ahli hukum tentang apakah korupsi dapat digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) atau hanya kejahatan biasa.
Untuk segala hak dan kewajiban mereka yang memangku suatu jabatan tertentu, tentunya telah diperhitungkan oleh pemerintah dalam menjalankan amanat yang mereka pegang tersebut bahkan pengahargaan hingga tunjangan diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan semangat dan motivasi mereka dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab. Namun hal itu ternyata tidak cukup untuk menjadi alasan untuk tidak terjatuh dalam penyakit tersebut.  Apakah yang mendasari mereka harus mengalami penyakit yang mengakibatkan penderitaan banyak orang itu?  Disamping itu dengan mengingat negara kita adalah negara hukum, apakah pihak yang berwewenang di dalamnya tidak begitu kuat dan sanggup untuk memberikan tindakan yang adil bagi mereka atau jangan-jangan pihak-pihak terkait juga telah terjatuh dan mengalami penyakit yang demikian.
Secara kegamaan Indonesia hidup dalam keberagaman agama. Dengan adanya keberagaman ini tentunya masing-masing pemeluk diarahakan dan diharapkan untuk menjauhi serta tidak melakukan hal yang tidak baik seperti penyakit tersebut karena sangat merugikan banyak orang. Maraknya korupsi di Indonesia yang merupakan masyarakat religius memang mendatangkan pertanyaan. Bagaimana mungkin di negeri yang memiliki jutaan rumah ibadah di mana umat menjalankan syariat agama dengan saleh dan tekun dapat ditimpa oleh bencana ini? Bagaimana mungkin Negara yang memiliki Kementerian Agama dengan berbagai program kerohanian itu seperti tidak berdaya menghadapi arus korupsi ini? Ternyata begitu banyak lembaga pendidikan agama di Indonesia telah lumpuh dalam mempersiapkan warga masyarakat yang mampu menghadapi godaan besar ini. Banyak pihak mengakui bahwa pelaksanaan kewajiban agama hanyalah sebatas seremoni dan belum terinternalisasi dengan kokoh ke dalam diri para pemeluk agama di Indonesia. Kita harus mengakui bahwa karakteristik kehidupan beragama di Indonesia cenderung bersifat formal dan hanya berhubungan dengan status formal seseorang ataupun kelompok dalam masyarakat. Selain itu nilai-nilai agama yang dianut hanya terbatas pada kognitif saja dan belum dapat mengubah  mental apalagi perilaku. Begitu pula nilai-nilai agama semakin melentur bahkan terbawa hanyut oleh arus globalisasi modern dewasa ini. Penyakit ini adalah masalah bersama, yang membutuhkan jalan keluar yang secepatnya demi kepentingan bersama. Secara khusus dalam makalah ini, akan dipaparkan apa itu korupsi, bagaimana itu terjadi serta langkah konkrit yang dapat dilakukan terkusus dari sudut pandang Kristen yang membawa dampak bagi masyarakat luas.

2.     Pembahasan
2.1. Pengertian Korupsi dan Keberadaannya di Indonesia
Dalam Ensiklopedi Gereja, korupsi (Latin : Coruptio) berarti pembusukan, kerusakan, kemerosotan, dan peyuapan. Dalam arti luas disebut korupsi intelektual, yaitu memberikan informasi atau data ilmiah yang sakah satu untuk kepentingan politis atau karirnya. Ada korupsi etis ( perbuatan yang sudah diusahakan supaya dianggap baik dan benar). Dalam arti sempit, korupsi dikenal sebagai tindakan penyelewengan dari ketaatan yang berlaku, melanggar kepercayaan yang dibrikan dengan melanggar sumpah atau jabatan yang pernah diucapkan.
            Secara sederhana korupsi dapat dipahami sebagai upaya untuk menggunakan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan, untuk keuntungan dirinya sendiri. Selain itu korupsi juga dipandang sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status, uang, yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri ) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Korupsi dapat terjadi jika bertemunya unsur-unsur berikut:
-        Niat untuk melakukan (desire to act)
-        Kemampuan untuk melakukan (ability to act)
-        Peluang atau kesempatan (opportunity)
-        Target yang cocok (suitable target)
Akar dari pada masalah korupsi dapat digambarkan sebagai gunung es. Sebelum terjadi puncak gunung es sebagai Tindak Pidana Korupsi (TKP), maka dibawah puncak tersebut lahir daerah rawan Korupsi dan wilayah potensi masalah penyebab korupsi. Daerah kerawanan korupsi ini terkait dengan lokasi (pemasok anggaran, pengguna anggaran, disparitas pendapatan), manusia berjiwa koruptor, barang (asset Negara, barang sitaan/rampasan), kegiatan (proyek pembangunan, pengadaan barang/jasa, perijinan, penegakan hukum, administrasi negara) dan kebijakan (kontrak jangka panjang, kebijakan pemborosan, inkonsistensi kebijakan). Daerah atau situasi yang berpotensi masalah penyebab korupsi atau dapat diungkapkan sebagai akar korupsi tersebut, yakni Kesisteman, penghasilan tidak merata, integritas sosial, pengawasan yang lemah, dan budaya taat hukum yang rendah.
Bibit Samad Riyanto mengungkapkan kondisi korupsi di Indonesia dengan empat hal: mewabah, sulit di berantas, modus operandi beragam dan aktualisasi apaolitical will. Harus diakui bahwa korupsi di Indonesia telah terjadi disetiap wilayahnya. Korupsi dikatakan mewabah menunjukkan korupsi telah terjadi di semua lapisan masyarakat, di semua bidang kehidupan, jenisnya beragam, kebiasaan korupsi sangat tinggi, dan telah ada lebih dari 50.000 laporan yang ada di Indonesia. Hal ini turut meyakinkan kita bahwa korupsi sangat sulit untuk diberantas. Dalam suatu kasus korupsi, ada banyak pihak yang terlibat (korupsi terstruktur). Sulitnya korupsi diberantas juga disebabkan adanya persepsi penegak hukum yang berbeda, disparitas penghasilan (masyarakat, petugas, koruptor) dan tidak ditindak lanjutinya hasil deteksi kasus korupsi. Terkait modus melakukan korupsi ada yang terang-terangan, terselubung, serta ada pula yang tidak sadar melakukan korupsi. Motif korupsi sering kali untuk memperkaya diri/ orang lain/ korporasi, hidden income, dan yang paling mengerikan korupsi dijadikan sebagai mata pencaharian.
2.2. Korupsi dalam Berbagai Sisi
a.     Korupsi menurut UU No. 31
Sesuai UU No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menyebutkan bahwa korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait tanggungjawab yang dijalani. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan menguntungkan diri sendiri dan orang lain yang bersifat busuk, jahat, dan merusakkan karena merugikan negara dan masyarakat luas. Pelaku korupsi dianggap telah melakukan penyelewengan dalam hal keuangan atau kekuasaan, pengkhianatan amanat terkait pada tanggung jawab dan wewenang yang diberikan kepadanya, serta pelanggaran hukum.
b.     Korupsi dalam Perjanjian Lama
Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintah oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali, dimana seseorang selalu mengambil yang bukan miliknya. Dalam pandangan Perjanjian Lama Korupsi dijelaskan dalam kitab Keluaran 20:15 ( bnOë*g>Ti: teneniv, berarti mencuri, mengambil keuntungan dari orang lain), yang merupakan larangan untuk mencuri. Sementara korupsi adalah mencuri dengan cara diam-diam atau secara halus mengurangi hak atau Negara atau orang lain demi kepentingan pribadi. Dalam Keluaran 26:11-21 juga menunjukkan sebuah korupsi dalam Perjanjian Lama dimana umat Israel yang keluar dari Mesir dan mengindahkan perintah Tuhan yang memelihara mereka dengan datangnya burung puyuh pada waktu senja dan roti dari surga (manna). Umat Israel bukannya mengambil sesuai perintah Tuhan, yakni segomer seorang, melainkan mengambil berlebihan. Sehingga mengakibatkan makanan yang mereka simpan malah menjadi busuk.
Yesaya 1:23 turut menunjukkan korupsi yang dilakukan dengan dua bentuk “menerima suap” dan “mengejar sogok” ( dx;voê bheäao: ohav syokhad, suka menerima suap;  ~ynI+mol.v; @dEßrow> Werodef syalmonim, mengejar sogok). Nats ini juga menunjukkan para pemimpin yang memberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Syokhad yang pada awalnya berarti “pemberian” atau “persembahan” sering digunakan sebagai hadiah untuk menyuap seseorang.

c.      Korupsi dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru korupsi dapat ditunjukkan melalui kisah Ananias dan Safira. Ananias dan Safira yang menjual tanah miliknya, namun Ananias menahan sebagian hasil penjualan itu atas sepengetahuan istrinya. Sebagian lagi dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul. Tetapi Petrus mengetahui hal tersebut. Hal ini menunjukkan perbuatan korupsi karena di dalamnya terdapat tindakan yang menggelapkan uang untuk kepentingan pribadi. Korupsi ini dilakukan oleh dua pihak, yang berarti bahwa mereka bersekongkol untuk melakukan tindakan tersebut, untuk memperkaya diri mereka sendiri. Menurut Kisah Para Rasul 5:3-4, dapat kita ketahui bahwa tindakan korupsi adalah tindakan mendustai Roh Kudus. Penggelapan uang yang dilakukan oleh Ananias dan Safira diungkapkan dengan istilah evpw,lhsen yang berarti “menahan bagi dirinya sendiri, menyelewengkan. Ini menunukkan kecurangan yang mengarah pada tindak korupsi. Tindakan ini mendustai Allah dan mendatangkan maut bagi Ananias dan Safira yang merupakan anggota-anggota yang sah dan penuh dari koinonia atau persekutuan gereja Tuhan pada waktu itu.
Tindakan korupsi juga ditunjukkan peristiwa disuapnya Yudas Iskariot, salah satu murid Yesus untuk mengkhianati-Nya yang diceritakan oleh Alkitab dalam Matius 26:14-16.  Yudas menerima 30 keping emas dengan menunjukkan Yesus kepada imam-imam kepala dan dengan demikian ia menguntungkan dirinya sendiri yang seharusnya bukan haknya.
d.     Penyebab Korupsi
Ketika terjadi korupsi, maka akan berbicara mengenai kepentingan pribadi atau kelompok, masalah impunity para koruptor yang menujukkan lemahnya perangkat hukum, busuknya aparat penegak hukum, dan cara pandang  yang salah mengenai wibawa kekuasaan, serta campur tangan  kekuasaan di dalam lembaga peradilan yang di dalamnya terdapat praktek kekuatan tawar. Berikut beberapa faktor penyebab korupsi:
1.     Budaya Konsumerisme
Budaya konsumerisme telah memperngaruhi pola hidup masyarakat Indonesia. Gaya hidup seperti itu dilakukan oleh setiap lapisan masyarakat mulai dari lapisan masyarakat yang paling rendah hingga lapisan masyarakat yang paling tinggi katakanlah mereka yang menjadi pemimpin mulai pusat hingga ke daerah-daerah. Konsumsi adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia, tetapi jauh manusia telah masuk ke dalam pengertian yang keliru tentang kebutuhan tersebut. Herry Priyono mendefenisikan konsumerisme secara singkat dan jelas “konsumerisme adalah kebutuhan yang mengada-ada” lebih lanjut dikemukakannya, “Konsumerisme tidak hanya menyangkut proses sosio psikologis, tetapi juga menyangkut berupa gejala ekonomi politik”. Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa konsumerisme menjadi syarat yang mutlak bagi kelangsungan bisnis, status dan gaya hidup.
Sistem yang baru saat ini Baudriliard,  adalah objek komsumsi bukan sebagai benda itu sendiri sesuai dengan daya dan gunanya, melainkan sebagai symbol status, identitas, dan pengangkat rasa percaya diri, sehingga isu dasar konumerisme itu adalah kepemilikan status, kenyamanan, dan percaya diri. Gaya hidup konsumerisme dikarenakan kita tidak tahu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Ini ada hubungannya dengan motivasi. Kalau bertolak dari ‘kebutuhan’, itu merupakan suara dari dalam-dari hati nurani. Jika ia ‘keinginan’, biasanya pengaruh dari luar. Mungkin karena ditawarkan di TV, internet, dipajang di mall, terlihat di rumah orang atau dipakai orang di angkutan umum, di pesta, atau di gereja. Iman kristiani sebenarnya amat menekankan orientasi kebutuhan. Hal ini sangat jelas dari ajaran dan anjuran Tuhan Yesus, Rasul Paulus dan yang lain. Tetapi, zaman ini agaknya sudah dikendalikan oleh keinginan yang biasanya identik dengan kerakusan. Menumpuk barang-barang atau materi yang lain dan melahap makanan melampaui batas kebutuhan harus dibayar dengan ketidakpedulian terhadap sesama dan terhadap alam ciptaan Tuhan. Dengan demikian akan memicu terjadinya korupsi.

2.     Krisis moral
Ketika terjadi korupsi maka nama-nama yang terkait di dalamnya menunjuk kepada mereka yang mempunyai suatu jabatan katakanlah sebagai salah seorang peminpin. Hampir di setiap daerah korupsi terjadi seperti penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan alokasi dana, serta tawar menawar terkait masalah mengenai jabatan, uang, serta hal yang berhubungan dengan materi. Hal yang menjadi bahan sorotan adalah peristiwa yang demikian akan membuat masyarakat mengalami krisis kepercayaan kepada pempinpin itu sendiri. Bagi mereka yang mempunyai wewenang dan seharusnya mematuhi hukum justru terjebak dalam penyalahgunaan kekuasaan bahkan perjualbelian hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok. Sistim peradilan yang masih pandang buluh. Proses penyelesaian dan pemberian hukum terhadap masayarakat biasa dan peminpin atau orang besar yang  melakukan korupsi mendapat perlakuan yang berbeda, bahkan dapat dikatakan hukum pada pelaksanaannya di Indonesia tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Untuk segala kejadian tersebut maka dapat dikatakan bahwa sedang terjadi krisis moral (baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun bagaimana ia seharusnya hidup, atau apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan).
3.     Penegakan Hukuman
Penegakan hukuman yang berlaku dan yang terjadi di Indonesia masih mengalami gejolak yang tidak stabil. Hal ini menunjukkan ketidakadilan dan masih dalam ranah kecurangan. Hal inilah turut menjadi tantangan pemberantasan korupsi itu sendiri, dimana pihak yang menangani kasus juga masih dipertanyakan kinerja dan profesionalitasnya.
Adapun terkait cirri-ciri tindak korupsi, Syed Hussein Alatas, mengemukakan ciri-ciri korupsi sebagai berikut:
-           Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan. Seseorang yang diberikan amanah seperti seorang pemimpin yang menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau kelompoknya.
-           Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta, atau masyarakat umumnya. Usaha untuk memperoleh keuntungan dengan mengatasnamakan suatu lembaga tertentu seperti penipuan memperoleh hadiah undian dari suatu perusahaan, padahal perusahaan yang sesungguhnya tidak menyelenggarakan undian.
-           Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus. Contohnya, mengalihkan anggaran keuangan yang semestinya untuk kegiatan sosial ternyata digunakan untuk kegiatan kampanye partai politik.
-           Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu. Korupsi biasanya dilakukan secara tersembunyi untuk menghilangkan jejak penyimpangan yang dilakukannya.
-           Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak. Beberapa jenis korupsi melibatkan adanya pemberi dan penerima.
-           Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain. Pemberi dan penerima suap pada dasarnya bertujuan mengambil keuntungan bersama.
-           Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat memengaruhinya. Pemberian suap pada kasus yang melibatkan petinggi Makamah Konstitusi bertujuan memengaruhi keputusannya.
-           Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan hukum. Adanya upaya melemahkan lembaga pemberantasan korupsi melalui produk hukum yang dihasilkan suatu negara atas inisiatif oknum-oknum tertentu di pemerintahan.
e.     Solusi
Kerjasama Oikumenis
Korupsi menjadi tanggung jawab bersama bagi setiap masyarakat Indonesia. Peran lemabaga keagamaan sangat mempengaruhi atau dengan kata lain sebagai jalan masuk untuk mengurangi tindakan korupsi yang dapat merugikan orang banyak. Lembaga kegaamaan secara oikumenis bekerjasama dalam pembentukan pola pikir serta pemahaman yang baik terhadap suatu jabatan atau kedudukan. Azyumardi Azra menyatakan, “Jika Agama berperan lebih besar dalam pemberantasan korupsi, hal itu bisa gereja atau masjid dilakukan dengan meningkatkan peran institusi kegamaan seperti NU, Muhammadiah, dan lain-lain sebab lembaga-lembaga seperti ini memiliki kredibilitas tertinggi dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain sejauh menyangkut kemungkinan terjadinya korupsi dan penyelewengan-penyelewengan lain”.
Dalam pasal 1 butir 3 UU RI No. 30/2002; pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi; melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan; dan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bibit Samad Rianto menggolongkan rangkaian pemberantasan korupsi ke dalam;
-        Deteksi: mengumpulkan dan mengolah data menjadi informasi, merumuskan sasaran pemberantasan korupsi dan mendukung informasi lanjutan dalam proses penindakan.
-        Preemtif (penangkalan):  menangani hulu permasalahan korupsi melalui perbaikan sistem, moral, kesejahteraan, control dan budaya taat pada hukum serta bekerjasama mencari solusi terbaik bagi kepentingan bangsa berdasarkan hukum.
-        Preventif (pencegahan): membuat setiap entitas dalam masyarakat aman dari tindak korupsi serta menjaga agar kerawanan korupsi tidak dimanfaatkan oleh koruptor
-        Represif (penindakan): melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan TPK; melakukan upaya hukum lanjutan; melaksanakan eksekusi putusan hakim yang sudah inkhrat
-        Rehabilitasi (pemulihan): mengembalikan asset/ kerugian Negara akibat korupsi dan memulihkan kondisi materil dan moril akibat korupsi.
Dalam pencegahan korupsi, semua pihak harus berkomitmen dan bekerjasama.
1.     Pemerintah
-        Kajian  sistem yang berpotensi korupsi- reformasi birokrasi
-        Memperkuat kapasitas anggota DPR/ DPRD
-        Laporan harta kekayaan penyelenggaraan Negara (LHKPN)
-        Pelaporan/ penetapan status gratifikasi
-        Transaksi keuangan melalui perbankan di atas 100 jt rupiah
-        Pelayanan public tanpa korupsi
2.     Swasta
-        Etika bisnis (good corporate governance)
-        E-Procurement (e- Announcement)
-        Island of integrity
3.     Masyarakat
-        Riset kerawanan, potensi penyebab dan trend korupsi
-        Pencarian solusi terbaik dalam menangani akar masalah korupsi
-        Konsultasi pembuatan Action Plan dalam perbaikan sistem
-        Pendidikan Anti-korupsi sejak dini
-        Advokasi terhadap korban tindak kesewenang-wenangan pihak ketiga

3.     Tanggapan teologis
Seperti yang telah diungkapkan di atas, korupsi merupakan salah satu cerminan hidup yang konsumerisme. Dimana orang-orang menunjukkan kepada penggunaan materi secara “mengada-ada”. Dalam hal ini, konsumerisme menjadi situasi yang tidak mampu melihat anugrah atau sesuatu yang telah diberikan kepada seseorang tersebut. Segala yang ada selalu dianggap kurang sehingga menginginkan yang lain.
            Dalam Lukas 11: 2, mengambarkan bagaimana Yesus melalui pengajaran doa-Nya “yang kita kenal saat ini Doa Bapa Kami” , mengajarkan kepada murid- murid-Nya mengenai hidup dalam kecukupan. Doa ini tidak hanya sebatas doa, dalam kondisi konteks saat itu dalam kehidupan orang- orang Yahudi yang hidup dalam masa penjajahan oleh bangsa Romawi, makanan ataupun roti menjadi sesuatu yang sangat sulit. Makanan menjadi salah satu masalah yang cukup serius pada masa itu. Dan dalam keadaan konteks pada saat itu makanan menjadi salah satu penyumbang permasalahan dalam kehidupan sosial dikalangan bangsa Yahudi. Secara tidak langsung, Yesus dengan pengajaran doa-Nya mengisyaratkan kepada mereka untuk hidup saling berbagi, tidak hidup dalam keegoisan dan tidak mengkwahtirkan dengan apa yang akan mereka makan pada hari esok. Dalam hal ini, Yesus hendak mengajarkan bagaimana praktek dan cara hidup orang Kristiani yang tercermin dalam doanya. “Berilah pada hari- hari kami makanan kami yang secukupnya” mengacu kepada suatu konsep hidup yang jauh dari keegoisan dan ketamakan. Hidup dalam persekutuan sebagai orang Kristiani sangat ditekankan Yesus dalam pengajaran doa-Nya ini.
            Sementara itu, Kitab Keluaran 16: 16 menjelaskan bahwa tiap- tiap orang dapat mengambil apa yang menjadi bahagiannya, setiap orang dapat mengambil satu gomer untuk setiap orangnya. Dan Allah juga memerintahkan agar mereka tidak mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan mereka. Dalam peristiwa inilah kita dapat melihat hidup yang ugahari yang sebenarnya. Suatu kehidupan yang tidak mengambil hak orang lain, mengambil sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
            Yohanes Pembaptis dalam pengajarannya, Luk. 3:10-14, juga turut mengajarkan bagaimana kehidupan umat Allah yang hendaknya mencukupkan apa yang telah ia terima (gajinya). Dengan demikian, Allah tidak mengkehendaki perbuatan yang dilakukan seseorang untuk memeperoleh keuntungan pribadinya secara tidak baik, seperti korupsi.
            Hal di atas menunjukkan pengajaran pola hidup Ugahari. Dalam pengertian sederhananya, ugahari diartikan dengan kata hidup dalam kecukupan, tidak berlebih dan juga tidak kekurangan. Hal ini hendak memanggil umat percaya sebagai orang-orang yang mencukupkan apa yang ada dalam kehidupannya, termasuk tidak melakukan korupsi untuk keuntungan yang lebih maupun pola kehidupan konsumerisme. Doa Bapa Kami, dan pemberian manna kepada bangsa Israel dapat menjadi  suatu landasan dalam hidup iman Kristen.

4.     Kesimpulan
Korupsi telah menjadi penyakit yang mewabah di Indonesia serta sangat mengkhawatirkan. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa semua orang berdampak menjadi korban atas tindak korupsi yang dilakukan pihak tak bertanggung jawab. Kemiskinan, kemelaratan, serta kelaparan dan kebodohan turut dipicu oleh pelaku-pelaku korupsi di negeri ini. Sebagaimana terasa menjadi korban, kita juga turut dipanggil menjadi agen pemberantas sekaligus menjauhkan diri dari tindakan korupsi. Dalam hal inilah, gereja juga turut dalam tuntutan tersebut sebagai instansi sosial yang bertanggung jawab atas keadilan dan kesejahteraan masyarakat, terkhususnya para jemaat. Dengan memulai keugaharian hidup jemaat kiranya dapat membangun hidup kecukupan dengan rasa syukur dan bertanggung jawab atas segala kehidupan yang telah diterima. Tidak sekedar keadilan, namun sikap anti korupsi juga memacu bagaimana jemaat siap hidup dalam kesederhanaan dengan penuh rasa syukur dan bertanggung jawab atas tugas dan wewenang yang diemban.



Daftar Pustaka
Bergant, Dianne,
2002                            Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius)
Davids, Peter H.
Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Baru (Malang: SAAT)
Drews, B.F. dkk,
2008                            Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru: Kitab Injil Matius Hingga Kitab Para Rasul (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Haryatmoko,
2003                            Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta : Compas
Heuken, A.
1993                            “Korupsi” dalam Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta : Cipta Loka Caraka)
Klitgraard, Robert,
2005                            Membasni Korupsi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed),
2005                            Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta, Kanisius Anggota IKAPI)
Napitupulu, Diana,
2010                            KPK In Action, (Jakarta : Raih Asah Sukses Penebar Swadaya Group)
Nolland, John,
1993                            Word Biblical Commentary  Vol. 35b, Word Book Publisher; Dallas, Texas)
Peterson, Robert M.,
Tafsiran Alkitab Keluaran, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Tinambunan, Victor,
ApaYang Kamu Cari ?
Trim, Bambang (ed),
2004                            Buku Ajar: Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi, (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan,)
Wijayanto & Ridwan Zachrie,
2009                            Korupsi :Mengorupsi Indonesia Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta : PT  Gramedia Pustaka Utama)
Yanto, Oksidelfa,
2010                            Membongkar Manipulasi dan Konspirasi Hukum di Indonesia : Mafia Hukum, (Jakarta : Raih Asa Sukses)
Bibit Samad Rianto dalam diskusi Konsultasi Nasional Mahasiswa di Indonesia pada 13-16 Oktober 2015 di Salatiga.

No comments:

Post a Comment