Etika Ekonomi
SIKAP ETIS PROSES JUAL-BELI DI
PASAR
I.
PENDAHULUAN
Defenisi
ekonomi yang dikutip dari Wikipedia adalah sebagai berikut:[1]
“Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial
yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi,
distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Kata ekonomi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti “keluarga; rumah tangga” dan nomos yang
berarti “peraturan; aturan; hukum”. Secara garis besar, ekonomi diartikan
sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga.” Jadi dapat
dikatakan bila kegiatan ekonomi merupakan aturan rumah tangga yang bertujuan
untuk memberikan kesejahteraan kepada rumah tangga itu sendiri. Kegiatan
ekonomi juga merupakan kegiatan untuk memuaskan kebutuhan manusia, begitu juga
hubungan produsen-distributor terhadap konsumen. Produsen memenuhi kebutuhan
konsumen, bukan merugikan konsumen baik itu dalam kesehatan maupun materi.[2]
Kegiatan berdagang juga memiliki aturan main yang telah dicantumkan dalam
perundang-undangan.
Tulisan
ini akan menguraikan permasalahan ekonomi, yang dikhususkan pada proses
jual-beli (nilai etis berdagang),
dimana kegiatan berdagang melibatkan peranan dari produsen, distributor dan
konsumen. Produsen menghasilkan atau pun menyediakan barang/benda, makanan,
jasa, dan sebagainya, untuk dijual oleh distributor
dengan harga tertentu yang disesuaikan dengan modal-laba, dan konsumen membelinya menggunakan alat
tukar yang sah, atau yang disetujui oleh produsen. Kegiatan berdagang juga
dapat dikatakan sebagai kegiatan yang berusaha untuk memuaskan dan memenuhi
tujuan dari produsen-distributor untuk mendapat untung, dan konsumen untuk
memenuhi kebutuhannya.
II.
ISI
2.1. Masalah Ekonomi
Masalah
yang kerap terjadi dalam proses jual-beli adalah kecurangan yang dilakukan oleh
produsen, memang tidak bisa dilupakan juga bila konsumen juga mampu untuk
melakukan kecurangan, misalnya dengan memberikan uang palsu. Akan tetapi
tulisan ini akan lebih memfokuskan pembahasan pada permasalahan ekonomi yang
disebabkan oleh produsen.
Modal
kecil - untung besar menjadi prinsip yang kerap dipegang/dipahami para
pedagang, sehingga mereka melupakan nilai-nilai etis dalam berdagang. Pedagang
makanan misalnya, masih ada saja yang menggunakan bahan-bahan berharga murah
yang pada kenyataannya tidak diijinkan oleh BPOM (Balai Pengawas Obat-obatan
dan Makanan) atau Dinas Kesehatan. Bahan-bahan tersebut cenderung dapat merusak
kesehatan konsumen, seperti penggunaan pewarna kimia hingga pengawet makanan
yang berbahaya. Hal ini dilakukan oleh para produsen di pasar untuk
menghasilkan produk yang terlihat enak/menggugah selera pembeli, dan agar
produk dapat bertahan lama sehingga kecil kemungkinan untuk rugi.
Fakta
masalah ekonomi yang demikian dapat dilihat dari informasi yang dilampirkan
dalam Majalah Online Kompas, bahwa Sejumlah
Bahan Makanan di Semarang Mengandung Boraks, berikut datanya:[3]
“Pemerintah
Kota Semarang, Jawa Tengah menemukan sejumlah bahan makanan yang mengandung
bahan kimia beracun jenis boraks di sejumlah pasar tradisional di Kota
Semarang.
Selain
boraks, Pemkot juga menemukan sejumlah makanan yang telah kedaluwarsa, namun
tetap diperjual-belikan di sejumlah pasar modern.
Bahan
makanan yang mengandung boraks misalnya ditemukan masih dijual bebas di
sejumlah pasar di wilayah Gayamsari.
Di
pasar, tim Pemkot Semarang juga menemukan sejumlah bahan makanan yang tidak
bersertifikasi produksi pangan industri rumah tangga (PIRT). Sejumlah bahan
makan yang ditemukan kemudian disita untuk dimusnahkan.
“Kegiatan
ini untuk memastikan ketersediaan dan kelayakan barang konsumsi makanan dan
minuman di bulan Ramadhan,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota Semarang, Nur Jannah, Senin (13/6/2016).
Makanan
yang mengandung boraks dinilai berbahaya untuk tubuh. Mereka yang mengkonsumsi
dalam jangka panjang bisa menimbulkan penyakit kanker, serta merusak fungsi
ginjal.
Nur
Jannah mengatakan, masyarakat perlu terus diedukasi agar bisa lebih teliti
ketika hendak membeli kebutuhan makanan. Tidak hanya soal isi, standar kemasan
produk bahan makanan juga perlu diperhatikan.
“Masyarakat
harus menjadi konsumen yang cerdas dalam berbelanja. Perhatikan sejumlah poin
saat berbelanja, misalnya masa kedaluarsa, kemasan, garansi serta label yang
ada dalam produk,” ujar dia.
“Para
pedagang dan pengelola mal, saya harap untuk bisa lebih memastikan kelayakan
dan keamanan barang-barang yang dijual,” tambahnya.
Sejumlah
pasar tradisional dan pasar modern disidak oleh tim Pemkot Semarang yang
terdiri dari Disperindag, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dan Dinas
Kesehatan.”
2.2. Analisa Masalah
Ada
tiga masalah yang terjadi di dalam kegiatan pasar/ekonomi berdasarkan infromasi
di atas, dimana (1) Produsen/pedagang mendistribusikan produk yang mengandung
bahan atau zat yang berbahaya; (2) Pedagang tetap mendistribusikan produk yang
telah kedaluwarsa; dan (3) Pedagang mendistribusikan produk yang belum memiliki
sertifikasi.
Kecurangan
atau tindakan yang tidak jujur yang dilakukan oleh produsen/pedagang tentu
terjadi atas beberapa asalan yang mendorong hal tersebut, dan saya melihat
bahwa hal ini terjadi atas dasar tuntutan kebutuhan hidup yang meningkat.
Produsen atau pedagang yang melakukan kecurangan cenderung berasal dari
golongan masyarakat menengah ke bawah. Modal yang tidak begitu banyak mendorong
terjadinya kecurangan agar mendapatkan untung yang maksimal, belum lagi tingkat
kompetisi di pasar yang semakin meningkat. Harga, ketahanan produk (makanan-minuman),
bentuk atau tampilan produk, dan cita rasa menjadi sesuatu yang perlu
dipertimbangkan oleh pedagang, khususnya para pedagang makanan. Belum lagi
pangsa pasar para produsen/pedagang kelas menengah ke bawah yang cenderung
melakukan kegiatan ekonominya di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya
berada pada kelas yang sama juga, sehingga harga dan tampilan produk menjadi
penentu keberhasilan proses penjualannya, dan produsen melihat kelemahan
konsumen yang tidak terlalu memperhatikan tanggal kedaluwarsa produk dan
sertifikatnya. Meskipun demikian, produsen lebih sering mencurangi konsumen
dari bahan-bahan yang digunakan untuk menghasilkan produk yang bisa dikonsumsi.
Perbandingan
produk makanan yang dibuat dengan bahan yang alami dengan bahan kimia memang
cukup kontras, dan dapat dilihat dengan mata telanjang. Berikut perbandingan
yang dapat dirangkum oleh penulis, yaitu:
PERBANDINGAN
|
ALAMI
|
KIMIA
|
Ketahanan
|
Tidak bertahan lama, biasanya hanya
hitungan hari.
|
Dapat bertahan lama hingga berminggu-minggu,
atau bahkan berbulan-bulan.
|
Rasa
|
Umumnya kurang enak di lidah
masyarakat sekarang ini karena yang digunakan hanya penyedap rasa yang alami
seperti garam.
|
Umumnya cukup enak di lidah masyarakat
sekarang ini karena penyedap rasa kimia telah mampu memberikan rasa yang
berbeda dan menimbulkan ketagihan-kecanduan dari penikmatnya.
|
Tampilan
|
Tidak terlalu menarik, karena dari
segi warna, makanan yang berbahan alami cenderung memiliki warna yang tidak
begitu cerah.
|
Memiliki
tampilan yang menarik, dengan warna yang cerah dan menggugah selera pembeli.
|
Harga
|
Harga cukup mahal, karena penggunaan
bahan alami yang memiliki harga yang cukup tinggi. Misalnya pemanis yang
digunakan dalam proses pembuatan sebuah produk makanan, dimana harga gula cukup
mahal dan diperlukan dalam jumlah yang besar untuk menghasilkan produk
tersebut.
|
Harga relatif murah karena bahan yang
digunakan terbuat dari bahan kimia, sehingga jumlah yang diperlukan tidak
begitu banyak seperti penggunaan gula. Karena gula kimia atau pemanis buatan,
seperti sakarin dan aspartam, pada jumlah yang kecil sudah bisa menghasilkan
produk yang lumayan banyak dibandingkan produk alami.
|
Adapun
bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan makanan memang beberapa ada yang
telah diijinkan oleh BPOM, namun harga untuk membeli bahan ini juga membutuhkan
modal yang cukup. Namun ketika produsen tidak ingin mengeluarkan modal yang
besar, maka muncullah dorongan untuk menggunakan bahan-bahan kimia yang tidak
diijinkan oleh BPOM. Pada beberapa produk makanan telah ditemukan boraks, formalin, dan pewarna tekstil.
Ketiga bahan ini cukup mudah untuk dibeli oleh produsen dari kalangan
masyarakat menengah-ke-bawah karena harganya yang cukup murah. Dan dari bahan
tersebut produk yang dihasilkan dapat lebih cantik tampilannya, lebih tahan
lama, serta harga jual produk yang murah dapat dengan mudah menarik konsumen
dalam jumlah yang banyak.
Para
produsen/pedagang, pada umumnya, melakukan kecurangan dengan latar belakang
keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang besar dengan modal yang kecil.
Masalah sosial ini sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat kecil (sebagai
produsen) yang menggunakan cara-cara seperti ini, karena modal yang mereka
punya sedikit, namun kebutuhan hidup yang semakin besar membuat mereka harus
berpikir lebih keras untuk mencari cara untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga ia
menghalalkan berbagai cara. Keadaan sosial ini membuat para pedagang, khususnya
pedagang makanan, melupakan nilai etis berdagang, yaitu memperhatikan kesehatan
konsumen.
2.3. Refleksi
Nilai
etika Kristen dalam berdagang/proses jual-beli adalah kejujuran dan kesadaran
bahwa Allah menciptakan manusia dan makhluk hidup lainnya sungguh amat baik,
sehingga tidak ada kesempatan bagi manusia untuk merusaknya, malah seharusnya
manusia memelihara semua yang ada di bumi ini (lih. Kej. 1:28). Sehingga
seorang manusia seharusnya turut serta memelihara manusia lain sebagai salah
satu ciptaan Allah, dan salah satunya adalah tindakan pemeliharaan melalui
kegiatan ekonomi, seperti yang dilakukan Yusuf kepada saudara-saudaranya (lih.
Kej. 45:5). Allah sendiri pun memelihara manusia (lih. Kej. 45:11; Mzm. 55:23;
Yoh. 17:11; I Ptr. 5:7). Seorang pedagang perlu menghidupi tindakan Allah
tersebut yang telah memelihara manusia, sehingga para pedagang tentu akan
melihat bahwa profesi mereka dapat mereka gunakan untuk melayani Allah dengan
cara memberikan hasil yang layak, yang tentunya dapat memelihara manusia
melalui pemenuhan kebutuhan mereka. Seperti makanan yang menjadi barang
dagangan, tentu harus melihat bagaimana efek dari dagangan mereka, apakah
menyehatkan atau malah akan merugikan kesehatan manusia. Oleh karena itu produsen-distributor
harus menyadari hal ini agar tumbuh sikap selektif dan berhati-hati dalam
memilih bahan-bahan dasar yang akan digunakan dalam menghasilkan suatu produk yang
hendak diperjual-belikan agar tidak merugikan kesehatan manusia lain
(konsumen). Maka bila seseorang mendagangkan suatu produk, berupa makanan, yang
terbuat dari bahan-bahan yang dapat merugikan kesehatan manusia, itu sama saja
merusak ciptaan yang sungguh amat baik itu.
Katekhismus Besar
Marthin Luther memaparkan ide yang menjadi dasar hukum
Kristen dalam menjalankan proses ekonomi di mana pun, yaitu: “jangan mencuri.” Kata ini seharusnya
tidak dipahami dalam pengertian yang terlalu sempit, melainkan memahaminya
secara luas dalam hubungan kita dengan orang lain, dimana kita memperhatikan
kebutuhan orang lain.[4]
Hal ini merupakan sebuah prinsip yang perlu ditanamkan dalam melakukan kegiatan
ekonomi, dimana seorang produsen tidak mencuri dari konsumennya, atau pun
sebaliknya. Lalu, ketika prinsip tersebut diperbandingkan dengan kasus yang
telah diuraikan, maka produsen seharusnya tidak mengambil untung yang
sebesar-besarnya dengan modal yang sangat sedikit, dan mencuri hak konsumen
untuk mendapatkan produk yang baik. Etika ekonomi memang tidak terlepas dari
hukum, dan perlu disadari bahwa pada pelaksanaannya nilai moral cukup sering
dipertimbangkan. Hukum lebih menegaskan pada hal apa yang seharusnya terjadi
diantara produsen dengan konsumen, dimana keduanya haruslah sama-sama untung,
tidak ada yang dirugikan.[5]
Namun moral tidak bisa dilupakan, karena ada beberapa hal yang tidak tertulis
namun terjadi secara alami, misalnya sopan-santun produsen dan konsumen dalam
bertransaksi. Selain itu dalam etika ekonomi ditekankan bahwa suatu produk yang
dihasilkan atau yang diperjual-belikan haruslah bermanfaat bagi masyarakat umum
(utilitarisme), dan ketika transaksi
terjadi ada hak-kewajiban yang pasti terjadi, sehingga bila salah satu hak atau
kewajiban tidak terpenuhi maka perlulah pertanggung-jawaban (deontology).[6]
M.
Douglas Meeks dalam bukunya God The
Economist (1989) menjelaskan bahwa teologi ekonomi harus berelevansi dengan
kata kepercayaan (trust), kesetiaan (fidelity), berdasarkan kepercayaan (fiduciary), kesanggupan (promissory), percaya diri (confidence), hutang (debt), penebusan (redemption), menyelamatkan (saving),
keamanan (security), barang-barang (futures), ikatan (bond), sehingga sistem ekonomi Allah dapat dipahami dan haruslah didasari
pada pemahaman etimologi oikos dalam
sistem ekonomi. Oikos menjadi dasar untuk memahami tujuan ekonomi untuk sebuah
kelangsungan hidup yang dianalogikan seperti kehidupan rumah tangga. Allah
menjadi kepala rumah tangga yang memberikan segala kebutuhan pengisi rumah
tangganya (manusia), sebagai wujud pemeliharaan Allah dari bidang ekonomi.[7]
Hal ini menjadi nyata ketika Allah sendiri melepaskan bangsa Israel dari
perbudakan di Mesir, dimana pembebasan ini merupakan sebuah tindakan ekonomi Allah
kepada manusia. Bangsa Israel tunduk terhadap sistem ekonomi Mesir, yaitu
perbudakan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu Allah menyelamatkan bangsa
Israel dengan memberikan tanah Kanaan yang subur agar mereka dapat hidup dengan
bebas-merdeka, dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atas dasar pemeliharaan
Allah. Jadi, inti pokok dari sistem ekonomi yang dijelaskan Meeks adalah sistem
ekonomi yang menyelamatkan dan membebaskan, dimana tidak ada yang dirugikan
karena dalam proses ekonomi itu pemeliharaan Allah terhadap manusia berlangsung.
Sistem
ekonomi yang memelihara, menyelamatkan, dan membebaskan seharusnya menjadi
prinsip dalam prose jual-beli di pasar. Sehingga tidak ada kesempatan untuk
bertindak curang, apalagi bagi para pedagang makanan untuk tidak mencampurkan
bahan-bahan yang tidak baik untuk dikonsumsi, karena sudah jelas bahwa ekonomi
bukan sebatas mencari keuntungan saja. Sistem Ekonomi yang dijalankan manusia
menjadi refleksi iman yang ada di dalam dirinya. Orang Kristen telah disucikan
imannya dan melaluinya manusia terdorong melakukan perbuatan-perbuatan kasih
yang mengalir dari iman-anugerah Allah. Perbuatan-perbuatan ini merupakan
perbuatan Allah sendiri, karena iman itu bersal dari Allah, iman yang mendorong
perbuatan, maka Allah lah yang sebenarnya berbuat, bukan manusia.[8]
Kita telah mengetahui bahwa Allah memelihara manusia, agar manusia dapat
menjalani kehidupan di bumi dengan penuh sukacita. Maka bila Allah yang berbuat
dalam diri manusia, dan Allah memelihara kehidupan, tidak ada lagi manusia yang
akan merugikan manusia lain. Tetapi akan saling memelihara satu sama lain,
karena sebagai seorang Kristen sudah sepatutnya kita membiarkan Allah bekerja
dalam hidup kita, dan kita cukup percaya dan beriman kepada-Nya melalui Yesus
Kristus sebagai satu-satunya jalan menuju Allah. Ini lah refleksi iman seorang
Kristen dalam melakukan kegiatan ekonomi, dimana iman itu mewujudkan sifat
Allah yang memelihara dengan penuh kasih melalui kegiatan ekonomi.
III.
PENUTUP
3.1. Rencana Aksi
Pada
rencana aksi ini akan lebih menekankan pada perananan Gereja yang dapat
diterapkan untuk menciptakan lingkungan pasar yang sesuai dengan etika Kristen
di bidang ekonomi. Ada pun hal-hal yang dapat dilakukan Gereja adalah sebagai
berikut:
-
Gereja berpartisipasi aktif di dalam
kehidupan jemaat dan lingkungan sekitarnya, terkhusus kepada kelompok
masyarakat menengah-ke-bawah. Sehingga Gereja mampu mengantisipasi kerentanan
kelompok masyarakat tersebut untuk melakukan hal-hal yang jauh dari keadilan
dan kejujuran, termasuk dalam melakukan kegiatan ekonomi. Pada hal ini Gereja
perlu mendekatkan diri kepada masyarakat, dan menciptakan hubungan yang dekat
sehingga setiap masyarakat yang sedang menghadapi pergumulan hidup, di bidang
ekonomi atau pun di bidang lainnya, meminta bimbingan dari Gereja untuk
melaluinya. Oleh karena itu, Gereja seharusnya mampu memberikan atau pun
menciptakan solusi/jalan keluar bagi setiap masalah sosial yang terjadi di
tengah-tengah jemaat dan masyarakat umum, khususnya dalam masalah ekonomi.
-
Gereja merekonstruski pemahaman jemaat
dan masyarakat di sekitar untuk melihat bahwa kegiatan ekonomi itu bukan hanya
sebatas menjual-membeli barang atau jasa, tapi lebih kepada tindakan
penyelematan yang berusaha untuk memenuhi kebutuan produsen, distributor, dan
konsumen.
-
Gereja memberikan sosialisasi mengenai
dampak dari ketidak-adilan dan ketidak jujuran atau tindak kejahatan pada saat
melakukan kegiatan ekonomi, khususnya di dalam pasar. Selain itu, Gereja juga
perlu bekerja sama dengan pemerintah untuk memberikan sosialisasi mengenai
hukum negara yang berlaku dalam proses/kegiatan ekonomi di dalam pasar, atau
pun di luar pasar.
Namun
solusi atau peranan yang diberikan Gereja tidak akan berhasil jika tidak ada follow up dari para jemaat/masyarakat,
sehingga kesadaran dari diri manusia sendiri menjadi kunci utama dari semua
upaya yang dilakukan Gereja dan Instansi Pemerintah perlu melakukan kerja sama untuk
menciptakan lingkungan pasar (ekonomi) yang sehat, jujur, dan adil.
3.2. Kesimpulan
-
Ekonomi merupakan kegiatan untuk
memuaskan kebutuhan konsumen dan memberikan keuntungan bagi produsen-distributor
-
Etika Ekonomi Kristen adalah memelihara
manusia lain dengan memenuhi kebutuhan manusia lain, bukan untuk merugikan. Sehingga
sikap etis dalam proses jual-beli dalam pasar menjadi refleksi iman seorang Kristen,
maka terjadilah “ekonomi yang beriman”.
-
Gereja mengambil peran untuk menanggapi
kecurangan yang terjadi di dalam pasar, dengan melakukan pendekatan,
sosialisasi, menciptakan/memberikan solusi, dan bekerja sama dengan
instansi-instansi pemerintahan.
[1]
Lih. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ekonomi yang
diunduh pada hari-tanggal Kamis, 01 Desember 2016 pukul 00.04 WIB.
[2]
James Kellock, Ethical Studies (Bangalore:
Bangalore Press, 1959), 180.
[3]
Lih. regional.kompas.com/read/2016/06/13/22060041/Sejumlah.Bahan.Makanan.di.Semarang.Mengandung.Boraks
yang diunduh pada hari-tanggal Kamis, 01 Desember 2016 pukul 23.00 WIB.
[4]
Martin Luther, Katekismus Besar Martin
Luther, (Terj.)
Anwar Tjen, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2015), 92.
[5]
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 38.
[6]
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis,
66-73.
[7]
M. Douglas Meeks, God The Economist (Minneapolis:
Furtress Press, 1989), 29-36, 47-50.
[8] Martin Luther, Kebebasan Seorang Kristen, (Terj.)
Mangisi S. E. Simorangkir, (Bandung:
Penerbit satu-satu, 2015), 85, 94.
No comments:
Post a Comment