BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Puasa bukanlah sebuah kata yang asing bagi masyarakat luas.
Puasa dikenal oleh banyak kalangan, apalagi kaum Muslim. Bagi kaum Muslim puasa
ini adalah suatu hal yang wajib dilakukan setiap satu tahun sekali selama satu bulan, puasa
dilakukan agar mendapat pahala. Sebenarnya aktivitas puasa tidak hanya ada
dalam agama Islam saja, tetapi puasa juga ada dalam agama Kristen, terlebih
lagi dikalangan Katolik, puasa ini bukanlah sebuah hal yang asing. Alkitab
banyak memuat praktik puasa yang dilakukan oleh orang Israel, misalkan ketika
mereka meminta pertolongan Tuhan maka mereka akan berpuasa (bisa dilihat dalam
Ezra 8:21-23).
Salah satu contoh
mengenai berpuasa dalam Perjanjian Baru adalah Yohanes Pembaptis yang hanya
makan belalang dan madu hutan. Namun, dalam kalangan Kristen Protestan puasa
tidak tapi begitu dikenal dan dilakukan, mungkin ada beberapa gereja saja yang
mengenal dan melakukan puasa. Karena memang dalam kalangan Protestan puasa
tidak diharuskan untuk dilakukan, seperti Zwingli. Zwingli memang mengenal
puasa, terlebih karena ia memang seorang imam Katolik[1],
tetapi sekalipun demikian ia tidak
mengharuskan umat untuk berpuasa.
Aktivitas puasa
sebenarnya semacam merendahkan diri dan menyatakan sikap ketergantungan diri
terhadap Allah. Berpuasa atau berpantang dilaksanakan sebagai persiapan hati
untuk berjumpa dengan Allah, kemudian untuk meminta pertolongan dan berkat
untuk melaksanakan sebuah tugas yang dianggap penting, berpuasa juga guna untuk
memohon pengampunan atas dosa-dosa yang telah kita perbuat, puasa tidak dapat
dipisahkan dari doa dan berbagi, khususnya untuk memperhatikan kaum yang
miskin. Ada banyak orang yang melakukan puasa sebagaimana yang seharusnya,
tetapi ada banyak pula yang melakukan itu hanya untuk memamerkan kepada orang
lain. Umat Kristen juga mempunyai kebiasaan berpuasa dan berpantang dengan
maksud untuk menjadi dekat dengan sesama dan mempersiapkan diri untuk bertemu
dengan Allah. Seperti Yesus berpuasa di padang gurun untuk menyatakan
kesediaannya melaksanakan kehendak Allah Bapa.[2]
Jadi puasa memiliki banyak makna bagi kita orang Kristen jika kita melakukan,
seperti halnya dalam buku ”Penghayatan
Agama: Yang Otentik & Tidak Otentik”, melihat puasa sebagai aktivitas
yang dilakukan untuk melihat kembali hubungan kita dengan Tuhan dan mencari
jalan untuk membangun, memperbaiki serta meningkatkan hubungan tersebut menjadi
lebih baik dan lebih intim lagi.[3]
Setiap orang bisa memaknai puasa yang ia lakukan, tetapi memaknainya dengan hal
yang positif.
Oleh karena itu kelompok menjadi tertarik untuk
membahas lebih jauh mengenai puasa bagi kalangan orang Kristen, mengacu dari
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, serta tradisi gereja. Setelah melihat
tentang puasa ini, kelompok mengambil konteks tempat yaitu di Gereja
Sidang Jemaat Kristus. Ingin menjelaskan bahwa puasa itu
adalah hal yang baik dilakukan oleh setiap orang Kristen, terlebih lagi seorang
yang ingin menyediakan diri menjadi pelayan Tuhan. Hal berpuasa ini membantu
setiap kita dapat menjalin relasi yang lebih intim lagi dengan Tuhan.
Maka di akhir
makalah ini, kelompok menganalisa tentang puasa dari teks
Alkitab yang kelompok pilih dan Tradisi Gereja dengan menggunakan konteks tempat yaitu Gereja Sidang
Jemaat Kristus.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pemaparan masalah di atas, maka rumusan masalah untuk makalah ini adalah :
a. Apa
pengertian puasa?
b. Bagaimana
pemahaman mengenai puasa menurut Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Tradisi
Gereja, Budaya Agama Lokal dan Perubahan-Perubahan Sosial?
c. Bagaimana
pemaparan konteks di Gereja Sidang Jemaat Kristus ?
d. Bagaimana
analisa tentang puasa terhadap Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Tradisi Gereja
dan Konteks di Gereja Sidang Jemaat Kristus?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini yaitu :
a. Menjelaskan
tentang pengertian puasa.
b. Menjelaskan
pemahaman mengenai puasa menurut Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Tradisi
Gereja, Budaya Agama Lokal dan Perubahan-Perubahan Sosial.
c. Memaparkan
konteks tempat di Gereja Sidang Jemaat Kristus
d. Memaparkan
analisa tentang puasa terhadap Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Tradisi Gereja
dan Konteks di Gereja Sidang Jemaat Kristus
D.
Batasan
Masalah
Kelompok memberikan batasan masalah hanya berdasarkan
pengkajian Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), Tradisi Gereja
dan konteks tempat di Gereja Sidang
Jemaat Kristus mengenai puasa.
Kelompok
akan menganalisis tentang puasa dari segi Alkitabiah, Tradisi Gereja, budaya Agama Lokal dan Perubahan-Perubahan Sosial
dan Konteks Gereja Sidang Jemaat Kristus..
Selanjutnya,
kelompok menawarkan pengertian dari puasa secara Alkitabiah dan Tradisi Gereja.
Konteks tempat yang dipilih kelompok adalah Gereja Sidang Jemaat Kristus maka
hasil dari tawaran kelompok mengenai puasa tidak bersifat memaksa.
E.
Metode
Penulisan
Metode
yang digunakan kelompok dalam proses penulisan makalah ini adalah studi pustaka
dan beberapa website di internet. Studi
pustaka yang dimaksud adalah menggunakan beberapa buku-buku, sumber-sumber yang
menyangkut Gereja Sidang Jemaat Kristus.
BAB II
PANDANGAN PUASA MENURUT KONTEKS TAFSIRAN ALKITAB DAN TRADISI GEREJA
2.1.1 Tafsiran
Alkitab
Dalam Alkitab
banyak teks yang membahas tentang puasa. Dalam bagian ini kelompok akan
mengambil beberapa teks Alkitab, baik dari Perjanjian Baru maupun Perjanjian
Lama yang akan menjadi titik tolak/ berangkat dari pembahasan mengenai puasa
ini. Dalam Pejanjanjian Lama puasa ini ada berbagai macam, ada puasa untuk
petahiran iman dan pedamaian dengan Allah, ada juga sebagai tanda pertobatan,
sebagai cara memohon pertolongan Tuhan, sebagai bentuk perkabungan, syukur dan
kemenangan. Pada Perjanjian Baru juga ada berbagai macam puasa diantaranya,
puasa untuk mengusir setan, puasa juga dilakukan karena ada pengutusan Roh
Kudus, puasa juga dilakukan untuk menjalin hubungan dengan Allah, dan yang lainnya.
Sebelum
melihat teks tentang puasa, kelompok akan menjelaskan puasa menurut Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Secara umum di dalam Alkitab puasa berarti tidak
makan dan tidak minum selama waktu tertentu saja (mis Est 4:16), bukan hanya
menjauhkan diri dari beberapa makanan tertentu. Dalam bahasa Ibrani, tsum, tsom
dan inna nafsyo yang harafiah berarti ‘merendahkan diri dengan berpuasa’. Orang
Ibrani pada waktu itu berpuasa pada Hari Pendamaian (Im 16:29, 31; 23:27-32;
Bil 29:7). Adapula puasa sewaktu-waktu, puasa ini dapat bersifat perorangan
(umpama dalam 2 Sam 12:22) dan
terkadang bersifat bersama (Hak 20:26; Yl 1:14). Berpuasa juga dapat ditunjukan
sebagai bukti lahiriah dukacita (1 Sam
31:13; 2 Sam 1:12; Neh 1:4 dll). Berpuasa juga kerap kali dilakukan dengan
tujuan untuk memperoleh bimbingan dan pertolongan Allah (Kej 34:28; Ul 9:9).[4]
Hari Perdamaian adalah satu-satunya
puasa tahunan Yahudi yang disinggung dalam PB (Kis 27:9). Beberapa orang Farisi
berpuasa dengan ketat setiap hari Senin dan Kamis (Luk 18:12). Dapat dilihat
juga orang Yahudi yang saleh seperti Hana juga mungkin kerap kali berpuasa (Luk
2:37). Yesus menganggap bahwa para pendengar-Nya akan melakukan puasa, maka
dari itu Ia mengajar mereka supaya apabila mereka berpuasa, mereka berhadapan
dengan Allah bukan dengan manusia (Mat 6:16-18). Dalam Mat 17:21; Mrk 9:29; Kis
10:30; 1 Kor 7:5 ada beberapa naskah yang menyinggung mengenai puasa di dalam
ayat-ayat ini, ada pula yang tidak. Hal ini menandakan, di gereja mula-mula
berkembang kepercayaan akan nilainya praktik berpuasa.[5] Pada
bagian ini kelompok memilih salah satu teks tentang puasa yang menjadi titik
tolak/ berangkat dari pembahasan kami, yaitu Yunus 3:1-10
Yunus adalah seorang nabi yang diutus Allah untuk pergi ke
Niniwe. Nabi Yunus hidup pada zaman Yerobeam II di Israel Utara. Kota Niniwe
adalah ibukota Asyur pada masa pemerintahan Sanherib. Bangsa Asyur menyembah
banyak dewa-dewi, Isytar adalah dewi dari kota Niniwe. Bangsa Asyur percaya
bahwa dewa-dewi mereka akan memberikan kemenangan atas musuh-musuh kepada
mereka. Bangsa Asyur memperlakukan musuh-musuh
seperti orang yang memberontak terhadap dewa-dewa Asyur dan menghukum
mereka karena kemurtadan itu. Raja Sanherib menulis suatu prasasti dengan
kalimat demikian:”Dengan
pertolongan Asyur, tuhanku, aku menentang mereka dan mengalahkan mereka.”[7]
Yunus mulai melaksanakan
tugasnya, dia masuk ke dalam kota Niniwe sehari perjalanan jauhnya. Sebagaimana
telah kita lihat (dalam tafsir Yun. 3:3b) lintang kota Niniwe adalah tiga hari
perjalanan. Setelah satu hari perjalanan, Yunus berada kira-kira di tengah kota
Niniwe. Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Yunus malas dan kurang
bersemangat dalam pelaksanaan tugasnya, oleh karena ia hanya berhasil masuk
kota Niniwe, nubuat yang Yunus sampaikan dapat disebarkan cepat-cepat kesemua
pelosok kota. Maksud pengarang Kitab Yunus ialah untuk memperlihatkan bahwa
nubuat Yunus sudah berhasil pada hari pertama dan membawa orang di Niniwe
kepertobatan. Nubuat yang Yunus sampaikan tidak panjang: “empat puluh hari
lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan”.
Rupanya nabi Yunus berpendapat
bahwa nubuat hukuman ini adalah firman yang penghabisan yang hendak TUHAN
sampaikan kepada orang Niniwe, oleh karena orang Niniwe telah melakukan banyak
kejahatan, maka TUHAN akan menghukum mereka. Kalau demikian, maka nubuat yang Yunus
ucapkan menjadi nubuat tak bersyarat. Bagaimanapun tindakan orang Niniwe, kota
Niniwe pastilah akan dihancurkan. Tetapi bukan demikian maksud nubuat ini.
Nubuat ini tidak dimaksudkan sebagai ultimum (pemberitaan yang terakhir),
tetapi sebagai ultimatum, sebagai tuntutan yang terkahir (K.H. Miskotte).
Nubuat Yunus adalah nubuat bersyarat, kalau orang Niniwe tidak bertobat, kalau
mereka tidak berbalik dari kejahatannya, maka kota Niniwe akan dihancurkan.
TUHAN masih memberikan waktu
kepada orang Niniwe untuk bertobat, masih membuka jalan untuk mengubah cara
hidupnya, itulah karunia TUHAN. TUHAN tidak menghendaki kematian orang yang
berdosa, tetapi menghendaki supaya manusia bertobat, supaya ia hidup (bnd. Yeh.
18:32). Dengan tujuan itu TUHAN mengutus nabi-Nya untuk menyampaikan
firman-Nya. Firman TUHAN tidak mau mematikan manusia, tetapi mau membuka jalan
baru bagi dia.
Waktu empat puluh hari sering
kita temui dalam Perjanjian Lama. Waktu empat puluh hari adalah waktu pemurnian
dan pencobaan, waktu puasa dan hukuman. Lamanya air bah ialah empat puluh hari (Kj. 7:4). Musa berada di atas
gunung Sinai selama empat puluh hari (Kel. 24:18). Bangsa Israel harus
mengembara di padang gurun selama empat puluh tahun (Bil. 14:33). Nabi Elia
berjalan selama empat puluh hari empat puluh malam ke gunung Horeb (I Rj.
19:8). Perjanjian Baru juga menceritakan bahwa Yesus berpuasa selama empat
puluh hari (Mt. 4:2). LXX tidak menyebut waktu empat puluh, tetapi waktu ‘tiga
hari’ saja. Rupanya LXX dalam hal ini dipengaruhi oleh Yun. 3:3b, di tempat
mana dikatakan bahwa kota Niniwe tiga hari perjalanan luasnya.
Yunus menubuatkan bahwa setelah
empat puluh hari, Niniwe akan di tunggangbalikan. Tiap orang Israel yang
mendengar kata ‘menunggangbalikan’ (bah. Ibr. ‘hapak’) segera teringat kepada
nasib kedua kota Sodom dan Gomora yang ditunggangbalikkan, seperti TUHAN pernah
menunggangbalikkan Sodom dan Gomora.
Dalam kitab Yunus 3:5 Kitab
Yunus mengarahkan segala perhatian terhadap orang Niniwe. Nubuat yang Yunus
ucapkan membawa hasil yang cepat dan besar. Orang Niniwe, yang tidak pernah
mendengar tentang TUHAN, sekarang ‘percaya kepada Allah’. Harus diperhatikan ialah bahwa dalam ayat ini
dipakai sebutan umum : Allah (bnd. Ibr.
JHWH’). Dalam seluruh bagian ini (Yun. 3:3b) hanya terdapat sebutan umum Allah,
dan nama diri TUHAN tidak dipakai.
Orang Niniwe tidak percaya dalam
mulut saja, melainkan dengan tindakan konkrit juga. Mereka mengungkapkan
pertobatanya dalam perbuatan : lalu mereka mengumumkan puasa dan … mengenakan
kain kabung’. Selama keempat puluh hari yang masih TUHAN karuniakan kepada
mereka, mereka mau berpuasa saja. Berpuasa adalah tanda pertobatan, pertapaan
dan perkabungan. Sebagai tanda pertobatan
dan perkabungan, orang Niniwe itu menanggalkan pakaian biasa dan
mengenakan ‘karung’ (bah. Ibr. ‘saq’,
bnd. Kj. 42:25). Pemakaian karung itu adalah tanda pekabungan, dan mempunyai
fungsi sebagai ‘kain kabung’.
Seluruh masyarakat Niniwe ambil
bagian dalam puasa dan perkabungan itu, ‘baik orang dewasa maupun anak-anak’.
Bukan saja orang ‘besar’ (sekali lagi kita temui kata ‘besar’ dalam kitab Yunus, bnd. Tafsiran Yun. 1:2), melainkan
juga orang ‘kecil’ ambil-bagian didalamnya.
Apa sebabnya bahwa orang Niniwe demikian cepat menanggapi
nubuat Yunus dan bersama-sama ambil-bagian dalam puasa dan perkabungan?
Sebabnya diceriterakan dalam Yun. 3:6-9. Yunus 3:6-9 harus dibaca sebagai
penyorotan kembali. Peristiwa-peristiwa yang diceriterakan dalam ayat 6-9,
yaitu pertobatan raja Niniwe dan pengumuman puasa, sudah terjadi sebelum
peristiwa-peristiwa yang diceriterakan dalam ayat 5. Orang Niniwe bertobat
(ayat 5) berdasarkan panggilan raja untuk berpuasa (ayat 6-9). Pengarang Kitab
Yunus menceriterakan lebih dahulu puncak peristiwa: pertobatan orang Niniwe
(ayat 5), dan baru setelah itu secara terperinci, bagaimana peristiwa itu
terjadi (ayat 6-9). Oleh karena itu harus kita menterjemahkan ayat 6 sebagai
berikut: “Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, telah turun ia dari singgasananya dan telah ditanggalkannya jubahnya…” hal-hal
seperti ini sudah beberapa kali kita temui dalam Kitab Yunus (bnd. Yun.
1:5,10b)
Maksud dengan ‘kabar itu’
bukanlah berita bahwa orang Niniwe telah berpuasa dan berkabung. Hal itu tidak
mungkin oleh karena ayat 6-9 merupakan penyorotan kembali. Maksud ‘kabar itu’
ialah nubuat yang Yunus sampaikan Yun. 3:4. Kata ‘sampai’ adalah terjemahan
dari kata Ibrani: ‘naga’ yang sebenarnya berarti: ‘kena’. Bangsa Israel tidak
diperbolehkan ‘kena’ gunung Sinai (Kel. 19:12); tidak boleh Hawa ‘raba’ buah
pohon pengetahuan itu (Kej . 3:3). Nubuat Yunus ‘kena’ raja Niniwe.
Setelah mendengar nubuat Yunus,
maka sang raja turun dari takhta dan menanggalkan jubahnya. Sebagai tanda
perkabungan, ia mengenakan ‘karung’ (bah. Ibr. ‘saq’; LAI : kain kabung). ‘Lalu
duduklah ia di abu’. Sama dengan mengenakan karung, duduk di abu adalah tanda
perkabungan. Demikianlah Ayub duduk di atas abu (Ayb. 2:8). Bnd. Juga Yer.
6:26. Yeh. 27:30 dan Yes 47:1. Seperti biasa pada waktu itu sang raja
mendahului rakyat dalam segala upaya keagamaan (bnd. Ay 5 dan 8).
Perintah yang dikeluarkan adalah
sangat keras dan berlaku bagi manusia maupun bagi binatang. Bukan saja manusia
harus berpuasa, melainkan juga ternak, yaitu binatang-binatang piaraan seperti
lembu sapi dan kambing domba. Kata Ibrani ‘ta’am’ tidak berarti ‘makan saja’,
tetapi lebih daripada itu ‘mencecap’ (bnd. Ayb . 12:11) atau ‘merasai sedikit’
(bnd I Sam. 14:29). Jadi orang Niniwe ‘tidak boleh makan apa-apa’. Masih
ditambahkan pula bahwa ternak tidak boleh makan rumput dan tidak boleh minum
air.
Dalam ayat 8-9 melanjutkan isi
perintah yang dikeluarkan oleh raja dan pembesarnya. Manusia dan ternak harus
menyelubungkan diri dalam karung (bah. Ibr. ‘saq’) sebagai tanda perkabungan.
Raja Niniwe sudah mendahului mereka dalam hal ini ( ay 6); hasil perintah itu
telah kita baca dalam ayat 5, di mana diceriterakan bahwa semua orang Niniwe
berkabung dan berpuasa. Hal yang menarik perhatian ialah bahwa perintah itu
berlaku juga bagi binatang-binatang. Binatang pun harus berpuasa (ayat 7) dan
mengenakan kain kabung (ay 8).
Orang Niniwe ‘haruslah
masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang
dilakukannya’. Ucapan semacam itu sering kali terdapat dalam Kitab Yeremia (
Yer. 18:11; 25:5; 36:7). Di sinilah terasa pengaruh dari kalangan Deuteronomis,
yang melatarbelakangi pembaharuna agama selama pemerintahan raja Yosia (pada
tahun 622 seb. M.). Kitab Ulangan (Deuteronomium) menjadi perangsang utama bagi
pembaharuan itu. Orang Niniwe bukan mengambil tindakan lahiriah saja seperti
berpuasa dan mengenakan kain kabung. Tetapi ada perubahan batin juga. Haruslah
‘berbalik’ (bah. Ibr. ‘sub’); itu berarti bahwa orang Niniwe sama sekali harus
mengubah cara hidupnya dan berpaling kepada TUHAN. Kata ‘tingkah laku’ adalah
terjemahan dari kata Ibrani ‘derek’, yaitu ‘jalan’. Orang Niniwe telah menempuh
jalan yang salah dan sekarang harus memilih jalan yang lain. Jalan yang mereka
pilih sampai sekarang ditandi oleh ‘kejahatan’. Di samping ‘kejahatan’ disebut
juga ‘kekerasan’. Kedua kata itu juga terdapat dalam riwayat air bah (Kej. 6:5,
J: Kejahatan; Kej. 6:11,13, P: kekerasan). ‘Kekerasan yang dilakukannya’;
terjemahan lama menyediakan terjemahan yang lebih harfiah: ‘aniaya yang ada
pada tangannya’. Yang dimaksudkan dengan ‘kekerasan’ adalah pertama-tama
ketidak-adilan sosial (bnd. Kej. 49:5). Dari dalam Kitab Nahum kita kenal kota
Niniwe sebagai ‘kota penumpah darah’, ‘penuh dengan perampasan’ (Nah. 3:1).
Kata-kata pertama dari ayat 9,
yaitu ‘Siapa tahu, Ia berbalik dan menyesal’, merupakan kutipan dari Yoel
2:14a. Yoel 2:12-17 adalah seruan seruan untuk bertobat dan menyesal dengan
jalan berpuasa dan berkabung. ‘Siapa itu’ mengungkapkan harapan orang Niniwe
bahwa Allah akan mengubah rencanaNya. Ungkapan ‘siapa tahu’ mempunyai fungsi
yang sama dengan kata ‘mungkin’ dalam Kel. 32:30. Ams. 5:15 dan Zef. 2:3.
Harapan orang Niniwe ialah bahwa Allah akan berbalik dari rencana semula untuk
menunggangbalikkan kota Niniwe. Dalam ayat 8 orang Niniwe diajak untuk berbalik
(bah. Ibr. ‘sub’). Dalam ayat 9 mereka mengucapkan harapan bahwa ‘Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murkaNya yang
bernyala-nyala itu’ (dua kali kata ‘sub’). Hanya pada tempat ini dan dalam Kel.
32:12 saja kedua hal itu disebut bersama: berbalik dari dalam Kel. 32:12 saja
kedua hal itu disebut bersama: berbalik dari murka dan menyesal karena
malapetaka yang mau didatangkan.
Orang Niniwe mengucapkan harapan
bahwa Allah akan ‘menyesal’ (bah. Ibr
‘ninham’). Ucapan itu cukup menarik perhatian. Bagaimana Allah dapat menyesal?
Apa Ia sama dengan manusia, yang ini berbicara begini dan lain kali berbicara
begitu? TUHAN tidak menyesal dan tidak mengubah keputusanNya. Demikianlah pandangan
Bil. 23:19 dan I Sam 15:29. Tetapi Allah tidak terikat kepada keputusanNya,
seperti raja-raja orang Media dan Persia terikat kepada undang-undang yang
tidak dapat mereka ubah (bnd. Dan. 6:9,16). Yang tidak dapat diubah bukanlah
keputusan Allah, melainkan kasih-setiaNya
(bah. Ibr. ‘hesed’). Lebih penting daripada prinsip-prinsip yang tidak dapat
diubah itu adalah kasih-setia Allah kepada manusia. Oleh karena kesetiaanNya
kepada manusia, maka Allah merubah rencanaNya.
Kesaksian nabi Yeremia (dan kalangan
Deuteronomis) bukan saja menekankan hukuman, melainkan juga menunjukkan
kemungkinan bahwa, kalau manusia bertobat, Allah akan mencabut keputusanNya
(bnd. Yer. 18:7-8). Kalau hukuman
menghasilkan pertobatan, maka menyusullah pencabutan hukuman oleh TUHAN. ‘Sehingga
kita tidak binasa’; demikianlah harapan orang Niniwe . Demikian juga harapan
awak kapal dalam Yun. 1:6.
Dengan cara bagaimana orang
Niniwe itu menanggapi perintah yang dikeluarkan oleh raja dan pembesar-pembesar
kota Niniwe dalam ayat 7b-9? Tanggapan orang Niniwe dalam ayat 5: orang Niniwe percaya kepada
Allah, berpuasa dan berkabung. Dengan cara bagaimana Allah akan menanggapi
tindakan orang Niniwe itu?
Harapan orang Niniwe menjadi
kenyataan. ‘Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu’ maka Ia mengubah
rencanaNya. Perbuatan orang Niniwe itu ialah bahwa mereka ‘berbalik (bah. Ibr.
‘sub’) dari tingkah lakunya (bah. Ibr. ‘derek’, jalan) yang jahat’, yaitu bahwa
mereka bertobat. Sikap baru orang Niniwe telah diikhtisarkan dalam Yun. 3:5a :
‘orang Niniwe percaya kepada Allah’. Ketika melihat perubahan itu dalam cara
hidup orang Niniwe, ‘maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah
direncanakanNya terhadap mereka’. Perumusan yang hampir sama kita temui dalam
Kel. 32:14. Apa yang bangsa Israel alami, sekarangpun orang Niniwe alami: Allah
bukan saja menghukum, melainkan menyesal juga, kalau manusia bertobat. ‘Iapun
tidak jadi melakukannya’. Apa yang dirancangkan terhadap kota Niniwe tidak
dilaksanakan. Nubuat Yer. 18:7-8 terpenuhi kepada orang Niniwe.
Bagian kedua Kitab Yunus (Yun.
3-4) menceriterakan bahwa Yunus pergi ke Niniwe dan bernubuat terhadap kota
itu. Setelah itu Niniwe bertobat, dan oleh karena itu Tuhan tidak melakukan apa
yang direncanakanNya. Hal itu menimbulkan amarah Yunus. Pokok bagian kedua ini
ialah kebebasan Tuhan. Yunus mau
mengikat Tuhan kepada nubuat hukuman yang diucapkannya terhadap Niniwe adalah
bersifat kondisional (bersyarat)! Kalau Niniwe tidak bertobat, maka Niniwe
akan ditunggangbalikkan, tetapi kalau Niniwe berpaling kepada Tuhan, kota itu
akan selamat. Yunus tidak mau menerima bahwa itulah justru maksud nubuat
hukuman : supaya manusia bertobat. Yunus tidak mau menerima bahwa Tuhan kepada
firman yang diucapkan nabi-Nya. Dalam bagian kedua Kitab Yunus pun bukan pertobatan
Niniwe, atau keselamatan bangsa-bangsa, yang menjadi pokok utama, melainkan
nabi Yunus yang tidak dapat menerima bahwa Tuhan merubah rencana-Nya.
Kitab Yunus membicarakan masalah
hubungan antar Tuhan dengan nabi-Nya. Kitab ini memuat pelajaran yang pahit bagi seorang nabi. Seorang nabi tidak
dapat melarikan diri dari panggilan Tuhan dan tidak dapat membatasi kebebasan Tuhan,
mengikat-Nya kepada firman kenabian.
Hal tentang puasa muncul dalam
pasal ini dilatarbelakangi oleh kemauan bangsa Niniwe untuk bertobat dan
kembali ke jalan Tuhan, dengan kata lain melakukan pertobatan.
2.2 Tradisi
Gereja: (dikaitkan dalam satu gereja
(gereja sidang jemaat Kristus)
Dalam konteks
tradisi gereja kelompok melihat dari pandangan Calvin dan Pietisme. Kedua pandangan
tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
2.2.1 Martin
Luther
Martin Luther adalah seorang yang berasal dari
kalangan rakyat biasa, bahkan dapat dikatakan berasal dari kelas pekerja.
Meskipun dari kalangan keluarga yang biasa-biasa saja, ia merupakan seseorang
yang pekerja keras, ia melakukan segala sesuatunya dengan penuh kesungguhan dan
keberanian. Semangat seperti itulah yang membentuk ia hingga ia tumbuh menjadi
seorang pribadi yang teliti, setia, tulus dan bersungguh-sungguh. Berbagai masalah
kehidupan membuat ia tumbuh menjadi seseorang yang mempunyai iman kepercayaan
yang sungguh. Pada suatu hari ia mendapatkan suatu gerakan di dalam hatinya,
untuk hidup dalam kesucian agar tidak mendapatkan murka dari Allah dan ia
memutuskan untuk hidup di dalam sebuah biara. Selama beberapa waktu ia berada
di dalam biara, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ajaran Aristoteles
melainkan terpengaruh dengan ajaran Agustinus, salah seorang bapa gereja yang
memiliki kecendrungan tradisi Plato.
Martin Luther mendapatkan kesempatan
untuk pergi ke Roma. Salah satu tempat yang dianggap tempat ziarah untuk
menyucikan diri yaitu pergi ke Roma, dikatakan suci karena di sana terdapat
kuburan Petrus yang merupakan Paus pertama sebagai utusan Kristus. Setelah melakukan
perjalanan beberapa kali, Martin Luther semakin menyadari suatu kesedihan di
dalam jiwanya yang tidak dapat untuk ditahannya lagi. Penyebabnya karena ia
menyaksikan kerusakan moral dan korupsi, serta adanya kemunafikan di dalam
hidup dan bertentangan dengan Kitab Suci dari orang-orang yang menjadi
pemimpin-pemimpin gereja. Banyak segala kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan
Martin Luther pada masa itu, ia menyadari kerusakan gereja hanya dapat
diperbaiki apabila doktrin dikembalikan kepada Alkitab.
Luther
memang hampir tidak ada berbicara mengenai puasa. Kelompok tidak tahu pasti,
mengapa Luther tidak berbicara tentang Puasa. Kelompok berpikir bahwa Luther
juga berpuasa, karena ia adalah seorang Katolik yang taat. Tetapi ada
kemungkinan juga Luther menolak teologi puasa Katolik, setelah ia memprotes
ajaran Gereja Katolik. Hal ini asumsi kelompok mengenai Luther.
2.2.2 Yohanes
Calvin
Yohanes Calvin adalah salah satu tokoh
reformator yang menuliskan pokok ajarannya dalam buku Institutio Christianae Religionis. Buku ini diterbitkan pada tahun
1536. Calvin menyarankan jemaat untuk berpuasa, yang pertama karena berkaitan
dengan susunan pemerintahan gereja berkenaan dengan cara pengangkatan para
pelayan gereja.
Hal ini dapat
dilihat dalam bukunya Yohanes
Calvin, Institutio
yang menyebutkan demikian:
Adapun cara mereka dipilih yang saya
maksudkan bukanlah bentuk pemilihan, melainkan keseganan religius yang harus
diindahkan dalam pemilihan itu. Dari situ diadakan puasa dan doa, yang
menurut perkataan Lukas diadakan oleh
orang-orang percaya pada penetapan para penatua. Karena mereka tahu bahwa
mereka terlibat dalam suatu perkara yang amat sangat pentingnya, maka mereka
tidak berani melakukan sesuatu apapun kecuali dengan sangat hormat dan sangat
hati-hati. Dan di atas segala-galanya mereka dengan sungguh berdoa dan meminta
kepada Allah supaya mereka diberi Roh yang adalah sumber kebijaksanaan dan
pertimbangan itu. [8]
Kedua,
berhubungan dengan kuasa gereja menjalankan disiplin, khususnya pada tindakan
pertobatan. Buku ini mengutip pernyataan tentang puasa yang terdapat dalam buku
Institutio:
Masih tersisa sebagian disiplin yang
sebenarnya tidak termasuk dalam kekuasaan kunci-kunci’. Para pendeta, menurut
kebutuhan zaman, dapat menganjurkan kepada rakyat supaya berpuasa atau
menyelenggarakan ibadah doa yang umum atau melakukan hal-hal lain untuk
merendahkan diri, bertobat dan menyatakan imannya, waktunya, caranya, dan bentuknya
tak ada ditetapkan oleh Firman Allah tetapi diserahkan kepada kebijaksanaan
Gereja. Setiap kali timbul perselisihan mengenai agama yang harus diselesaikan
oleh sinode atau putusan gerejawi, setiap kali pemilihan seorang pelayan
menimbulkan persoalan, pendeknya setiap kali suatu perkara yang sulit dan yang
sangat penting dipersoalkan, juga jika tampak tanda-tanda kemurkaan Tuhan
seperti wabah, peperangan dan kelaparan, maka adalah suatu kebiasaan yang suci
dan yang bermanfaat untuk semua zaman bila para pendeta menganjurkan kepada
rakyat supaya semua orang berpuasa dan memanjatkan doa yang khusus. [9]
Dari berpuasa
yang dianjurkan oleh Calvin, ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan bahwa
bentuk berpuasa yang dianjurkan adalah merendahkan diri di hadapan Allah,
meminta Roh Kudus menjadi sumber kebijaksanaan. Puasa tergantung pada
kebijaksanaan gereja dan memberi kesan bahwa puasa bukan sebuah hal yang baru,
malah menjadi sebuah kebiasaan. Berpuasa melibatkan rakyat, yang berarti warga
jemaat sebagai suatu kebersamaan. Puasa berhubungan dengan cara pengangkatan
pejabat gereja karena rasa hormat terhadap jabatan gerejawi tersebut. Puasa
dilakukan gereja ketika menghadapi masalah yang serius, bahkan pada
situasi-situasi tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Dari hal ini bisa
dilihat bahwa puasa tidak hanya hubungan dengan persoalan pribadi.[10]
2.2.2 Tradisi
Pietisme
Pietisme berasal dari kata latin pius yang artinya saleh. Aliran
pemikiran pietis menekankan hubungan
pribadi dengan Tuhan. Cita-cita hidup para penganut aliran ini itu adalah
kesucian pribadi. Maka yang mereka usahakan adalah kesucian diri sendiri. Oleh
mereka kesucian digambarkan sebagai
kesucian yang bersifat batiniah dan pribadi lepas dari kehidupan, hubungan dengan sesama dan dunia.
Jalan menuju ke kesucian adalah menyingkirkan masyarakat dan dunia, dan tekun
melaksanakan renungan yang berporos pada
metode analisis diri. Karena tekanan pada hidup rohani pribadi, para penganut
pietisme amat menekankan perasaan. Akibatnya pandangan hidup mereka juga
menjadi amat individualistik dan perasaan menjadi faktor penentu perilaku. [11]
Tokoh Pietisme Phillip Jakob Spener adalah
seseorang yang dididik menjadi seorang pendeta. Ia meninggalkan Frankfurt pada
tahun 1866. Ia adalah pendiri dari Pietisme.[12]
Para
Pietis menekankan pentingnya memiliki suatu iman pribadi yang hidup di dalam
Yesus Kristus. Menurut mereka, Kekristenan yang sejati tidak hanya mencakup
kepercayaan akan ajaran; ia merupakan suatu pengalaman akan Roh Kudus dalam
pertobatan hidup yang baru. Pietisme adalah protes terhadap kebiasaan zaman itu
yang hanya memikirkan hal-hal remeh dari ajaran Lutheran. Pembaharuan doktrin
telah mengakibatkan pikiran terpaut pada detail-detail ortodoksi, sedangkan
yang diperlukan sebenarnya adalah pembaruan hidup. Kaum pietis memang
menekankan tentang kesalehan hidup, termasuk praktek puasa sebagai bagian dari
membangun relasi dengan Allah.[13]
BAB III
PANDANGAN PUASA
MENURUT KONTEKS DI
GEREJA SIDANG
JEMAAT KRISTUS
3.1 Sejarah Gereja Sidang
Jemaat Kristus
Kesaksian Gereja Sidang Jemaat Kristus dimulai pada tahun 1937 pada
saat beberapa saudara dan saudari yang berasal dari Tiongkok tinggal di
Surabaya dan mengadakan perhimpunan serta memecahkan roti di kota ini. Pada
awalnya mereka bersidang di sebuah rumah di Jalan Gembong Sayuran. Dengan penuh
kesederhanaan mereka menempuh kehidupan gereja, menuntut kebenaran Alkitab dan
memberitakan Injil baik di Surabaya maupun ke luar kota seperti Malang, Kediri,
Bandung, dan tempat-tempat lainnya.
Pada tahun 1967, Brother Witness Lee mengunjungi
gereja-gereja di Indonesia dan membawa suplai rohani yang besar. Pada
awal 1970-an Brother Chang Wu Chen, seorang
co-worker dari Taiwan pun datang merawat gereja-gereja di Indonesia pada waktu
itu dan mendorong penginjilan dan perluasan di Indonesia. Saat itulah
dicanangkan sebuah harapan agar sebelum kedatangan Tuhan kali kedua, di seluruh
Indonesia bisa ada 500 kaki dian emas. Melihat keperluan yang besar di
Indonesia, Brother Witness Lee mengutus beberapa orang sekerja
dari Taiwan ke Indonesia, di antaranya adalah Brother Daniel Dang dan Brother
Chen Pau Che. Pada saat itu Tuhan membangkitkan sekelompok kaum saleh melayani
Tuhan sepenuh waktu. Melalui jerih-lelah mereka, kesaksian pemulihan Tuhan makin
tersebar lagi di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, maupun Sulawesi.
Tuaian memang banyak, namun pekerja sedikit. Karena itu ada
keperluan untuk membangkitkan pekerja-pekerja Tuhan yang dapat memberitakan
injil dan merawat gereja-gereja baru. Pada tahun 1987, di
Surabaya di adakan pelatihan rohani yang dipimpin langsung oleh Brother Chang
Wu Chen. Sejalan dengan adanya pelatihan tersebut, Gereja Sidang Jemaat
Kristus di Surabaya juga mengalami kemajuan rohani dan peningkatan jumlah kaum
saleh yang bersidang serta ada pertambahan tempat-tempat bersidang baru. Mulai
tahun 1991 pelatihan ini dipindahkan ke Lawang
hingga saat ini.
Karena perkembangan gereja, pada tahun 1982 gereja
membeli sebidang tanah di Surabaya Barat. Kemudian 1996 di tempat itu mulai dibangun
Gedung balai sidang. Pada tahun 2000, setelah balai
sidang di Darmo Permai selesai, Gereja Sidang Jemaat Kristus di Surabaya
mengadakan Sidang Perbauran Internasional.
Pada periode 1990-2000-an gereja meluas dan
berkembang melalui sidang-sidang kelompok di rumah-rumah jemaat, melalui
membuka distrik-distrik baru, melalui sidang anak-anak, mendapatkan beberapa
keluarga. Pada tahun 1994 Tuhan membangkitkan
sekelompok orang muda, mereka telah menyelesaikan pendidikan mereka di
perguruan tinggi, mereka meninggalkan profesi dan masa depan, untuk melayani
Tuhan.
Pada bulan Januari 2005 gereja-gereja di
Indonesia mendirikan Pusat Pelatihan Sepenuh Waktu di Jakarta dan
telah banyak kaum beriman muda yang mengikuti pelatihan tersebut. Setelah
mereka menyelesaikan pelatihan, ada yang melanjutkan pelayanan sepenuh waktu
dan pergi bagi perluasan kesaksian Tuhan di seluruh Indonesia, juga ada yang
kembali berprofesi namun mereka tetap menunaikan fungsi di berbagai lokal di
Indonesia.
Tuhan juga membangkitkan saudara-saudari yang masih berkuliah
khususnya di U.K.Petra dan Ubaya. Mereka menuntut bersama, memberitakan injil
dan aktif dalam siding-sidang gereja, bahkan para saudara tinggal bersama untuk
menempuh penghidupan korporat di kampus. Melihat perkembangan tersebut,
didirikanlah Brothers’ House yang pertama di Surabaya, dan pada tanggal 11
Juli 1998 saudara-saudara mulai menempuh penghidupan korporat di
tempat ini. Saat ini (2015) di Surabaya ada 6 brothers house dan 4 sisters
house.
Mulai awal tahun 2000-an, banyak orang diselamatkan, timbulah
keperluan akan penggembalaan dan orang-orang yang bisa berfungsi di tiap-tiap
tepat sidang. Maka sejak tahun 2006 gereja mulai mengadakan pelatihan-pelatihan
untuk menggenapi orang-orang kudus sehingga semakin banyak kaum saleh yang bisa
berfungsi bagi pekerjaan ministri untuk membangun dan memperluas Tubuh Kristus.
Pada tahun 2015, Pelatihan Sepenuh Waktu
Indonesia mencanangkan akan membuka kampus kedua di Surabaya. Fasilitas
pelatihan ini dimaksudkan untuk melatih lebih banyak lagi orang-orang muda,
khususnya dari wilayah Indonesia Timur. Pada awal tahun 2016 Pelatihan Sepenuh
Waktu Indonesia memulai kelas pelatihannya di Surabaya bertempat di salah satu
balai sidang gereja di Surabaya.
Kini Gereja Sidang Jemaat Kristus mendambakan agar kaum saleh
mengalami pertumbuhan kehidupan, dibangunkan untuk mewujudkan kesaksian
realitas Tubuh Kristus dan memperluas kesaksian Tuhan di seluruh Indonesia,
untuk mempersiapkan dan menyambut kedatangan Tuhan kali kedua.
3.2 Letak Geografis Gereja Sidang Jemaat Kristus di Banjarmasin
Adapun mengenai keberadaan Gereja
Sidang Jemaat Kristus di Banjarmasin dimulai dari beberapa keluarga yang
berpindah dari pulau Jawa ke pulau Kalimantan pada
periode 1990-an. Gereja di Banjarmasin meluas dan
berkembang melalui sidang-sidang kelompok di rumah-rumah jemaat, melalui
membuka distrik-distrik baru, melalui sidang anak-anak, mendapatkan beberapa
keluarga.
Tuhan membangkitkan sekelompok orang, mereka telah menyelesaikan pendidikan
mereka di berbagai kota di pulau Jawa, mereka meninggalkan pulau Jawa untuk berprofesi
dan membina masa depan, serta untuk melayani Tuhan di kota Banjarmasin. Mereka
kemudian membeli sebidang tanah di daerah Pekauman dan membangun Gedung Gereja
di Jalan Muhajirin IV no 57, RT 18 RW
08, Pekauman, Banjarmasin.
Mulai awal tahun 2010-an, banyak orang diselamatkan, timbulah
keperluan akan penggembalaan dan orang-orang yang bisa berfungsi di tiap-tiap
tepat sidang. Maka Gereja di Banjarmasin mulai mengadakan ibadah-ibadah dan pelatihan-pelatihan untuk menggenapi orang-orang.
Karena itu dipandang perlu untuk mencari lokasi baru untuk memperluas pekerjaan
Tubuh Kristus. Puji Tuhan akhirnya melalui pengaturan Tuhan didapatkanlah lokasi tambahan yang baru dengan menggunakan Gedung Bank Mayapada, yang beralamat di Jalan Ahmad Yani KM 1 No. 88,
Banjarmasin.
3.4 Pemahaman Puasa Menurut Gereja Sidang Jemaat Kristus
Kitab Kisah Para Rasul
memperlihatkan kepada kita, bahwa para rasul sering berdoa dan berpuasa. Kisah
Para Rasul 13 dengan jelas mencantumkan bahwa dalam gereja di Antiokhia ada
beberapa nabi dan pengajar, mereka di sana berpuasa dan berdoa. Catatan tentang
doa dalam pasal 13 ini boleh dikatakan mencapai puncaknya.
Mari kita melihat bagaimana
sebenarnya hubungan antara puasa dengan doa menurut
tradisi Gereja
Sidang Jemaat Kristus:
Pertama, berpuasa adalah pernyataan
yang muncul dengan sendirinya dari seseorang yang menerima satu tanggung jawab
yang besar di hadapan Allah.
Kedua, berpuasa adalah pernyataan
mutlak bahwa seseorang berdiri di pihak Allah. Berdoa adalah pernyataan manusia
di alam semesta yang menyatakan bahwa dirinya berdiri di pihak Allah untuk
menentang Iblis. Jika seseorang atas sesuatu hal ingin menyatakan mutlak
berdiri di pihak Allah dan menentang Iblis, dia akan menyatakannya melalui
berpuasa.
Ketiga, makna hakiki berpuasa adalah
melepaskan hak yang sah. Dalam hidup manusia, tidak ada perkara kedua yang
lebih sah daripada makan. Manusia berpuasa, ini menyatakan, bahwa demi
menanggung satu perkara yang besar, manusia melepaskan hak yang sangat sah.
Semua doa puasa dalam Alkitab selalu dikarenakan manusia di bumi ini menjamah
maksud hati Allah, dan ingin agar Allah menggenapkannya; atau menjumpai musuh
Allah, dan ingin agar dia disingkirkan.
Segera setelah diselamatkan pada
tahun 1922, Brother Watchman Nee mulai bekerja bagi Tuhan. Sebagai seorang
palajar di SMU, dia mulai memberitakan injil kepada teman-teman sekelasnya. Dia
berpuasa dan berdoa setiap hari Sabtu untuk persiapan memberitakan injil kepada
teman-teman sekelasnya pada hari berikutnya. Sekolahnya memiliki kurang lebih
seratus lima puluh murid. Kira-kira dalam setahun, hampir semua murid di
sekolah itu diselamatkan. Melalui pemberitaannya ada satu kebangunan yang
sejati di sekolah itu. Pada saat itu di sekolah, orang akan melihat murid-murid
duduk dan membaca Alkitab di bawah pohon-pohon dan yang lain mempelajari
Alkitab dan berdoa bersama-sama di lapangan rumput.[14]
Kita melihat bahwa Tuhan Yesus dibawa
berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam. Setelah empat puluh hari
empat puluh malam ini, Ia lapar, dan si pencoba datang kepada-Nya sambil
berkata, “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi
roti” (ayat 3). Terhadap usul ini Tuhan menjawab, “Manusia hidup bukan dari
roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” Banyak
orang Kristen mengira bahwa selama Tuhan berpuasa, Dia tentu tidak makan
apa-apa. Namun ayat ini mewahyukan bahwa selama Tuhan Yesus berpuasa, Dia pun
makan. Secara lahiriahnya Ia berpuasa, namun secara rohaninya Ia makan.[15]
Di sini kita nampak satu prinsip
penting. Dalam ministri dan ekonomi Tuhan, jika kita tidak tahu bagaimana
merendahkan keperluan jasmani kita dan memperhatikan keperluan rohani, kita
tidak bersyarat bagi ministri-Nya. Agar bersyarat dalam ministri Tuhan, kita
harus diuji. Kita harus mengorbankan keperluan jasmani kita. Tempat tinggal
yang baik, makanan yang lezat, dan pakaian yang indah, semuanya tak lain hanyalah
keperluan sekunder. Makan makanan rohani itulah yang primer.
Begitu dibaptis, Tuhan Yesus dibawa
ke dalam situasi di mana Dia bisa mendeklarasikan kepada seluruh alam semesta
bahwa Dia bukan untuk kebutuhan jasmani, melainkan hanya untuk kebutuhan rohani.
Selama empat puluh hari empat puluh malam Dia mengabaikan semua makanan
jasmani, melupakan tuntutan jasmani. Sebaliknya, Dia memperhatikan keperluan
rohani. Meskipun Dia tidak makan untuk mempertahankan tubuh jasmani-Nya, tetapi
Ia makan banyak untuk memelihara roh-Nya. Perkiraan setan tentang Tuhan Yesus
tidak makan selama hari-hari di padang gurun itu mutlak salah. Sementara Dia
berpuasa terhadap makanan jasmani, Dia makan makanan rohani. Inilah ujian puasa
dalam masalah penghidupan kita.[16]
BAB IV
ANALISA TERHADAP PUASA DI DALAM PERUBAHAN SOSIAL DAN
DALAM GEREJA SIDANG JEMAAT KRISTUS
4.1. Puasa di dalam Perubahan-Perubahan
Sosial
Berdasarkan pengamatan kelompok
setelah membaca dan memperhatikan satu per satu maka kelompok menyimpulkan bahwa
pada perubahan-perubahan sosial puasa dimaknai berbeda-beda tergantung konteks
tempat dan keadaan yang ingin di capai dari praktek puasa tersebut.
Mari kita melihat pendapat para ahli
secara umum mengenai puasa dalam konteks perubahan-perubahan Sosial, dimana
terdapat beberapa para ahli yang mengemukakan sebagai berikut :[17]
(
bagaimana pandangan muslim atau orang2 sekitar tentang
berpuas. gagasan para ahli tidak perlu dicantumkan).
1.
Allan
Cott, M. D.
Allan Coot, M. D adalah seorang
kawanan dari Amerika. Ia telah menghimpun hasil pengamatan dan penelitian para
ilmuwan berbagai negara. Lalu ia menghimpunnya dalam suatu buku “Why fast”. Ia
mengartikan puasa adalah merasa lebih bagus fisik dan mental, melihat dan
merasa lebih muda, membersihkan raga dan menurunkan tekanan darah dan kadar
lemak.
2.
Riyad
Albiby and Ahmed Elkadi
Puasa adalah keadaan diimana
meningkatkan kekebalan tubuh ataupun imun terhadap berbagai penyakit.
3.
Elson
M. Haas M. D
Ia
adalah seorang
direktur medical centre of Marin
(sejak tahun 1984). Elson beranggapan bahwa puasa adalah proses diet yang ada
didunia barat alasan mengapa ia berpendapat begitu adalah dikarenakan kebanyakan dari orang
barat terlalu berlimpah makanan sehingga ita menyarankan supaya orang lain
mulai mengatur makanyannya agar lebih seimbang.
4.
Alvenia
M. Fulton
Ia
adalah seorang direktur lembaga makanan sehat “Fultonia” di Amerika serikat. Ia
menyatakan bahwa puasa adalah cara terbaik untuk memperindah wanita secara
alami. Puasa menghasilkan kelembutan pesona dan daya pikat.
4.2. Puasa di dalam
Gereja Sidang Jemaat Kristus di Banjarmasin
Berdasarkan pengamatan kelompok pada
jemaat yang ada di dalam Gereja Sidang Jemaat Kristus di Banjarmasin, belum
semua mengerti akan perlunya berpuasa. Dari hasil wawancara yang dilakukan
kelompok tidak banyak yang aktif berdoa dan berpuasa. Itu pun terdiri dari
gembala sidang, penatua dan anggota majelis yang rutin mengikuti ibadah doa yang diadakan setiap
minggunya di hari selasa serta beberapa jemaat umum yang kadang-kadang
mengikuti ibadah doa dan ibadah distrik / gugus rumahan.
Sebagian dari para anggota Majelis
ini sering berdoa syafaat dan berpuasa untuk topik-topik doa seperti untuk
keselamatan bangsa dan negara Indonesia dan bagi pekabaran injil dan perluasan pelayanan
di pulau Kalimantan secara umum dan secara khususnya di Kota Banjarmasin dan
Banjarbaru. Hal ini mengingat masih adanya hambatan-hambatan secara politis
melalui perizinan dari struktural pemerintahan bagi perluasan dan peningkatan
pelayanan gereja yang ada, terutama untuk pos pekabaran injil untuk daerah
Martapura, Kabupaten Banjar dan untuk pos pekabaran injil di daerah Pleihari,
Kabupaten Tanah Laut.
Adapun sebagian dari anggota Majelis
juga sering berdoa dan berpuasa untuk mendoakan kesembuhan para anggota jemaat
yang sedang sakit dan sedang lemah tubuh. Ini dikarenakan banyak anggota jemaat
terutama yang sudah berumur separuh baya mudah sekali terkena sakit penyakit
dan kondisi kesehatan yang sudah menurun, yang terutama disebabkan oleh pola makan
dan pola penghidupan yang hanya memperhatikan kerja dan kerja saja dan kurang
memperhatikan kesehatan tubuh.
Sedangkan untuk anggota jemaat umum
kebanyakan hanya melakukan doa puasa kalau ada masalah-masalah pribadi yang
dirasa cukup berat yang menghimpit penghidupan sehari-harinya, seperti masalah
kesulitan ekonomi, masalah pertengkaran dalam rumah tangga, masalah anak
sekolah dan lain sebagainya. Waktu di dalam wawancara ditanyakan oleh kelompok
mengenai penyebab jarangnya berdoa puasa, mereka menjawab bahwa hal ini
dikarenakan mereka masih sibuk bekerja dan tidak ada waktu untuk dapat secara
khusus berdoa puasa. Sebagian lagi menjawab karena kondisi kesehatan mereka
(seperti diabetes) yang tidak memungkinkan mereka berdoa puasa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ensiklopedia Alkitab
Masa Kini Jilid II. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 1999
Hardjana, A.M. Penghayatan Agama: yang otentik & tidak otentik. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Hinson, David F. Sejarah
Israel Pada Zaman Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Jian, Wiharja. Puasa:Aktivitas
Senyap. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Kramer,
A. Th. Tafsiran
Alkitab Kitab Yunus (Jakarta: BPK. Gunung
Mulia, 1998), 42-52.
Lalu, Yosef. Yesus Kristus Pemberi Makna Hidup: Makna
Hidup Dalam Terang Iman Katolik 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010.
Lane, Tony. Runtut
Pijar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Paterson, Robert M. Kitab
Imamat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Lee, Witness, Watchman
Nee, Pelihat Wahyu Ilahi. Surabaya:Yasperin, 2005
Lee, Witness. Pelajaran
Hayat Matius, Surabaya:Yasperin, 2005
Internet:
Fttp://osdese.blogspot.co.id.
MODEL TERJEMAHAN :
PUASA
Tugas
Mata Kuliah :
TEOLOGI
KONTEKSTUAL
Dosen
: Pdt. Dr. Keloso
S. Ugak
Oleh
:
Bersi Agustina
Denny Susanto
PROGRAM
PASCASARJANA MAGISTER TEOLOGI
SEKOLAH
TINGGI TEOLOGI GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS
BANJARMASIN
2017
Catatan
1.
Tematis
2. Dalam bagian akhir tidak muncul
tafsir akhir dari makna puasa
3. Bagian akhir apa pesan puasa dari
teks dan bagaimana hasilnya
4. Apa masalah yang muncul dalam
melakukan puasa sebenarnya muncul dalam bagian ke-2
5.
Bagian terakhir belum muncul penerapan . Memberikan pemahaman bagaimana
sebenarnya puasa bagi sidang jemaat Kristus/ langkah-langkah yang sebenarnya
harus dilakukan. (pnt, pndeta, jemaat untuk menerangkan puasanya harus seperti
ini).
6.
[1]Bagi Gereja
Katolik pada masa itu, puasa adalah suatu kewajiban bagi setiap umat agar
memperoleh keselamatan.
[2] Yosef Lalu, Yesus Kristus Pemberi Makna Hidup: Makna
Hidup Dalam Terang Iman Katolik 3, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2010), 69-70.
[11] A.M
Hardjana, Penghayatan Agama: Yang Otentik
& Tidak Otentik (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 75-76.
[15] Lee, Witness. Pelajaran Hayat Matius, (Surabaya:Yasperin,2005) 180
No comments:
Post a Comment