STUDI PERBANDINGAN AJARAN
PARMALIN DAN
KRISTEN
1. Tuhan
Bagi
ajaran agama Kristen, konsep akan Tuhan dirumuskan dalam bentuk Trinitatis.
Menurut Agustinus, apa yang disebut tiga pribadi bukanlah sesuatu yang
berbedaa, masing-masing dalam diri mereka sendiri. Mereka hanya berbeda dalam
hubungan mereka satu terhadap yang lain dan terhadap dunia. Sementara segala
sifat yang mutlak seperti kesempurnaan, kebaikan dan kemahakuasaan hanya
termasuk dalam Trinitatis dalam kesatuaannya, maka terminologi
relatiomengacupada kehidupan Allah yang bersifat batiniah dan juga pada dunia
yang diciptakan.[1]
Agama Parmalim ini
merupakan sebuah kepercayaan ‘Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’ yang tumbuh dan
berkembang di Sumatera
Utara sejak dahulukala. “Tuhan Debata Mulajadi Nabolon” adalah
pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh
“Umat Ugamo Malim” (“Parmalim”).
Awalnya,
Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan
kepercayaan kuno yang terancam disebabkan agama baru yang dibawa oleh Belanda.
Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan politik atau
‘Parhudamdam’ yang menyatukan orang Batak menentang Belanda. Gerakan itu muncul
sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Sisingamangaraja XII,
dengan pelopornya Guru Somalaing Pardede.[2]
Masuknya tatanan baru seiring dengan
menyusupnya “kepercayaan baru” yang meninggalkan “Mulajadi Nabolon”. Sebelum
agama Islam dan Kristen datang ke tanah Batak, orang batak mempercayai Tuhan
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu orang Batak juga dapat dikatakan masih
dalam keadaan tidak beragam (pagan). Paganisme adalah campuran kepercayaan
agama kepada Debata, dalam paganisme orang Batak, Mulajadi Nabolon tidak ada
yang bermula dari padaNya, Mulajadi Nabolon tidak kawin dan tidak beranak.
Selain Mulajadi Nabolon orang batak juga mempercayai tiga Debata yang diambil
dari Trimurti Hindu : 1. Batara Guru, 2.
Soripada, 3. Mangalabulan. Selain Mulajadi Nabolon orang batak mempercayai
kuasa-kuasa alam dalam paganisme batak, yaitu : Boraspati Di Tano dan Boru Saniangnaga,
yang kedua-duanya dianggap sebagai dewa yang berkuasa dibanua tonga.
Debata-debata ini disembah dalam setiap bius dan setiap bius mempunyai pemimpin
yang dipilih oleh raja-raja Horja.
2. Alam
Semesta
Kisah
penciptaan di dalam Kita Kejadian merupakan konsep asasi mengenai hakikat alam
semesta, manusia dan Tuhan. Alam tidak dipahami sebagai makhluk yang memiliki
daya magis dan kekekuatan-kekuatan yang tidak terkontrol manusia Alam semesta
yang terhisab dalam kuasa dan kehendak Tuhan, sebab alam asemesta adalah
ciptaan Tuhan. Manusia memiliki kebebasan dan kemandiriannya untuk mengelolah
alam dan tanggungjawab terhadap kesinambungan alam semesta.[3]
Sementara
bagi Agama Parmalim, Penciptaan menurut parmalim dimulai dari para dewa serta
roh-roh yang tidak terhitung jumlah ada dalam banua ginjang lalu debata
berkeinginan menjodohkan dengan raja Odap-odap agar meramaikan banua ginjang.
Namun Deakparujar menolak serta mengulur waktu. Melihat kelakuan Dewak Parujar
debata marah kepadanya dengan berkata karena menurut mitologi Deakparujar belum
menyelesaikan menenun ulosnya karena sikapnya yang berleha-leha itu. Oleh
karena itu debata marah dan berkata “ambillah tongkatku yang besar itu dan
kaitkanlah di dekat alat tenunmu”. Lalu Deakparujar melakukannya namun tongkat
dan alat tenun itu jatuh di ruang yang
kosong dan Deakparujar mengikatkan roda gulungan benang pada tongkat itu namun
benang itu semakin berlepasan, berserakan
dan jatuh. Deakparujar berusaha turun dan memegang benang itu sehingga
sampai ke pangkal tongkat yang tertancap di dalam air. Deakparujar merenungkan
kesalahannya lalu debata menyuruh Sileangleangmandi untuk menjemput Deakparujar
agar kembali ke banua ginjang. Namun Deakparujar menolak untuk kembali ke banua
ginjang. Dia memohon agar debata memberikan segenggam tanah agar diciptakannya
untuk tempat tinggalnya. Lalu debata mengabulkannya dan Deakparujar
menciptakkan tanah itu di atas air.
Untuk
kedua kalinya debata mengutus Sileangleangmandi untuk menjemput deakparujar
namun dia tidak mau, lalu debata mengutus Nagapadohaniaji
untuk menghancurkan bumi ciptaan Deakparujar dan bumi itupun hancur. Lalu
Deakparujar memohon agar debata memberikan tanah yang kedua untuk memperbaiki
tanah yang rusak sekaligus menciptakan bumi yang baru. Namun Nagapadohaniaji
kembali mengguncang ciptaan Deakparujar dan inilah yang disebut lalo. Karena
peristiwa itu Deakparujar memohon agar diberikan segulung sirih masak (benang
yang menyerupai dan segenggam tanah lagi). Lalu Deakparujar memakannya dan dia
bertambah cantik. Lalu Nagapadohaniaji memohon agar Deakparujar mau kawin
dengannya, namun Deakparujar menyuruh agar Nagapadohaniaji dipasung dan setelah
dipasung dia menciptakan tanah untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya tanah itu
semakin luas dan menutupi Deakparujar sampai tidak terlihat oleh Nagapadohaniaji.
Nagapadohaniaji berusaha melepaskan diri dari pasungan itu tetapi tidak
berhasil. Deakparujar terus mencipta tanah sehingga Nagapadohaniaji semakin
tertimbun oleh tanah itu dan tanah inilah yang kemudian disebut banua tonga atau bumi. Bagi agama malim
cerita penciptaan tanah ini sebagai simbol yang menggambarkan bahwa diatas bumi
inilah awal kehidupan manusia sekaligus tempat mengabdi kepada debata sebelum
kembali kepada asalnya. Manusialah yang mengelola bumi untuk kehidupannya.[4]
Setelah debata melihat tanah yang diciptakan
Deakparujar itu indah dan luas maka debata kembali menyuruh Raja Odap-odap
untuk menemani Deakparujar karena debata melihat betapa sepinya Deakparujar di
tanah yang luas itu. Raja Odap-Odap mengiakan dan dia pergi ke bumi namun Deakparujar
tidak memberikan respon sehingga debata marah dan mengirim suruhan untuk
menjemput dia kembali ke banua ginjang kalau tidak biarlah dia sendirian di
bumi mendengar itu sedihlah hati Deakparujar dan dia meminta agar suruhan itu
kembali dan meminta agar debata turun untuk memberkati Deakparujar dengan Raja
Odap-Odap, tetapi debata tidak mengabulkan permintaan itu. Debata berpesan
biarlah mereka yang memberkati diri mereka sendiri dan oleh karena itu dia akan
mendapat hukuman dalam perjalanan hidupnya dia harus berkeringat mencari makan.
Akhirnya mereka menikah tanpa diberkati debata. Beberapa bulan kemudian
Deakparujar melahirkan tetapi tidak layaknya seorang manusia tetapi berbentuk
benda gumul atau ketuban yang masih terbungkus. Deakparujar sangat takut dengan
bayinya sehingga dia memohon kepada debata supaya dia yang mengasuh bayinya
tetapi debata berkata tidak usah takut dengan itu, tetapi tanamlah bayi itu di
tanah yang kau ciptakan supaya ada sanggul-sangulnya. Deakparujar mengikuti dan
setelah 7 hari pecahlah bayi yang tidak sempurna itu dan bersamaan dengan itu
tumbuhlah dengan semacam tumbuh-tumbuhan dan rumput sebagai sangul-sanggul di
tanah yang diciptakan Deakparujar. Kemudian Deakparujar mengandung dan
melahirkan anak kembar satu laki-laki (Raja Ihat Manisia) dan perempuan (Boru
Ihat Manisia). Setelah mereka besar debata
Mulajadi Nabolon bersama Bataraguru,
Sorisohaliapan, dan Bala Bulan datang ke bumi dan pada saat itu Raja Ihot
dan Boru Ihot diberkati mula jadi nabolon menjadi suami-istri. Debata memberi
pesan kepada mereka “na jadi dohot na so jadi” artinya apa yang harus dilakukan
dan tidak bisa dilakukan.[5]
Debata memberi pesan kepada mereka berdua sebagai
berikut: Yang harus dilakukan “untuk menjaga hubungan yang baik antara banua
ginjang dengan banua tonga maka mereka harus memberikan sesaji dan sesaji ini
harus bersih dan suci”. Yang tidak bisa dilakukan “ tidak boleh memakan darah
hewan karena darah itu adalah bagian untuk Nagapadohaniaji, tidak boleh makan
daging babi, dan bangkai”. Setelah debata selesai memberikan semua perintah
itu, debata bersama Debata Natolu dan juga Deakparujar serta raja Odap-odap
kembali ke banua ginjang. Raja Odap-odap ditempatkan di matahari dan ini sangat
sesuai dengan watak seorang ayah yang keras. Deakparujar ditempatkan dibulan
dan sesuai dengan sifat seorang ibu yang lembut dan hingga kini bagi agama
malim diyakini bahwa Deakparujar masih berada dibulan sebagai ibu Panorha (ibu
yang bertenun).[6]
3. Keselamatan,
Surga dan Neraka
Kehidupan Kristen punya konsep
kehidupan setelah kematian. Kebangkitan pada hari Tuhan, pengadilan terakhir,
berkumpul bersama Allah di Kerajaan Surga, dan neraka bagi orang berdosa adalah
konsep kehidupan setelah kematian menurut agama Kristen. Untuk memperoleh
keselamatan dan beroleh hidup yang kekal, sangat mutlak orang harus percaya
kepada Tuhan Yesus.[7]
Bagi Parmalim, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah
“dewa-dewa”. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada
arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati
dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau
dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).
Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa
penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan
kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang
tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam
kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan
aktifitas manusia.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh
dewa-dewa orang India dan istilah “Debata”, sombaon yang paling besar orang
Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon” (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu
Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang
telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki
kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia.
Tetapi setelah masuknya kepercayaan
dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa
yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar
biasa. Untuk menekankan bahwa “Ompu Nabolon” ini sebagai kakek/nenek yang
terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi
“Mula Jadi Nabolon” atau “Tuan Mula Jadi Nabolon”. Karena kata Tuan, Mula, Jadi
berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing
yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan
pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa
terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu
kata ‘Debata’ yang berarti dewa (jamak) sehingga menjadi “Debata Mula Jadi
Nabolon”.[8]
[1] Bernhard
Loise, Pengatar Sejarah Dogma Kristen,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008),
hlm.87.
[2] Lih. https://togapardede.wordpress.com/2013/05/24/parmalim-adalah-bagian-dari-budaya-batak-2/,
diambil hari kamis, 14 September 2017, pukul.17.00 WITA.
[3] Saut Sirat,
Politik Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 94.
[4] Op.
cit, hlm. 100-105.
[5] Op.
cit, hlm.106-109
[6] Op. cit, hlm.109-110
[7] Adhi T,
Perjalanan Spritualitas seorang Kristen Sekuler, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,
2008), hlm.14.
[8] Lih.http://siraitmargaku.blogspot.co.id/2013/01/malim-agama-batak-tempo-doeloe.html,
diambil hari, Kamis, 14 September 2017, pukul 20.15 WITA.
No comments:
Post a Comment