Friday, 17 November 2017

PARMALIM



                                                     PARMALIM

1.            Pendahuluan.
Selain  enam agama yang diakui di Indonesia, sebenarnya ada banyak agama-agama suku yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Walaupun tidak diakui secara resmi oleh pemerintah tetapi mereka tetap berusaha untuk mempertahankan agama dan berusaha untuk berkembang. Salah satunya dari agama suku itu adalah agama Parmalim yang akan kami sajikan dalam sajian ini. Sajian ini adalah hasil penelitian kami, namun harus diakui bahwa sajian kami ini tidak mencakup seluruh informasi menyangkut Parmalim.
2.            Isi
2.1.        Sejarah Parmalim
Agama Parmalim berawal dari kehidupan spiritual para nenek moyang orang batak, dimana mereka merasa bahwa ada kekuatan diluar diri mereka yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya, dan itulah yang disebut dengan Mulajadi Nabolon. Mereka juga berpikir bahwa mereka harus mempunyai hubungan yang baik dengan Pencipta sehingga mereka memiliki ritus-ritus pemujaan terhadap Pencipta.[1]
Parmalin adalah suatu aliran yang didirikan oleh Sisingamangaraja dalam rangka usaha Sisingamangaraja untuk menjaga agar unsur-unsur agama batak kuno tetap terpelihara dalam menghadapi ajaran Kristen, Islam, dan penjajah Belanda. Orang yang sangat besar partisipasinya dalam mengembangkan agama Parmalim ini adalah bekas panglima Sisingamangaraja seperti Guru Somalaiang Pardede dan Raja Mulia Naipospos. Raja Mulia Naipospos mendapat surat langsung untuk menjaga agama ini, dan surat ini dapat kita lihat di Hutatinggi, Laguboti. Menurut pandangan umum, Guru Somalaiang inilah yang memulai aliran kebatinan Parmalim, sekalipun sudah ada pendahulu-pendahulunya. Sesudah guru Somalaiang muncul lagi Guru Mulia Naipospos dan Amani Hongkop Sijabat dan pada masa ini telah bercampur unsur Katholik dan Islam. Adapun buktinya ialah ucapan Naepulo Maria yang tidak lain adalah Bunda Maria yang sangat penting dalam agama Katholik. Sejak meninggalnya Sisingamangaraja pada 19 Juni 1907, pihak Parmalim tidak percaya dan tidak menerima kematian Sisingamangaraja, mereka mengatakan bahwa Sisingamangaraja menderita dan mengembara dari suatu tempat ke tempat lain dan tampil sebagai peminta-minta dan mereka menamai Sisingamangaraja dengan Raja Nasiakbagi. Dengan kata lain pihak Parmalim masih percaya bahwa Sisingamangaraja masih hidup dan mereka mempunyai harapan messianik, bahwa Sisingamangaraja akan tampil kembali dalam kebesarannya dan bersinggasana di Bakara. Selain gerakan Parmalim, ada juga gerakan Sihudamdam yang bergerak di Napaparira, Muara, Bakara, Karo, Simalungun, Samosir, Habisaran, Dairi, dan di Barus. Gerakan Sihudamdam adalah gerakan yang memiliki tujuan yang sama melawan kolonial Belanda. Dan gerakan Parmalim bekerja sama dengan Parhudamdam.[2]
            Parmalim adalah identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut Ugamo Malim. Pada masyarakat umumnya, Parmalim sebagai identitas pribadi itu lebih populer dari “Ugamo Malim” sebagai identitas lembaganya. Kehidupan masyarakat Batak dulu penuh dengan konflik-konflik yang datang pihak luar, dan yang berjuang akan hal itu adalah Raja Sisingamangaraja yang menyatakan “penolakan” terhadap kolonialisme Belanda yang dinilai merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan budaya.[3] Masuknya tatanan baru seiring dengan menyusupnya “kepercayaan baru” yang meninggalkan “Mulajadi Nabolon”. Sebelum agama Islam dan Kristen datang ke tanah Batak, orang batak mempercayai Tuhan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu orang Batak juga dapat dikatakan masih dalam keadaan tidak beragam (pagan). Paganisme adalah campuran kepercayaan agama kepada Debata, dalam paganisme orang Batak, Mulajadi Nabolon tidak ada yang bermula dari padaNya, Mulajadi Nabolon tidak kawin dan tidak beranak. Selain Mulajadi Nabolon orang batak juga mempercayai tiga Debata yang diambil dari Trimurti Hindu : 1. Batara Guru, 2. Soripada, 3. Mangalabulan. Selain Mulajadi Nabolon orang batak mempercayai kuasa-kuasa alam dalam paganisme batak, yaitu : Boraspati Di Tano dan Boru Saniangnaga, yang kedua-duanya dianggap sebagai dewa yang berkuasa dibanua tonga. Debata-debata ini disembah dalam setiap bius dan setiap bius mempunyai pemimpin yang dipilih oleh raja-raja Horja. Adapun upacara yang dilakukan dalam lembaga bius adalah pesta bius dan parmanuhon. Pertama adalah upacara pesta syukuran yang diadakan setiap tahun setelah panen dan menjelang menanam padi untuk tahun berikutnya. Upacara ini juga disebut Asean Taon. Upacara parmanuhon berlatar belakang bencana upacara ini dilakukan setelah adanya tanda-tanda alam dan terjadinya suatu musibah.[4]
Agama malim mengakui adanya suruhan Debata Mulajadi Nabolon, mereka disebut malim Debata. Empat malim yang diakui dan diutus diantaranya adalah  Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, Raja Nasiakbagi. Malim Debata ini memiliki harajaon Malim (harajaon malim) yang ada dibanua tonga bumi. Pada masa Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, Raja Nasiakbagi, ajaran keagamaan ini belum diresmikan, hanya sebagai bentuk kepercayaan yang ada didalam ritual. Raja Uti sebagai pemimpin umat yang kharismatis, dia tampil ketika dalam keadaan chaos. Raja Uti menyelamatkan manusia dan mengembalikan kepercayaan untuk menyembah Mulajadi Nabolon, dia juga yang membentuk ajaran “marsuhi ni ampang na opat” yang terdiri dari tona, poda, patik, uhum. Raja Simarimbulubosi adalah penerus Raja Uti. Agama Malim mengakui Simarimbulubosi adalah bentuk kasih dari Debata kepada bangsa Batak. Sisingamangaraja hadir setelah beberapa puluh tahun setelah Simarimbulubosi yang tugasnya mengisbatkan adat patik uhum yang dibentuk oleh Raja Uti. Sosok Raja Nasiakbagi membawa kesan yang menggembirakan bagi masyarakat Batak dimana mereka semakin yakin bahwa Sisingamangaraja tidak benar mati. Satu kalimat yang diucapkan Raja Nasiakbagi kepada murid-muridnya “malim ma hamu” yang artinya sucilah kamu atau senantiasalah suci dalam keagamaan. Sejak pengarahan ajaran inilah agama malim menjadi resmi dan popular. Kemudian Raja Nasiakbagi pergi meninggalkan anaknya namun dia mewariskan kepada muridnya yang setia, yaitu Raja Mulia Napospos, dia mengemban tugas untuk menyiarkan ajaran agama Malim.[5]

2.2.   Ajaran-Ajaran Parmalim
Di dalam Agama Malim, sosok Mulajadi Nabolon itu tidak dapat dilihat oleh mata dan juga tidak mengenal pencipta sebagai pribadi laki-laki atau perempuan, sehingga mereka menyebutnya Ompung, tidak Ompung baoa dan Ompung boru, hanya Ompung. Lalu bagaimana  dengan Sisingamangaraja? Stigma masyarakat mengatakan bahwa Sisingamangaraja adalah Ompung itu adalah salah, karena bagi mereka Sisingamangaraja adalah malim (orang suci) bukan Mulajadi Nabolon. Roh Sisingamangaraja disucikan oleh Ompu Mulajadi Nabolon, sehingga serupa menjadi Ompu, namun tidak sama.[6]
2.2.1.   Penciptaan Menurut Parmalim
Siraja Batak bukan lahir dari tanah atau jatuh dari langit, usianya juga bukan seribu tahun. Penciptaan menurut parmalim dimulai dari para dewa serta roh-roh yang tidak terhitung jumlah ada dalam banua ginjang lalu debata berkeinginan menjodohkan dengan raja Odap-odap agar meramaikan banua ginjang. Namun Deakparujar menolak serta mengulur waktu. Melihat kelakuan Dewak Parujar debata marah kepadanya dengan berkata karena menurut mitologi Deakparujar belum menyelesaikan menenun ulosnya karena sikapnya yang berleha-leha itu. Oleh karena itu debata marah dan berkata “ambillah tongkatku yang besar itu dan kaitkanlah di dekat alat tenunmu”. Lalu Deakparujar melakukannya namun tongkat dan alat tenun itu jatuh  di ruang yang kosong dan Deakparujar mengikatkan roda gulungan benang pada tongkat itu namun benang itu semakin berlepasan, berserakan  dan jatuh. Deakparujar berusaha turun dan memegang benang itu sehingga sampai ke pangkal tongkat yang tertancap di dalam air. Deakparujar merenungkan kesalahannya lalu debata menyuruh Sileangleangmandi untuk menjemput Deakparujar agar kembali ke banua ginjang. Namun Deakparujar menolak untuk kembali ke banua ginjang. Dia memohon agar debata memberikan segenggam tanah agar diciptakannya untuk tempat tinggalnya. Lalu debata mengabulkannya dan Deakparujar menciptakkan tanah itu di atas air. Untuk kedua kalinya debata mengutus Sileangleangmandi untuk menjemput deakparujar namun dia tidak mau, lalu debata mengutus Nagapadohaniaji untuk menghancurkan bumi ciptaan Deakparujar dan bumi itupun hancur. Lalu Deakparujar memohon agar debata memberikan tanah yang kedua untuk memperbaiki tanah yang rusak sekaligus menciptakan bumi yang baru. Namun Nagapadohaniaji kembali mengguncang ciptaan Deakparujar dan inilah yang disebut lalo. Karena peristiwa itu Deakparujar memohon agar diberikan segulung sirih masak (benang yang menyerupai dan segenggam tanah lagi). Lalu Deakparujar memakannya dan dia bertambah cantik.  Lalu Nagapadohaniaji memohon agar Deakparujar mau kawin dengannya, namun Deakparujar menyuruh agar Nagapadohaniaji dipasung dan setelah dipasung dia menciptakan tanah untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya tanah itu semakin luas dan menutupi Deakparujar sampai tidak terlihat oleh Nagapadohaniaji. Nagapadohaniaji berusaha melepaskan diri dari pasungan itu tetapi tidak berhasil. Deakparujar terus mencipta tanah sehingga Nagapadohaniaji semakin tertimbun oleh tanah itu dan tanah inilah yang kemudian disebut banua tonga atau bumi. Bagi agama malim cerita penciptaan tanah ini sebagai simbol yang menggambarkan bahwa diatas bumi inilah awal kehidupan manusia sekaligus tempat mengabdi kepada debata sebelum kembali kepada asalnya. Manusialah yang mengelola bumi untuk kehidupannya.[7]
Setelah debata melihat tanah yang diciptakan Deakparujar itu indah dan luas maka debata kembali menyuruh Raja Odap-odap untuk menemani Deakparujar karena debata melihat betapa sepinya Deakparujar di tanah yang luas itu. Raja Odap-Odap mengiakan dan dia pergi ke bumi namun Deakparujar tidak memberikan respon sehingga debata marah dan mengirim suruhan untuk menjemput dia kembali ke banua ginjang kalau tidak biarlah dia sendirian di bumi mendengar itu sedihlah hati Deakparujar dan dia meminta agar suruhan itu kembali dan meminta agar debata turun untuk memberkati Deakparujar dengan Raja Odap-Odap, tetapi debata tidak mengabulkan permintaan itu. Debata berpesan biarlah mereka yang memberkati diri mereka sendiri dan oleh karena itu dia akan mendapat hukuman dalam perjalanan hidupnya dia harus berkeringat mencari makan. Akhirnya mereka menikah tanpa diberkati debata. Beberapa bulan kemudian Deakparujar melahirkan tetapi tidak layaknya seorang manusia tetapi berbentuk benda gumul atau ketuban yang masih terbungkus. Deakparujar sangat takut dengan bayinya sehingga dia memohon kepada debata supaya dia yang mengasuh bayinya tetapi debata berkata tidak usah takut dengan itu, tetapi tanamlah bayi itu di tanah yang kau ciptakan supaya ada sanggul-sangulnya. Deakparujar mengikuti dan setelah 7 hari pecahlah bayi yang tidak sempurna itu dan bersamaan dengan itu tumbuhlah dengan semacam tumbuh-tumbuhan dan rumput sebagai sangul-sanggul di tanah yang diciptakan Deakparujar. Kemudian Deakparujar mengandung dan melahirkan anak kembar satu laki-laki (Raja Ihat Manisia) dan perempuan (Boru Ihat Manisia). Setelah mereka besar debata Mulajadi Nabolon bersama Bataraguru, Sorisohaliapan, dan Bala Bulan datang ke bumi dan pada saat itu Raja Ihot dan Boru Ihot diberkati mula jadi nabolon menjadi suami-istri. Debata memberi pesan kepada mereka “na jadi dohot na so jadi” artinya apa yang harus dilakukan dan tidak bisa dilakukan.[8]
Debata memberi pesan kepada mereka berdua sebagai berikut: Yang harus dilakukan “untuk menjaga hubungan yang baik antara banua ginjang dengan banua tonga maka mereka harus memberikan sesaji dan sesaji ini harus bersih dan suci”. Yang tidak bisa dilakukan “ tidak boleh memakan darah hewan karena darah itu adalah bagian untuk Nagapadohaniaji, tidak boleh makan daging babi, dan bangkai”. Setelah debata selesai memberikan semua perintah itu, debata bersama Debata Natolu dan juga Deakparujar serta raja Odap-odap kembali ke banua ginjang. Raja Odap-odap ditempatkan di matahari dan ini sangat sesuai dengan watak seorang ayah yang keras. Deakparujar ditempatkan dibulan dan sesuai dengan sifat seorang ibu yang lembut dan hingga kini bagi agama malim diyakini bahwa Deakparujar masih berada dibulan sebagai ibu Panorha (ibu yang bertenun).[9]

 2.2.2 Kematian menurut Parmalim
Manusia yang “hidup” adalah manusia yang rohnya masih di dalam jasmani, masalah tondi adalah urusan Debata. Roh yang meninggalkan tubuhnya disebut bangke (jenazah), dan tondi itu akan menuju kepada Mulajadi Nabolon. Menurut Ugamo Parmalim, seorang yang telah meninggal rohnya akan dipasahat oleh pimpinan ugamo kepada Mulajadi Nabolon. Mereka punya palsafah tentang roh “haroanan tondi ro, halassonon tondi lao” artinya kita menyambut roh itu dari pencipta ketika lahir dengan bersukacita dan juga kita harus mengikhlaskannya ketika dimintaNya kembali oleh penciptanya. Dan satu bulan setelah kematiannya, mereka mengadakan acara kembali karena menurut mereka roh itu masih akrab dengan orang yang hidup, kegiatan mereka ini dianggap sebagai pengampunan atau permohonan atas dosa-dosa yang telah dilakukan dan acara ini hanya diikuti oleh keluarga dekat. Agama malim juga mempercayai adanya kehidupan selain kehidupan yang kita hidupi sekarang ini. Untuk itu selama hidup di dunia tidak boleh lupa mempersiapkan diri untuk kehidupan rohani (roh). Dalam agama malim diyakini sebelum tiba kealam akhirat (ari paruhuman), roh yang mati terlebih dahulu rohnya ditanyai pesuruh debata sebelum sampai kedua tempat yang dituju yang dinamakan huta hamatean (neraka) dan huta hangoluan (surga). Dalam tanya jawab yang  dilakukan  oleh habonaran-Nya yang disuruh oleh Debata, terdapat tondi yang kotor, dia mendengarkan pembicaraan tondi itu dengan habonaran Debata. Setelah mendengar pembicaraa yang telah didengar tondi yang kotor, dia mengunjungi keluarganya dan bahkan marasukunya, dan menyampaikan situasi proses perjalanan tondi saudaranya, dengan itu juga ia menyuruh agar keluarga mengadakan ritual khusus agar menolong tondi saudaranya. Selain keluarga, tondi yang kotor juga merasuki seorang datu/ dukun dengan wujud tondi yang asli dan meminta agar mengadakan ritual persembahan kepadanya. Tondi yang suci akan memasuki (na badia) jika selama hidupnya dia melakukan hal-hal yang baik, dan mereka juga dapat memanggil roh yang suci itu untuk memohon nasihat sekaligus agar memiliki sahala sepertinya. Selama hidupnya tondi yang kotor melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hadebataon (ketuhanan), dengan melakukan dosa-dosa, sehingga tondi yang kotor sering menggangu orang-orang yang kurang beriman agar sama mejadi seperti mereka. “Masalah kehidupan dan kematian adalah kuasa Debata”, tidak ada seorangpun yang tahu kapan ajalnya tiba. Manusia hanya mampu berusaha untuk melakukan persiapan diri menuju keridhohan Debata. “Engkau harus kuat dan pandai mencari kehidupan badanmu, tetapi engkau harus lebih kuat lagi mencari kehidupan tondi-mu”, maka dari itu kehidupan akhirat adalah rangkaian dari keberhasilan kehidupan semasa hidup di dunia.[10] Mereka juga mempercayai, apa yang diperbuat mereka selama mereka hidup di dunia itu juga yang mereka dapatkan imbalan yang setimpal sesuai perbuatannya. Dan di kuburan itu, biasanya ditanam pohon “hariara dan ompu-ompu”.[11]
2.2.3     Ritus-ritus Ugamo Malim
Tidak seperti agama lainnya, Parmalim tidak menyucikan benda-benda (relikwi) atau menurut kita Kitab Suci, sehingga pandangan-pandangan masyarakat tentang Parmalim yang dikatakan menyembah patung-patung adalah salah. Ajaran mereka sendiri disampaikan secara “lisan”. Bagi mereka bukan benda itu yang harus disucikan namun hati. Tempat Parmalim melakukan ibadah mereka adalah seperti gambar dibawah ini;
            Bale Pasogit Partonggoan adalah tempat berdoa para Parmalim, bentuknya menyerupai bentuk Masjid, pemimpin mereka yang disebut “ihutan” mendapatkan tempat yang tersendiri, ihutan tempatnya didepan para penganut. Di atas Bale Pasogit Partonggoan, terdapat tiga patung ayam dengan warna yang berbeda, dan warna-warna ini adalah warna khas orang Batak. Ayam yang ditengah-tengah adalah ayam merah putih, yang disebelah kanan ayam “jarum bosi”, dan yang dikiri adalah ayam hitam. Mengapa mereka membuat ayam sebagai simbol?.  Mereka memilih ayam sebagai lambang persembahan karena ayam memiliki rahasia yang tidak dimiliki binatang lainnya, yaitu mereka mengakui bahwa ayam  adalah “tertib dan disiplin”, dalam upacara keagamaan mereka, ayam itu dianggap sebagai persembahan mereka kepada Mulajadi Nabolon. Mereka beribadah hari Sabtu jam 11.00 WIB berdasarkan kesepakatan bersama. Adapun ritual peribadahan Parmalim adalah dengan doa, bersaksi dengan menyampaikan pengalaman-pengalaman hidup atau juga menyampaikan isi hatinya dan tidak dibatasi, patik yang berasal dari pemula-pemula, dan dapat direvisi. Istilahuing” adalah lagu yang dinyanyikan oleh tiap keluarga ketika berdoa. Namun sekarang mereka tidak menggunakan nyanyian itu. Dalam beribadah mereka menggunakan ulos sebagai pakaian mereka baik laki-laki maupun perempuan dan juga anak-anak. Khususnya bagi laki-laki mereka juga memakai sarung dan penutup kepala dari kain yang berwarna putih seperti dalam kalangan muslim.[12]
2.2.3.1        Puasa menurut Parmalim (Marsolam)
Dalam Ugamo Malim, terdapat Hari Hurung dan Bulan Hurung atau bulan terakhir. Dimana pada hari dan bulan Hurung mereka menjauhkan hal-hal yang duniawi. Mereka juga tidak banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang melelahkan. Dalam hari dan bulan Hurung mereka mempunyai banyak pantangan terhadap makanan, seperti babi, anjing, kera, katak, namun hal ini pada awalnya bertujuan untuk mengurangi konsumsi makanan, namun pada akhirnya menjadi subang (pantangan), sehingga hingga saat ini mereka tidak memakan daging babi dan darahnya, karena menurut mereka darah adalah roh (tondi)[13].
2.2.4     Aturan Agama Malim
Parmalim memiliki aturan-aturan yang disebut Aturan Ni Ugamo Malim, aturan-aturan tersebut disusun dalam bentuk tata upacara penghayatan  atau peribatan yang sebagai berikut:
·         Marari Sabtu: ibadah persembahan yang ditetapkan pada hari sabtu, dan dilaksanakan sekali dalam seminggu.
·         Martutuaek: upacara untuk kelahiran abyi yang dilakukan sebulan setelah kelahirannya dengan cara memandikannya serta memberikannya nama.
·         Pasahat Tondi: doa yang dilakukan setelah sebulan yang lalu terjadi kemalangan (meninggal).
·         Mardebata: doa pribadi, untuk meminta ampunan atas kesalahan yang telah diperbuat.
·         Mangan Napaet: puasa untuk menebus dosa yang dilaksanakan selama 24 jam penuh pada saat hari dan bulan hurung. Mangan Napaet melambangkan tentang penderitaan para pengikut malim.
·         Sipaha Lima: persembahan syukur atas hasil panen yang mereka peroleh, diiringi dengan tor-tor, gondang serta korban sembelihan (seperti kerbau dan lembu).
·         Penghayatan: keadaan yang mengharuskan melaksanakan upacara yang bersifat khusus.

2.2.5     Hukum Taurat (Patik)
·         Bagian Pertama: Marsuru (Menyuruh/Wajib)
Ø  Menyuruh atau mewajibkan agar selalu menyembah Tuhan Yang Maha Esa,
Ø  Menghormati Raja,
Ø  Mencintai sesame manusia serta rajin atau giat bekerja agarmempunyai kemampuan memuji Tuhan,
Ø  Menghormati Raja dan mencintai sesamanya.
·         Bagian Kedua: Maminsang (Melarang)
Ø  Melarang agar jangan mencuri,
Ø  Jangan berzinah atau memfitnah,
Ø  Jangan membunuh, mengolok-olok,
Ø  Jangan menghina pada orang tua,
Ø  Jangan menyesatkan orang buta, menelantarkan fakir miskin,
Ø  Jangan memandang hina kepada orang yang berpakaian compang-camping,
Ø  Jangan mengambil riba dari harta dan uang yang dipinjamkan pada sesame.
·         Bagian ketiga: Paingothon (mengingatkan)
Ø  Mengingatkan bahwaa jangan hanya diwaktu senang, kaya, beruntung, saat kamu menyembah Tuhan,
Ø  Tetapi dalam keadaan susah, miskin, merugi dan sakit, bahkan sampai akhir hayatt harus selalu menyembah/memuji Tuhan.
·         Bagian Keempat: Panandaion (Mengenal/Mengetahui)
Ø  Mengenalkan/memberitahukan bahwa Tuhan YME adalah yang menjadikan langit dengan segala isinya, menjadikan manusia serta seluruh alam semesta.
·         Bagian Kelima: Puji-pujian (Puji-pujian)
Ø  Menentukan untuk mempersembahkan Puji-pujian kepada Tuhan YME untuk selama-lamanya,

2.3      Kelembagaan Parmalim
                  Menurut informasi yang kami dapatkan melalui penelitian, bahwa Parmalim di pulau Sumatera utara berpusat di Hutatinggi, Laguboti sebab dahulu Raja Naipospos yang adalah Panglima Sisingamangaraja mendirikan Bale Pasogit, yang sekarang dinamakan dengan Bale Partonggoan. Parmalim mempunyai cabang-cabangnya di Porsea dan Lobutua dan Barus. Adapun pemimpin mereka disebut sebagai “ihutan” yang  berarti orang yang diikuti, atau teladan. Dalam ibadah mereka ihutanlah yang memimpin berlangsungnya ibadah dan diikuti oleh pengikutnya. Seperti di HKBP, kita mempunyai Ephorus sebagai pimpinan dan mempunyai anggota-anggotanya, pendeta dengan guru Huria, dan juga dengan sintua-sintua, namun dalam agama Parmalim, ihutan mengemban semua tugas-tugas agamanya. Dan pengikutnya dari berbagai daerah di Indonesia sejumlah ± 10.000 jiwa. Di Hutatinggi sendiri mempunyai pengikut sebanyak 50 KK. Menurut agama Malim, seorang ihutan adalah seorang yang benar-benar suci (malim) dan teladan bagi semua pengikutnya, sehingga mereka sangat menghormati ihutan itu, bahkan setelah ihutan itu meninggal, sangat susah untuk mencari penggantinya. Tidak dipilih oleh penganut-penganut, namun siapa yang sanggup dan bersedia mengikuti aturan-aturan. Kehidupan seorang ihutan adalah kehidupan yang tidak sembarangan.[14]
            Untuk menjadi pengikut Ugamo Malim bukanlah hal yang mudah, karena seseorang yang ingin menjadi Parmalim harus benar-benar mengetahui seluruh budaya Batak, sebab ajarannya sendiri berasal dari kebudayaan, dan seseorang harus belajar selama satu tahun, dan apabila selama setahun itu dia tidak bisa mengikuti agama Malim serta ajaran-ajarannya maka dia ditolak menjadi Parmalim. Ugamo Malim tidak seperti agama lain pada umumya yang berusaha menunjukkan jari diri di tengah-tengah masyarakat, karena menurut mereka agama itu sendiri tidak harus diakui, sebab agama merupakan suatu hubungan pribadi dengan penciptanya. Setiap tahunnya mereka mengadakan pertemuan bersama di pusat Hutatinggi, dan seluruh pengikut dari seluruh daerah di Indonesia berkumpul di Hutatinggi. Di Hutatinggi terdapat beberapa mes yang disediakan bagi pengikut yang datang dari luar kota.[15]

2.4          Pandangan Parmalin tentang Kemajuan Zaman
            Kita harus menjauhkan stigma kita pribadi tentang kehidupan Parmalim yang kolot, dan ketinggalan zaman. Namun pada kenyataannya mereka sama seperti orang-orang kota yang sudah maju. Parmalim tidak bersifat eksklusif terhadap kemajuan zaman, mereka terbuka dengan hal-hal baru sejauh hal tersebut tidak merusak kebudayaan mereka atau ajaran mereka. Kita bisa melihat peran mereka dalam setiap institusi atau bahkan masuk dalam kepemerintahan, seperti nara sumber kami (bpk. Naipospos) yang sekarang bekerja di DPRD Tobasa. Mereka juga tidak ketinggalan akan kemajuan teknologi, terbukti mereka mempuyai website pribadi tentang ajaran agama mereka.[16]

2.5          Pandangan Masyarakat terhadap Ugamo Malim
Banyak masyarakat, terkhusus masyarakat Batak sendiri yang menganggap bahwa Parmalim adalah aliran yang sesat. Banyak masyarakat yang masih menganggap Ugamo Malim menyembah pohon-pohon besar, atau memberi sesajen kepada roh-roh nenek moyang, namun pada kenyataannya mereka tidak melakukan seperti yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Bahkan lembaga agama lainnya masih memberikan stigma buruk kepada Parmalim seperti tidak memiliki peradaban, belum mengenal jalan kebenaran Tuhan dan lain sebagainya. Banyak generasi muda batak keheranan begitu seorang memperkenalkan diri sebagai Parmalim. Dalam hal ini mereka bersifat tertutup dalam arti kata mereka tidak memberikan jawaban atau respon akan hal itu, sebab mereka menganggap hal itu sebagai kekeliruan saja. Akibatnya, stigma itu makin pekat dan sulit dihapus. [17]
2.6          Pandangan Parmalin terhadap Agama Lain
Seperti kita yang mempunyai pandangan akan mereka, mereka juga mempunyai pandangan mereka terhadap kita (agama-agama lain). Terutama kepada agama Kristen, mereka mengatakan bahwa agama Kristen adalah munafik dan merasa lebih benar sebab mereka telah mendengar  di telinga mereka tentang para pendeta yang berkhotbah dengan mengatakan bahwa Parmalim adalah sipelebegu, ditambah lagi mereka menganggap bahwa orang Batak Kristenlah yang merendahkan nilai kebudayaan mereka sendiri (Parmalim). Parmalim hidup seperti jemaat mula-mula, Mereka hidup saling membantu, sebagai contoh hasil panen setiap keluarga dikumpulkan di balepartonggoan yang akan dibagikan untuk kegiatan sosial namun hanya untuk mereka, seperti bantuan kepada orang yang baru menikah, yatim piatu, pendidikan, bahkan untuk peribadatan mereka. Inilah yang menjadi kritik mereka terhadap kita, dimana mereka yang tidak memiliki ajaran-ajaran tertulis telah melakukannya dibanding orang Kristen yang tidak melakukan ajarannya namun memilikinya secara tertulis.[18]

3.            Kesimpulan
            Agama Parmalim adalah suatu aliran kepercayaaan yang muncul dari peradaban budaya Batak. Agama Parmalin memiliki prinsip untuk mempertahankan kebudayaan orang Batak. Agama Parmalim disebut juga dengan Ugamo Malim yang mana Malim artinya Kudus. Dan hasil penelitian kami bahwa Agama Parmalim tidak seperti penilaian beberapa kita selama ini. Agama Parmalim memiliki tatanan Keagamaan yang teratur yang sangat berpengaruh dengan masyarakat penganutnya. Agama Parmalin memiliki kepercayaan terhadaap Tuhan yang disebut Mula Jadi Nabolon. Parmalim juga memiliki tata ibadah, kesaksian iman,dan hukum yang diwariskan secara lisan kepada setiap generasi berikutnya.
Agama Parmalim memiliki pengertian tersendiri terhadap sejarah penciptaan, sejarah manusia, dan juga terhadap kematian. Dunia ini diciptakan oleh Deakparujar menggunakan segenggam tanah yang diminta kepada Debata Mulajadi NaboloN. Manusia adalah keturunan Raja Ihat Manisia yang adalah anak dari Deakparujar. Dalam pada kepercayaan Malim tentang kematian, manusia yang  yang mati adalah manusia dimana rohnya tidak lagi tinggal dalam badan, dan rohnya akan ditanyai tentang pengalamannya selama ia hidup di dunia. Roh jahat yang ikut mendengarkan wawancara itu, mendatangi keluarga roh itu, dan menggangu mereka dengan maksud agar keluarga itu mempersembahkan persembahan baginya. Menurut kami agama ini dalam keberadaannya sebagai agama, tidak berbeda dengan agama lainnya, sehingga baiklah kita memperbaiki pandangan kita yang jelek terhadap agama ini, dan menerima keberadaanya sebagai bagian dari budaya kita.


[1] Hasil wawancara dengan Ir. Monang Naipospos, tanggal 30 Agustus 2011.
[2] Prof.. DR. W.B. Sidjabat, Ahu Sisingamangaraja, Pusataka Sinar Harapan, Jakarta: 2007, hlm., 326-330.
[3] Parmalim Site, Tentang Parmalim, www.parmalim.com, 06 September 2011 (09.06 WIB)
[4] Ibrahim Gultom, Agama Malin Di Tanah Batak, Bumi Aksara, Jakarta, 2010 : Hlm, 76-80
[5] Op. cit, Hlm, 92-95
[6] Hasil wawancara dengan Ir. Monang Naipospos, tanggal 30 Agustus 2011.
[7]  Op. cit, hlm. 100-105
[8]  Op. cit, hlm.106-109
[9] Op. cit, hlm.109-110
[10] Op. Cit. hlm. 241-244
[11] Op. Cit. hlm. 111
[12] Hasil wawancara dengan Ir. Monang Naipospos, tanggal 31 Agustus 2011
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.

No comments:

Post a Comment