Thursday, 30 November 2017

Women in Early Christianity




1. Latar Belakang
            Berbicara mengenai peranan perempuan di dalam Kekristenan, tentu kita mengenal Maria, ibu Yesus yang merupakan perempuan yang taat pada perintah Allah. Kita juga mengenal Maria Magdalena, Maria dan Martha, perempuan Samaria yang berbincang dekat sumur, dan seorang perempuan sakit pendarahan yang menjamah Tuhan Yesus, dimana dia mengalahkan stigma sebagai orang yang cemar, tidak kudus dan dia berani keluar rumah hanya untuk diam-diam menjamah jubah Yesus, tetapi kemudian Tuhan memperhatikan dia dan memuji bahwa imannya telah menyembuhkan dan mentahirkan perempuan tersebut. Perempuan itu tidak saja disembuhkan dari penyakitnya, tetapi imannya menyelamatkannya. Yesus memberikan afirmasi yang kuat kepadanya dan afirmasi ini hanya diberikan kepada orang buta di injil markus.[1]
            Dalam sejarah kekristenan dan tradisi gereja, kita melihat bahwa laki-laki selalu memegang peranan utama di dalam gereja dan pelayanan. Sementara peranan perempuan sering kali disampingkan, dipinggirkan dan bahkan dilupakan. Kalau kita melihat ke dalam Perjanjian Baru, kita melihat bahwa sebenarnya perempuan memegang peranan yang cukup penting di dalam pelayanan. Kita tentu ingat bahwa Maria Magdalenalah yang menangkap perkataan-perkataan Yesus menjelang Dia disalibkan, sehingga dia mencurahkan narwastu sebagai persiapan kematian Yesus. Pada saat hari ketiga pun, Maria Magdalenalah yang pertama pagi-pagi buta berani pergi ke kubur Yesus tanpa peduli terhadap imam-imam Yahudi atau pengawal Romawi, sementara Petrus dan yang lainnya masih dalam kondisi yang penuh kegundahan. Maria Magdalena bahkan dihormati dengan istilah Rasul dari para rasul.[2]
Kita melihat bahwa umat beriman sekarang ini menerima harta warisan yang sangat karya, yang terwujud  dari perjuangan-perjuangan dan kemajuan-kemajuan para saksi iman sebelumnya, dan sekaligus mereka harus menjadi saksi Kabar Gembira dengan cara-cara yang dapat diterima oleh dunia mereka sendiri. Supaya tidak mandek dan mengering, suatu tradisi yang hidup perlu diteruskan dalam kondisi yang hidup pula.[3]
            Teologi feminis muncul dari pengakuan akan penderitaan suatu kelompok khusus yang tertindas dalam hal ini kaum perempuan. Menyadari bahwa kaum perempuan selalu dipandang dan diperlakukan sebagai warga kelas dua dalam masyarakat dan Gereja, dinilai bertentangan dengan martabat mereka yang penuh sebagai manusia, dan akhirnya mereka bangkit dan berteriak: tidak boleh terjadi seperti ini; hal ini bertentangan dengan kehendak Allah. Refleksi dilakukan secara berkelompok; dan kelompok-kelompok ini aktif berpraksis, atau melawan penindasan patriarkal dengan berdoa.[4]
            Dalam teologi klasik, seorang bapa Gereja, Augustinus menulis sebagai berikut :
“Perempuan tidak memiliki citra Allah dalam dirinya sendiri, tetapi hanya apabila disatukan bersama dengan laki-laki yang menjadi kepalanya, sehingga seluruh manusia adalah satu citra. Akan tetapi apabila ia diberi peranan sebagai penolong, fungsi yang menjadi miliknya saja, maka ia bukan citra Allah. Akan tetapi, sejauh menyangkut manusia Adam, ia dari dirinya sendiri saja adalah citra Alah sepenuh dan seutuh ketika ia dan perempuan digabungkan menjadi satu”[5]

2. Critical Review
            Kita melihat di dalam surat Korintus Paulus banyak berbicara tentang peranan perempuan di dalam gereja, dimana perempuan harus tunduk kepada laki-laki di dalam jemaat. Di dalam 1 Korintus 11:3, Paulus berbicara tentang kepala dari laki-laki adalah Kristus dan kepala  dari perempuan adalah laki-laki. Kemudian Paulus juga berbicara mengenai masalah penudungan kepala yang melambangkan perempuan tunduk kepada otoritas laki-laki.
            Kemudian kita melihat di dalam 1 Korintus 14:34-35, lebih lanjut Paulus berbicara tentang perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan tidak di perbolehkan untuk berbicara. Jika ada yang ingin ditanyakan bisa ditanyakan kepada suaminya di rumah. Adalah tidak sopan untuk perempuan berbicara dalam pertemuan Jemaat. Hal yang sama dikatakannya kembali kepada Timotius di dalam 1 Timotius 2:8-15.
            Berkaca pada surat Timotius, kita mengetahui bahwa sebenarnya Timotius juga memperoleh pengajaran Firman Tuhan dan teladan takut akan Tuhan dari didikan neneknya Lois dan ibunya Eunike. Kedua perempuan inilah yang mempunyai peranan penting dalam mendidik Timotius sehingga Timotius menjadi seorang yang saleh dan takut akan Tuhan.
            Perempuan tidak pernah melihat dirinya dicirikan secitra dengan Allah atau mendekati citra Allah. Dalam Kejadian bab 1, tatkala Allah menciptakan sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, adalah sama citra Allah. Teologi feminis berpikir bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut citra Allah, maka Allah kiranya dapat digambarkan sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan, dengan selalu mengingat keterbatasan kiasan-kiasan kita.[6]
           


[1] Kinukawa, Hisako, Women and Jesus in Mark, New York: Orbis books, 1994, hal 47
[2] Kung, Hans, Women in Christianity, London : Continiuum, 2001, hal 12
[3] Johnson, Elizabeth, Kristologi di Mata Kaum Feminis, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal 17
[4] Ibid, hal 121-122
[5] Ibid, hal 124-125
[6] Ibid, hal 129

No comments:

Post a Comment