Tuesday, 21 November 2017

“PERUMPAMAAN TENTANG PENABUR”

“PERUMPAMAAN TENTANG PENABUR”
Matius 13:1-23
I.          Indigenizing (Masyarakat Lokal)
Matius 13:1-23 berisikan pengajaran Yesus kepada masyarakat umum yang berdiri di tepi pantai dalam bentuk perumpamaan, dan adanya dialog yang terjadi diantara Yesus dengan para murid. Yesus berbicara dengan menggunakan perumpamaan kepada masyarakat umum (13:1-9), lalu menjelaskan arti dari perumpamaan itu kepada para murid (13:10-23). Tindakan Yesus yang menyampaikan kabar baik dengan metode bercerita menggunakan perumpamaan terhadap masyarakat umum dilakukan karena Ia mempertimbangkan kualitas masyarakat tersebut, dimana mereka tidak memiliki karunia seperti para murid sehingga mereka tidak akan mudah untuk mengetahui rahasia Kerajaan Sorga (13:11-13). Pada hal ini Yesus memberitahukan bagaimana rahasia Kerajaan Sorga bagi yang telah siap untuk mengetahuinya, sekaligus menutupi rahasia tersebut bagi yang menentang-Nya.
-          Masyrakat umum atau orang-orang
Saya melihat bahwa metode menceritaan sebuah perumpamaan yang dilakukan Yesus adalah tindakan yang tepat untuk menyampaikan kabar sukacia kepada orang-orang yang masih belum memberikan/menyediakan tempat di dalam hatinya untuk menerima karunia Allah. Yesus berusaha mengajak mereka yang mendengarkan dari tepi pantai untuk berpikir dan mencari sendiri arti-makna dari perumpamaan itu untuk membuka kesadaran dari masyarakat umum mengenai posisi mereka di dalam perumpamaan yang disampaikan tersebut, apakah ia masuk ke dalam bagian benih yang jatuh ke pinggir jalan, atau benih yang jatuh di tanah yang berbatu-batu, atau mungkin benih yang jatuh di tengah semak berduri, atau ia berada di bagian benih yang jatuh ke dalam tanah yang baik. Hal ini merupakan sebuah tindakan yang tepat, karena saya menganalisa bila Yesus menyampaikannya secara terang-terangan maka yang ada malah akan memicu konflik karena akan memicu timbulnya pemikiran bahwa mereka (masyarakat umum) sedang menerima tuduhan yang menjatuhkan dari Yesus Kristus.
Akan tetapi ketika manusia berusaha mencari sendiri apa makna-arti dari perumpamaan tersebut, itu akan menggunakan akal sehat atau pikiran mereka yang jernih, sehingga mereka membuat penilaian terhada dirinya masing-masing. Pada akhirnya membuka kesadaran bahwa ia telah berada pada posisi yang salah di dalam perumpamaan itu dan hal ini harus diperbaiki, atau berada di tempat yang benar sehingga posisi itu patut untuk dipertahankan. Yesus mengkontekstualisasikan isi dari ajaran-Nya dengan pemikiran masyarakat umum yang hadir di tempat itu, sehingga ada pengolahan di dalam pikiran mereka sendiri yang kemudian memunculkan penilaian terhadap dirinnya oleh dirinya sendiri. Orang yang berusaha untuk mengenal Allah melalui perumpamaan tersebut pastilah mengambil tindakan untuk menanyakan arti dari perumpamaan yang disampaikan Yesus kepada mereka, akan tetapi Matius tidak ada menuliskan adanya kejadian yang demikian. Malah pertanyaan untuk memahami perumpamaan itu muncul dari para murid-Nya. Saya melihat bahwa ini merupaka teknik penyampaian yang cukup cerdas untuk melihat siapa yang benar-benar ingin mengetahui, dan siapa yang tidak.

-          Para murid
Yesus memberikan penjelasan langsung kepada para murid, dan Ia menyatakan bahwa mereka memiliki karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, sehingga Yesus menjelaskan secara rinci arti dari setiap ide yang ada di dalam perumpamaan tersebut. Saya melihat bahwa karunia yang dimaksudkan oleh Yesus, mungkin, adalah rasa keingin tahuan dari para murid untuk memahami apa arti-makna dari perumpamaan tersebut. Yesus melihat adanya kesempatan untuk masuknya ajaran-Nya tersebut ke dalam hati para murid karena adanya rasa ingin tahu, sehingga pengenalan mereka akan kebenaran Allah akan menyingkap segala rahasia Kerajaan-Nya.
Metode pengajaran yang digunakan-diterapkan oleh Yesus dapat melihat dimana ada kesempatan yang ada untuk memasukkan pemahaman mengenai Allah dari setiap orang yang mendengarkan pengajaran-Nya. Nila rasa ingin tahu dari objek teologi menjadi kunci masuk untuk menjabarkan dan menjelaskan secara rinci setiap pengajaran yang ada di Alkitab, dan rasa ingin tahu itulah yang merupakan karunia Allah kepada manusia. Hal perlu diterapkan di masa kini, dimana penjelasan firman dengan memainkan perspektif manusia itu sendiri, sehingga rasa ingin tahu memberikan pengenalan yang makin dalam terhadap Allah. Sikap frontal dapat menjadi batu sandungan dalam menyebar luaskan kabar sukacita, karena akan memicu perlawanan dari objek sehingga terjadi konflik yang menghambat penyebar luasan kabar sukacita atau firman Allah.

II.          Connecting (Hubungan)
Pada awal kitab Injil Matius menjelaskan silsilah Yesus Kristus, dimana hal ini saya yakini dituliskan untuk menunjukkan bagaimana kebenaran atau fakta bahwa Yesus adalah Mesias yang diharapkan oleh bangsa Yahudi (Mat. 1:1-17). Dan Injil Matius cukup sering mengutip tulisan-tulisan yang tercantum dalam Perjanjian Lama, seperti pada Matius 3:3 yang dikutip dari Yesaya 40:3. Hal ini menunjukkan bahwa ada kedekatan dari kitab ini dengan Perjanjian Lama yang menguatkan pernyataan bahwa Yesus sendiri lah penggenapan dari janji Allah tersebut.
Yesus yang menjadi inti dari Injil Matius ini lebih menekankan pada pengajaran mengenai Kerajaan Allah yang disampaikan dengan berbagai cara. Saya menyadari bahwa kronologi yang diceritakan oleh Injil Matius menunjukkan bahwa posisi Matius 13:1-23 diletakkan setelah adanya konflik atau pun dialog yang terjadi diantara Yesus dengan para Ahli Taurat dan Orang-orang Farisi (Mat. 12). Dan setelah Matius 13:1-23, kitab ini menjelaskan mengenai penegasan bahwa Yesus adalah Mesias yang ditunjukkan dengan menceritakan kuasa-Nya (Mat. 13). Kronologi yang demikian semakin mendorong saya untuk berpikir bahwa cara Yesus memberikan ajaran-ajaran mengenai Kerajaan Allah di tengah-tengah manusia yang sering melakukan perlawanan terhadap-Nya perlu dilakukan dengan berhati-hati agar tidak merusak citra-Nya sebagai Anak Allah. Metode perumpamaan menjadi salah satu cara yang bijaksana untuk menyampaikan pengajaran-Nya kepada manusia.
Saya melihat bila cara Yesus yang mengadakan pembedaan pada proses penyampaian pengajaran-Nya bukan suatu tindakan diskriminasi, dimana para murid lebih dispesialkan dibandingkan yang lain. Yesus tentu tidak melakukan tindakan yang demikian, namun apa yang menjadi tujuan pembedaan cara penyampaian tersebut hanyalah sebuah tindakan yang mengkontekstualisasikan kondisi para manusia yang mendengarkannya. Hal ini berkaitan dengan psikologi para pendengar, dimana teologi yang mampu untuk mengkontekstualisasikan isinya dengan objek tentu akan mempertimbangkan keadaan objek dari teologi tersebut. Yesus telah merealisasikan pemahaman yang demikian, dimana teologi mengenai Kerajaan Allah disampaikan dengan metode yang tepat. Yesus sendiri sudah menganalisa bahwa mayoritas masyarakat yang hendak mendengarkan ajaran-Nya adalah tipe manusia yang melihat namun tidak melihat, mendengar namun tidak mendengar, dan tidak mengerti (Mat. 13:13-15). Hal ini lah yang menjadi alasan mengapa Yesus menggunakan perumpamaan untuk menutupi rahasia Kerajaan Allah bagi setiap manusia yang tidak bersungguh-sungguh menerima firman itu, karena itu sama saja melakukan tindakan yang sia-sia. Perumpamaan berusaha membuka dialog diantara informan dengan pendengar yang benar-benar ingin mengetahuinya, dan ini nyata pada murid-murid yang hendak menanyakan makna dari perumpamaan tersebut.
Pada Matius 13:1-23 berisikan perumpamaan tentang seorang penabur yang menjatuhkan benihnya di empat tempat yang berbeda, yaitu:
-          Pinggir jalan
-          Tanah yang berbatu-batu
-          Semak duri
-          Tanah yang baik
Media tanam ini merupakan analogi terhadap manusia yang menerimanya, atau dengan kata lain bahwa ke empat media tersebut menunjukkan empat tipe manusia yang menerima Firman Allah (benih). Ke empat tipe tersebut dijelaskan secara detail kepada para murid, yaitu:
-          Pinggir jalan: Orang yang mendengar firman tentang Kerajaan Sorga, tetapi tidak mengerti, sehingga si jahat dapat dengan muda merampas firman itu dari dalam hati manusia tersebut (Mat. 13:19)
-          Tanah yang berbatu: Orang yang mendengarkan firman itu dan segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan hanya bertaha untuk waktu yang sebentar saja (Mat. 13:20-21).
-          Semak duri: Orang yang mendengar firman itu, lalu karena godaadn duniawi serta harta menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah (Mat. 13:22).
-          Tanah yang baik: Orang yang mendengar firman itu dan mengerti, sehingga ia berbuah (Mat. 13:23).
Saya memahami bila tipe tanah yang baik masih menjadi minoritas pada Matius 13:1-23 dan Yesus menyadari hal tersebut, karena hanya murid-murid saja yang memiliki ciri tipe tanah yang baik, yaitu memiliki karunia dari Allah untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah (Mat. 13:11).
III.          Refraiming (Pemetaan Ulang)
Proses penyampaian perumpamaan yang dijelaskan di dalam Injil Matius 13:1-23 seolah-olah mengarahkan pembaca pada pemahaman bahwa tidak ada kesempatan bagi orang-orang yang tidak mendapat karunia dari Allah untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah. Injil Matius menuliskan dialog Yesus dengan para murid dalam menjelaskan tujuan disampaikannya ajara dalam bentuk perumpamaan tersebut. Para murid menanyakan apa yang membuat Yesus berkata-kata dalam perumpamaan kepada orang-orang yang berdiri di tepi pantai (Mat. 13:10), karena para murid sudah mengetahui bahwa orang yang mendengarkan di tepi pantai itu akan kebingungan untuk mencari maknanya.
Pada Matius 13:14-15 berisikian kutipan dari kitab Yesaya yang digunakan Yesus untuk menjelaskan tujuan dari perumpamaan yang diberikan kepada masyarakat umum yang, menurut saya, mungkin saja baru pertama kali mendengarkannya. Berikut adalah isi dari kitab Matius 13:14-15, yaitu:
14. Maka pada mereka genaplah nubuat Yesaya, yang berbunyi: Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap.
15. Sebab hati bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup; supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka.
Tujuan dari perumpamaan itu adalah penyembuhan bagi orang-orang yang masih menyediakan tempat yang baik untuk firman itu bertumbuh. Yesus pada dasarnya tidak menutup-nutupi rahasia Allah kepada manusia yang masih bebal hatinya, namun Ia ingin membuka kesadaran akan ketidak berdayaan manusia, sehingga manusia itu beralih kepada Allah dengan meminta pertolongan-Nya, dan pada saat itu lah Allah menyembuhkan mereka. Hal ini lah yang diharapkan Yesus terjadi di dalam diri manusia.
Saya menganalisa bila orang-orang yang berada di tepi pantai itu adalah golongan masyarakat menengah ke bawah, karena tidak mungkin masyarakat kelas atas atau pun golongan bangsawan, mau beramai-ramai berdiri di tepi pantai begitu saja, apalagi tepi danau yang cenderung digunakan sebagai tempat bertransaksi, berdagang, dan sebagainya. Sehingga kecil kemungkinan bila kaum intelek ada di tempat tersebut untuk mendengarkan ajaran Yesus. Meskipun ada kaum intelek yang mau hadir di tempat tersebut adalah para Ahli Taurat atau orang-orang Farisi yang ingin menjatuhkan popularitas dan eksistensi keillahian Yesus Kristus.
Golongan kelas menengah ke bawah pada jaman Yesus melayani cenderung orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup tinggi. Hal ini disadari oleh Yesus Kristus sehingga perumpamaan digunakan untuk menyampaikan ajaran-Nya agar mereka kebingungan untuk memahami maksud dari perumpamaan tersebut, dan berusaha mencari artinya dengan kekuatan/pikiran mereka sendiri, atau pun dengan cara datang menghampiri Yesus. Konteks yang terjadi pada masa itu bukanlah hal yang sulit untuk dijumpai di masa kini, karena masih banyak masyarakat, terkhusus yang ada di Indonesia, yang belum mendapatkan pendidikan yang cukup  untuk membantu manusia memahami firman Allah, meskipun itu berupa pendidikan formal atau pun informal.
Hal ini mungkin menjadi alasan mengapa Yesus Kristus tidak pernah menggunakan perumpamaan untuk mengajar para Ahli Taurat dan orang-orang Saduki, atau pun golongan intelek yang lain pada masa itu. Saya meyakini analisa saya bila perumpamaan digunakan Yesus untuk memberikan ajaran kepada para kaum intelek yang dimaksud, atau dalam berdialog dengan mereka, maka hal yang mungkin terjadi adalah kritik yang cukup tajam yang menjatuhkan karena mereka akan merasa dihakimi secara sepihak. Pada jaman itu kaum intelek melihat Yesus sebagai seorang saingan politik karena memiliki popularitas yang cukup tinggi, apalagi mengenai ajaran-Nya yang cenderung berlawanan dengan apa yang mereka pahami dari Hukum Taurat. Kita mengetahui bila Yesus telah merekonstruksi pemahaman mengenai Hukum Taurat menjadi lebih fleksibel, sehingga banyak orang yang mengikuti-Nya. Popularitas Yesus dikhawatirkan akan menggeser posisi/jabatan para kaum intelek, sehingga mereka selalu akan berusaha untuk menjatuhkan popularitas itu sehingga cukup banyak dialog yang terjadi diantara Yesus denga para Ahli Taurat dan orang Saduki.
Jadi, perumpamaan adalah metode yang tepat untuk digunakan dalam memberikan pengajaran kepada masyarakat yang masuk ke dalam golongan menengah-bawah, dari sudut pandang sosiologi. Hal ini bukan untuk menutupi informasi mengenai Kerajaan Allah, karena itu merupakan hak seluruh manusia atau ciptaan untuk mengetahuinya, namun perumpaan digunakan untuk menjadi kunci yang dapat membuka kesadaran manusia akan kelemahan dan ketidak mampuannya sehingga ia berbalik kepada Allah. Artinya manusia telah percaya bahwa Allah lah yang dapat memberikan jawaban melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. kepercayaan ini menunjukkan bahwa telah ada bibit iman di dalam hati manusia.
IV.          Protecting (Perlindungan)
Isi dari Matius 13:1-23 berisikan teologi yang berbicara mengenai proses pemberian firman kepada berbagai tipe manusia. Teks ini juga secara tidak langsung telah memberikan penjelasan mengenai perlindungan (protecting) yang dilakukan oleh Yesus Kristus terhadap tiga hal, antara lain:
§  Teologi dan sumbernya
§  Orang-orang yang berdiri di tepi pantai
§  Para murid

-          Teologi dan sumbernya
Saya berpikir bila Yesus juga membuat perlindungan terhadap teologi yang disampaikan kepada manusia dengan mengkontekstualisasikan metode pengajarannya, yaitu dengan menggunakan perumpamaan kepada orang-orang di tepi pantai, dan menggunakan penjabaran lansung kepada para murid. Konteks yang ada tidak membuat teologi yang disampaikan menjadi berubah, karena konsistensi inti teologi itu akan tetap berlangsung dalam hal apapun.
Selain itu, saya berpikir bila Yesus sendiri juga melindungi diri-Nya sendiri sebagai sumber dari teologi yang disampaikan tersebut. Yesus mengambil tempat yang cukup jauh dari jangkauan langsung dari para pendengarnya, dimana setelah orang banyak datang untuk mendengarkan ajaran-Nya, membuat Ia naik ke perahu dan duduk di situ, sedangkan semua orang berdiri di pantai (Mat. 13:1-2). Hal ini mungkin kita lihat sebagai cara Yesus dalam proses pemberian ajaran-Nya dengan mengambil tempat yang dapat dilihat oleh banyak orang. Namun saya melihat bila ini juga merupakan cara untuk menghindarkan kontak fisik secara langsung dengan masyarakat umum yang mungkin dapat menimbulkan konflik. Perlindungan ini bukan semata-mata untuk kepentingan Yesus secara pribadi, namun merupakan tindakan yang mengantisipasi hal-hal yang mungkin saja akan merugikan pelayanannya. Pelayanan Yesus memang perlu dijaga pada saat itu, karena masih sangat dibutuhkan untuk mendamaikan manusia dengan Tuhan Allah. Tindakan yang demikian perlu diterapkan dalam proses penginjilan masa kini, dimana antisipasi sebelum terjadinya konflik/perseteruan perlu dilakukan.

-          Orang-orang yang berdiri di tepi pantai
Selain melindungi teologi-Nya, Yesus juga melindungi orang-orang yang mendengarkan ajaran tersebut. Pengajaran dengan menggunakan perumpamaan menjadi salah satu cara Yesus untuk melindungi mereka. Tindakan ini terlihat ketika Yesus telah menganalisa bila keadaan-kondisi para pendengar yang masih cenderung buta terhadap firman menjadi perhatian utama ketika Ia menyampaikan ajaran-ajaranNya. Perumpamaan itu diharapkan dapat membuat para pendengarnya berbalik ke jalan yang benar, agar Allah melalui Yesus dapat menyembuhkan mereka. Hal ini berbicara kepada iman para pendengar itu, dan melalui iman itu lah perlindungan diberikan oleh Yesus.
Yesus melindungi keberadaan mereka yang masih cukup dekat dengan para si jahat, karena bila pengajaran yang mendetail dan rinci mungkin saja akan menarik perhatian mereka, dan firman itu tumbuh di dalam hatinya, namun karena masih rentan, pertumbuhan firman di dalam hati mereka segera padam karena masih belum memiliki fondasi yang kuat. Oleh karena itu, perumpamaan juga merupakan cara Yesus untuk membangun fondasi/dasar yang kuat bagi setiap manusia yang bersedia menerima firman atau rahasia Kerajaan Allah itu di dalam hatinya masing-masing.

-          Para murid
Para murid menerima perlindungan dari Yesus ketika mereka mendapatkan penjelasan yang lebih jelas dan rinci untuk menguraikan perumpamaan yang diberikan Yesus kepada para murid. Para murid telah memiliki iman di dalam hatinya, dan keberadaan itu berusaha dipelihara oleh Yesus dengan menjelaskan secara langsung dan rinci kepada manusia. Selain itu, perlindungan yang diberikan Yesus terlihat ketika Ia menyampaikan penjelasan tersebut kepada para murid-Nya setelah Ia berbicara dengan orang-orang di tepi pantai. Lalu berbicara secara khusus dengan para murid.
Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa tindakan Yesus ini merupakan sebuah ekslusivisme, dimana Ia tidak terbuka kepada seluruh manusia, tanpa ada diskriminasi. Akan tetapi saya akan menolak pandangan tersebut dengan memberikan argumen saya bahwa tindaka ini bukan masalah inkonsistens Yesus akan inklusivisme-Nya, namun berupa tindakan yang menyesuaikan objek dari pengajaran tersebut tanpa menghilangkan inti ajaran-Nya, sehingga setiap aspek manusia dapat menerima setiap ajaran yang diberikan oleh Yesus.
V.          Sharing (Berbagi)
Menurut saya cara pengajaran yang dilakukan Yesus merupakan salah satu tindakan berbagi (sharing), dimana perumpamaan yang menjadi metode pengajaran yang diterapkan merupakan wujud nyata dari kasih Allah kepada manusia, karena melalui perumpamaan itu ada kesempatan bagi mereka yang mendengarkan untuk kembali kepada Allah agar ia disembuhkan. Konteks dan teologi saling mengisi satu sama lain sehingga tujuan dicapai, yaitu sebuah keselamatan yang sejati. Interaksi sosial yang terjadi diantara Yesus dan setiap orang yang berdiri di tepi pantai dijelaskan Injil Matius sebagai interaksi yang pasif, karena Yesus sendiri yang berbicara dan tidak dialog diantara mereka. Pada hal ini Yesus mengambil posisi sebagai fokus utama, dan ini semakin dikuatkan ketika Ia naik ke perahu dan memulai pembicaraan dari atasnya. Hal ini secara tidak langsung menaikkan otoritas Yesus sebagai sumber informasi mengenai pengenalan terhadap Kerajaan Allah, karena Ia memang berasal dari situ. Yesus menggunakan perumpamaan untuk mengajar, artinya Ia bercerita kepada orang banyak. Penginjilan dalam bentuk cerita memang cukup menarik perhatian dari pendengarnya, dan cukup ampuh ketika metode ini diterapkan di tengah-tengah masyarakat yang masih belum mengenal tulisan dengan baik. Pendengaran menjadi pintu masuk kabar sukacita, sehingga keselamatan dapat diterima oleh setiap manusia melalui iman mereka kepada Allah.
Berbeda dengan para murid, interaksi sosial yang aktif terjadi diantara Yesus dengan para murid tersebut, sehingga ada dialog yang terjadi. Pada bagian ini Yesus banyak menjelaskan mengapa Ia menggunakan metode perumpamaan/bercerita, apa tujuannya, dan apa makna dari perumpamaan itu. Hal ini cukup jelas diberitahukan oleh Yesus kepada murid-muridNya, dan tindakan saya analisa sebagai ajaran kepada para murid agar mengetahui bagaiaman cara memberikan pengajaran dengan tepat, dan memperhatikan konteks pendengar yang menjadi target dari pengajaran tersebut. Injil Matius cukup jelas menerangkan bahwa ada persiapa yang dilakukan oleh Yesus kepada murid-muridNya agar kelak mereka siap untuk menyebar luaskan kabar sukacita tersebut, sehingga tidak heran bila Ia menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan cara pengajaran yang diberikan oleh Yesus kepada manusia. Perlu diketahui bila pada zaman pelayanan Yesus Kristus di dunia sangat berhasil dengan menggunakan metode berbagi atau pun bercerita, sehingga besar kemungkinan terjadinya dialog diantara pengajara dan pendengar. Dialog yang terjadi pastilah bertujuan untuk memberikan pemahaman/pengertian yang tepat kepada para pendengarnya yang disesuaikan dengan maksud utama dari pengajar. Misi Yesus untuk mempersiapkan para muridNya semakan jelas ketika Ia hendak naik ke sorga, dimana Yesus memberikan amanat kepada para murid untuk menyebar-luaskan ajaranNya kepada seluruh umat manusia (Mat. 28:16-20).
Teknik bercerita atau pun berbagi untuk memberitahukan kabar sukacita kepada seluruh manusia merupakan salah satu cara yang perlu diterapkan dalam misi penginjilan. Dan melihat apa yang dilakukan oleh Yesus, dimana Ia memperhatikan konteks objek pengajaranNya, lalu menyesuaikan isi dari teknik berecerita tesebut, sehingga dapat diterima setiap golongan masyakarat yang berbeda. Selain itu hal yang perlu diketahui untuk menerapkan teknik tersebut adalah pengambilan posisi yang tepat agar otoritas atau eksistensi seorang pengajar itu dapat dilihat dan dirasakan setiap pendengarnya. Oleh karena itu, perumpamaan yang diberikan oleh Yesus kepada orang-orang yang berdiri di tepi pantai, dan pemaparan yang mendetail yang diberikan kepada para murid, merupakan teladan dalam memberitakan injil keselamatan itu. Dan meskipun teknik mempertimbangkan konteks, teologi yang berusaha disampaikan tidak lah boleh berubah, karena teologi itu harus konsisten terhadap hakikatnya. Teknik bercerita atau memberikan perumpamaan dapat dilihat di masa sekarang ini yang mana para pelayan Tuhan yang bekerja di gereja cenderung memberikan perumpamaan pada khotbahnya, yang sering disebut dengan istilah Ilustrasi. Dan kunci keberhasila ilustrasi yang saya ketahui ialah kemampuan isi cerita tersebut menarik perhatian pendengarnya tanpa mengubah isi teologi yang terkandung.


No comments:

Post a Comment