KORUPSI SEBAGAI TANTANGAN GEREJA DAN MASYARAKAT
1.
Pendahuluan
Korupsi bukan hal yang
jarang lagi didengarkan di kalangan masyarakat. Korupsi menjadi semacam
penyakit bagi mereka yang menduduki sebuah jabatan atau mengelola sebuah instansi. ‘Penyakit’ itu dialami mulai
dari pejabat yang tinggi hingga mereka yang menjabat di tingkat daerah. Mengapa
terjadi budaya penyakit yang demikian? Terlebih di negara Indonesia yang sangat
menjungjung tinggi kebudayaan dan hukum. Nama-nama pejabat satu persatu tercuak
di media karena penyakit ini.
Setelah diratifikasinya
Konvensi PBB Melawan Antikorupsi (UN Convention Againts Corruption) oleh 94 negara
pada Desember 2003 maka kejahatan korupsi dapat dilaporkan ke United Nations
Office on Drugs and Crime (UNODC)—badan PBB yang menangani tindak kriminal,
termasuk kejahatan korupsi yang berkantor di Vienna. Jelas konvensi ini adalah
sebuah terobosan karena negara yang meratifikasi bersepakat untuk mengembalikan
aset-aset yang dikorup, saling membantu, membekukan rekening bank, melucuti
properti, dan mengekstradisi tersangka pelaku. Beberapa negara juga telah
menerapkan strategi sendiri dalam pemberantasan korupsi, terutama meningkatkan
hukuman pelaku korupsi dalam proses penindakan. Di Indonesia sendiri ada
perdebatan antara para ahli hukum tentang apakah korupsi dapat digolongkan
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) atau hanya kejahatan
biasa.
Untuk segala hak dan
kewajiban mereka yang memangku suatu jabatan tertentu, tentunya telah
diperhitungkan oleh pemerintah dalam menjalankan amanat yang mereka pegang
tersebut bahkan pengahargaan hingga tunjangan diberikan dengan tujuan untuk
meningkatkan semangat dan motivasi mereka dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawab. Namun hal itu ternyata tidak cukup untuk menjadi alasan untuk
tidak terjatuh dalam penyakit tersebut.
Apakah yang mendasari mereka harus mengalami penyakit yang mengakibatkan
penderitaan banyak orang itu? Disamping
itu dengan mengingat negara kita adalah negara hukum, apakah pihak yang
berwewenang di dalamnya tidak begitu kuat dan sanggup untuk memberikan tindakan
yang adil bagi mereka atau jangan-jangan pihak-pihak terkait juga telah
terjatuh dan mengalami penyakit yang demikian.
Secara kegamaan Indonesia
hidup dalam keberagaman agama. Dengan adanya keberagaman ini tentunya
masing-masing pemeluk diarahakan dan diharapkan untuk menjauhi serta tidak
melakukan hal yang tidak baik seperti penyakit tersebut karena sangat merugikan
banyak orang. Maraknya korupsi di Indonesia yang
merupakan masyarakat religius memang mendatangkan pertanyaan. Bagaimana mungkin
di negeri yang memiliki jutaan rumah ibadah di mana umat menjalankan syariat agama
dengan saleh dan tekun dapat ditimpa oleh bencana ini? Bagaimana mungkin Negara
yang memiliki Kementerian Agama dengan berbagai program kerohanian itu seperti
tidak berdaya menghadapi arus korupsi ini? Ternyata begitu banyak lembaga
pendidikan agama di Indonesia telah lumpuh dalam mempersiapkan warga masyarakat
yang mampu menghadapi godaan besar ini. Banyak pihak mengakui bahwa pelaksanaan
kewajiban agama hanyalah sebatas seremoni dan belum terinternalisasi dengan
kokoh ke dalam diri para pemeluk agama di Indonesia. Kita harus mengakui bahwa
karakteristik kehidupan beragama di Indonesia cenderung bersifat formal dan
hanya berhubungan dengan status formal seseorang ataupun kelompok dalam
masyarakat. Selain itu nilai-nilai agama yang dianut hanya terbatas pada
kognitif saja dan belum dapat mengubah
mental apalagi perilaku. Begitu pula nilai-nilai agama semakin melentur
bahkan terbawa hanyut oleh arus globalisasi modern dewasa ini. Penyakit ini adalah masalah
bersama, yang membutuhkan jalan keluar yang secepatnya demi kepentingan
bersama. Secara khusus dalam makalah ini, akan dipaparkan apa itu korupsi,
bagaimana itu terjadi serta langkah konkrit yang dapat dilakukan terkusus dari
sudut pandang Kristen yang membawa dampak bagi masyarakat luas.
2.
Pembahasan
2.1. Pengertian Korupsi dan Keberadaannya di Indonesia
Dalam Ensiklopedi Gereja,
korupsi (Latin : Coruptio) berarti pembusukan, kerusakan, kemerosotan, dan
peyuapan. Dalam arti luas disebut korupsi intelektual, yaitu memberikan
informasi atau data ilmiah yang sakah satu untuk kepentingan politis atau
karirnya. Ada korupsi etis ( perbuatan yang sudah diusahakan supaya dianggap
baik dan benar). Dalam arti sempit, korupsi dikenal sebagai tindakan
penyelewengan dari ketaatan yang berlaku, melanggar kepercayaan yang dibrikan
dengan melanggar sumpah atau jabatan yang pernah diucapkan.
Secara
sederhana korupsi dapat dipahami sebagai upaya untuk menggunakan campur tangan
karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang
atau kekayaan, untuk keuntungan dirinya sendiri. Selain itu korupsi juga
dipandang sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah
jabatan negara karena keuntungan status, uang, yang menyangkut pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri ) atau melanggar aturan-aturan
pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Korupsi dapat terjadi jika
bertemunya unsur-unsur berikut:
-
Niat untuk melakukan (desire to act)
-
Kemampuan untuk melakukan (ability to act)
-
Peluang atau kesempatan (opportunity)
-
Target yang cocok (suitable target)
Akar dari pada masalah
korupsi dapat digambarkan sebagai gunung es. Sebelum terjadi puncak gunung es
sebagai Tindak Pidana Korupsi (TKP), maka dibawah puncak tersebut lahir daerah
rawan Korupsi dan wilayah potensi masalah penyebab korupsi. Daerah kerawanan
korupsi ini terkait dengan lokasi (pemasok anggaran, pengguna anggaran,
disparitas pendapatan), manusia berjiwa koruptor, barang (asset Negara, barang
sitaan/rampasan), kegiatan (proyek pembangunan, pengadaan barang/jasa,
perijinan, penegakan hukum, administrasi negara) dan kebijakan (kontrak jangka
panjang, kebijakan pemborosan, inkonsistensi kebijakan). Daerah atau situasi
yang berpotensi masalah penyebab korupsi atau dapat diungkapkan sebagai akar
korupsi tersebut, yakni Kesisteman, penghasilan tidak merata, integritas
sosial, pengawasan yang lemah, dan budaya taat hukum yang rendah.
Bibit Samad Riyanto
mengungkapkan kondisi korupsi di Indonesia dengan empat hal: mewabah, sulit di
berantas, modus operandi beragam dan aktualisasi apaolitical will. Harus diakui
bahwa korupsi di Indonesia telah terjadi disetiap wilayahnya. Korupsi dikatakan
mewabah menunjukkan korupsi telah terjadi di semua lapisan masyarakat, di semua
bidang kehidupan, jenisnya beragam, kebiasaan korupsi sangat tinggi, dan telah
ada lebih dari 50.000 laporan yang ada di Indonesia. Hal ini turut meyakinkan
kita bahwa korupsi sangat sulit untuk diberantas. Dalam suatu kasus korupsi,
ada banyak pihak yang terlibat (korupsi terstruktur). Sulitnya korupsi
diberantas juga disebabkan adanya persepsi penegak hukum yang berbeda,
disparitas penghasilan (masyarakat, petugas, koruptor) dan tidak ditindak
lanjutinya hasil deteksi kasus korupsi. Terkait modus melakukan korupsi ada
yang terang-terangan, terselubung, serta ada pula yang tidak sadar melakukan
korupsi. Motif korupsi sering kali untuk memperkaya diri/ orang lain/
korporasi, hidden income, dan yang paling mengerikan korupsi dijadikan sebagai
mata pencaharian.
2.2. Korupsi dalam Berbagai Sisi
a.
Korupsi menurut UU No. 31
Sesuai UU No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi menyebutkan bahwa korupsi adalah tindakan memperkaya diri
sendiri, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaaan, memberi dan menjanjikan
sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan, dan
menerima hadiah terkait tanggungjawab yang dijalani. Dalam hal ini, dapat
disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan menguntungkan diri sendiri dan orang
lain yang bersifat busuk, jahat, dan merusakkan karena merugikan negara dan masyarakat
luas. Pelaku korupsi dianggap telah melakukan penyelewengan dalam hal keuangan
atau kekuasaan, pengkhianatan amanat terkait pada tanggung jawab dan wewenang
yang diberikan kepadanya, serta pelanggaran hukum.
b.
Korupsi dalam Perjanjian
Lama
Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintah oleh para pencuri, dimana
pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali, dimana seseorang selalu
mengambil yang bukan miliknya. Dalam pandangan Perjanjian Lama Korupsi
dijelaskan dalam kitab Keluaran 20:15 ( bnOë*g>Ti: teneniv, berarti mencuri, mengambil keuntungan dari orang lain),
yang merupakan larangan untuk mencuri. Sementara korupsi adalah mencuri dengan
cara diam-diam atau secara halus mengurangi hak atau Negara atau orang lain
demi kepentingan pribadi. Dalam Keluaran 26:11-21 juga menunjukkan sebuah
korupsi dalam Perjanjian Lama dimana umat Israel yang keluar dari Mesir dan
mengindahkan perintah Tuhan yang memelihara mereka dengan datangnya burung
puyuh pada waktu senja dan roti dari surga (manna). Umat Israel bukannya
mengambil sesuai perintah Tuhan, yakni segomer seorang, melainkan mengambil
berlebihan. Sehingga mengakibatkan makanan yang mereka simpan malah menjadi
busuk.
Yesaya 1:23 turut
menunjukkan korupsi yang dilakukan dengan dua bentuk “menerima suap” dan
“mengejar sogok” ( dx;voê
bheäao: ohav
syokhad, suka menerima suap; ~ynI+mol.v; @dEßrow>
Werodef syalmonim, mengejar sogok). Nats ini juga menunjukkan para pemimpin
yang memberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Syokhad yang pada awalnya berarti “pemberian” atau “persembahan”
sering digunakan sebagai hadiah untuk menyuap seseorang.
c. Korupsi dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru
korupsi dapat ditunjukkan melalui kisah Ananias dan Safira. Ananias dan Safira
yang menjual tanah miliknya, namun Ananias menahan sebagian hasil penjualan itu
atas sepengetahuan istrinya. Sebagian lagi dibawa dan diletakkannya di depan
kaki rasul-rasul. Tetapi Petrus mengetahui hal tersebut. Hal ini menunjukkan
perbuatan korupsi karena di dalamnya terdapat tindakan yang menggelapkan uang
untuk kepentingan pribadi. Korupsi ini dilakukan oleh dua pihak, yang berarti
bahwa mereka bersekongkol untuk melakukan tindakan tersebut, untuk memperkaya
diri mereka sendiri. Menurut Kisah Para Rasul 5:3-4, dapat kita ketahui bahwa
tindakan korupsi adalah tindakan mendustai Roh Kudus. Penggelapan uang yang
dilakukan oleh Ananias dan Safira diungkapkan dengan istilah
evpw,lhsen yang
berarti “menahan bagi dirinya sendiri, menyelewengkan. Ini menunukkan kecurangan
yang mengarah pada tindak korupsi. Tindakan ini mendustai Allah dan
mendatangkan maut bagi Ananias dan Safira yang merupakan anggota-anggota yang
sah dan penuh dari koinonia atau persekutuan gereja Tuhan pada waktu itu.
Tindakan korupsi juga
ditunjukkan peristiwa disuapnya Yudas Iskariot, salah satu murid Yesus untuk
mengkhianati-Nya yang diceritakan oleh Alkitab dalam Matius 26:14-16. Yudas menerima 30 keping emas dengan
menunjukkan Yesus kepada imam-imam kepala dan dengan demikian ia menguntungkan
dirinya sendiri yang seharusnya bukan haknya.
d.
Penyebab Korupsi
Ketika terjadi korupsi, maka
akan berbicara mengenai kepentingan pribadi atau kelompok, masalah impunity para koruptor yang menujukkan
lemahnya perangkat hukum, busuknya aparat penegak hukum, dan cara pandang yang salah mengenai wibawa kekuasaan, serta
campur tangan kekuasaan di dalam lembaga
peradilan yang di dalamnya terdapat praktek kekuatan tawar. Berikut beberapa
faktor penyebab korupsi:
1. Budaya Konsumerisme
Budaya
konsumerisme telah memperngaruhi pola hidup masyarakat Indonesia. Gaya hidup
seperti itu dilakukan oleh setiap lapisan masyarakat mulai dari lapisan
masyarakat yang paling rendah hingga lapisan masyarakat yang paling tinggi
katakanlah mereka yang menjadi pemimpin mulai pusat hingga ke daerah-daerah.
Konsumsi adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia, tetapi jauh manusia telah
masuk ke dalam pengertian yang keliru tentang kebutuhan tersebut. Herry Priyono
mendefenisikan konsumerisme secara singkat dan jelas “konsumerisme adalah kebutuhan
yang mengada-ada” lebih lanjut dikemukakannya, “Konsumerisme tidak hanya
menyangkut proses sosio psikologis, tetapi juga menyangkut berupa gejala
ekonomi politik”. Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa konsumerisme menjadi
syarat yang mutlak bagi kelangsungan bisnis, status dan gaya hidup.
Sistem
yang baru saat ini Baudriliard, adalah
objek komsumsi bukan sebagai benda itu sendiri sesuai dengan daya dan gunanya,
melainkan sebagai symbol status, identitas, dan pengangkat rasa percaya diri,
sehingga isu dasar konumerisme itu adalah kepemilikan status, kenyamanan, dan
percaya diri. Gaya hidup konsumerisme dikarenakan kita tidak tahu membedakan
antara kebutuhan dan keinginan. Ini ada hubungannya dengan motivasi. Kalau
bertolak dari ‘kebutuhan’, itu merupakan
suara dari dalam-dari hati nurani. Jika ia ‘keinginan’,
biasanya pengaruh dari luar. Mungkin karena ditawarkan di TV, internet,
dipajang di mall, terlihat di rumah orang atau dipakai orang di angkutan umum,
di pesta, atau di gereja. Iman kristiani sebenarnya amat menekankan orientasi
kebutuhan. Hal ini sangat jelas dari ajaran dan anjuran Tuhan Yesus, Rasul
Paulus dan yang lain. Tetapi, zaman ini agaknya sudah dikendalikan oleh
keinginan yang biasanya identik dengan kerakusan. Menumpuk barang-barang atau
materi yang lain dan melahap makanan melampaui batas kebutuhan harus dibayar
dengan ketidakpedulian terhadap sesama dan terhadap alam ciptaan Tuhan. Dengan
demikian akan memicu terjadinya korupsi.
2. Krisis moral
Ketika terjadi korupsi maka
nama-nama yang terkait di dalamnya menunjuk kepada mereka yang mempunyai suatu
jabatan katakanlah sebagai salah seorang peminpin. Hampir di setiap daerah
korupsi terjadi seperti penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan alokasi dana,
serta tawar menawar terkait masalah mengenai jabatan, uang, serta hal yang
berhubungan dengan materi. Hal yang menjadi bahan sorotan adalah peristiwa yang
demikian akan membuat masyarakat mengalami krisis kepercayaan kepada pempinpin
itu sendiri. Bagi mereka yang mempunyai wewenang dan seharusnya mematuhi hukum
justru terjebak dalam penyalahgunaan kekuasaan bahkan perjualbelian hukum demi
kepentingan pribadi atau kelompok. Sistim peradilan yang masih pandang buluh.
Proses penyelesaian dan pemberian hukum terhadap masayarakat biasa dan peminpin
atau orang besar yang melakukan korupsi
mendapat perlakuan yang berbeda, bahkan dapat dikatakan hukum pada
pelaksanaannya di Indonesia tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Untuk segala
kejadian tersebut maka dapat dikatakan bahwa sedang terjadi krisis moral
(baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun bagaimana ia seharusnya hidup,
atau apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan).
3. Penegakan Hukuman
Penegakan
hukuman yang berlaku dan yang terjadi di Indonesia masih mengalami gejolak yang
tidak stabil. Hal ini menunjukkan ketidakadilan dan masih dalam ranah
kecurangan. Hal inilah turut menjadi tantangan pemberantasan korupsi itu
sendiri, dimana pihak yang menangani kasus juga masih dipertanyakan kinerja dan
profesionalitasnya.
Adapun terkait cirri-ciri tindak korupsi,
Syed Hussein Alatas, mengemukakan ciri-ciri korupsi sebagai berikut:
-
Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan.
Seseorang yang diberikan amanah seperti seorang pemimpin yang menyalahgunakan
wewenangnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau kelompoknya.
-
Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga
swasta, atau masyarakat umumnya. Usaha untuk memperoleh keuntungan dengan
mengatasnamakan suatu lembaga tertentu seperti penipuan memperoleh hadiah
undian dari suatu perusahaan, padahal perusahaan yang sesungguhnya tidak
menyelenggarakan undian.
-
Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk
kepentingan khusus. Contohnya, mengalihkan anggaran keuangan yang semestinya
untuk kegiatan sosial ternyata digunakan untuk kegiatan kampanye partai
politik.
-
Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan
di mana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu.
Korupsi biasanya dilakukan secara tersembunyi untuk menghilangkan jejak
penyimpangan yang dilakukannya.
-
Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak.
Beberapa jenis korupsi melibatkan adanya pemberi dan penerima.
-
Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam
bentuk uang atau yang lain. Pemberi dan penerima suap pada dasarnya bertujuan
mengambil keuntungan bersama.
-
Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang
menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat memengaruhinya.
Pemberian suap pada kasus yang melibatkan petinggi Makamah Konstitusi bertujuan
memengaruhi keputusannya.
-
Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam
bentuk pengesahan hukum. Adanya upaya melemahkan lembaga pemberantasan korupsi
melalui produk hukum yang dihasilkan suatu negara atas inisiatif oknum-oknum
tertentu di pemerintahan.
e.
Solusi
Kerjasama Oikumenis
Korupsi menjadi tanggung
jawab bersama bagi setiap masyarakat Indonesia. Peran lemabaga keagamaan sangat
mempengaruhi atau dengan kata lain sebagai jalan masuk untuk mengurangi
tindakan korupsi yang dapat merugikan orang banyak. Lembaga kegaamaan secara
oikumenis bekerjasama dalam pembentukan pola pikir serta pemahaman yang baik
terhadap suatu jabatan atau kedudukan. Azyumardi Azra menyatakan, “Jika Agama
berperan lebih besar dalam pemberantasan korupsi, hal itu bisa gereja atau
masjid dilakukan dengan meningkatkan peran institusi kegamaan seperti NU,
Muhammadiah, dan lain-lain sebab lembaga-lembaga seperti ini memiliki
kredibilitas tertinggi dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain sejauh
menyangkut kemungkinan terjadinya korupsi dan penyelewengan-penyelewengan
lain”.
Dalam pasal 1 butir 3 UU RI
No. 30/2002; pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan
untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi; melalui upaya koordinasi,
supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan; dan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bibit Samad Rianto menggolongkan rangkaian
pemberantasan korupsi ke dalam;
-
Deteksi: mengumpulkan dan mengolah data menjadi informasi,
merumuskan sasaran pemberantasan korupsi dan mendukung informasi lanjutan dalam
proses penindakan.
-
Preemtif (penangkalan):
menangani hulu permasalahan korupsi melalui perbaikan sistem, moral,
kesejahteraan, control dan budaya taat pada hukum serta bekerjasama mencari
solusi terbaik bagi kepentingan bangsa berdasarkan hukum.
-
Preventif (pencegahan): membuat setiap entitas dalam
masyarakat aman dari tindak korupsi serta menjaga agar kerawanan korupsi tidak
dimanfaatkan oleh koruptor
-
Represif (penindakan): melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan TPK; melakukan upaya hukum lanjutan; melaksanakan eksekusi putusan
hakim yang sudah inkhrat
-
Rehabilitasi (pemulihan): mengembalikan asset/ kerugian
Negara akibat korupsi dan memulihkan kondisi materil dan moril akibat korupsi.
Dalam pencegahan korupsi, semua pihak harus
berkomitmen dan bekerjasama.
1. Pemerintah
-
Kajian sistem yang
berpotensi korupsi- reformasi birokrasi
-
Memperkuat kapasitas anggota DPR/ DPRD
-
Laporan harta kekayaan penyelenggaraan Negara (LHKPN)
-
Pelaporan/ penetapan status gratifikasi
-
Transaksi keuangan melalui perbankan di atas 100 jt rupiah
-
Pelayanan public tanpa korupsi
2. Swasta
-
Etika bisnis (good corporate governance)
-
E-Procurement (e- Announcement)
-
Island of integrity
3. Masyarakat
-
Riset kerawanan, potensi penyebab dan trend korupsi
-
Pencarian solusi terbaik dalam menangani akar masalah korupsi
-
Konsultasi pembuatan Action Plan dalam perbaikan sistem
-
Pendidikan Anti-korupsi sejak dini
-
Advokasi terhadap korban tindak kesewenang-wenangan pihak
ketiga
3.
Tanggapan teologis
Seperti yang telah diungkapkan
di atas, korupsi merupakan salah satu cerminan hidup yang konsumerisme. Dimana
orang-orang menunjukkan kepada penggunaan materi secara “mengada-ada”. Dalam
hal ini, konsumerisme menjadi situasi yang tidak mampu melihat anugrah atau
sesuatu yang telah diberikan kepada seseorang tersebut. Segala yang ada selalu
dianggap kurang sehingga menginginkan yang lain.
Dalam
Lukas 11: 2, mengambarkan bagaimana Yesus melalui pengajaran doa-Nya “yang kita kenal saat ini Doa Bapa Kami”
, mengajarkan kepada murid- murid-Nya mengenai hidup dalam kecukupan. Doa ini
tidak hanya sebatas doa, dalam kondisi konteks saat itu dalam kehidupan orang-
orang Yahudi yang hidup dalam masa penjajahan oleh bangsa Romawi, makanan
ataupun roti menjadi sesuatu yang sangat sulit. Makanan menjadi salah satu
masalah yang cukup serius pada masa itu. Dan dalam keadaan konteks pada saat
itu makanan menjadi salah satu penyumbang permasalahan dalam kehidupan sosial
dikalangan bangsa Yahudi. Secara tidak langsung, Yesus dengan pengajaran doa-Nya
mengisyaratkan kepada mereka untuk hidup saling berbagi, tidak hidup dalam
keegoisan dan tidak mengkwahtirkan dengan apa yang akan mereka makan pada hari
esok. Dalam hal ini, Yesus hendak mengajarkan bagaimana praktek dan cara hidup
orang Kristiani yang tercermin dalam doanya. “Berilah pada hari- hari kami
makanan kami yang secukupnya” mengacu kepada suatu konsep hidup yang jauh dari
keegoisan dan ketamakan. Hidup dalam persekutuan sebagai orang Kristiani sangat
ditekankan Yesus dalam pengajaran doa-Nya ini.
Sementara
itu, Kitab Keluaran 16: 16 menjelaskan bahwa tiap- tiap orang dapat mengambil
apa yang menjadi bahagiannya, setiap orang dapat mengambil satu gomer untuk
setiap orangnya. Dan Allah juga memerintahkan agar mereka tidak mengambil lebih
dari apa yang dibutuhkan mereka. Dalam peristiwa inilah kita dapat melihat
hidup yang ugahari yang sebenarnya. Suatu kehidupan yang tidak mengambil hak
orang lain, mengambil sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
Yohanes
Pembaptis dalam pengajarannya, Luk. 3:10-14, juga turut mengajarkan bagaimana
kehidupan umat Allah yang hendaknya mencukupkan
apa yang telah ia terima (gajinya). Dengan demikian, Allah tidak
mengkehendaki perbuatan yang dilakukan seseorang untuk memeperoleh keuntungan
pribadinya secara tidak baik, seperti korupsi.
Hal
di atas menunjukkan pengajaran pola hidup Ugahari. Dalam pengertian
sederhananya, ugahari diartikan dengan kata hidup dalam kecukupan, tidak
berlebih dan juga tidak kekurangan. Hal ini hendak memanggil umat percaya
sebagai orang-orang yang mencukupkan apa yang ada dalam kehidupannya, termasuk
tidak melakukan korupsi untuk keuntungan yang lebih maupun pola kehidupan
konsumerisme. Doa Bapa Kami, dan pemberian manna kepada bangsa Israel dapat
menjadi suatu landasan dalam hidup iman
Kristen.
4.
Kesimpulan
Korupsi telah menjadi
penyakit yang mewabah di Indonesia serta sangat mengkhawatirkan. Tidak dapat
dipungkiri lagi, bahwa semua orang berdampak menjadi korban atas tindak korupsi
yang dilakukan pihak tak bertanggung jawab. Kemiskinan, kemelaratan, serta
kelaparan dan kebodohan turut dipicu oleh pelaku-pelaku korupsi di negeri ini.
Sebagaimana terasa menjadi korban, kita juga turut dipanggil menjadi agen
pemberantas sekaligus menjauhkan diri dari tindakan korupsi. Dalam hal inilah,
gereja juga turut dalam tuntutan tersebut sebagai instansi sosial yang
bertanggung jawab atas keadilan dan kesejahteraan masyarakat, terkhususnya para
jemaat. Dengan memulai keugaharian hidup jemaat kiranya dapat membangun hidup
kecukupan dengan rasa syukur dan bertanggung jawab atas segala kehidupan yang
telah diterima. Tidak sekedar keadilan, namun sikap anti korupsi juga memacu
bagaimana jemaat siap hidup dalam kesederhanaan dengan penuh rasa syukur dan
bertanggung jawab atas tugas dan wewenang yang diemban.
Daftar Pustaka
Bergant, Dianne,
2002 Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta:
Kanisius)
Davids, Peter H.
Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Baru (Malang: SAAT)
Drews, B.F. dkk,
2008 Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru: Kitab Injil Matius Hingga Kitab
Para Rasul (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Haryatmoko,
2003 Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta :
Compas
Heuken, A.
1993 “Korupsi”
dalam Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta : Cipta Loka Caraka)
Klitgraard, Robert,
2005 Membasni Korupsi, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed),
2005 Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta,
Kanisius Anggota IKAPI)
Napitupulu, Diana,
2010 KPK In Action, (Jakarta : Raih Asah Sukses Penebar Swadaya Group)
Nolland, John,
1993 Word Biblical Commentary Vol.
35b, Word Book Publisher; Dallas, Texas)
Peterson, Robert M.,
Tafsiran Alkitab Keluaran, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Tinambunan, Victor,
ApaYang Kamu Cari ?
Trim, Bambang (ed),
2004 Buku Ajar: Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi, (Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan,)
Wijayanto & Ridwan Zachrie,
2009 Korupsi :Mengorupsi
Indonesia Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama)
Yanto, Oksidelfa,
2010 Membongkar Manipulasi dan Konspirasi Hukum di Indonesia : Mafia Hukum,
(Jakarta : Raih Asa Sukses)
Bibit Samad Rianto dalam diskusi Konsultasi Nasional
Mahasiswa di Indonesia pada 13-16 Oktober 2015 di Salatiga.
No comments:
Post a Comment