PARMALIM
1.
Pendahuluan.
Selain enam agama yang diakui di Indonesia,
sebenarnya ada banyak agama-agama suku yang berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Walaupun tidak diakui secara resmi oleh pemerintah tetapi mereka tetap berusaha
untuk mempertahankan agama dan berusaha untuk berkembang. Salah satunya dari
agama suku itu adalah agama Parmalim yang akan kami sajikan dalam sajian ini.
Sajian ini adalah hasil penelitian kami, namun harus diakui bahwa sajian kami
ini tidak mencakup seluruh informasi menyangkut Parmalim.
2.
Isi
2.1.
Sejarah Parmalim
Agama
Parmalim berawal dari kehidupan spiritual para nenek moyang orang batak, dimana
mereka merasa bahwa ada kekuatan diluar diri mereka yang menciptakan langit,
bumi dan segala isinya, dan itulah yang disebut dengan Mulajadi Nabolon. Mereka
juga berpikir bahwa mereka harus mempunyai hubungan yang baik dengan Pencipta
sehingga mereka memiliki ritus-ritus pemujaan terhadap Pencipta.[1]
Parmalin
adalah suatu aliran yang didirikan oleh Sisingamangaraja dalam rangka usaha
Sisingamangaraja untuk menjaga agar unsur-unsur agama batak kuno tetap
terpelihara dalam menghadapi ajaran Kristen, Islam, dan penjajah Belanda. Orang
yang sangat besar partisipasinya dalam mengembangkan agama Parmalim ini adalah
bekas panglima Sisingamangaraja seperti Guru
Somalaiang Pardede dan Raja Mulia
Naipospos. Raja Mulia Naipospos mendapat surat langsung untuk menjaga agama
ini, dan surat ini dapat kita lihat di Hutatinggi, Laguboti. Menurut pandangan
umum, Guru Somalaiang inilah yang memulai aliran kebatinan Parmalim, sekalipun
sudah ada pendahulu-pendahulunya. Sesudah guru Somalaiang muncul lagi Guru
Mulia Naipospos dan Amani Hongkop Sijabat dan pada masa ini telah bercampur
unsur Katholik dan Islam. Adapun buktinya ialah ucapan Naepulo Maria yang tidak
lain adalah Bunda Maria yang sangat penting dalam agama Katholik. Sejak
meninggalnya Sisingamangaraja pada 19 Juni 1907, pihak Parmalim tidak percaya
dan tidak menerima kematian Sisingamangaraja, mereka mengatakan bahwa
Sisingamangaraja menderita dan mengembara dari suatu tempat ke tempat lain dan
tampil sebagai peminta-minta dan mereka menamai Sisingamangaraja dengan Raja Nasiakbagi. Dengan kata lain pihak
Parmalim masih percaya bahwa Sisingamangaraja masih hidup dan mereka mempunyai harapan messianik, bahwa
Sisingamangaraja akan tampil kembali dalam kebesarannya dan bersinggasana di
Bakara. Selain gerakan Parmalim, ada juga gerakan Sihudamdam yang bergerak di Napaparira, Muara, Bakara, Karo,
Simalungun, Samosir, Habisaran, Dairi, dan di Barus. Gerakan Sihudamdam adalah
gerakan yang memiliki tujuan yang sama melawan kolonial Belanda. Dan gerakan
Parmalim bekerja sama dengan Parhudamdam.[2]
Parmalim
adalah identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut Ugamo Malim. Pada
masyarakat umumnya, Parmalim sebagai identitas pribadi itu lebih populer dari
“Ugamo Malim” sebagai identitas lembaganya. Kehidupan masyarakat Batak dulu
penuh dengan konflik-konflik yang datang pihak luar, dan yang berjuang akan hal
itu adalah Raja Sisingamangaraja yang menyatakan “penolakan” terhadap
kolonialisme Belanda yang dinilai merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan
budaya.[3]
Masuknya tatanan baru seiring dengan menyusupnya “kepercayaan baru” yang
meninggalkan “Mulajadi Nabolon”. Sebelum agama Islam dan Kristen datang ke tanah
Batak, orang batak mempercayai Tuhan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu
orang Batak juga dapat dikatakan masih dalam keadaan tidak beragam (pagan).
Paganisme adalah campuran kepercayaan agama kepada Debata, dalam paganisme
orang Batak, Mulajadi Nabolon tidak ada yang bermula dari padaNya, Mulajadi
Nabolon tidak kawin dan tidak beranak. Selain Mulajadi Nabolon orang batak juga
mempercayai tiga Debata yang diambil dari Trimurti Hindu : 1. Batara Guru, 2. Soripada, 3. Mangalabulan.
Selain Mulajadi Nabolon orang batak mempercayai kuasa-kuasa alam dalam
paganisme batak, yaitu : Boraspati Di Tano dan Boru Saniangnaga, yang
kedua-duanya dianggap sebagai dewa yang berkuasa dibanua tonga. Debata-debata
ini disembah dalam setiap bius dan setiap bius mempunyai pemimpin yang dipilih
oleh raja-raja Horja. Adapun upacara
yang dilakukan dalam lembaga bius adalah pesta bius dan parmanuhon. Pertama adalah upacara pesta syukuran yang diadakan
setiap tahun setelah panen dan menjelang menanam padi untuk tahun berikutnya. Upacara
ini juga disebut Asean Taon. Upacara
parmanuhon berlatar belakang bencana upacara ini dilakukan setelah adanya
tanda-tanda alam dan terjadinya suatu musibah.[4]
Agama
malim mengakui adanya suruhan Debata Mulajadi Nabolon, mereka disebut malim Debata. Empat malim yang diakui
dan diutus diantaranya adalah Raja Uti,
Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, Raja Nasiakbagi. Malim Debata ini
memiliki harajaon Malim (harajaon malim) yang ada dibanua tonga bumi. Pada masa
Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, Raja Nasiakbagi, ajaran
keagamaan ini belum diresmikan, hanya sebagai bentuk kepercayaan yang ada
didalam ritual. Raja Uti sebagai pemimpin umat yang kharismatis, dia tampil
ketika dalam keadaan chaos. Raja Uti
menyelamatkan manusia dan mengembalikan kepercayaan untuk menyembah Mulajadi
Nabolon, dia juga yang membentuk ajaran “marsuhi ni ampang na opat” yang
terdiri dari tona, poda, patik, uhum.
Raja Simarimbulubosi adalah penerus Raja Uti. Agama Malim mengakui
Simarimbulubosi adalah bentuk kasih dari Debata kepada bangsa Batak.
Sisingamangaraja hadir setelah beberapa puluh tahun setelah Simarimbulubosi
yang tugasnya mengisbatkan adat patik uhum
yang dibentuk oleh Raja Uti. Sosok Raja Nasiakbagi membawa kesan yang
menggembirakan bagi masyarakat Batak dimana mereka semakin yakin bahwa
Sisingamangaraja tidak benar mati. Satu kalimat yang diucapkan Raja Nasiakbagi
kepada murid-muridnya “malim ma hamu” yang artinya sucilah kamu atau
senantiasalah suci dalam keagamaan. Sejak pengarahan ajaran inilah agama malim
menjadi resmi dan popular. Kemudian Raja Nasiakbagi pergi meninggalkan anaknya
namun dia mewariskan kepada muridnya yang setia, yaitu Raja Mulia Napospos, dia
mengemban tugas untuk menyiarkan ajaran agama Malim.[5]
2.2. Ajaran-Ajaran Parmalim
Di dalam Agama Malim, sosok Mulajadi Nabolon
itu tidak dapat dilihat oleh mata dan juga tidak mengenal pencipta sebagai
pribadi laki-laki atau perempuan, sehingga mereka menyebutnya Ompung, tidak
Ompung baoa dan Ompung boru, hanya Ompung. Lalu bagaimana dengan Sisingamangaraja? Stigma masyarakat
mengatakan bahwa Sisingamangaraja adalah Ompung itu adalah salah, karena bagi
mereka Sisingamangaraja adalah malim (orang suci) bukan Mulajadi Nabolon. Roh
Sisingamangaraja disucikan oleh Ompu Mulajadi Nabolon, sehingga serupa menjadi
Ompu, namun tidak sama.[6]
2.2.1. Penciptaan
Menurut Parmalim
Siraja Batak bukan lahir dari tanah atau
jatuh dari langit, usianya juga bukan seribu tahun. Penciptaan menurut parmalim
dimulai dari para dewa serta roh-roh yang tidak terhitung jumlah ada dalam
banua ginjang lalu debata berkeinginan menjodohkan dengan raja Odap-odap agar
meramaikan banua ginjang. Namun Deakparujar menolak serta mengulur waktu.
Melihat kelakuan Dewak Parujar debata marah kepadanya dengan berkata karena
menurut mitologi Deakparujar belum menyelesaikan menenun ulosnya karena
sikapnya yang berleha-leha itu. Oleh karena itu debata marah dan berkata
“ambillah tongkatku yang besar itu dan kaitkanlah di dekat alat tenunmu”. Lalu Deakparujar
melakukannya namun tongkat dan alat tenun itu jatuh di ruang yang kosong dan Deakparujar
mengikatkan roda gulungan benang pada tongkat itu namun benang itu semakin
berlepasan, berserakan dan jatuh.
Deakparujar berusaha turun dan memegang benang itu sehingga sampai ke pangkal
tongkat yang tertancap di dalam air. Deakparujar merenungkan kesalahannya lalu
debata menyuruh Sileangleangmandi untuk menjemput Deakparujar agar kembali ke
banua ginjang. Namun Deakparujar menolak untuk kembali ke banua ginjang. Dia
memohon agar debata memberikan segenggam tanah agar diciptakannya untuk tempat
tinggalnya. Lalu debata mengabulkannya dan Deakparujar menciptakkan tanah itu
di atas air. Untuk kedua kalinya debata mengutus Sileangleangmandi untuk
menjemput deakparujar namun dia tidak mau, lalu debata mengutus Nagapadohaniaji untuk menghancurkan bumi
ciptaan Deakparujar dan bumi itupun hancur. Lalu Deakparujar memohon agar
debata memberikan tanah yang kedua untuk memperbaiki tanah yang rusak sekaligus
menciptakan bumi yang baru. Namun Nagapadohaniaji kembali mengguncang ciptaan
Deakparujar dan inilah yang disebut lalo. Karena peristiwa itu Deakparujar
memohon agar diberikan segulung sirih masak (benang yang menyerupai dan segenggam
tanah lagi). Lalu Deakparujar memakannya dan dia bertambah cantik. Lalu Nagapadohaniaji memohon agar Deakparujar
mau kawin dengannya, namun Deakparujar menyuruh agar Nagapadohaniaji dipasung
dan setelah dipasung dia menciptakan tanah untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya
tanah itu semakin luas dan menutupi Deakparujar sampai tidak terlihat oleh Nagapadohaniaji.
Nagapadohaniaji berusaha melepaskan diri dari pasungan itu tetapi tidak
berhasil. Deakparujar terus mencipta tanah sehingga Nagapadohaniaji semakin
tertimbun oleh tanah itu dan tanah inilah yang kemudian disebut banua tonga atau bumi. Bagi agama malim
cerita penciptaan tanah ini sebagai simbol yang menggambarkan bahwa diatas bumi
inilah awal kehidupan manusia sekaligus tempat mengabdi kepada debata sebelum
kembali kepada asalnya. Manusialah yang mengelola bumi untuk kehidupannya.[7]
Setelah debata melihat tanah yang diciptakan
Deakparujar itu indah dan luas maka debata kembali menyuruh Raja Odap-odap
untuk menemani Deakparujar karena debata melihat betapa sepinya Deakparujar di
tanah yang luas itu. Raja Odap-Odap mengiakan dan dia pergi ke bumi namun
Deakparujar tidak memberikan respon sehingga debata marah dan mengirim suruhan
untuk menjemput dia kembali ke banua ginjang kalau tidak biarlah dia sendirian
di bumi mendengar itu sedihlah hati Deakparujar dan dia meminta agar suruhan
itu kembali dan meminta agar debata turun untuk memberkati Deakparujar dengan
Raja Odap-Odap, tetapi debata tidak mengabulkan permintaan itu. Debata berpesan
biarlah mereka yang memberkati diri mereka sendiri dan oleh karena itu dia akan
mendapat hukuman dalam perjalanan hidupnya dia harus berkeringat mencari makan.
Akhirnya mereka menikah tanpa diberkati debata. Beberapa bulan kemudian Deakparujar
melahirkan tetapi tidak layaknya seorang manusia tetapi berbentuk benda gumul
atau ketuban yang masih terbungkus. Deakparujar sangat takut dengan bayinya
sehingga dia memohon kepada debata supaya dia yang mengasuh bayinya tetapi
debata berkata tidak usah takut dengan itu, tetapi tanamlah bayi itu di tanah
yang kau ciptakan supaya ada sanggul-sangulnya. Deakparujar mengikuti dan
setelah 7 hari pecahlah bayi yang tidak sempurna itu dan bersamaan dengan itu tumbuhlah
dengan semacam tumbuh-tumbuhan dan rumput sebagai sangul-sanggul di tanah yang
diciptakan Deakparujar. Kemudian Deakparujar mengandung dan melahirkan anak kembar
satu laki-laki (Raja Ihat Manisia) dan perempuan (Boru Ihat Manisia). Setelah
mereka besar debata Mulajadi Nabolon bersama Bataraguru, Sorisohaliapan,
dan Bala Bulan datang ke bumi dan pada saat itu Raja Ihot dan Boru Ihot
diberkati mula jadi nabolon menjadi suami-istri. Debata memberi pesan kepada
mereka “na jadi dohot na so jadi” artinya apa yang harus dilakukan dan tidak
bisa dilakukan.[8]
Debata memberi pesan kepada mereka berdua
sebagai berikut: Yang harus dilakukan “untuk menjaga hubungan yang baik antara
banua ginjang dengan banua tonga maka mereka harus memberikan sesaji dan sesaji
ini harus bersih dan suci”. Yang tidak bisa dilakukan “ tidak boleh memakan
darah hewan karena darah itu adalah bagian untuk Nagapadohaniaji, tidak boleh
makan daging babi, dan bangkai”. Setelah debata selesai memberikan semua
perintah itu, debata bersama Debata Natolu dan juga Deakparujar serta raja Odap-odap
kembali ke banua ginjang. Raja Odap-odap ditempatkan di matahari dan ini sangat
sesuai dengan watak seorang ayah yang keras. Deakparujar ditempatkan dibulan
dan sesuai dengan sifat seorang ibu yang lembut dan hingga kini bagi agama
malim diyakini bahwa Deakparujar masih berada dibulan sebagai ibu Panorha (ibu
yang bertenun).[9]
2.2.2 Kematian
menurut Parmalim
Manusia yang “hidup” adalah manusia yang
rohnya masih di dalam jasmani, masalah tondi
adalah urusan Debata. Roh yang meninggalkan tubuhnya disebut bangke
(jenazah), dan tondi itu akan menuju kepada Mulajadi Nabolon. Menurut Ugamo
Parmalim, seorang yang telah meninggal rohnya akan dipasahat oleh pimpinan ugamo kepada Mulajadi Nabolon. Mereka punya
palsafah tentang roh “haroanan tondi ro,
halassonon tondi lao” artinya kita menyambut roh itu dari pencipta ketika
lahir dengan bersukacita dan juga kita harus mengikhlaskannya ketika dimintaNya
kembali oleh penciptanya. Dan satu bulan setelah kematiannya, mereka mengadakan
acara kembali karena menurut mereka roh itu masih akrab dengan orang yang
hidup, kegiatan mereka ini dianggap sebagai pengampunan atau permohonan atas
dosa-dosa yang telah dilakukan dan acara ini hanya diikuti oleh keluarga dekat.
Agama malim juga mempercayai adanya kehidupan selain kehidupan yang kita hidupi
sekarang ini. Untuk itu selama hidup di dunia tidak boleh lupa mempersiapkan
diri untuk kehidupan rohani (roh). Dalam agama malim diyakini sebelum tiba kealam
akhirat (ari paruhuman), roh yang
mati terlebih dahulu rohnya ditanyai pesuruh debata sebelum sampai kedua tempat
yang dituju yang dinamakan huta hamatean
(neraka) dan huta hangoluan (surga). Dalam tanya jawab yang dilakukan oleh habonaran-Nya
yang disuruh oleh Debata, terdapat tondi yang kotor, dia mendengarkan
pembicaraan tondi itu dengan habonaran Debata. Setelah mendengar pembicaraa
yang telah didengar tondi yang kotor, dia mengunjungi keluarganya dan bahkan
marasukunya, dan menyampaikan situasi proses perjalanan tondi saudaranya,
dengan itu juga ia menyuruh agar keluarga mengadakan ritual khusus agar
menolong tondi saudaranya. Selain keluarga, tondi yang kotor juga merasuki
seorang datu/ dukun dengan wujud tondi yang asli dan meminta agar mengadakan
ritual persembahan kepadanya. Tondi yang suci akan memasuki (na badia) jika
selama hidupnya dia melakukan hal-hal yang baik, dan mereka juga dapat
memanggil roh yang suci itu untuk memohon nasihat sekaligus agar memiliki
sahala sepertinya. Selama hidupnya tondi yang kotor melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan hadebataon
(ketuhanan), dengan melakukan dosa-dosa, sehingga tondi yang kotor sering
menggangu orang-orang yang kurang beriman agar sama mejadi seperti mereka.
“Masalah kehidupan dan kematian adalah kuasa Debata”, tidak ada seorangpun yang
tahu kapan ajalnya tiba. Manusia hanya mampu berusaha untuk melakukan persiapan
diri menuju keridhohan Debata. “Engkau
harus kuat dan pandai mencari kehidupan badanmu, tetapi engkau harus lebih kuat
lagi mencari kehidupan tondi-mu”, maka dari itu kehidupan akhirat adalah
rangkaian dari keberhasilan kehidupan semasa hidup di dunia.[10] Mereka juga mempercayai, apa yang diperbuat mereka selama mereka
hidup di dunia itu juga yang mereka dapatkan imbalan yang setimpal sesuai
perbuatannya. Dan di kuburan itu, biasanya ditanam pohon “hariara dan
ompu-ompu”.[11]
2.2.3 Ritus-ritus
Ugamo Malim
Tidak seperti agama lainnya, Parmalim tidak
menyucikan benda-benda (relikwi) atau menurut kita Kitab Suci, sehingga pandangan-pandangan
masyarakat tentang Parmalim yang dikatakan menyembah patung-patung adalah
salah. Ajaran mereka sendiri disampaikan secara “lisan”. Bagi mereka bukan
benda itu yang harus disucikan namun hati. Tempat Parmalim melakukan ibadah
mereka adalah seperti gambar dibawah ini;
Bale
Pasogit Partonggoan adalah tempat berdoa para Parmalim, bentuknya
menyerupai bentuk Masjid, pemimpin mereka yang disebut “ihutan” mendapatkan
tempat yang tersendiri, ihutan tempatnya didepan para penganut. Di atas Bale
Pasogit Partonggoan, terdapat tiga patung ayam dengan warna yang berbeda, dan
warna-warna ini adalah warna khas orang Batak. Ayam yang ditengah-tengah adalah
ayam merah putih, yang disebelah kanan ayam “jarum bosi”, dan yang dikiri
adalah ayam hitam. Mengapa mereka membuat ayam sebagai simbol?. Mereka memilih ayam sebagai lambang
persembahan karena ayam memiliki rahasia yang tidak dimiliki binatang lainnya,
yaitu mereka mengakui bahwa ayam adalah
“tertib dan disiplin”, dalam upacara keagamaan mereka, ayam itu dianggap
sebagai persembahan mereka kepada Mulajadi Nabolon. Mereka beribadah hari Sabtu
jam 11.00 WIB berdasarkan kesepakatan bersama. Adapun ritual peribadahan
Parmalim adalah dengan doa, bersaksi dengan menyampaikan pengalaman-pengalaman
hidup atau juga menyampaikan isi hatinya dan tidak dibatasi, patik yang berasal
dari pemula-pemula, dan dapat direvisi. Istilah “uing” adalah lagu yang dinyanyikan oleh tiap keluarga ketika
berdoa. Namun sekarang mereka tidak menggunakan nyanyian itu. Dalam beribadah mereka menggunakan
ulos sebagai pakaian mereka baik laki-laki maupun perempuan dan juga anak-anak.
Khususnya bagi laki-laki mereka juga memakai sarung dan penutup kepala dari
kain yang berwarna putih seperti dalam kalangan muslim.[12]
2.2.3.1
Puasa menurut Parmalim
(Marsolam)
Dalam Ugamo Malim, terdapat Hari Hurung dan Bulan Hurung atau bulan terakhir. Dimana pada hari dan bulan Hurung
mereka menjauhkan hal-hal yang duniawi. Mereka juga tidak banyak melakukan
kegiatan-kegiatan yang melelahkan. Dalam hari dan bulan Hurung mereka mempunyai
banyak pantangan terhadap makanan, seperti babi, anjing, kera, katak, namun hal
ini pada awalnya bertujuan untuk mengurangi konsumsi makanan, namun pada
akhirnya menjadi subang (pantangan),
sehingga hingga saat ini mereka tidak memakan daging babi dan darahnya, karena
menurut mereka darah adalah roh (tondi)[13].
2.2.4
Aturan Agama Malim
Parmalim memiliki
aturan-aturan yang disebut Aturan Ni
Ugamo Malim, aturan-aturan tersebut disusun dalam bentuk tata upacara
penghayatan atau peribatan yang sebagai
berikut:
·
Marari
Sabtu: ibadah persembahan yang ditetapkan pada
hari sabtu, dan dilaksanakan sekali dalam seminggu.
·
Martutuaek:
upacara untuk kelahiran abyi yang dilakukan sebulan setelah kelahirannya dengan
cara memandikannya serta memberikannya nama.
·
Pasahat
Tondi: doa yang dilakukan setelah sebulan
yang lalu terjadi kemalangan (meninggal).
·
Mardebata:
doa pribadi, untuk meminta ampunan atas kesalahan yang telah diperbuat.
·
Mangan
Napaet: puasa untuk menebus dosa yang
dilaksanakan selama 24 jam penuh pada saat hari dan bulan hurung. Mangan Napaet melambangkan
tentang penderitaan para pengikut malim.
·
Sipaha
Lima: persembahan syukur atas hasil panen
yang mereka peroleh, diiringi dengan tor-tor, gondang serta korban sembelihan
(seperti kerbau dan lembu).
·
Penghayatan:
keadaan yang mengharuskan melaksanakan upacara yang bersifat khusus.
2.2.5
Hukum Taurat (Patik)
·
Bagian Pertama: Marsuru (Menyuruh/Wajib)
Ø Menyuruh
atau mewajibkan agar selalu menyembah Tuhan Yang Maha Esa,
Ø Menghormati
Raja,
Ø Mencintai
sesame manusia serta rajin atau giat bekerja agarmempunyai kemampuan memuji Tuhan,
Ø Menghormati
Raja dan mencintai sesamanya.
·
Bagian Kedua: Maminsang (Melarang)
Ø Melarang
agar jangan mencuri,
Ø Jangan
berzinah atau memfitnah,
Ø Jangan
membunuh, mengolok-olok,
Ø Jangan
menghina pada orang tua,
Ø Jangan
menyesatkan orang buta, menelantarkan fakir miskin,
Ø Jangan
memandang hina kepada orang yang berpakaian compang-camping,
Ø Jangan
mengambil riba dari harta dan uang yang dipinjamkan pada sesame.
·
Bagian ketiga: Paingothon (mengingatkan)
Ø Mengingatkan
bahwaa jangan hanya diwaktu senang, kaya, beruntung, saat kamu menyembah Tuhan,
Ø Tetapi
dalam keadaan susah, miskin, merugi dan sakit, bahkan sampai akhir hayatt harus
selalu menyembah/memuji Tuhan.
·
Bagian Keempat: Panandaion (Mengenal/Mengetahui)
Ø Mengenalkan/memberitahukan
bahwa Tuhan YME adalah yang menjadikan langit dengan segala isinya, menjadikan
manusia serta seluruh alam semesta.
·
Bagian Kelima: Puji-pujian (Puji-pujian)
Ø Menentukan
untuk mempersembahkan Puji-pujian kepada Tuhan YME untuk selama-lamanya,
2.3 Kelembagaan Parmalim
Menurut informasi yang kami
dapatkan melalui penelitian, bahwa Parmalim di pulau Sumatera utara berpusat di
Hutatinggi, Laguboti sebab dahulu Raja Naipospos yang adalah Panglima
Sisingamangaraja mendirikan Bale Pasogit, yang sekarang dinamakan dengan Bale Partonggoan.
Parmalim mempunyai cabang-cabangnya di Porsea dan Lobutua dan Barus. Adapun
pemimpin mereka disebut sebagai “ihutan” yang berarti orang yang diikuti, atau teladan.
Dalam ibadah mereka ihutanlah yang memimpin berlangsungnya ibadah dan diikuti oleh
pengikutnya. Seperti di HKBP, kita mempunyai Ephorus sebagai pimpinan dan
mempunyai anggota-anggotanya, pendeta dengan guru Huria, dan juga dengan
sintua-sintua, namun dalam agama Parmalim, ihutan mengemban semua tugas-tugas
agamanya. Dan pengikutnya dari berbagai daerah di Indonesia sejumlah ± 10.000
jiwa. Di Hutatinggi sendiri mempunyai pengikut sebanyak 50 KK. Menurut agama
Malim, seorang ihutan adalah seorang yang benar-benar suci (malim) dan teladan
bagi semua pengikutnya, sehingga mereka sangat menghormati ihutan itu, bahkan
setelah ihutan itu meninggal, sangat susah untuk mencari penggantinya. Tidak
dipilih oleh penganut-penganut, namun siapa yang sanggup dan bersedia mengikuti
aturan-aturan. Kehidupan seorang ihutan adalah kehidupan yang tidak sembarangan.[14]
Untuk
menjadi pengikut Ugamo Malim bukanlah hal yang mudah, karena seseorang yang
ingin menjadi Parmalim harus benar-benar mengetahui seluruh budaya Batak, sebab
ajarannya sendiri berasal dari kebudayaan, dan seseorang harus belajar selama satu
tahun, dan apabila selama setahun itu dia tidak bisa mengikuti agama Malim
serta ajaran-ajarannya maka dia ditolak menjadi Parmalim. Ugamo Malim tidak
seperti agama lain pada umumya yang berusaha menunjukkan jari diri di
tengah-tengah masyarakat, karena menurut mereka agama itu sendiri tidak harus
diakui, sebab agama merupakan suatu hubungan pribadi dengan penciptanya. Setiap
tahunnya mereka mengadakan pertemuan bersama di pusat Hutatinggi, dan seluruh
pengikut dari seluruh daerah di Indonesia berkumpul di Hutatinggi. Di
Hutatinggi terdapat beberapa mes yang disediakan bagi pengikut yang datang dari
luar kota.[15]
2.4
Pandangan Parmalin tentang Kemajuan Zaman
Kita harus menjauhkan stigma kita
pribadi tentang kehidupan Parmalim yang kolot, dan ketinggalan zaman. Namun
pada kenyataannya mereka sama seperti orang-orang kota yang sudah maju. Parmalim
tidak bersifat eksklusif terhadap kemajuan zaman, mereka terbuka dengan hal-hal
baru sejauh hal tersebut tidak merusak kebudayaan mereka atau ajaran mereka.
Kita bisa melihat peran mereka dalam setiap institusi atau bahkan masuk dalam
kepemerintahan, seperti nara sumber kami (bpk. Naipospos) yang sekarang bekerja
di DPRD Tobasa. Mereka juga tidak ketinggalan akan kemajuan teknologi, terbukti
mereka mempuyai website pribadi tentang ajaran agama mereka.[16]
2.5
Pandangan Masyarakat terhadap Ugamo Malim
Banyak masyarakat, terkhusus masyarakat Batak
sendiri yang menganggap bahwa Parmalim adalah aliran yang sesat. Banyak masyarakat yang
masih menganggap Ugamo Malim menyembah pohon-pohon besar, atau memberi sesajen
kepada roh-roh nenek moyang, namun pada kenyataannya mereka tidak melakukan
seperti yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Bahkan lembaga agama lainnya
masih memberikan stigma buruk kepada Parmalim seperti tidak memiliki peradaban,
belum mengenal jalan kebenaran Tuhan dan lain sebagainya. Banyak generasi muda
batak keheranan begitu seorang memperkenalkan diri sebagai Parmalim. Dalam hal
ini mereka bersifat tertutup dalam arti kata mereka tidak memberikan jawaban
atau respon akan hal itu, sebab mereka menganggap hal itu sebagai kekeliruan
saja. Akibatnya, stigma itu makin pekat dan sulit dihapus. [17]
2.6
Pandangan Parmalin terhadap Agama Lain
Seperti
kita yang mempunyai pandangan akan mereka, mereka juga mempunyai pandangan
mereka terhadap kita (agama-agama lain). Terutama kepada agama Kristen, mereka
mengatakan bahwa agama Kristen adalah munafik dan merasa lebih benar sebab mereka
telah mendengar di telinga mereka
tentang para pendeta yang berkhotbah dengan mengatakan bahwa Parmalim adalah sipelebegu, ditambah lagi mereka
menganggap bahwa orang Batak Kristenlah yang merendahkan nilai kebudayaan
mereka sendiri (Parmalim). Parmalim hidup seperti jemaat mula-mula, Mereka hidup
saling membantu, sebagai contoh hasil panen setiap keluarga dikumpulkan di balepartonggoan yang akan dibagikan
untuk kegiatan sosial namun hanya untuk mereka, seperti bantuan kepada orang
yang baru menikah, yatim piatu, pendidikan, bahkan untuk peribadatan mereka.
Inilah yang menjadi kritik mereka terhadap kita, dimana mereka yang tidak
memiliki ajaran-ajaran tertulis telah melakukannya dibanding orang Kristen yang
tidak melakukan ajarannya namun memilikinya secara tertulis.[18]
3.
Kesimpulan
Agama Parmalim adalah suatu aliran
kepercayaaan yang muncul dari peradaban budaya Batak. Agama Parmalin memiliki
prinsip untuk mempertahankan kebudayaan orang Batak. Agama Parmalim disebut
juga dengan Ugamo Malim yang mana Malim artinya Kudus. Dan hasil penelitian
kami bahwa Agama Parmalim tidak seperti penilaian beberapa kita selama ini.
Agama Parmalim memiliki tatanan Keagamaan yang teratur yang sangat berpengaruh
dengan masyarakat penganutnya. Agama Parmalin memiliki kepercayaan terhadaap
Tuhan yang disebut Mula Jadi Nabolon. Parmalim juga memiliki tata ibadah,
kesaksian iman,dan hukum yang diwariskan secara lisan kepada setiap generasi
berikutnya.
Agama Parmalim memiliki pengertian tersendiri
terhadap sejarah penciptaan, sejarah manusia, dan juga terhadap kematian. Dunia
ini diciptakan oleh Deakparujar menggunakan segenggam tanah yang diminta kepada
Debata Mulajadi NaboloN. Manusia adalah keturunan Raja Ihat Manisia yang adalah
anak dari Deakparujar. Dalam pada kepercayaan Malim tentang kematian, manusia
yang yang mati adalah manusia dimana
rohnya tidak lagi tinggal dalam badan, dan rohnya akan ditanyai tentang
pengalamannya selama ia hidup di dunia. Roh jahat yang ikut mendengarkan
wawancara itu, mendatangi keluarga roh itu, dan menggangu mereka dengan maksud
agar keluarga itu mempersembahkan persembahan baginya. Menurut kami agama ini
dalam keberadaannya sebagai agama, tidak berbeda dengan agama lainnya, sehingga
baiklah kita memperbaiki pandangan kita yang jelek terhadap agama ini, dan
menerima keberadaanya sebagai bagian dari budaya kita.
[1] Hasil wawancara dengan Ir. Monang Naipospos, tanggal 30 Agustus
2011.
[2] Prof.. DR. W.B. Sidjabat, Ahu
Sisingamangaraja, Pusataka Sinar Harapan, Jakarta: 2007, hlm., 326-330.
[3] Parmalim Site, Tentang
Parmalim, www.parmalim.com, 06
September 2011 (09.06 WIB)
[4] Ibrahim Gultom, Agama Malin
Di Tanah Batak, Bumi Aksara, Jakarta, 2010 : Hlm, 76-80
[5] Op. cit, Hlm, 92-95
[6] Hasil wawancara dengan Ir. Monang Naipospos, tanggal 30 Agustus
2011.
[7] Op. cit, hlm. 100-105
[8] Op. cit, hlm.106-109
[9] Op. cit, hlm.109-110
[10] Op. Cit. hlm. 241-244
[11] Op. Cit. hlm. 111
[12] Hasil wawancara dengan Ir. Monang Naipospos, tanggal 31 Agustus
2011
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
No comments:
Post a Comment