Tuesday, 21 November 2017

SIKAP ETIS PROSES JUAL-BELI DI PASAR



Etika Ekonomi
SIKAP ETIS PROSES JUAL-BELI DI PASAR
              
       I.            PENDAHULUAN
Defenisi ekonomi yang dikutip dari Wikipedia adalah sebagai berikut:[1] “Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti “keluarga; rumah tangga” dan nomos yang berarti “peraturan; aturan; hukum”. Secara garis besar, ekonomi diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga.” Jadi dapat dikatakan bila kegiatan ekonomi merupakan aturan rumah tangga yang bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada rumah tangga itu sendiri. Kegiatan ekonomi juga merupakan kegiatan untuk memuaskan kebutuhan manusia, begitu juga hubungan produsen-distributor terhadap konsumen. Produsen memenuhi kebutuhan konsumen, bukan merugikan konsumen baik itu dalam kesehatan maupun materi.[2] Kegiatan berdagang juga memiliki aturan main yang telah dicantumkan dalam perundang-undangan.
Tulisan ini akan menguraikan permasalahan ekonomi, yang dikhususkan pada proses jual-beli (nilai etis berdagang), dimana kegiatan berdagang melibatkan peranan dari produsen, distributor dan konsumen. Produsen menghasilkan atau pun menyediakan barang/benda, makanan, jasa, dan sebagainya, untuk dijual oleh distributor dengan harga tertentu yang disesuaikan dengan modal-laba, dan konsumen membelinya menggunakan alat tukar yang sah, atau yang disetujui oleh produsen. Kegiatan berdagang juga dapat dikatakan sebagai kegiatan yang berusaha untuk memuaskan dan memenuhi tujuan dari produsen-distributor untuk mendapat untung, dan konsumen untuk memenuhi kebutuhannya.
                                                                                                                II.            ISI
2.1.      Masalah Ekonomi
Masalah yang kerap terjadi dalam proses jual-beli adalah kecurangan yang dilakukan oleh produsen, memang tidak bisa dilupakan juga bila konsumen juga mampu untuk melakukan kecurangan, misalnya dengan memberikan uang palsu. Akan tetapi tulisan ini akan lebih memfokuskan pembahasan pada permasalahan ekonomi yang disebabkan oleh produsen.
Modal kecil - untung besar menjadi prinsip yang kerap dipegang/dipahami para pedagang, sehingga mereka melupakan nilai-nilai etis dalam berdagang. Pedagang makanan misalnya, masih ada saja yang menggunakan bahan-bahan berharga murah yang pada kenyataannya tidak diijinkan oleh BPOM (Balai Pengawas Obat-obatan dan Makanan) atau Dinas Kesehatan. Bahan-bahan tersebut cenderung dapat merusak kesehatan konsumen, seperti penggunaan pewarna kimia hingga pengawet makanan yang berbahaya. Hal ini dilakukan oleh para produsen di pasar untuk menghasilkan produk yang terlihat enak/menggugah selera pembeli, dan agar produk dapat bertahan lama sehingga kecil kemungkinan untuk rugi.
Fakta masalah ekonomi yang demikian dapat dilihat dari informasi yang dilampirkan dalam Majalah Online Kompas, bahwa Sejumlah Bahan Makanan di Semarang Mengandung Boraks, berikut datanya:[3]
“Pemerintah Kota Semarang, Jawa Tengah menemukan sejumlah bahan makanan yang mengandung bahan kimia beracun jenis boraks di sejumlah pasar tradisional di Kota Semarang.
Selain boraks, Pemkot juga menemukan sejumlah makanan yang telah kedaluwarsa, namun tetap diperjual-belikan di sejumlah pasar modern.
Bahan makanan yang mengandung boraks misalnya ditemukan masih dijual bebas di sejumlah pasar di wilayah Gayamsari.
Di pasar, tim Pemkot Semarang juga menemukan sejumlah bahan makanan yang tidak bersertifikasi produksi pangan industri rumah tangga (PIRT). Sejumlah bahan makan yang ditemukan kemudian disita untuk dimusnahkan.
“Kegiatan ini untuk memastikan ketersediaan dan kelayakan barang konsumsi makanan dan minuman di bulan Ramadhan,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang, Nur Jannah, Senin (13/6/2016).
Makanan yang mengandung boraks dinilai berbahaya untuk tubuh. Mereka yang mengkonsumsi dalam jangka panjang bisa menimbulkan penyakit kanker, serta merusak fungsi ginjal.
Nur Jannah mengatakan, masyarakat perlu terus diedukasi agar bisa lebih teliti ketika hendak membeli kebutuhan makanan. Tidak hanya soal isi, standar kemasan produk bahan makanan juga perlu diperhatikan.
“Masyarakat harus menjadi konsumen yang cerdas dalam berbelanja. Perhatikan sejumlah poin saat berbelanja, misalnya masa kedaluarsa, kemasan, garansi serta label yang ada dalam produk,” ujar dia.
“Para pedagang dan pengelola mal, saya harap untuk bisa lebih memastikan kelayakan dan keamanan barang-barang yang dijual,” tambahnya.
Sejumlah pasar tradisional dan pasar modern disidak oleh tim Pemkot Semarang yang terdiri dari Disperindag, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dan Dinas Kesehatan.”

2.2.      Analisa Masalah
Ada tiga masalah yang terjadi di dalam kegiatan pasar/ekonomi berdasarkan infromasi di atas, dimana (1) Produsen/pedagang mendistribusikan produk yang mengandung bahan atau zat yang berbahaya; (2) Pedagang tetap mendistribusikan produk yang telah kedaluwarsa; dan (3) Pedagang mendistribusikan produk yang belum memiliki sertifikasi.
Kecurangan atau tindakan yang tidak jujur yang dilakukan oleh produsen/pedagang tentu terjadi atas beberapa asalan yang mendorong hal tersebut, dan saya melihat bahwa hal ini terjadi atas dasar tuntutan kebutuhan hidup yang meningkat. Produsen atau pedagang yang melakukan kecurangan cenderung berasal dari golongan masyarakat menengah ke bawah. Modal yang tidak begitu banyak mendorong terjadinya kecurangan agar mendapatkan untung yang maksimal, belum lagi tingkat kompetisi di pasar yang semakin meningkat. Harga, ketahanan produk (makanan-minuman), bentuk atau tampilan produk, dan cita rasa menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan oleh pedagang, khususnya para pedagang makanan. Belum lagi pangsa pasar para produsen/pedagang kelas menengah ke bawah yang cenderung melakukan kegiatan ekonominya di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya berada pada kelas yang sama juga, sehingga harga dan tampilan produk menjadi penentu keberhasilan proses penjualannya, dan produsen melihat kelemahan konsumen yang tidak terlalu memperhatikan tanggal kedaluwarsa produk dan sertifikatnya. Meskipun demikian, produsen lebih sering mencurangi konsumen dari bahan-bahan yang digunakan untuk menghasilkan produk yang bisa dikonsumsi.
Perbandingan produk makanan yang dibuat dengan bahan yang alami dengan bahan kimia memang cukup kontras, dan dapat dilihat dengan mata telanjang. Berikut perbandingan yang dapat dirangkum oleh penulis, yaitu:
PERBANDINGAN
ALAMI
KIMIA
Ketahanan
Tidak bertahan lama, biasanya hanya hitungan hari.
Dapat bertahan lama hingga berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan.
Rasa
Umumnya kurang enak di lidah masyarakat sekarang ini karena yang digunakan hanya penyedap rasa yang alami seperti garam.
Umumnya cukup enak di lidah masyarakat sekarang ini karena penyedap rasa kimia telah mampu memberikan rasa yang berbeda dan menimbulkan ketagihan-kecanduan dari penikmatnya.
Tampilan
Tidak terlalu menarik, karena dari segi warna, makanan yang berbahan alami cenderung memiliki warna yang tidak begitu cerah.
Memiliki tampilan yang menarik, dengan warna yang cerah dan menggugah selera pembeli.
Harga
Harga cukup mahal, karena penggunaan bahan alami yang memiliki harga yang cukup tinggi. Misalnya pemanis yang digunakan dalam proses pembuatan sebuah produk makanan, dimana harga gula cukup mahal dan diperlukan dalam jumlah yang besar untuk menghasilkan produk tersebut.
Harga relatif murah karena bahan yang digunakan terbuat dari bahan kimia, sehingga jumlah yang diperlukan tidak begitu banyak seperti penggunaan gula. Karena gula kimia atau pemanis buatan, seperti sakarin dan aspartam, pada jumlah yang kecil sudah bisa menghasilkan produk yang lumayan banyak dibandingkan produk alami.

Adapun bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan makanan memang beberapa ada yang telah diijinkan oleh BPOM, namun harga untuk membeli bahan ini juga membutuhkan modal yang cukup. Namun ketika produsen tidak ingin mengeluarkan modal yang besar, maka muncullah dorongan untuk menggunakan bahan-bahan kimia yang tidak diijinkan oleh BPOM. Pada beberapa produk makanan telah ditemukan boraks, formalin, dan pewarna tekstil. Ketiga bahan ini cukup mudah untuk dibeli oleh produsen dari kalangan masyarakat menengah-ke-bawah karena harganya yang cukup murah. Dan dari bahan tersebut produk yang dihasilkan dapat lebih cantik tampilannya, lebih tahan lama, serta harga jual produk yang murah dapat dengan mudah menarik konsumen dalam jumlah yang banyak.
Para produsen/pedagang, pada umumnya, melakukan kecurangan dengan latar belakang keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang besar dengan modal yang kecil. Masalah sosial ini sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat kecil (sebagai produsen) yang menggunakan cara-cara seperti ini, karena modal yang mereka punya sedikit, namun kebutuhan hidup yang semakin besar membuat mereka harus berpikir lebih keras untuk mencari cara untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga ia menghalalkan berbagai cara. Keadaan sosial ini membuat para pedagang, khususnya pedagang makanan, melupakan nilai etis berdagang, yaitu memperhatikan kesehatan konsumen.

2.3.      Refleksi
Nilai etika Kristen dalam berdagang/proses jual-beli adalah kejujuran dan kesadaran bahwa Allah menciptakan manusia dan makhluk hidup lainnya sungguh amat baik, sehingga tidak ada kesempatan bagi manusia untuk merusaknya, malah seharusnya manusia memelihara semua yang ada di bumi ini (lih. Kej. 1:28). Sehingga seorang manusia seharusnya turut serta memelihara manusia lain sebagai salah satu ciptaan Allah, dan salah satunya adalah tindakan pemeliharaan melalui kegiatan ekonomi, seperti yang dilakukan Yusuf kepada saudara-saudaranya (lih. Kej. 45:5). Allah sendiri pun memelihara manusia (lih. Kej. 45:11; Mzm. 55:23; Yoh. 17:11; I Ptr. 5:7). Seorang pedagang perlu menghidupi tindakan Allah tersebut yang telah memelihara manusia, sehingga para pedagang tentu akan melihat bahwa profesi mereka dapat mereka gunakan untuk melayani Allah dengan cara memberikan hasil yang layak, yang tentunya dapat memelihara manusia melalui pemenuhan kebutuhan mereka. Seperti makanan yang menjadi barang dagangan, tentu harus melihat bagaimana efek dari dagangan mereka, apakah menyehatkan atau malah akan merugikan kesehatan manusia. Oleh karena itu produsen-distributor harus menyadari hal ini agar tumbuh sikap selektif dan berhati-hati dalam memilih bahan-bahan dasar yang akan digunakan dalam menghasilkan suatu produk yang hendak diperjual-belikan agar tidak merugikan kesehatan manusia lain (konsumen). Maka bila seseorang mendagangkan suatu produk, berupa makanan, yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat merugikan kesehatan manusia, itu sama saja merusak ciptaan yang sungguh amat baik itu.
Katekhismus Besar Marthin Luther memaparkan ide yang menjadi dasar hukum Kristen dalam menjalankan proses ekonomi di mana pun, yaitu: “jangan mencuri.” Kata ini seharusnya tidak dipahami dalam pengertian yang terlalu sempit, melainkan memahaminya secara luas dalam hubungan kita dengan orang lain, dimana kita memperhatikan kebutuhan orang lain.[4] Hal ini merupakan sebuah prinsip yang perlu ditanamkan dalam melakukan kegiatan ekonomi, dimana seorang produsen tidak mencuri dari konsumennya, atau pun sebaliknya. Lalu, ketika prinsip tersebut diperbandingkan dengan kasus yang telah diuraikan, maka produsen seharusnya tidak mengambil untung yang sebesar-besarnya dengan modal yang sangat sedikit, dan mencuri hak konsumen untuk mendapatkan produk yang baik. Etika ekonomi memang tidak terlepas dari hukum, dan perlu disadari bahwa pada pelaksanaannya nilai moral cukup sering dipertimbangkan. Hukum lebih menegaskan pada hal apa yang seharusnya terjadi diantara produsen dengan konsumen, dimana keduanya haruslah sama-sama untung, tidak ada yang dirugikan.[5] Namun moral tidak bisa dilupakan, karena ada beberapa hal yang tidak tertulis namun terjadi secara alami, misalnya sopan-santun produsen dan konsumen dalam bertransaksi. Selain itu dalam etika ekonomi ditekankan bahwa suatu produk yang dihasilkan atau yang diperjual-belikan haruslah bermanfaat bagi masyarakat umum (utilitarisme), dan ketika transaksi terjadi ada hak-kewajiban yang pasti terjadi, sehingga bila salah satu hak atau kewajiban tidak terpenuhi maka perlulah pertanggung-jawaban (deontology).[6]
M. Douglas Meeks dalam bukunya God The Economist (1989) menjelaskan bahwa teologi ekonomi harus berelevansi dengan kata kepercayaan (trust), kesetiaan (fidelity), berdasarkan kepercayaan (fiduciary), kesanggupan (promissory), percaya diri (confidence), hutang (debt), penebusan (redemption), menyelamatkan (saving), keamanan (security), barang-barang (futures), ikatan (bond), sehingga sistem ekonomi Allah dapat dipahami dan haruslah didasari pada pemahaman etimologi oikos dalam sistem ekonomi. Oikos menjadi dasar untuk memahami tujuan ekonomi untuk sebuah kelangsungan hidup yang dianalogikan seperti kehidupan rumah tangga. Allah menjadi kepala rumah tangga yang memberikan segala kebutuhan pengisi rumah tangganya (manusia), sebagai wujud pemeliharaan Allah dari bidang ekonomi.[7] Hal ini menjadi nyata ketika Allah sendiri melepaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, dimana pembebasan ini merupakan sebuah tindakan ekonomi Allah kepada manusia. Bangsa Israel tunduk terhadap sistem ekonomi Mesir, yaitu perbudakan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu Allah menyelamatkan bangsa Israel dengan memberikan tanah Kanaan yang subur agar mereka dapat hidup dengan bebas-merdeka, dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atas dasar pemeliharaan Allah. Jadi, inti pokok dari sistem ekonomi yang dijelaskan Meeks adalah sistem ekonomi yang menyelamatkan dan membebaskan, dimana tidak ada yang dirugikan karena dalam proses ekonomi itu pemeliharaan Allah terhadap manusia berlangsung.
Sistem ekonomi yang memelihara, menyelamatkan, dan membebaskan seharusnya menjadi prinsip dalam prose jual-beli di pasar. Sehingga tidak ada kesempatan untuk bertindak curang, apalagi bagi para pedagang makanan untuk tidak mencampurkan bahan-bahan yang tidak baik untuk dikonsumsi, karena sudah jelas bahwa ekonomi bukan sebatas mencari keuntungan saja. Sistem Ekonomi yang dijalankan manusia menjadi refleksi iman yang ada di dalam dirinya. Orang Kristen telah disucikan imannya dan melaluinya manusia terdorong melakukan perbuatan-perbuatan kasih yang mengalir dari iman-anugerah Allah. Perbuatan-perbuatan ini merupakan perbuatan Allah sendiri, karena iman itu bersal dari Allah, iman yang mendorong perbuatan, maka Allah lah yang sebenarnya berbuat, bukan manusia.[8] Kita telah mengetahui bahwa Allah memelihara manusia, agar manusia dapat menjalani kehidupan di bumi dengan penuh sukacita. Maka bila Allah yang berbuat dalam diri manusia, dan Allah memelihara kehidupan, tidak ada lagi manusia yang akan merugikan manusia lain. Tetapi akan saling memelihara satu sama lain, karena sebagai seorang Kristen sudah sepatutnya kita membiarkan Allah bekerja dalam hidup kita, dan kita cukup percaya dan beriman kepada-Nya melalui Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan menuju Allah. Ini lah refleksi iman seorang Kristen dalam melakukan kegiatan ekonomi, dimana iman itu mewujudkan sifat Allah yang memelihara dengan penuh kasih melalui kegiatan ekonomi.


                                                III.            PENUTUP
3.1.      Rencana Aksi
Pada rencana aksi ini akan lebih menekankan pada perananan Gereja yang dapat diterapkan untuk menciptakan lingkungan pasar yang sesuai dengan etika Kristen di bidang ekonomi. Ada pun hal-hal yang dapat dilakukan Gereja adalah sebagai berikut:
-          Gereja berpartisipasi aktif di dalam kehidupan jemaat dan lingkungan sekitarnya, terkhusus kepada kelompok masyarakat menengah-ke-bawah. Sehingga Gereja mampu mengantisipasi kerentanan kelompok masyarakat tersebut untuk melakukan hal-hal yang jauh dari keadilan dan kejujuran, termasuk dalam melakukan kegiatan ekonomi. Pada hal ini Gereja perlu mendekatkan diri kepada masyarakat, dan menciptakan hubungan yang dekat sehingga setiap masyarakat yang sedang menghadapi pergumulan hidup, di bidang ekonomi atau pun di bidang lainnya, meminta bimbingan dari Gereja untuk melaluinya. Oleh karena itu, Gereja seharusnya mampu memberikan atau pun menciptakan solusi/jalan keluar bagi setiap masalah sosial yang terjadi di tengah-tengah jemaat dan masyarakat umum, khususnya dalam masalah ekonomi.
-          Gereja merekonstruski pemahaman jemaat dan masyarakat di sekitar untuk melihat bahwa kegiatan ekonomi itu bukan hanya sebatas menjual-membeli barang atau jasa, tapi lebih kepada tindakan penyelematan yang berusaha untuk memenuhi kebutuan produsen, distributor, dan konsumen.
-          Gereja memberikan sosialisasi mengenai dampak dari ketidak-adilan dan ketidak jujuran atau tindak kejahatan pada saat melakukan kegiatan ekonomi, khususnya di dalam pasar. Selain itu, Gereja juga perlu bekerja sama dengan pemerintah untuk memberikan sosialisasi mengenai hukum negara yang berlaku dalam proses/kegiatan ekonomi di dalam pasar, atau pun di luar pasar.
Namun solusi atau peranan yang diberikan Gereja tidak akan berhasil jika tidak ada follow up dari para jemaat/masyarakat, sehingga kesadaran dari diri manusia sendiri menjadi kunci utama dari semua upaya yang dilakukan Gereja dan Instansi Pemerintah perlu melakukan kerja sama untuk menciptakan lingkungan pasar (ekonomi) yang sehat, jujur, dan adil.

3.2.      Kesimpulan
-          Ekonomi merupakan kegiatan untuk memuaskan kebutuhan konsumen dan memberikan keuntungan bagi produsen-distributor
-          Etika Ekonomi Kristen adalah memelihara manusia lain dengan memenuhi kebutuhan manusia lain, bukan untuk merugikan. Sehingga sikap etis dalam proses jual-beli dalam pasar menjadi refleksi iman seorang Kristen, maka terjadilah “ekonomi yang beriman”.
-          Gereja mengambil peran untuk menanggapi kecurangan yang terjadi di dalam pasar, dengan melakukan pendekatan, sosialisasi, menciptakan/memberikan solusi, dan bekerja sama dengan instansi-instansi pemerintahan.


[1] Lih. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ekonomi yang diunduh pada hari-tanggal Kamis, 01 Desember 2016 pukul 00.04 WIB.
[2] James Kellock, Ethical Studies (Bangalore: Bangalore Press, 1959), 180.
[3] Lih. regional.kompas.com/read/2016/06/13/22060041/Sejumlah.Bahan.Makanan.di.Semarang.Mengandung.Boraks yang diunduh pada hari-tanggal Kamis, 01 Desember 2016 pukul 23.00 WIB.
[4] Martin Luther, Katekismus Besar Martin Luther, (Terj.) Anwar Tjen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 92.
[5] K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 38.
[6] K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, 66-73.
[7] M. Douglas Meeks, God The Economist (Minneapolis: Furtress Press, 1989), 29-36, 47-50.
[8] Martin Luther, Kebebasan Seorang Kristen, (Terj.) Mangisi S. E. Simorangkir, (Bandung: Penerbit satu-satu, 2015), 85, 94.

No comments:

Post a Comment