Thursday, 30 November 2017

Puasa



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Puasa bukanlah sebuah kata yang asing bagi masyarakat luas. Puasa dikenal oleh banyak kalangan, apalagi kaum Muslim. Bagi kaum Muslim puasa ini adalah suatu hal yang wajib dilakukan setiap  satu tahun sekali selama satu bulan, puasa dilakukan agar mendapat pahala. Sebenarnya aktivitas puasa tidak hanya ada dalam agama Islam saja, tetapi puasa juga ada dalam agama Kristen, terlebih lagi dikalangan Katolik, puasa ini bukanlah sebuah hal yang asing. Alkitab banyak memuat praktik puasa yang dilakukan oleh orang Israel, misalkan ketika mereka meminta pertolongan Tuhan maka mereka akan berpuasa (bisa dilihat dalam Ezra 8:21-23).
Salah satu contoh mengenai berpuasa dalam Perjanjian Baru adalah Yohanes Pembaptis yang hanya makan belalang dan madu hutan. Namun, dalam kalangan Kristen Protestan puasa tidak tapi begitu dikenal dan dilakukan, mungkin ada beberapa gereja saja yang mengenal dan melakukan puasa. Karena memang dalam kalangan Protestan puasa tidak diharuskan untuk dilakukan, seperti Zwingli. Zwingli memang mengenal puasa, terlebih karena ia memang seorang imam Katolik[1], tetapi sekalipun demikian  ia tidak mengharuskan umat untuk berpuasa.
Aktivitas puasa sebenarnya semacam merendahkan diri dan menyatakan sikap ketergantungan diri terhadap Allah. Berpuasa atau berpantang dilaksanakan sebagai persiapan hati untuk berjumpa dengan Allah, kemudian untuk meminta pertolongan dan berkat untuk melaksanakan sebuah tugas yang dianggap penting, berpuasa juga guna untuk memohon pengampunan atas dosa-dosa yang telah kita perbuat, puasa tidak dapat dipisahkan dari doa dan berbagi, khususnya untuk memperhatikan kaum yang miskin. Ada banyak orang yang melakukan puasa sebagaimana yang seharusnya, tetapi ada banyak pula yang melakukan itu hanya untuk memamerkan kepada orang lain. Umat Kristen juga mempunyai kebiasaan berpuasa dan berpantang dengan maksud untuk menjadi dekat dengan sesama dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah. Seperti Yesus berpuasa di padang gurun untuk menyatakan kesediaannya melaksanakan kehendak Allah Bapa.[2] Jadi puasa memiliki banyak makna bagi kita orang Kristen jika kita melakukan, seperti halnya  dalam buku ”Penghayatan Agama: Yang Otentik & Tidak Otentik”, melihat puasa sebagai aktivitas yang dilakukan untuk melihat kembali hubungan kita dengan Tuhan dan mencari jalan untuk membangun, memperbaiki serta meningkatkan hubungan tersebut menjadi lebih baik dan lebih intim lagi.[3] Setiap orang bisa memaknai puasa yang ia lakukan, tetapi memaknainya dengan hal yang positif.
Oleh karena itu kelompok menjadi tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai puasa bagi kalangan orang Kristen, mengacu dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, serta tradisi gereja. Setelah melihat tentang puasa ini, kelompok mengambil konteks tempat yaitu  di Gereja Sidang Jemaat Kristus. Ingin menjelaskan bahwa puasa itu adalah hal yang baik dilakukan oleh setiap orang Kristen, terlebih lagi seorang yang ingin menyediakan diri menjadi pelayan Tuhan. Hal berpuasa ini membantu setiap kita dapat menjalin relasi yang lebih intim lagi dengan Tuhan.
Maka di akhir makalah ini, kelompok menganalisa tentang puasa dari teks Alkitab yang kelompok pilih dan Tradisi Gereja dengan menggunakan konteks tempat yaitu Gereja Sidang Jemaat Kristus.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan masalah di atas, maka rumusan masalah untuk makalah ini adalah :
a.    Apa pengertian puasa?
b.    Bagaimana pemahaman mengenai puasa menurut Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Tradisi Gereja, Budaya Agama Lokal dan Perubahan-Perubahan Sosial?
c.    Bagaimana pemaparan konteks di Gereja Sidang Jemaat Kristus ?
d.   Bagaimana analisa tentang puasa terhadap Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Tradisi Gereja dan Konteks di Gereja Sidang Jemaat Kristus?

C.  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini yaitu :
a.       Menjelaskan tentang pengertian puasa.
b.      Menjelaskan pemahaman mengenai puasa menurut Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Tradisi Gereja, Budaya Agama Lokal dan Perubahan-Perubahan Sosial.
c.       Memaparkan konteks tempat di Gereja Sidang Jemaat Kristus
d.      Memaparkan analisa tentang puasa terhadap Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Tradisi Gereja dan Konteks di Gereja Sidang Jemaat Kristus

D.  Batasan Masalah
Kelompok memberikan batasan masalah hanya berdasarkan pengkajian Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), Tradisi Gereja dan  konteks tempat di Gereja Sidang Jemaat Kristus mengenai puasa.
Kelompok akan menganalisis tentang puasa dari segi Alkitabiah, Tradisi Gereja, budaya Agama Lokal dan Perubahan-Perubahan Sosial dan Konteks Gereja Sidang Jemaat Kristus..
Selanjutnya, kelompok menawarkan pengertian dari puasa secara Alkitabiah dan Tradisi Gereja. Konteks tempat yang dipilih kelompok adalah Gereja Sidang Jemaat Kristus maka hasil dari tawaran kelompok mengenai puasa tidak bersifat memaksa.

E.     Metode Penulisan
Metode yang digunakan kelompok dalam proses penulisan makalah ini adalah studi pustaka dan  beberapa website di internet. Studi pustaka yang dimaksud adalah menggunakan beberapa buku-buku, sumber-sumber yang menyangkut Gereja Sidang Jemaat Kristus.


 
BAB II
PANDANGAN PUASA MENURUT KONTEKS TAFSIRAN ALKITAB DAN TRADISI GEREJA

2.1.1 Tafsiran Alkitab
Dalam Alkitab banyak teks yang membahas tentang puasa. Dalam bagian ini kelompok akan mengambil beberapa teks Alkitab, baik dari Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama yang akan menjadi titik tolak/ berangkat dari pembahasan mengenai puasa ini. Dalam Pejanjanjian Lama puasa ini ada berbagai macam, ada puasa untuk petahiran iman dan pedamaian dengan Allah, ada juga sebagai tanda pertobatan, sebagai cara memohon pertolongan Tuhan, sebagai bentuk perkabungan, syukur dan kemenangan. Pada Perjanjian Baru juga ada berbagai macam puasa diantaranya, puasa untuk mengusir setan, puasa juga dilakukan karena ada pengutusan Roh Kudus, puasa juga dilakukan untuk menjalin hubungan dengan Allah, dan yang lainnya.
Sebelum melihat teks tentang puasa, kelompok akan menjelaskan puasa menurut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Secara umum di dalam Alkitab puasa berarti tidak makan dan tidak minum selama waktu tertentu saja (mis Est 4:16), bukan hanya menjauhkan diri dari beberapa makanan tertentu. Dalam bahasa Ibrani, tsum, tsom dan inna nafsyo yang harafiah berarti ‘merendahkan diri dengan berpuasa’. Orang Ibrani pada waktu itu berpuasa pada Hari Pendamaian (Im 16:29, 31; 23:27-32; Bil 29:7). Adapula puasa sewaktu-waktu, puasa ini dapat bersifat perorangan (umpama dalam 2 Sam 12:22) dan terkadang bersifat bersama (Hak 20:26; Yl 1:14). Berpuasa juga dapat ditunjukan sebagai bukti lahiriah  dukacita (1 Sam 31:13; 2 Sam 1:12; Neh 1:4 dll). Berpuasa juga kerap kali dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh bimbingan dan pertolongan Allah (Kej 34:28; Ul 9:9).[4]
Hari Perdamaian adalah satu-satunya puasa tahunan Yahudi yang disinggung dalam PB (Kis 27:9). Beberapa orang Farisi berpuasa dengan ketat setiap hari Senin dan Kamis (Luk 18:12). Dapat dilihat juga orang Yahudi yang saleh seperti Hana juga mungkin kerap kali berpuasa (Luk 2:37). Yesus menganggap bahwa para pendengar-Nya akan melakukan puasa, maka dari itu Ia mengajar mereka supaya apabila mereka berpuasa, mereka berhadapan dengan Allah bukan dengan manusia (Mat 6:16-18). Dalam Mat 17:21; Mrk 9:29; Kis 10:30; 1 Kor 7:5 ada beberapa naskah yang menyinggung mengenai puasa di dalam ayat-ayat ini, ada pula yang tidak. Hal ini menandakan, di gereja mula-mula berkembang kepercayaan akan nilainya praktik berpuasa.[5] Pada bagian ini kelompok memilih salah satu teks tentang puasa yang menjadi titik tolak/ berangkat dari pembahasan kami, yaitu Yunus 3:1-10

2.1.2. Tafsiran Yunus 3:1-10[6]
   Yunus adalah seorang nabi yang diutus Allah untuk pergi ke Niniwe. Nabi Yunus hidup pada zaman Yerobeam II di Israel Utara. Kota Niniwe adalah ibukota Asyur pada masa pemerintahan Sanherib. Bangsa Asyur menyembah banyak dewa-dewi, Isytar adalah dewi dari kota Niniwe. Bangsa Asyur percaya bahwa dewa-dewi mereka akan memberikan kemenangan atas musuh-musuh kepada mereka. Bangsa Asyur memperlakukan musuh-musuh  seperti orang yang memberontak terhadap dewa-dewa Asyur dan menghukum mereka karena kemurtadan itu. Raja Sanherib menulis suatu prasasti dengan kalimat demikian:”Dengan pertolongan Asyur, tuhanku, aku menentang mereka dan mengalahkan mereka.”[7]

Yunus mulai melaksanakan tugasnya, dia masuk ke dalam kota Niniwe sehari perjalanan jauhnya. Sebagaimana telah kita lihat (dalam tafsir Yun. 3:3b) lintang kota Niniwe adalah tiga hari perjalanan. Setelah satu hari perjalanan, Yunus berada kira-kira di tengah kota Niniwe. Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Yunus malas dan kurang bersemangat dalam pelaksanaan tugasnya, oleh karena ia hanya berhasil masuk kota Niniwe, nubuat yang Yunus sampaikan dapat disebarkan cepat-cepat kesemua pelosok kota. Maksud pengarang Kitab Yunus ialah untuk memperlihatkan bahwa nubuat Yunus sudah berhasil pada hari pertama dan membawa orang di Niniwe kepertobatan. Nubuat yang Yunus sampaikan tidak panjang: “empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan”.
Rupanya nabi Yunus berpendapat bahwa nubuat hukuman ini adalah firman yang penghabisan yang hendak TUHAN sampaikan kepada orang Niniwe, oleh karena orang Niniwe telah melakukan banyak kejahatan, maka TUHAN akan menghukum mereka. Kalau demikian, maka nubuat yang Yunus ucapkan menjadi nubuat tak bersyarat. Bagaimanapun tindakan orang Niniwe, kota Niniwe pastilah akan dihancurkan. Tetapi bukan demikian maksud nubuat ini. Nubuat ini tidak dimaksudkan sebagai ultimum (pemberitaan yang terakhir), tetapi sebagai ultimatum, sebagai tuntutan yang terkahir (K.H. Miskotte). Nubuat Yunus adalah nubuat bersyarat, kalau orang Niniwe tidak bertobat, kalau mereka tidak berbalik dari kejahatannya, maka kota Niniwe akan dihancurkan.
TUHAN masih memberikan waktu kepada orang Niniwe untuk bertobat, masih membuka jalan untuk mengubah cara hidupnya, itulah karunia TUHAN. TUHAN tidak menghendaki kematian orang yang berdosa, tetapi menghendaki supaya manusia bertobat, supaya ia hidup (bnd. Yeh. 18:32). Dengan tujuan itu TUHAN mengutus nabi-Nya untuk menyampaikan firman-Nya. Firman TUHAN tidak mau mematikan manusia, tetapi mau membuka jalan baru bagi dia.
Waktu empat puluh hari sering kita temui dalam Perjanjian Lama. Waktu empat puluh hari adalah waktu pemurnian dan pencobaan, waktu puasa dan hukuman. Lamanya air bah ialah empat  puluh hari (Kj. 7:4). Musa berada di atas gunung Sinai selama empat puluh hari (Kel. 24:18). Bangsa Israel harus mengembara di padang gurun selama empat puluh tahun (Bil. 14:33). Nabi Elia berjalan selama empat puluh hari empat puluh malam ke gunung Horeb (I Rj. 19:8). Perjanjian Baru juga menceritakan bahwa Yesus berpuasa selama empat puluh hari (Mt. 4:2). LXX tidak menyebut waktu empat puluh, tetapi waktu ‘tiga hari’ saja. Rupanya LXX dalam hal ini dipengaruhi oleh Yun. 3:3b, di tempat mana dikatakan bahwa kota Niniwe tiga hari perjalanan luasnya.
Yunus menubuatkan bahwa setelah empat puluh hari, Niniwe akan di tunggangbalikan. Tiap orang Israel yang mendengar kata ‘menunggangbalikan’ (bah. Ibr. ‘hapak’) segera teringat kepada nasib kedua kota Sodom dan Gomora yang ditunggangbalikkan, seperti TUHAN pernah menunggangbalikkan Sodom dan Gomora.
Dalam kitab Yunus 3:5 Kitab Yunus mengarahkan segala perhatian terhadap orang Niniwe. Nubuat yang Yunus ucapkan membawa hasil yang cepat dan besar. Orang Niniwe, yang tidak pernah mendengar tentang TUHAN, sekarang ‘percaya kepada Allah’. Harus  diperhatikan ialah bahwa dalam ayat ini dipakai sebutan umum : Allah  (bnd. Ibr. JHWH’). Dalam seluruh bagian ini (Yun. 3:3b) hanya terdapat sebutan umum Allah, dan nama diri TUHAN tidak dipakai.
Orang Niniwe tidak percaya dalam mulut saja, melainkan dengan tindakan konkrit juga. Mereka mengungkapkan pertobatanya dalam perbuatan : lalu mereka mengumumkan puasa dan … mengenakan kain kabung’. Selama keempat puluh hari yang masih TUHAN karuniakan kepada mereka, mereka mau berpuasa saja. Berpuasa adalah tanda pertobatan, pertapaan dan perkabungan. Sebagai tanda pertobatan  dan perkabungan, orang Niniwe itu menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan ‘karung’  (bah. Ibr. ‘saq’, bnd. Kj. 42:25). Pemakaian karung itu adalah tanda pekabungan, dan mempunyai fungsi sebagai ‘kain kabung’.
Seluruh masyarakat Niniwe ambil bagian dalam puasa dan perkabungan itu, ‘baik orang dewasa maupun anak-anak’. Bukan saja orang ‘besar’ (sekali lagi kita temui kata ‘besar’ dalam kitab  Yunus, bnd. Tafsiran Yun. 1:2), melainkan juga orang ‘kecil’ ambil-bagian didalamnya.
Apa sebabnya bahwa orang Niniwe demikian cepat menanggapi nubuat Yunus dan bersama-sama ambil-bagian dalam puasa dan perkabungan? Sebabnya diceriterakan dalam Yun. 3:6-9. Yunus 3:6-9 harus dibaca sebagai penyorotan kembali. Peristiwa-peristiwa yang diceriterakan dalam ayat 6-9, yaitu pertobatan raja Niniwe dan pengumuman puasa, sudah terjadi sebelum peristiwa-peristiwa yang diceriterakan dalam ayat 5. Orang Niniwe bertobat (ayat 5) berdasarkan panggilan raja untuk berpuasa (ayat 6-9). Pengarang Kitab Yunus menceriterakan lebih dahulu puncak peristiwa: pertobatan orang Niniwe (ayat 5), dan baru setelah itu secara terperinci, bagaimana peristiwa itu terjadi (ayat 6-9). Oleh karena itu harus kita menterjemahkan ayat 6 sebagai berikut: “Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, telah turun ia dari singgasananya dan telah ditanggalkannya jubahnya…” hal-hal seperti ini sudah beberapa kali kita temui dalam Kitab Yunus (bnd. Yun. 1:5,10b)
Maksud dengan ‘kabar itu’ bukanlah berita bahwa orang Niniwe telah berpuasa dan berkabung. Hal itu tidak mungkin oleh karena ayat 6-9 merupakan penyorotan kembali. Maksud ‘kabar itu’ ialah nubuat yang Yunus sampaikan Yun. 3:4. Kata ‘sampai’ adalah terjemahan dari kata Ibrani: ‘naga’ yang sebenarnya berarti: ‘kena’. Bangsa Israel tidak diperbolehkan ‘kena’ gunung Sinai (Kel. 19:12); tidak boleh Hawa ‘raba’ buah pohon pengetahuan itu (Kej . 3:3). Nubuat Yunus ‘kena’ raja Niniwe.
Setelah mendengar nubuat Yunus, maka sang raja turun dari takhta dan menanggalkan jubahnya. Sebagai tanda perkabungan, ia mengenakan ‘karung’ (bah. Ibr. ‘saq’; LAI : kain kabung). ‘Lalu duduklah ia di abu’. Sama dengan mengenakan karung, duduk di abu adalah tanda perkabungan. Demikianlah Ayub duduk di atas abu (Ayb. 2:8). Bnd. Juga Yer. 6:26. Yeh. 27:30 dan Yes 47:1. Seperti biasa pada waktu itu sang raja mendahului rakyat dalam segala upaya keagamaan (bnd. Ay 5 dan 8).
Perintah yang dikeluarkan adalah sangat keras dan berlaku bagi manusia maupun bagi binatang. Bukan saja manusia harus berpuasa, melainkan juga ternak, yaitu binatang-binatang piaraan seperti lembu sapi dan kambing domba. Kata Ibrani ‘ta’am’ tidak berarti ‘makan saja’, tetapi lebih daripada itu ‘mencecap’ (bnd. Ayb . 12:11) atau ‘merasai sedikit’ (bnd I Sam. 14:29). Jadi orang Niniwe ‘tidak boleh makan apa-apa’. Masih ditambahkan pula bahwa ternak tidak boleh makan rumput dan tidak boleh minum air.
Dalam ayat 8-9 melanjutkan isi perintah yang dikeluarkan oleh raja dan pembesarnya. Manusia dan ternak harus menyelubungkan diri dalam karung (bah. Ibr. ‘saq’) sebagai tanda perkabungan. Raja Niniwe sudah mendahului mereka dalam hal ini ( ay 6); hasil perintah itu telah kita baca dalam ayat 5, di mana diceriterakan bahwa semua orang Niniwe berkabung dan berpuasa. Hal yang menarik perhatian ialah bahwa perintah itu berlaku juga bagi binatang-binatang. Binatang pun harus berpuasa (ayat 7) dan mengenakan kain kabung (ay 8).
Orang Niniwe ‘haruslah masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya’. Ucapan semacam itu sering kali terdapat dalam Kitab Yeremia ( Yer. 18:11; 25:5; 36:7). Di sinilah terasa pengaruh dari kalangan Deuteronomis, yang melatarbelakangi pembaharuna agama selama pemerintahan raja Yosia (pada tahun 622 seb. M.). Kitab Ulangan (Deuteronomium) menjadi perangsang utama bagi pembaharuan itu. Orang Niniwe bukan mengambil tindakan lahiriah saja seperti berpuasa dan mengenakan kain kabung. Tetapi ada perubahan batin juga. Haruslah ‘berbalik’ (bah. Ibr. ‘sub’); itu berarti bahwa orang Niniwe sama sekali harus mengubah cara hidupnya dan berpaling kepada TUHAN. Kata ‘tingkah laku’ adalah terjemahan dari kata Ibrani ‘derek’, yaitu ‘jalan’. Orang Niniwe telah menempuh jalan yang salah dan sekarang harus memilih jalan yang lain. Jalan yang mereka pilih sampai sekarang ditandi oleh ‘kejahatan’. Di samping ‘kejahatan’ disebut juga ‘kekerasan’. Kedua kata itu juga terdapat dalam riwayat air bah (Kej. 6:5, J: Kejahatan; Kej. 6:11,13, P: kekerasan). ‘Kekerasan yang dilakukannya’; terjemahan lama menyediakan terjemahan yang lebih harfiah: ‘aniaya yang ada pada tangannya’. Yang dimaksudkan dengan ‘kekerasan’ adalah pertama-tama ketidak-adilan sosial (bnd. Kej. 49:5). Dari dalam Kitab Nahum kita kenal kota Niniwe sebagai ‘kota penumpah darah’, ‘penuh dengan perampasan’ (Nah. 3:1).
Kata-kata pertama dari ayat 9, yaitu ‘Siapa tahu, Ia berbalik dan menyesal’, merupakan kutipan dari Yoel 2:14a. Yoel 2:12-17 adalah seruan seruan untuk bertobat dan menyesal dengan jalan berpuasa dan berkabung. ‘Siapa itu’ mengungkapkan harapan orang Niniwe bahwa Allah akan mengubah rencanaNya. Ungkapan ‘siapa tahu’ mempunyai fungsi yang sama dengan kata ‘mungkin’ dalam Kel. 32:30. Ams. 5:15 dan Zef. 2:3. Harapan orang Niniwe ialah bahwa Allah akan berbalik dari rencana semula untuk menunggangbalikkan kota Niniwe. Dalam ayat 8 orang Niniwe diajak untuk berbalik (bah. Ibr. ‘sub’). Dalam ayat 9 mereka mengucapkan harapan bahwa ‘Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murkaNya yang bernyala-nyala itu’ (dua kali kata ‘sub’). Hanya pada tempat ini dan dalam Kel. 32:12 saja kedua hal itu disebut bersama: berbalik dari dalam Kel. 32:12 saja kedua hal itu disebut bersama: berbalik dari murka dan menyesal karena malapetaka yang mau didatangkan.
Orang Niniwe mengucapkan harapan bahwa Allah akan ‘menyesal’ (bah. Ibr ‘ninham’). Ucapan itu cukup menarik perhatian. Bagaimana Allah dapat menyesal? Apa Ia sama dengan manusia, yang ini berbicara begini dan lain kali berbicara begitu? TUHAN tidak menyesal dan tidak mengubah keputusanNya. Demikianlah pandangan Bil. 23:19 dan I Sam 15:29. Tetapi Allah tidak terikat kepada keputusanNya, seperti raja-raja orang Media dan Persia terikat kepada undang-undang yang tidak dapat mereka ubah (bnd. Dan. 6:9,16). Yang tidak dapat diubah bukanlah keputusan Allah, melainkan kasih-setiaNya (bah. Ibr. ‘hesed’). Lebih penting daripada prinsip-prinsip yang tidak dapat diubah itu adalah kasih-setia Allah kepada manusia. Oleh karena kesetiaanNya kepada manusia, maka Allah merubah rencanaNya.
Kesaksian nabi Yeremia (dan kalangan Deuteronomis) bukan saja menekankan hukuman, melainkan juga menunjukkan kemungkinan bahwa, kalau manusia bertobat, Allah akan mencabut keputusanNya (bnd.  Yer. 18:7-8). Kalau hukuman menghasilkan pertobatan, maka menyusullah pencabutan hukuman oleh TUHAN. ‘Sehingga kita tidak binasa’; demikianlah harapan orang Niniwe . Demikian juga harapan awak kapal dalam Yun. 1:6.
Dengan cara bagaimana orang Niniwe itu menanggapi perintah yang dikeluarkan oleh raja dan pembesar-pembesar kota Niniwe dalam ayat 7b-9? Tanggapan orang Niniwe  dalam ayat 5: orang Niniwe percaya kepada Allah, berpuasa dan berkabung. Dengan cara bagaimana Allah akan menanggapi tindakan orang Niniwe itu?
Harapan orang Niniwe menjadi kenyataan. ‘Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu’ maka Ia mengubah rencanaNya. Perbuatan orang Niniwe itu ialah bahwa mereka ‘berbalik (bah. Ibr. ‘sub’) dari tingkah lakunya (bah. Ibr. ‘derek’, jalan) yang jahat’, yaitu bahwa mereka bertobat. Sikap baru orang Niniwe telah diikhtisarkan dalam Yun. 3:5a : ‘orang Niniwe percaya kepada Allah’. Ketika melihat perubahan itu dalam cara hidup orang Niniwe, ‘maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah direncanakanNya terhadap mereka’. Perumusan yang hampir sama kita temui dalam Kel. 32:14. Apa yang bangsa Israel alami, sekarangpun orang Niniwe alami: Allah bukan saja menghukum, melainkan menyesal juga, kalau manusia bertobat. ‘Iapun tidak jadi melakukannya’. Apa yang dirancangkan terhadap kota Niniwe tidak dilaksanakan. Nubuat Yer. 18:7-8 terpenuhi kepada orang Niniwe.
Bagian kedua Kitab Yunus (Yun. 3-4) menceriterakan bahwa Yunus pergi ke Niniwe dan bernubuat terhadap kota itu. Setelah itu Niniwe bertobat, dan oleh karena itu Tuhan tidak melakukan apa yang direncanakanNya. Hal itu menimbulkan amarah Yunus. Pokok bagian kedua ini ialah kebebasan Tuhan. Yunus mau mengikat Tuhan kepada nubuat hukuman yang diucapkannya terhadap Niniwe adalah bersifat kondisional (bersyarat)! Kalau Niniwe tidak bertobat, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan, tetapi kalau Niniwe berpaling kepada Tuhan, kota itu akan selamat. Yunus tidak mau menerima bahwa itulah justru maksud nubuat hukuman : supaya manusia bertobat. Yunus tidak mau menerima bahwa Tuhan kepada firman yang diucapkan nabi-Nya. Dalam bagian kedua Kitab Yunus pun bukan pertobatan Niniwe, atau keselamatan bangsa-bangsa, yang menjadi pokok utama, melainkan nabi Yunus yang tidak dapat menerima bahwa Tuhan merubah rencana-Nya.
Kitab Yunus membicarakan masalah hubungan antar Tuhan dengan nabi-Nya. Kitab ini memuat pelajaran yang pahit bagi seorang nabi. Seorang nabi tidak dapat melarikan diri dari panggilan Tuhan dan tidak dapat membatasi kebebasan Tuhan, mengikat-Nya kepada firman kenabian.
Hal tentang puasa muncul dalam pasal ini dilatarbelakangi oleh kemauan bangsa Niniwe untuk bertobat dan kembali ke jalan Tuhan, dengan kata lain melakukan pertobatan.

2.2 Tradisi Gereja: (dikaitkan dalam  satu gereja  (gereja sidang  jemaat Kristus)
            Dalam konteks tradisi gereja kelompok melihat dari pandangan Calvin dan Pietisme. Kedua pandangan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

2.2.1 Martin Luther
            Martin Luther adalah seorang yang berasal dari kalangan rakyat biasa, bahkan dapat dikatakan berasal dari kelas pekerja. Meskipun dari kalangan keluarga yang biasa-biasa saja, ia merupakan seseorang yang pekerja keras, ia melakukan segala sesuatunya dengan penuh kesungguhan dan keberanian. Semangat seperti itulah yang membentuk ia hingga ia tumbuh menjadi seorang pribadi yang teliti, setia, tulus dan bersungguh-sungguh. Berbagai masalah kehidupan membuat ia tumbuh menjadi seseorang yang mempunyai iman kepercayaan yang sungguh. Pada suatu hari ia mendapatkan suatu gerakan di dalam hatinya, untuk hidup dalam kesucian agar tidak mendapatkan murka dari Allah dan ia memutuskan untuk hidup di dalam sebuah biara. Selama beberapa waktu ia berada di dalam biara, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ajaran Aristoteles melainkan terpengaruh dengan ajaran Agustinus, salah seorang bapa gereja yang memiliki kecendrungan tradisi Plato.
Martin Luther mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Roma. Salah satu tempat yang dianggap tempat ziarah untuk menyucikan diri yaitu pergi ke Roma, dikatakan suci karena di sana terdapat kuburan Petrus yang merupakan Paus pertama sebagai utusan Kristus. Setelah melakukan perjalanan beberapa kali, Martin Luther semakin menyadari suatu kesedihan di dalam jiwanya yang tidak dapat untuk ditahannya lagi. Penyebabnya karena ia menyaksikan kerusakan moral dan korupsi, serta adanya kemunafikan di dalam hidup dan bertentangan dengan Kitab Suci dari orang-orang yang menjadi pemimpin-pemimpin gereja. Banyak segala kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan Martin Luther pada masa itu, ia menyadari kerusakan gereja hanya dapat diperbaiki apabila doktrin dikembalikan kepada Alkitab.
            Luther memang hampir tidak ada berbicara mengenai puasa. Kelompok tidak tahu pasti, mengapa Luther tidak berbicara tentang Puasa. Kelompok berpikir bahwa Luther juga berpuasa, karena ia adalah seorang Katolik yang taat. Tetapi ada kemungkinan juga Luther menolak teologi puasa Katolik, setelah ia memprotes ajaran Gereja Katolik. Hal ini asumsi kelompok mengenai Luther.    
2.2.2 Yohanes Calvin
 Yohanes Calvin adalah salah satu tokoh reformator yang menuliskan pokok ajarannya dalam buku Institutio Christianae Religionis. Buku ini diterbitkan pada tahun 1536. Calvin menyarankan jemaat untuk berpuasa, yang pertama karena berkaitan dengan susunan pemerintahan gereja berkenaan dengan cara pengangkatan para pelayan gereja.
Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Yohanes Calvin, Institutio yang menyebutkan demikian:
Adapun cara mereka dipilih yang saya maksudkan bukanlah bentuk pemilihan, melainkan keseganan religius yang harus diindahkan dalam pemilihan itu. Dari situ diadakan puasa dan doa, yang menurut  perkataan Lukas diadakan oleh orang-orang percaya pada penetapan para penatua. Karena mereka tahu bahwa mereka terlibat dalam suatu perkara yang amat sangat pentingnya, maka mereka tidak berani melakukan sesuatu apapun kecuali dengan sangat hormat dan sangat hati-hati. Dan di atas segala-galanya mereka dengan sungguh berdoa dan meminta kepada Allah supaya mereka diberi Roh yang adalah sumber kebijaksanaan dan pertimbangan itu. [8]

Kedua, berhubungan dengan kuasa gereja menjalankan disiplin, khususnya pada tindakan pertobatan. Buku ini mengutip pernyataan tentang puasa yang terdapat dalam buku Institutio:
Masih tersisa sebagian disiplin yang sebenarnya tidak termasuk dalam kekuasaan kunci-kunci’. Para pendeta, menurut kebutuhan zaman, dapat menganjurkan kepada rakyat supaya berpuasa atau menyelenggarakan ibadah doa yang umum atau melakukan hal-hal lain untuk merendahkan diri, bertobat dan menyatakan imannya, waktunya, caranya, dan bentuknya tak ada ditetapkan oleh Firman Allah tetapi diserahkan kepada kebijaksanaan Gereja. Setiap kali timbul perselisihan mengenai agama yang harus diselesaikan oleh sinode atau putusan gerejawi, setiap kali pemilihan seorang pelayan menimbulkan persoalan, pendeknya setiap kali suatu perkara yang sulit dan yang sangat penting dipersoalkan, juga jika tampak tanda-tanda kemurkaan Tuhan seperti wabah, peperangan dan kelaparan, maka adalah suatu kebiasaan yang suci dan yang bermanfaat untuk semua zaman bila para pendeta menganjurkan kepada rakyat supaya semua orang berpuasa dan memanjatkan doa yang khusus. [9]

Dari berpuasa yang dianjurkan oleh Calvin, ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan bahwa bentuk berpuasa yang dianjurkan adalah merendahkan diri di hadapan Allah, meminta Roh Kudus menjadi sumber kebijaksanaan. Puasa tergantung pada kebijaksanaan gereja dan memberi kesan bahwa puasa bukan sebuah hal yang baru, malah menjadi sebuah kebiasaan. Berpuasa melibatkan rakyat, yang berarti warga jemaat sebagai suatu kebersamaan. Puasa berhubungan dengan cara pengangkatan pejabat gereja karena rasa hormat terhadap jabatan gerejawi tersebut. Puasa dilakukan gereja ketika menghadapi masalah yang serius, bahkan pada situasi-situasi tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Dari hal ini bisa dilihat bahwa puasa tidak hanya hubungan dengan persoalan pribadi.[10]

2.2.2 Tradisi Pietisme
       Pietisme berasal dari kata latin pius yang artinya saleh. Aliran pemikiran pietis menekankan  hubungan pribadi dengan Tuhan. Cita-cita hidup para penganut aliran ini itu adalah kesucian pribadi. Maka yang mereka usahakan adalah kesucian diri sendiri. Oleh mereka kesucian  digambarkan sebagai kesucian yang bersifat batiniah dan pribadi lepas dari  kehidupan, hubungan dengan sesama dan dunia. Jalan menuju ke kesucian adalah menyingkirkan masyarakat dan dunia, dan tekun melaksanakan renungan yang  berporos pada metode analisis diri. Karena tekanan pada hidup rohani pribadi, para penganut pietisme amat menekankan perasaan. Akibatnya pandangan hidup mereka juga menjadi amat individualistik dan perasaan menjadi faktor penentu perilaku. [11]
   Tokoh Pietisme Phillip Jakob Spener adalah seseorang yang dididik menjadi seorang pendeta. Ia meninggalkan Frankfurt pada tahun 1866. Ia adalah pendiri dari Pietisme.[12]
Para Pietis menekankan pentingnya memiliki suatu iman pribadi yang hidup di dalam Yesus Kristus. Menurut mereka, Kekristenan yang sejati tidak hanya mencakup kepercayaan akan ajaran; ia merupakan suatu pengalaman akan Roh Kudus dalam pertobatan hidup yang baru. Pietisme adalah protes terhadap kebiasaan zaman itu yang hanya memikirkan hal-hal remeh dari ajaran Lutheran. Pembaharuan doktrin telah mengakibatkan pikiran terpaut pada detail-detail ortodoksi, sedangkan yang diperlukan sebenarnya adalah pembaruan hidup. Kaum pietis memang menekankan tentang kesalehan hidup, termasuk praktek puasa sebagai bagian dari membangun relasi dengan Allah.[13]


 BAB III
PANDANGAN PUASA MENURUT KONTEKS DI
GEREJA SIDANG JEMAAT KRISTUS


3.1 Sejarah Gereja Sidang Jemaat Kristus
Kesaksian Gereja Sidang Jemaat Kristus dimulai pada tahun 1937 pada saat beberapa saudara dan saudari yang berasal dari Tiongkok tinggal di Surabaya dan mengadakan perhimpunan serta memecahkan roti di kota ini. Pada awalnya mereka bersidang di sebuah rumah di Jalan Gembong Sayuran. Dengan penuh kesederhanaan mereka menempuh kehidupan gereja, menuntut kebenaran Alkitab dan memberitakan Injil baik di Surabaya maupun ke luar kota seperti Malang, Kediri, Bandung, dan tempat-tempat lainnya.
Pada tahun 1967, Brother Witness Lee mengunjungi gereja-gereja di Indonesia dan membawa suplai rohani yang besar. Pada awal 1970-an Brother Chang Wu Chen, seorang co-worker dari Taiwan pun datang merawat gereja-gereja di Indonesia pada waktu itu dan mendorong penginjilan dan perluasan di Indonesia. Saat itulah dicanangkan sebuah harapan agar sebelum kedatangan Tuhan kali kedua, di seluruh Indonesia bisa ada 500 kaki dian emas. Melihat keperluan yang besar di Indonesia, Brother Witness Lee mengutus beberapa orang sekerja dari Taiwan ke Indonesia, di antaranya adalah Brother Daniel Dang dan Brother Chen Pau Che. Pada saat itu Tuhan membangkitkan sekelompok kaum saleh melayani Tuhan sepenuh waktu. Melalui jerih-lelah mereka, kesaksian pemulihan Tuhan makin tersebar lagi di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, maupun Sulawesi.
Tuaian memang banyak, namun pekerja sedikit. Karena itu ada keperluan untuk membangkitkan pekerja-pekerja Tuhan yang dapat memberitakan injil dan merawat gereja-gereja baru. Pada tahun 1987, di Surabaya di adakan pelatihan rohani yang dipimpin langsung oleh Brother Chang Wu Chen. Sejalan dengan adanya pelatihan tersebut, Gereja Sidang Jemaat Kristus di Surabaya juga mengalami kemajuan rohani dan peningkatan jumlah kaum saleh yang bersidang serta ada pertambahan tempat-tempat bersidang baru. Mulai tahun 1991 pelatihan ini dipindahkan ke Lawang hingga saat ini.
Karena perkembangan gereja, pada tahun 1982 gereja membeli sebidang tanah di Surabaya Barat. Kemudian 1996 di tempat itu mulai dibangun Gedung balai sidang. Pada tahun 2000, setelah balai sidang di Darmo Permai selesai, Gereja Sidang Jemaat Kristus di Surabaya mengadakan Sidang Perbauran Internasional.
Pada periode 1990-2000-an gereja meluas dan berkembang melalui sidang-sidang kelompok di rumah-rumah jemaat, melalui membuka distrik-distrik baru, melalui sidang anak-anak, mendapatkan beberapa keluarga. Pada tahun 1994 Tuhan membangkitkan sekelompok orang muda, mereka telah menyelesaikan pendidikan mereka di perguruan tinggi, mereka meninggalkan profesi dan masa depan, untuk melayani Tuhan.
Pada bulan Januari 2005 gereja-gereja di Indonesia mendirikan Pusat Pelatihan Sepenuh Waktu di Jakarta dan telah banyak kaum beriman muda yang mengikuti pelatihan tersebut. Setelah mereka menyelesaikan pelatihan, ada yang melanjutkan pelayanan sepenuh waktu dan pergi bagi perluasan kesaksian Tuhan di seluruh Indonesia, juga ada yang kembali berprofesi namun mereka tetap menunaikan fungsi di berbagai lokal di Indonesia.
Tuhan juga membangkitkan saudara-saudari yang masih berkuliah khususnya di U.K.Petra dan Ubaya. Mereka menuntut bersama, memberitakan injil dan aktif dalam siding-sidang gereja, bahkan para saudara tinggal bersama untuk menempuh penghidupan korporat di kampus. Melihat perkembangan tersebut, didirikanlah Brothers’ House yang pertama di Surabaya, dan pada tanggal 11 Juli 1998 saudara-saudara mulai menempuh penghidupan korporat di tempat ini. Saat ini (2015) di Surabaya ada 6 brothers house dan 4 sisters house.
Mulai awal tahun 2000-an, banyak orang diselamatkan, timbulah keperluan akan penggembalaan dan orang-orang yang bisa berfungsi di tiap-tiap tepat sidang. Maka sejak tahun 2006 gereja mulai mengadakan pelatihan-pelatihan untuk menggenapi orang-orang kudus sehingga semakin banyak kaum saleh yang bisa berfungsi bagi pekerjaan ministri untuk membangun dan memperluas Tubuh Kristus.
Pada tahun 2015, Pelatihan Sepenuh Waktu Indonesia mencanangkan akan membuka kampus kedua di Surabaya. Fasilitas pelatihan ini dimaksudkan untuk melatih lebih banyak lagi orang-orang muda, khususnya dari wilayah Indonesia Timur. Pada awal tahun 2016 Pelatihan Sepenuh Waktu Indonesia memulai kelas pelatihannya di Surabaya bertempat di salah satu balai sidang gereja di Surabaya.
Kini Gereja Sidang Jemaat Kristus mendambakan agar kaum saleh mengalami pertumbuhan kehidupan, dibangunkan untuk mewujudkan kesaksian realitas Tubuh Kristus dan memperluas kesaksian Tuhan di seluruh Indonesia, untuk mempersiapkan dan menyambut kedatangan Tuhan kali kedua.

3.2 Letak Geografis Gereja Sidang Jemaat Kristus di Banjarmasin
Adapun mengenai keberadaan Gereja Sidang Jemaat Kristus di Banjarmasin dimulai dari beberapa keluarga yang berpindah dari pulau Jawa ke pulau Kalimantan pada periode 1990-an. Gereja di Banjarmasin meluas dan berkembang melalui sidang-sidang kelompok di rumah-rumah jemaat, melalui membuka distrik-distrik baru, melalui sidang anak-anak, mendapatkan beberapa keluarga.
Tuhan membangkitkan sekelompok orang, mereka telah menyelesaikan pendidikan mereka di berbagai kota di pulau Jawa, mereka meninggalkan pulau Jawa untuk berprofesi dan membina masa depan, serta untuk melayani Tuhan di kota Banjarmasin. Mereka kemudian membeli sebidang tanah di daerah Pekauman dan membangun Gedung Gereja di Jalan Muhajirin IV no 57, RT 18 RW 08, Pekauman, Banjarmasin.
Mulai awal tahun 2010-an, banyak orang diselamatkan, timbulah keperluan akan penggembalaan dan orang-orang yang bisa berfungsi di tiap-tiap tepat sidang. Maka Gereja di Banjarmasin mulai mengadakan ibadah-ibadah dan  pelatihan-pelatihan untuk menggenapi orang-orang. Karena itu dipandang perlu untuk mencari lokasi baru untuk memperluas pekerjaan Tubuh Kristus. Puji Tuhan akhirnya melalui pengaturan Tuhan didapatkanlah  lokasi tambahan yang baru  dengan menggunakan Gedung Bank Mayapada, yang beralamat di Jalan Ahmad Yani KM 1 No. 88, Banjarmasin.

3.4 Pemahaman Puasa Menurut Gereja Sidang Jemaat Kristus
Kitab Kisah Para Rasul memperlihatkan kepada kita, bahwa para rasul sering berdoa dan berpuasa. Kisah Para Rasul 13 dengan jelas mencantumkan bahwa dalam gereja di Antiokhia ada beberapa nabi dan pengajar, mereka di sana berpuasa dan berdoa. Catatan tentang doa dalam pasal 13 ini boleh dikatakan mencapai puncaknya.
Mari kita melihat bagaimana sebenarnya hubungan antara puasa dengan doa menurut tradisi Gereja Sidang Jemaat Kristus:
Pertama, berpuasa adalah pernyataan yang muncul dengan sendirinya dari seseorang yang menerima satu tanggung jawab yang besar di hadapan Allah.
Kedua, berpuasa adalah pernyataan mutlak bahwa seseorang berdiri di pihak Allah. Berdoa adalah pernyataan manusia di alam semesta yang menyatakan bahwa dirinya berdiri di pihak Allah untuk menentang Iblis. Jika seseorang atas sesuatu hal ingin menyatakan mutlak berdiri di pihak Allah dan menentang Iblis, dia akan menyatakannya melalui berpuasa.
Ketiga, makna hakiki berpuasa adalah melepaskan hak yang sah. Dalam hidup manusia, tidak ada perkara kedua yang lebih sah daripada makan. Manusia berpuasa, ini menyatakan, bahwa demi menanggung satu perkara yang besar, manusia melepaskan hak yang sangat sah. Semua doa puasa dalam Alkitab selalu dikarenakan manusia di bumi ini menjamah maksud hati Allah, dan ingin agar Allah menggenapkannya; atau menjumpai musuh Allah, dan ingin agar dia disingkirkan.
Segera setelah diselamatkan pada tahun 1922, Brother Watchman Nee mulai bekerja bagi Tuhan. Sebagai seorang palajar di SMU, dia mulai memberitakan injil kepada teman-teman sekelasnya. Dia berpuasa dan berdoa setiap hari Sabtu untuk persiapan memberitakan injil kepada teman-teman sekelasnya pada hari berikutnya. Sekolahnya memiliki kurang lebih seratus lima puluh murid. Kira-kira dalam setahun, hampir semua murid di sekolah itu diselamatkan. Melalui pemberitaannya ada satu kebangunan yang sejati di sekolah itu. Pada saat itu di sekolah, orang akan melihat murid-murid duduk dan membaca Alkitab di bawah pohon-pohon dan yang lain mempelajari Alkitab dan berdoa bersama-sama di lapangan rumput.[14]
Kita melihat bahwa Tuhan Yesus dibawa berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam. Setelah empat puluh hari empat puluh malam ini, Ia lapar, dan si pencoba datang kepada-Nya sambil berkata, “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti” (ayat 3). Terhadap usul ini Tuhan menjawab, “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” Banyak orang Kristen mengira bahwa selama Tuhan berpuasa, Dia tentu tidak makan apa-apa. Namun ayat ini mewahyukan bahwa selama Tuhan Yesus berpuasa, Dia pun makan. Secara lahiriahnya Ia berpuasa, namun secara rohaninya Ia makan.[15]
Di sini kita nampak satu prinsip penting. Dalam ministri dan ekonomi Tuhan, jika kita tidak tahu bagaimana merendahkan keperluan jasmani kita dan memperhatikan keperluan rohani, kita tidak bersyarat bagi ministri-Nya. Agar bersyarat dalam ministri Tuhan, kita harus diuji. Kita harus mengorbankan keperluan jasmani kita. Tempat tinggal yang baik, makanan yang lezat, dan pakaian yang indah, semuanya tak lain hanyalah keperluan sekunder. Makan makanan rohani itulah yang primer.
Begitu dibaptis, Tuhan Yesus dibawa ke dalam situasi di mana Dia bisa mendeklarasikan kepada seluruh alam semesta bahwa Dia bukan untuk kebutuhan jasmani, melainkan hanya untuk kebutuhan rohani. Selama empat puluh hari empat puluh malam Dia mengabaikan semua makanan jasmani, melupakan tuntutan jasmani. Sebaliknya, Dia memperhatikan keperluan rohani. Meskipun Dia tidak makan untuk mempertahankan tubuh jasmani-Nya, tetapi Ia makan banyak untuk memelihara roh-Nya. Perkiraan setan tentang Tuhan Yesus tidak makan selama hari-hari di padang gurun itu mutlak salah. Sementara Dia berpuasa terhadap makanan jasmani, Dia makan makanan rohani. Inilah ujian puasa dalam masalah penghidupan kita.[16]















BAB IV
ANALISA TERHADAP PUASA DI DALAM PERUBAHAN SOSIAL DAN DALAM  GEREJA SIDANG JEMAAT KRISTUS

4.1. Puasa di dalam Perubahan-Perubahan Sosial
Berdasarkan pengamatan kelompok setelah membaca dan memperhatikan satu per satu maka kelompok menyimpulkan bahwa pada perubahan-perubahan sosial puasa dimaknai berbeda-beda tergantung konteks tempat dan keadaan yang ingin di capai dari praktek puasa tersebut.
Mari kita melihat pendapat para ahli secara umum mengenai puasa dalam konteks perubahan-perubahan Sosial, dimana terdapat beberapa para ahli yang mengemukakan sebagai berikut :[17]
( bagaimana pandangan muslim atau orang2 sekitar tentang berpuas. gagasan para ahli tidak perlu dicantumkan).
1.    Allan Cott, M. D.
Allan Coot, M. D adalah seorang kawanan dari Amerika. Ia telah menghimpun hasil pengamatan dan penelitian para ilmuwan berbagai negara. Lalu ia menghimpunnya dalam suatu buku “Why fast”. Ia mengartikan puasa adalah merasa lebih bagus fisik dan mental, melihat dan merasa lebih muda, membersihkan raga dan menurunkan tekanan darah dan kadar lemak.

2.    Riyad Albiby and Ahmed Elkadi
Puasa adalah keadaan diimana meningkatkan kekebalan tubuh ataupun imun terhadap berbagai penyakit.

3.    Elson M. Haas M. D
Ia adalah seorang direktur medical centre of Marin (sejak tahun 1984). Elson beranggapan bahwa puasa adalah proses diet yang ada didunia barat alasan mengapa ia berpendapat begitu  adalah dikarenakan kebanyakan dari orang barat terlalu berlimpah makanan sehingga ita menyarankan supaya orang lain mulai mengatur makanyannya agar lebih seimbang.


4.    Alvenia M. Fulton
      Ia adalah seorang direktur lembaga makanan sehat “Fultonia” di Amerika serikat. Ia menyatakan bahwa puasa adalah cara terbaik untuk memperindah wanita secara alami. Puasa menghasilkan kelembutan pesona dan daya pikat.


4.2. Puasa di dalam Gereja Sidang Jemaat Kristus di Banjarmasin
Berdasarkan pengamatan kelompok pada jemaat yang ada di dalam Gereja Sidang Jemaat Kristus di Banjarmasin, belum semua mengerti akan perlunya berpuasa. Dari hasil wawancara yang dilakukan kelompok tidak banyak yang aktif berdoa dan berpuasa. Itu pun terdiri dari gembala sidang, penatua dan anggota majelis yang  rutin mengikuti ibadah doa yang diadakan setiap minggunya di hari selasa serta beberapa jemaat umum yang kadang-kadang mengikuti ibadah doa dan ibadah distrik / gugus rumahan.
Sebagian dari para anggota Majelis ini sering berdoa syafaat dan berpuasa untuk topik-topik doa seperti untuk keselamatan bangsa dan negara Indonesia dan bagi pekabaran injil dan perluasan pelayanan di pulau Kalimantan secara umum dan secara khususnya di Kota Banjarmasin dan Banjarbaru. Hal ini mengingat masih adanya hambatan-hambatan secara politis melalui perizinan dari struktural pemerintahan bagi perluasan dan peningkatan pelayanan gereja yang ada, terutama untuk pos pekabaran injil untuk daerah Martapura, Kabupaten Banjar dan untuk pos pekabaran injil di daerah Pleihari, Kabupaten Tanah Laut.
Adapun sebagian dari anggota Majelis juga sering berdoa dan berpuasa untuk mendoakan kesembuhan para anggota jemaat yang sedang sakit dan sedang lemah tubuh. Ini dikarenakan banyak anggota jemaat terutama yang sudah berumur separuh baya mudah sekali terkena sakit penyakit dan kondisi kesehatan yang sudah menurun, yang terutama disebabkan oleh pola makan dan pola penghidupan yang hanya memperhatikan kerja dan kerja saja dan kurang memperhatikan kesehatan tubuh.
Sedangkan untuk anggota jemaat umum kebanyakan hanya melakukan doa puasa kalau ada masalah-masalah pribadi yang dirasa cukup berat yang menghimpit penghidupan sehari-harinya, seperti masalah kesulitan ekonomi, masalah pertengkaran dalam rumah tangga, masalah anak sekolah dan lain sebagainya. Waktu di dalam wawancara ditanyakan oleh kelompok mengenai penyebab jarangnya berdoa puasa, mereka menjawab bahwa hal ini dikarenakan mereka masih sibuk bekerja dan tidak ada waktu untuk dapat secara khusus berdoa puasa. Sebagian lagi menjawab karena kondisi kesehatan mereka (seperti diabetes) yang tidak memungkinkan mereka berdoa puasa.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,  1999
Hardjana, A.M. Penghayatan Agama: yang otentik & tidak otentik. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Hinson, David F. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Jian, Wiharja. Puasa:Aktivitas Senyap. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Kramer, A. Th. Tafsiran Alkitab Kitab Yunus (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1998), 42-52.
Lalu, Yosef. Yesus Kristus Pemberi Makna Hidup: Makna Hidup Dalam Terang Iman Katolik 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010.
Lane, Tony. Runtut Pijar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Paterson, Robert M. Kitab Imamat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Lee, Witness, Watchman Nee, Pelihat Wahyu Ilahi. Surabaya:Yasperin, 2005
Lee, Witness. Pelajaran Hayat Matius, Surabaya:Yasperin, 2005


Internet:
Fttp://osdese.blogspot.co.id.



MODEL TERJEMAHAN :
PUASA



Tugas Mata Kuliah :
TEOLOGI KONTEKSTUAL
Dosen : Pdt. Dr. Keloso S. Ugak









Oleh :
Bersi Agustina
Denny Susanto






PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TEOLOGI
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS
BANJARMASIN
2017



Catatan
1.  Tematis
2. Dalam bagian akhir tidak muncul tafsir akhir dari makna puasa
3. Bagian akhir apa pesan puasa dari teks dan bagaimana hasilnya
4. Apa masalah yang muncul dalam melakukan puasa sebenarnya muncul dalam bagian ke-2
5.  Bagian terakhir belum muncul penerapan . Memberikan pemahaman bagaimana sebenarnya puasa bagi sidang jemaat Kristus/ langkah-langkah yang sebenarnya harus dilakukan. (pnt, pndeta, jemaat untuk menerangkan puasanya harus seperti ini).
6.




[1]Bagi Gereja Katolik pada masa itu, puasa adalah suatu kewajiban bagi setiap umat agar memperoleh keselamatan.
[2] Yosef Lalu, Yesus Kristus Pemberi Makna Hidup: Makna Hidup Dalam Terang Iman Katolik 3, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010),  69-70.
[3] A.M Hardjana, Penghayatan Agama: yang otentik & tidak otentik (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 75.
[4] Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,  1999), 280.
[5] Ibid.
[6] A. Th. Kramer, Tafsiran Alkitab: Kitab Yunus (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1998), 42-52.
[7] David F. Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 158-159.
[8] Wiharja Jian, Puasa:Aktivitas Senyap (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 58.
[9] Wiharja Jian, Puasa:Aktivitas Senyap (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 59.
[10] Ibid.,  60-61.
[11] A.M Hardjana, Penghayatan Agama: Yang Otentik & Tidak Otentik (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 75-76.
[12] Tony Lane, Runtut Pijar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 140.
[13]Ibid.
[14]  Lee, Witness, Watchman Nee, Pelihat Wahyu Ilahi (Surabaya:Yasperin,2005)
[15] Lee, Witness. Pelajaran Hayat Matius, (Surabaya:Yasperin,2005) 180
[16] Ibid, 182-182
[17] Fttp://osdese.blogspot.co.id diakses Minggu, 2 November 2017 pukul 09.53.

No comments:

Post a Comment