“PERUMPAMAAN TENTANG PENABUR”
Matius 13:1-23
I.
Indigenizing
(Masyarakat Lokal)
Matius
13:1-23 berisikan pengajaran Yesus kepada masyarakat umum yang berdiri di tepi
pantai dalam bentuk perumpamaan, dan adanya dialog yang terjadi diantara Yesus
dengan para murid. Yesus berbicara dengan menggunakan perumpamaan kepada
masyarakat umum (13:1-9), lalu menjelaskan arti dari perumpamaan itu kepada
para murid (13:10-23). Tindakan Yesus yang menyampaikan kabar baik dengan
metode bercerita menggunakan perumpamaan terhadap masyarakat umum dilakukan
karena Ia mempertimbangkan kualitas masyarakat tersebut, dimana mereka tidak
memiliki karunia seperti para murid sehingga mereka tidak akan mudah untuk
mengetahui rahasia Kerajaan Sorga (13:11-13). Pada hal ini Yesus memberitahukan
bagaimana rahasia Kerajaan Sorga bagi yang telah siap untuk mengetahuinya,
sekaligus menutupi rahasia tersebut bagi yang menentang-Nya.
-
Masyrakat
umum atau orang-orang
Saya
melihat bahwa metode menceritaan sebuah perumpamaan yang dilakukan Yesus adalah
tindakan yang tepat untuk menyampaikan kabar sukacia kepada orang-orang yang
masih belum memberikan/menyediakan tempat di dalam hatinya untuk menerima
karunia Allah. Yesus berusaha mengajak mereka yang mendengarkan dari tepi
pantai untuk berpikir dan mencari sendiri arti-makna dari perumpamaan itu untuk
membuka kesadaran dari masyarakat umum mengenai posisi mereka di dalam
perumpamaan yang disampaikan tersebut, apakah ia masuk ke dalam bagian benih
yang jatuh ke pinggir jalan, atau benih yang jatuh di tanah yang berbatu-batu,
atau mungkin benih yang jatuh di tengah semak berduri, atau ia berada di bagian
benih yang jatuh ke dalam tanah yang baik. Hal ini merupakan sebuah tindakan
yang tepat, karena saya menganalisa bila Yesus menyampaikannya secara terang-terangan
maka yang ada malah akan memicu konflik karena akan memicu timbulnya pemikiran
bahwa mereka (masyarakat umum) sedang menerima tuduhan yang menjatuhkan dari
Yesus Kristus.
Akan
tetapi ketika manusia berusaha mencari sendiri apa makna-arti dari perumpamaan
tersebut, itu akan menggunakan akal sehat atau pikiran mereka yang jernih,
sehingga mereka membuat penilaian terhada dirinya masing-masing. Pada akhirnya
membuka kesadaran bahwa ia telah berada pada posisi yang salah di dalam
perumpamaan itu dan hal ini harus diperbaiki, atau berada di tempat yang benar
sehingga posisi itu patut untuk dipertahankan. Yesus mengkontekstualisasikan
isi dari ajaran-Nya dengan pemikiran masyarakat umum yang hadir di tempat itu,
sehingga ada pengolahan di dalam pikiran mereka sendiri yang kemudian
memunculkan penilaian terhadap dirinnya oleh dirinya sendiri. Orang yang
berusaha untuk mengenal Allah melalui perumpamaan tersebut pastilah mengambil
tindakan untuk menanyakan arti dari perumpamaan yang disampaikan Yesus kepada mereka,
akan tetapi Matius tidak ada menuliskan adanya kejadian yang demikian. Malah
pertanyaan untuk memahami perumpamaan itu muncul dari para murid-Nya. Saya
melihat bahwa ini merupaka teknik penyampaian yang cukup cerdas untuk melihat
siapa yang benar-benar ingin mengetahui, dan siapa yang tidak.
-
Para
murid
Yesus
memberikan penjelasan langsung kepada para murid, dan Ia menyatakan bahwa
mereka memiliki karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, sehingga Yesus
menjelaskan secara rinci arti dari setiap ide yang ada di dalam perumpamaan
tersebut. Saya melihat bahwa karunia yang dimaksudkan oleh Yesus, mungkin,
adalah rasa keingin tahuan dari para murid untuk memahami apa arti-makna dari
perumpamaan tersebut. Yesus melihat adanya kesempatan untuk masuknya ajaran-Nya
tersebut ke dalam hati para murid karena adanya rasa ingin tahu, sehingga
pengenalan mereka akan kebenaran Allah akan menyingkap segala rahasia
Kerajaan-Nya.
Metode
pengajaran yang digunakan-diterapkan oleh Yesus dapat melihat dimana ada kesempatan
yang ada untuk memasukkan pemahaman mengenai Allah dari setiap orang yang
mendengarkan pengajaran-Nya. Nila rasa
ingin tahu dari objek teologi menjadi kunci masuk untuk menjabarkan dan
menjelaskan secara rinci setiap pengajaran yang ada di Alkitab, dan rasa ingin
tahu itulah yang merupakan karunia Allah kepada manusia. Hal perlu diterapkan
di masa kini, dimana penjelasan firman dengan memainkan perspektif manusia itu
sendiri, sehingga rasa ingin tahu memberikan pengenalan yang makin dalam
terhadap Allah. Sikap frontal dapat menjadi batu sandungan dalam menyebar
luaskan kabar sukacita, karena akan memicu perlawanan dari objek sehingga
terjadi konflik yang menghambat penyebar luasan kabar sukacita atau firman
Allah.
II.
Connecting
(Hubungan)
Pada
awal kitab Injil Matius menjelaskan silsilah Yesus Kristus, dimana hal ini saya
yakini dituliskan untuk menunjukkan bagaimana kebenaran atau fakta bahwa Yesus
adalah Mesias yang diharapkan oleh bangsa Yahudi (Mat. 1:1-17). Dan Injil
Matius cukup sering mengutip tulisan-tulisan yang tercantum dalam Perjanjian
Lama, seperti pada Matius 3:3 yang dikutip dari Yesaya 40:3. Hal ini
menunjukkan bahwa ada kedekatan dari kitab ini dengan Perjanjian Lama yang
menguatkan pernyataan bahwa Yesus sendiri lah penggenapan dari janji Allah
tersebut.
Yesus
yang menjadi inti dari Injil Matius ini lebih menekankan pada pengajaran
mengenai Kerajaan Allah yang disampaikan dengan berbagai cara. Saya menyadari
bahwa kronologi yang diceritakan oleh Injil Matius menunjukkan bahwa posisi
Matius 13:1-23 diletakkan setelah adanya konflik atau pun dialog yang terjadi
diantara Yesus dengan para Ahli Taurat dan Orang-orang Farisi (Mat. 12). Dan
setelah Matius 13:1-23, kitab ini menjelaskan mengenai penegasan bahwa Yesus
adalah Mesias yang ditunjukkan dengan menceritakan kuasa-Nya (Mat. 13).
Kronologi yang demikian semakin mendorong saya untuk berpikir bahwa cara Yesus
memberikan ajaran-ajaran mengenai Kerajaan Allah di tengah-tengah manusia yang
sering melakukan perlawanan terhadap-Nya perlu dilakukan dengan berhati-hati
agar tidak merusak citra-Nya sebagai Anak Allah. Metode perumpamaan menjadi
salah satu cara yang bijaksana untuk menyampaikan pengajaran-Nya kepada
manusia.
Saya
melihat bila cara Yesus yang mengadakan pembedaan pada proses penyampaian
pengajaran-Nya bukan suatu tindakan diskriminasi, dimana para murid lebih
dispesialkan dibandingkan yang lain. Yesus tentu tidak melakukan tindakan yang
demikian, namun apa yang menjadi tujuan pembedaan cara penyampaian tersebut
hanyalah sebuah tindakan yang mengkontekstualisasikan kondisi para manusia yang
mendengarkannya. Hal ini berkaitan dengan psikologi para pendengar, dimana
teologi yang mampu untuk mengkontekstualisasikan isinya dengan objek tentu akan
mempertimbangkan keadaan objek dari teologi tersebut. Yesus telah
merealisasikan pemahaman yang demikian, dimana teologi mengenai Kerajaan Allah
disampaikan dengan metode yang tepat. Yesus sendiri sudah menganalisa bahwa
mayoritas masyarakat yang hendak mendengarkan ajaran-Nya adalah tipe manusia yang
melihat namun tidak melihat, mendengar namun tidak mendengar, dan tidak
mengerti (Mat. 13:13-15). Hal ini lah yang menjadi alasan mengapa Yesus
menggunakan perumpamaan untuk menutupi rahasia Kerajaan Allah bagi setiap
manusia yang tidak bersungguh-sungguh menerima firman itu, karena itu sama saja
melakukan tindakan yang sia-sia. Perumpamaan berusaha membuka dialog diantara
informan dengan pendengar yang benar-benar ingin mengetahuinya, dan ini nyata
pada murid-murid yang hendak menanyakan makna dari perumpamaan tersebut.
Pada
Matius 13:1-23 berisikan perumpamaan tentang seorang penabur yang menjatuhkan
benihnya di empat tempat yang berbeda, yaitu:
-
Pinggir jalan
-
Tanah yang berbatu-batu
-
Semak duri
-
Tanah yang baik
Media
tanam ini merupakan analogi terhadap manusia yang menerimanya, atau dengan kata
lain bahwa ke empat media tersebut menunjukkan empat tipe manusia yang menerima
Firman Allah (benih). Ke empat tipe tersebut dijelaskan secara detail kepada
para murid, yaitu:
-
Pinggir
jalan: Orang yang mendengar firman tentang Kerajaan
Sorga, tetapi tidak mengerti, sehingga si jahat dapat dengan muda merampas
firman itu dari dalam hati manusia tersebut (Mat. 13:19)
-
Tanah
yang berbatu: Orang yang mendengarkan firman itu dan
segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan hanya bertaha
untuk waktu yang sebentar saja (Mat. 13:20-21).
-
Semak
duri:
Orang yang mendengar firman itu, lalu karena godaadn duniawi serta harta
menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah (Mat. 13:22).
-
Tanah
yang baik: Orang yang mendengar firman itu dan mengerti,
sehingga ia berbuah (Mat. 13:23).
Saya
memahami bila tipe tanah yang baik
masih menjadi minoritas pada Matius 13:1-23 dan Yesus menyadari hal tersebut,
karena hanya murid-murid saja yang memiliki ciri tipe tanah yang baik, yaitu memiliki karunia dari Allah untuk mengetahui
rahasia Kerajaan Allah (Mat. 13:11).
III.
Refraiming
(Pemetaan Ulang)
Proses
penyampaian perumpamaan yang dijelaskan di dalam Injil Matius 13:1-23
seolah-olah mengarahkan pembaca pada pemahaman bahwa tidak ada kesempatan bagi
orang-orang yang tidak mendapat karunia dari Allah untuk mengetahui rahasia
Kerajaan Allah. Injil Matius menuliskan dialog Yesus dengan para murid dalam
menjelaskan tujuan disampaikannya ajara dalam bentuk perumpamaan tersebut. Para
murid menanyakan apa yang membuat Yesus berkata-kata dalam perumpamaan kepada
orang-orang yang berdiri di tepi pantai (Mat. 13:10), karena para murid sudah
mengetahui bahwa orang yang mendengarkan di tepi pantai itu akan kebingungan
untuk mencari maknanya.
Pada Matius 13:14-15
berisikian kutipan dari kitab Yesaya yang digunakan Yesus untuk menjelaskan
tujuan dari perumpamaan yang diberikan kepada masyarakat umum yang, menurut
saya, mungkin saja baru pertama kali mendengarkannya. Berikut adalah isi dari
kitab Matius 13:14-15, yaitu:
14. Maka pada mereka genaplah
nubuat Yesaya, yang berbunyi: Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak
mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap.
15. Sebab hati bangsa ini telah
menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup; supaya
jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan
mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka.
Tujuan
dari perumpamaan itu adalah penyembuhan bagi orang-orang yang masih menyediakan
tempat yang baik untuk firman itu bertumbuh. Yesus pada dasarnya tidak
menutup-nutupi rahasia Allah kepada manusia yang masih bebal hatinya, namun Ia
ingin membuka kesadaran akan ketidak berdayaan manusia, sehingga manusia itu
beralih kepada Allah dengan meminta pertolongan-Nya, dan pada saat itu lah
Allah menyembuhkan mereka. Hal ini lah yang diharapkan Yesus terjadi di dalam
diri manusia.
Saya
menganalisa bila orang-orang yang berada di tepi pantai itu adalah golongan
masyarakat menengah ke bawah, karena tidak mungkin masyarakat kelas atas atau
pun golongan bangsawan, mau beramai-ramai berdiri di tepi pantai begitu saja,
apalagi tepi danau yang cenderung digunakan sebagai tempat bertransaksi,
berdagang, dan sebagainya. Sehingga kecil kemungkinan bila kaum intelek ada di
tempat tersebut untuk mendengarkan ajaran Yesus. Meskipun ada kaum intelek yang
mau hadir di tempat tersebut adalah para Ahli Taurat atau orang-orang Farisi
yang ingin menjatuhkan popularitas dan eksistensi keillahian Yesus Kristus.
Golongan
kelas menengah ke bawah pada jaman Yesus melayani cenderung orang-orang yang
tidak mendapatkan pendidikan yang cukup tinggi. Hal ini disadari oleh Yesus
Kristus sehingga perumpamaan digunakan untuk menyampaikan ajaran-Nya agar mereka
kebingungan untuk memahami maksud dari perumpamaan tersebut, dan berusaha
mencari artinya dengan kekuatan/pikiran mereka sendiri, atau pun dengan cara
datang menghampiri Yesus. Konteks yang terjadi pada masa itu bukanlah hal yang
sulit untuk dijumpai di masa kini, karena masih banyak masyarakat, terkhusus
yang ada di Indonesia, yang belum mendapatkan pendidikan yang cukup untuk membantu manusia memahami firman Allah,
meskipun itu berupa pendidikan formal atau pun informal.
Hal
ini mungkin menjadi alasan mengapa Yesus Kristus tidak pernah menggunakan
perumpamaan untuk mengajar para Ahli Taurat dan orang-orang Saduki, atau pun
golongan intelek yang lain pada masa itu. Saya meyakini analisa saya bila
perumpamaan digunakan Yesus untuk memberikan ajaran kepada para kaum intelek
yang dimaksud, atau dalam berdialog dengan mereka, maka hal yang mungkin
terjadi adalah kritik yang cukup tajam yang menjatuhkan karena mereka akan
merasa dihakimi secara sepihak. Pada jaman itu kaum intelek melihat Yesus
sebagai seorang saingan politik karena memiliki popularitas yang cukup tinggi,
apalagi mengenai ajaran-Nya yang cenderung berlawanan dengan apa yang mereka
pahami dari Hukum Taurat. Kita mengetahui bila Yesus telah merekonstruksi
pemahaman mengenai Hukum Taurat menjadi lebih fleksibel, sehingga banyak orang
yang mengikuti-Nya. Popularitas Yesus dikhawatirkan akan menggeser
posisi/jabatan para kaum intelek, sehingga mereka selalu akan berusaha untuk
menjatuhkan popularitas itu sehingga cukup banyak dialog yang terjadi diantara
Yesus denga para Ahli Taurat dan orang Saduki.
Jadi,
perumpamaan adalah metode yang tepat untuk digunakan dalam memberikan
pengajaran kepada masyarakat yang masuk ke dalam golongan menengah-bawah, dari
sudut pandang sosiologi. Hal ini bukan untuk menutupi informasi mengenai
Kerajaan Allah, karena itu merupakan hak seluruh manusia atau ciptaan untuk
mengetahuinya, namun perumpaan digunakan untuk menjadi kunci yang dapat membuka
kesadaran manusia akan kelemahan dan ketidak mampuannya sehingga ia berbalik
kepada Allah. Artinya manusia telah percaya bahwa Allah lah yang dapat
memberikan jawaban melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. kepercayaan ini menunjukkan
bahwa telah ada bibit iman di dalam hati manusia.
IV.
Protecting
(Perlindungan)
Isi dari Matius 13:1-23
berisikan teologi yang berbicara mengenai proses pemberian firman kepada
berbagai tipe manusia. Teks ini juga secara tidak langsung telah memberikan
penjelasan mengenai perlindungan (protecting)
yang dilakukan oleh Yesus Kristus terhadap tiga hal, antara lain:
§ Teologi
dan sumbernya
§ Orang-orang
yang berdiri di tepi pantai
§ Para
murid
-
Teologi
dan sumbernya
Saya
berpikir bila Yesus juga membuat perlindungan terhadap teologi yang disampaikan
kepada manusia dengan mengkontekstualisasikan metode pengajarannya, yaitu dengan
menggunakan perumpamaan kepada orang-orang di tepi pantai, dan menggunakan
penjabaran lansung kepada para murid. Konteks yang ada tidak membuat teologi
yang disampaikan menjadi berubah, karena konsistensi inti teologi itu akan
tetap berlangsung dalam hal apapun.
Selain
itu, saya berpikir bila Yesus sendiri juga melindungi diri-Nya sendiri sebagai
sumber dari teologi yang disampaikan tersebut. Yesus mengambil tempat yang
cukup jauh dari jangkauan langsung dari para pendengarnya, dimana setelah orang
banyak datang untuk mendengarkan ajaran-Nya, membuat Ia naik ke perahu dan
duduk di situ, sedangkan semua orang berdiri di pantai (Mat. 13:1-2). Hal ini
mungkin kita lihat sebagai cara Yesus dalam proses pemberian ajaran-Nya dengan
mengambil tempat yang dapat dilihat oleh banyak orang. Namun saya melihat bila
ini juga merupakan cara untuk menghindarkan kontak fisik secara langsung dengan
masyarakat umum yang mungkin dapat menimbulkan konflik. Perlindungan ini bukan
semata-mata untuk kepentingan Yesus secara pribadi, namun merupakan tindakan
yang mengantisipasi hal-hal yang mungkin saja akan merugikan pelayanannya.
Pelayanan Yesus memang perlu dijaga pada saat itu, karena masih sangat
dibutuhkan untuk mendamaikan manusia dengan Tuhan Allah. Tindakan yang demikian
perlu diterapkan dalam proses penginjilan masa kini, dimana antisipasi sebelum
terjadinya konflik/perseteruan perlu dilakukan.
-
Orang-orang
yang berdiri di tepi pantai
Selain
melindungi teologi-Nya, Yesus juga melindungi orang-orang yang mendengarkan ajaran
tersebut. Pengajaran dengan menggunakan perumpamaan menjadi salah satu cara
Yesus untuk melindungi mereka. Tindakan ini terlihat ketika Yesus telah
menganalisa bila keadaan-kondisi para pendengar yang masih cenderung buta
terhadap firman menjadi perhatian utama ketika Ia menyampaikan
ajaran-ajaranNya. Perumpamaan itu diharapkan dapat membuat para pendengarnya
berbalik ke jalan yang benar, agar Allah melalui Yesus dapat menyembuhkan
mereka. Hal ini berbicara kepada iman para pendengar itu, dan melalui iman itu
lah perlindungan diberikan oleh Yesus.
Yesus
melindungi keberadaan mereka yang masih cukup dekat dengan para si jahat,
karena bila pengajaran yang mendetail dan rinci mungkin saja akan menarik
perhatian mereka, dan firman itu tumbuh di dalam hatinya, namun karena masih
rentan, pertumbuhan firman di dalam hati mereka segera padam karena masih belum
memiliki fondasi yang kuat. Oleh karena itu, perumpamaan juga merupakan cara
Yesus untuk membangun fondasi/dasar yang kuat bagi setiap manusia yang bersedia
menerima firman atau rahasia Kerajaan Allah itu di dalam hatinya masing-masing.
-
Para
murid
Para
murid menerima perlindungan dari Yesus ketika mereka mendapatkan penjelasan
yang lebih jelas dan rinci untuk menguraikan perumpamaan yang diberikan Yesus kepada
para murid. Para murid telah memiliki iman di dalam hatinya, dan keberadaan itu
berusaha dipelihara oleh Yesus dengan menjelaskan secara langsung dan rinci
kepada manusia. Selain itu, perlindungan yang diberikan Yesus terlihat ketika
Ia menyampaikan penjelasan tersebut kepada para murid-Nya setelah Ia berbicara
dengan orang-orang di tepi pantai. Lalu berbicara secara khusus dengan para
murid.
Mungkin
akan ada yang mengatakan bahwa tindakan Yesus ini merupakan sebuah
ekslusivisme, dimana Ia tidak terbuka kepada seluruh manusia, tanpa ada
diskriminasi. Akan tetapi saya akan menolak pandangan tersebut dengan
memberikan argumen saya bahwa tindaka ini bukan masalah inkonsistens Yesus akan
inklusivisme-Nya, namun berupa tindakan yang menyesuaikan objek dari pengajaran
tersebut tanpa menghilangkan inti ajaran-Nya, sehingga setiap aspek manusia
dapat menerima setiap ajaran yang diberikan oleh Yesus.
V.
Sharing
(Berbagi)
Menurut
saya cara pengajaran yang dilakukan Yesus merupakan salah satu tindakan berbagi
(sharing), dimana perumpamaan yang
menjadi metode pengajaran yang diterapkan merupakan wujud nyata dari kasih
Allah kepada manusia, karena melalui perumpamaan itu ada kesempatan bagi mereka
yang mendengarkan untuk kembali kepada Allah agar ia disembuhkan. Konteks dan
teologi saling mengisi satu sama lain sehingga tujuan dicapai, yaitu sebuah
keselamatan yang sejati. Interaksi sosial yang terjadi diantara Yesus dan
setiap orang yang berdiri di tepi pantai dijelaskan Injil Matius sebagai
interaksi yang pasif, karena Yesus sendiri yang berbicara dan tidak dialog
diantara mereka. Pada hal ini Yesus mengambil posisi sebagai fokus utama, dan
ini semakin dikuatkan ketika Ia naik ke perahu dan memulai pembicaraan dari
atasnya. Hal ini secara tidak langsung menaikkan otoritas Yesus sebagai sumber
informasi mengenai pengenalan terhadap Kerajaan Allah, karena Ia memang berasal
dari situ. Yesus menggunakan perumpamaan untuk mengajar, artinya Ia bercerita
kepada orang banyak. Penginjilan dalam bentuk cerita memang cukup menarik perhatian
dari pendengarnya, dan cukup ampuh ketika metode ini diterapkan di
tengah-tengah masyarakat yang masih belum mengenal tulisan dengan baik.
Pendengaran menjadi pintu masuk kabar sukacita, sehingga keselamatan dapat
diterima oleh setiap manusia melalui iman mereka kepada Allah.
Berbeda
dengan para murid, interaksi sosial yang aktif terjadi diantara Yesus dengan
para murid tersebut, sehingga ada dialog yang terjadi. Pada bagian ini Yesus
banyak menjelaskan mengapa Ia menggunakan metode perumpamaan/bercerita, apa
tujuannya, dan apa makna dari perumpamaan itu. Hal ini cukup jelas
diberitahukan oleh Yesus kepada murid-muridNya, dan tindakan saya analisa
sebagai ajaran kepada para murid agar mengetahui bagaiaman cara memberikan
pengajaran dengan tepat, dan memperhatikan konteks pendengar yang menjadi
target dari pengajaran tersebut. Injil Matius cukup jelas menerangkan bahwa ada
persiapa yang dilakukan oleh Yesus kepada murid-muridNya agar kelak mereka siap
untuk menyebar luaskan kabar sukacita tersebut, sehingga tidak heran bila Ia
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan cara pengajaran yang diberikan oleh
Yesus kepada manusia. Perlu diketahui bila pada zaman pelayanan Yesus Kristus
di dunia sangat berhasil dengan menggunakan metode berbagi atau pun bercerita,
sehingga besar kemungkinan terjadinya dialog diantara pengajara dan pendengar.
Dialog yang terjadi pastilah bertujuan untuk memberikan pemahaman/pengertian
yang tepat kepada para pendengarnya yang disesuaikan dengan maksud utama dari
pengajar. Misi Yesus untuk mempersiapkan para muridNya semakan jelas ketika Ia
hendak naik ke sorga, dimana Yesus memberikan amanat kepada para murid untuk
menyebar-luaskan ajaranNya kepada seluruh umat manusia (Mat. 28:16-20).
Teknik
bercerita atau pun berbagi untuk memberitahukan kabar sukacita kepada seluruh
manusia merupakan salah satu cara yang perlu diterapkan dalam misi penginjilan.
Dan melihat apa yang dilakukan oleh Yesus, dimana Ia memperhatikan konteks
objek pengajaranNya, lalu menyesuaikan isi dari teknik berecerita tesebut,
sehingga dapat diterima setiap golongan masyakarat yang berbeda. Selain itu hal
yang perlu diketahui untuk menerapkan teknik tersebut adalah pengambilan posisi
yang tepat agar otoritas atau eksistensi seorang pengajar itu dapat dilihat dan
dirasakan setiap pendengarnya. Oleh karena itu, perumpamaan yang diberikan oleh
Yesus kepada orang-orang yang berdiri di tepi pantai, dan pemaparan yang
mendetail yang diberikan kepada para murid, merupakan teladan dalam
memberitakan injil keselamatan itu. Dan meskipun teknik mempertimbangkan
konteks, teologi yang berusaha disampaikan tidak lah boleh berubah, karena
teologi itu harus konsisten terhadap hakikatnya. Teknik bercerita atau
memberikan perumpamaan dapat dilihat di masa sekarang ini yang mana para
pelayan Tuhan yang bekerja di gereja cenderung memberikan perumpamaan pada
khotbahnya, yang sering disebut dengan istilah Ilustrasi. Dan kunci keberhasila ilustrasi yang saya ketahui ialah
kemampuan isi cerita tersebut menarik perhatian pendengarnya tanpa mengubah isi
teologi yang terkandung.
No comments:
Post a Comment