1. Latar Belakang
Berbicara mengenai peranan perempuan
di dalam Kekristenan, tentu kita mengenal Maria, ibu Yesus yang merupakan
perempuan yang taat pada perintah Allah. Kita juga mengenal Maria Magdalena,
Maria dan Martha, perempuan Samaria yang berbincang dekat sumur, dan seorang
perempuan sakit pendarahan yang menjamah Tuhan Yesus, dimana dia mengalahkan
stigma sebagai orang yang cemar, tidak kudus dan dia berani keluar rumah hanya
untuk diam-diam menjamah jubah Yesus, tetapi kemudian Tuhan memperhatikan dia
dan memuji bahwa imannya telah menyembuhkan dan mentahirkan perempuan tersebut.
Perempuan itu tidak saja disembuhkan dari penyakitnya, tetapi imannya
menyelamatkannya. Yesus memberikan afirmasi yang kuat kepadanya dan afirmasi
ini hanya diberikan kepada orang buta di injil markus.[1]
Dalam sejarah kekristenan dan
tradisi gereja, kita melihat bahwa laki-laki selalu memegang peranan utama di
dalam gereja dan pelayanan. Sementara peranan perempuan sering kali
disampingkan, dipinggirkan dan bahkan dilupakan. Kalau kita melihat ke dalam
Perjanjian Baru, kita melihat bahwa sebenarnya perempuan memegang peranan yang
cukup penting di dalam pelayanan. Kita tentu ingat bahwa Maria Magdalenalah
yang menangkap perkataan-perkataan Yesus menjelang Dia disalibkan, sehingga dia
mencurahkan narwastu sebagai persiapan kematian Yesus. Pada saat hari ketiga
pun, Maria Magdalenalah yang pertama pagi-pagi buta berani pergi ke kubur Yesus
tanpa peduli terhadap imam-imam Yahudi atau pengawal Romawi, sementara Petrus
dan yang lainnya masih dalam kondisi yang penuh kegundahan. Maria Magdalena
bahkan dihormati dengan istilah Rasul dari para rasul.[2]
Kita melihat bahwa umat beriman sekarang ini
menerima harta warisan yang sangat karya, yang terwujud dari perjuangan-perjuangan dan
kemajuan-kemajuan para saksi iman sebelumnya, dan sekaligus mereka harus
menjadi saksi Kabar Gembira dengan cara-cara yang dapat diterima oleh dunia
mereka sendiri. Supaya tidak mandek dan mengering, suatu tradisi yang hidup
perlu diteruskan dalam kondisi yang hidup pula.[3]
Teologi feminis muncul dari
pengakuan akan penderitaan suatu kelompok khusus yang tertindas dalam hal ini
kaum perempuan. Menyadari bahwa kaum perempuan selalu dipandang dan
diperlakukan sebagai warga kelas dua dalam masyarakat dan Gereja, dinilai
bertentangan dengan martabat mereka yang penuh sebagai manusia, dan akhirnya
mereka bangkit dan berteriak: tidak boleh terjadi seperti ini; hal ini
bertentangan dengan kehendak Allah. Refleksi dilakukan secara berkelompok; dan
kelompok-kelompok ini aktif berpraksis, atau melawan penindasan patriarkal
dengan berdoa.[4]
Dalam teologi klasik, seorang bapa
Gereja, Augustinus menulis sebagai berikut :
“Perempuan tidak
memiliki citra Allah dalam dirinya sendiri, tetapi hanya apabila disatukan
bersama dengan laki-laki yang menjadi kepalanya, sehingga seluruh manusia
adalah satu citra. Akan tetapi apabila ia diberi peranan sebagai penolong,
fungsi yang menjadi miliknya saja, maka ia bukan citra Allah. Akan tetapi,
sejauh menyangkut manusia Adam, ia dari dirinya sendiri saja adalah citra Alah
sepenuh dan seutuh ketika ia dan perempuan digabungkan menjadi satu”[5]
2. Critical Review
Kita melihat di dalam surat Korintus
Paulus banyak berbicara tentang peranan perempuan di dalam gereja, dimana
perempuan harus tunduk kepada laki-laki di dalam jemaat. Di dalam 1 Korintus
11:3, Paulus berbicara tentang kepala dari laki-laki adalah Kristus dan
kepala dari perempuan adalah laki-laki.
Kemudian Paulus juga berbicara mengenai masalah penudungan kepala yang
melambangkan perempuan tunduk kepada otoritas laki-laki.
Kemudian kita melihat di dalam 1
Korintus 14:34-35, lebih lanjut Paulus berbicara tentang perempuan harus
berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan tidak di perbolehkan untuk berbicara.
Jika ada yang ingin ditanyakan bisa ditanyakan kepada suaminya di rumah. Adalah
tidak sopan untuk perempuan berbicara dalam pertemuan Jemaat. Hal yang sama
dikatakannya kembali kepada Timotius di dalam 1 Timotius 2:8-15.
Berkaca pada surat Timotius, kita
mengetahui bahwa sebenarnya Timotius juga memperoleh pengajaran Firman Tuhan
dan teladan takut akan Tuhan dari didikan neneknya Lois dan ibunya Eunike.
Kedua perempuan inilah yang mempunyai peranan penting dalam mendidik Timotius
sehingga Timotius menjadi seorang yang saleh dan takut akan Tuhan.
Perempuan tidak pernah melihat
dirinya dicirikan secitra dengan Allah atau mendekati citra Allah. Dalam
Kejadian bab 1, tatkala Allah menciptakan sepasang manusia, laki-laki dan
perempuan, adalah sama citra Allah. Teologi feminis berpikir bahwa baik
laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut citra Allah, maka Allah kiranya
dapat digambarkan sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan, dengan selalu
mengingat keterbatasan kiasan-kiasan kita.[6]
[1] Kinukawa, Hisako, Women and Jesus in Mark, New York: Orbis books,
1994, hal 47
[2] Kung, Hans, Women in
Christianity, London : Continiuum, 2001, hal 12
[3] Johnson, Elizabeth, Kristologi
di Mata Kaum Feminis, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal 17
[4] Ibid, hal 121-122
[5] Ibid, hal 124-125
[6] Ibid, hal 129
No comments:
Post a Comment