PARMALIM
1.
Pendahuluan
Indonesia
memiliki kekayaan budaya dan hasil alam yang melimpah. Beragam suku, agama, ras
menjadi Indonesia. Dari berbagai kekayaan yang beragam itu, Negara Indonesia
hanya mengakui enam agama resmi, walau sebenarnya ada banyak
agama-agama suku yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Walaupun tidak
diakui secara resmi oleh pemerintah tetapi agama suku atau aliran
kepercayaan tetap berusaha untuk mempertahankan nilai dari ajaran agama dan
berusaha untuk berkembang. Salah satunya aliran kepercayaan di Indonesia
dari suku Batak yang menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah agama
Parmalim.
2.
Isi
2.1.
Sejarah Kepercayaan Parmalim
Agama Kepercayaan yang ada di Indonesia hampir dapat
dikatakan tidak terlepas dari pengaruh agama Hindu, tidak terkecuali agama
kepercayaan suku Batak, Sipelebegu, Parbaringin, Parmalim dll. Yang kemudiannya
pengembangannya tersentuh dengan pengaruh agama Islam Protestan/katolik.
Agama ini merupakan sebuah kepercayaan ‘Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa’ yang tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara sejak
dahulukala. “Tuhan Debata Mulajadi Nabolon” adalah pencipta manusia, langit,
bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh “Umat Ugamo Malim”
(“Parmalim”).
Awalnya, Parmalim adalah gerakan spiritual untuk
mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam disebabkan
agama baru yang dibawa oleh Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak
menjadi gerakan politik atau ‘Parhudamdam’ yang menyatukan orang Batak
menentang Belanda. Gerakan itu muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun
sebelum kematian Sisingamangaraja
XII, dengan pelopornya Guru Somalaing Pardede.[1] Orang yang sangat besar partisipasinya dalam
mengembangkan agama Parmalim ini adalah mantan panglima Sisingamangaraja, yaitu
Guru Somalaing Pardede dan Raja
Mulia Naipospos. Tetapi Raja Mulia
Naipospos-lah yang mendapat amanah
langsung dari Sisingamangaraja XII untuk menjaga agama ini, dan menjadi
pemimpinnya. Sedangkan Guru Somalaing Pardede yang merupakan seorang datu
(dukun) terkenal menjadi salah seorang panglima sekaligus menjadi penasehat
Sisingamangaraja XII.
Parmalim merupakan suatu agama
kepercayaan suku Batak yang masih berkembang hingga pada saat ini. Pendiri
Agama malim atau Ugamo Malim adalah
Sisingamangaraja XII sekitar tahun 1870. Tujuan pendiriannya menjaga
unsur-unsur agama Batak kuno tetap terbina apalagi dalam menghadapi agama
Kristen yang mulai masuk ke tanah Batak, dan penjajahan Belanda di tanah Batak
Para penganut Ugamo Malim menamai Sisingamangaraja
tersebut dengan sebutan Raja Nasiakbagi.
Pada tahun 1907, Sisingamangaraja XII
meninggal, namun pihak Parmalim tidak percaya, dan tidak menerima kenyataan
bahwa kematian Sisingamangaraja. Mereka meyakini bahwa Sisingamangaraja XII
menderita dan mengembara dari suatu tempat ke tempat lain, dan tampil sebagai
peminta-minta. Dengan kata lain pihak Parmalim masih percaya bahwa
Sisingamangaraja masih hidup dan mereka mempunyai harapan messianik, bahwa Sisingamangaraja akan tampil kembali dalam
kebesarannya dan bersinggasana di Bakara (Kerajaan Sisingamangaraja).[2]
Agama malim mengakui adanya suruhan Allah atau Debata Mulajadi Nabolon yang disebut malimni Debata. Ada empat malim yang diakui dan diyakini sebagai utusan Debata Mulajadi Nabolon, yaitu:
1.
Raja Uti
2.
Simarimbbosi
3.
Sisingamangaraja
4.
Raja Nasiakbagi
Malim Debata tersebut memiliki harajaon
Malim yang ada di bumi (banua tonga) ini. Kerajaan Malim yang mereka pegang itu diyakini dalam
Ugamo Malim berasal dari Debata Mulajadi Na Bolon.
Raja Uti
sebagai Malim yang pertama adalah seorang pemimpin umat kharismatis dan
disegani dizamannya. Dia tampil ditengah-tengah suku Batak ketika
dalam keadaan caos yang ditandai
dengan kekacauan diantara sesama suku Batak. Raja
Uti menyelamatkan manusia dan mengembalikan kepercayaan untuk menyembah
Mulajadi Nabolon, dia juga yang membentuk ajaran “marsuhi ni ampang na opat”
yang terdiri dari tona, poda, patik, uhum.
Setelah Raja
Uti, Debata Mulajadi Nabolon kemudian mengutus malim Simariumbosi.[3] Agama Malim mengakui Simarimbbosi adalah bentuk kasih dari
Debata kepada bangsa Batak. Mariumbosi melakukan pengembaraan, karena saudara-saudaranya yang tidak
menyukainya. Dalam pengembaraannya, dia banyak mendapatkan petualangan gaib,
seperti memenangkan taruhan begu,
menaikkan pohon magis ke dunia atas (banua ginjang) dan juga turun ke dunia
bawah (banua toru).[4]
Sisingamangaraja
hadir setelah beberapa tahun setelah Simarimbbosi yang tugasnya mengisbatkan
adat patik-uhum yang dibentuk
oleh Raja Uti. Perlu diketahui bahwa Sisingamangaraja berjumlah dua belas
orang, dimana ada Sisingamangaraja I-XII. Hal ini menyebabkan ada sebutan
Sisingamangaraja I, Sisingamangaraja II, dst.
Sosok Raja Nasiakbagi membawa kesan yang menggembirakan bagi
masyarakat Batak dimana mereka semakin yakin bahwa Sisingamangaraja tidak benar
mati. Satu kalimat yang diucapkan Raja Nasiakbagi kepada murid-muridnya “malim
ma hamu” yang artinya “sucilah kamu” atau “senantiasalah suci” dalam keagamaan.
Sejak pengarahan ajaran inilah agama malim menjadi resmi dan popular. Kemudian
Raja Nasiakbagi pergi meninggalkan anaknya namun dia mewariskan kepada muridnya
yang setia, yaitu Raja Mulia Naipospos dan Raja Mulia Silalahi mengemban
tugas untuk menyiarkan ajaran agama Malim.[5]
2.2.
Pemahaman
Parmalim tentang Allah
Masuknya
tatanan baru seiring dengan menyusupnya “kepercayaan baru” yang meninggalkan
“Mulajadi Nabolon”. Sebelum agama Islam dan Kristen datang ke tanah Batak,
orang batak mempercayai Tuhan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu orang
Batak juga dapat dikatakan masih dalam keadaan tidak beragam (pagan). Paganisme
adalah campuran kepercayaan agama kepada Debata, dalam paganisme orang Batak,
Mulajadi Nabolon tidak ada yang bermula dari padaNya, Mulajadi Nabolon tidak
kawin dan tidak beranak. Selain Mulajadi Nabolon orang batak juga mempercayai
tiga Debata yang diambil dari Trimurti Hindu : 1. Batara Guru, 2. Soripada, 3. Mangalabulan. Selain Mulajadi Nabolon
orang batak mempercayai kuasa-kuasa alam dalam paganisme batak, yaitu :
Boraspati Di Tano dan Boru Saniangnaga, yang kedua-duanya dianggap sebagai dewa
yang berkuasa dibanua tonga. Debata-debata ini disembah dalam setiap bius dan
setiap bius mempunyai pemimpin yang dipilih oleh raja-raja Horja. Adapun upacara yang dilakukan dalam lembaga bius
adalah pesta bius dan parmanuhon.
Pertama adalah upacara pesta syukuran yang diadakan setiap tahun setelah panen
dan menjelang menanam padi untuk tahun berikutnya. Upacara ini juga disebut Asean Taon. Upacara parmanuhon berlatar
belakang bencana upacara ini dilakukan setelah adanya tanda-tanda alam dan
terjadinya suatu musibah.[6]
Oppu Mula Jadi Nabolon dipercaya sebagai pencipta alam
semesta yang tak berwujud. Dia mengutus manusia sebagai perantaranya, yaitu
Raja Sisingamangaraja, yang juga dikenal dengan Raja Nasiak Bagi. Raja Nasiak
Bagi adalah istilah untuk kesucian atau hamalimon serta jasa-jasa sang raja
hingga akhir hayat yang tetap setia mengayomi Bangsa Batak. Dengan begitu,
agama Parmalim meyakini Raja Sisingamangaraja dan utusan-utusannya mampu
mengantarkan Bangsa Batak kepada Debata atau Tuhan.[7]
2.3.
Ciptaan
(Manusia/Alam) menurut Parmalim[8]
Siraja Batak
bukan lahir dari tanah atau jatuh dari langit, usianya juga bukan seribu tahun.
Penciptaan menurut parmalim dimulai dari para dewa serta roh-roh yang tidak
terhitung jumlah ada dalam banua ginjang lalu debata berkeinginan menjodohkan
dengan raja Odap-odap agar meramaikan banua ginjang. Namun Deakparujar menolak
serta mengulur waktu. Melihat kelakuan Dewak Parujar debata marah kepadanya
dengan berkata karena menurut mitologi Deakparujar belum menyelesaikan menenun
ulosnya karena sikapnya yang berleha-leha itu. Oleh karena itu debata marah dan
berkata “ambillah tongkatku yang besar itu dan kaitkanlah di dekat alat
tenunmu”. Lalu Deakparujar melakukannya namun tongkat dan alat tenun itu
jatuh di ruang yang kosong dan Deakparujar
mengikatkan roda gulungan benang pada tongkat itu namun benang itu semakin
berlepasan, berserakan dan jatuh.
Deakparujar berusaha turun dan memegang benang itu sehingga sampai ke pangkal
tongkat yang tertancap di dalam air. Deakparujar merenungkan kesalahannya lalu
debata menyuruh Sileangleangmandi untuk menjemput Deakparujar agar kembali ke
banua ginjang. Namun Deakparujar menolak untuk kembali ke banua ginjang. Dia
memohon agar debata memberikan segenggam tanah agar diciptakannya untuk tempat
tinggalnya. Lalu debata mengabulkannya dan Deakparujar menciptakkan tanah itu
di atas air.
Untuk kedua
kalinya debata mengutus Sileangleangmandi untuk menjemput deakparujar namun dia
tidak mau, lalu debata mengutus Nagapadohaniaji
untuk menghancurkan bumi ciptaan Deakparujar dan bumi itupun hancur. Lalu
Deakparujar memohon agar debata memberikan tanah yang kedua untuk memperbaiki
tanah yang rusak sekaligus menciptakan bumi yang baru. Namun Nagapadohaniaji
kembali mengguncang ciptaan Deakparujar dan inilah yang disebut lalo. Karena
peristiwa itu Deakparujar memohon agar diberikan segulung sirih masak (benang
yang menyerupai dan segenggam tanah lagi). Lalu Deakparujar memakannya dan dia
bertambah cantik. Lalu Nagapadohaniaji memohon agar Deakparujar mau kawin
dengannya, namun Deakparujar menyuruh agar Nagapadohaniaji dipasung dan setelah
dipasung dia menciptakan tanah untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya tanah itu
semakin luas dan menutupi Deakparujar sampai tidak terlihat oleh
Nagapadohaniaji. Nagapadohaniaji berusaha melepaskan diri dari pasungan itu
tetapi tidak berhasil. Deakparujar terus mencipta tanah sehingga
Nagapadohaniaji semakin tertimbun oleh tanah itu dan tanah inilah yang kemudian
disebut banua tonga atau bumi. Bagi
agama malim cerita penciptaan tanah ini sebagai simbol yang menggambarkan bahwa
diatas bumi inilah awal kehidupan manusia sekaligus tempat mengabdi kepada
debata sebelum kembali kepada asalnya. Manusialah yang mengelola bumi untuk
kehidupannya.[9]
Setelah debata
melihat tanah yang diciptakan Deakparujar itu indah dan luas maka debata
kembali menyuruh Raja Odap-odap untuk menemani Deakparujar karena debata
melihat betapa sepinya Deakparujar di tanah yang luas itu. Raja Odap-Odap
mengiakan dan dia pergi ke bumi namun Deakparujar tidak memberikan respon
sehingga debata marah dan mengirim suruhan untuk menjemput dia kembali ke banua
ginjang kalau tidak biarlah dia sendirian di bumi mendengar itu sedihlah hati
Deakparujar dan dia meminta agar suruhan itu kembali dan meminta agar debata
turun untuk memberkati Deakparujar dengan Raja Odap-Odap, tetapi debata tidak
mengabulkan permintaan itu. Debata berpesan biarlah mereka yang memberkati diri
mereka sendiri dan oleh karena itu dia akan mendapat hukuman dalam perjalanan
hidupnya dia harus berkeringat mencari makan. Akhirnya mereka menikah tanpa
diberkati debata. Beberapa bulan kemudian Deakparujar melahirkan tetapi tidak
layaknya seorang manusia tetapi berbentuk benda gumul atau ketuban yang masih
terbungkus. Deakparujar sangat takut dengan bayinya sehingga dia memohon kepada
debata supaya dia yang mengasuh bayinya tetapi debata berkata tidak usah takut
dengan itu, tetapi tanamlah bayi itu di tanah yang kau ciptakan supaya ada
sanggul-sangulnya. Deakparujar mengikuti dan setelah 7 hari pecahlah bayi yang
tidak sempurna itu dan bersamaan dengan itu tumbuhlah dengan semacam
tumbuh-tumbuhan dan rumput sebagai sangul-sanggul di tanah yang diciptakan
Deakparujar. Kemudian Deakparujar mengandung dan melahirkan anak kembar satu
laki-laki (Raja Ihat Manisia) dan perempuan (Boru Ihat Manisia). Setelah mereka
besar debata Mulajadi Nabolon bersama Bataraguru, Sorisohaliapan,
dan Bala Bulan datang ke bumi dan pada saat itu Raja Ihot dan Boru Ihot
diberkati mula jadi nabolon menjadi suami-istri. Debata memberi pesan kepada mereka
“na jadi dohot na so jadi” artinya apa yang harus dilakukan dan tidak bisa
dilakukan.[10]
Debata memberi
pesan kepada mereka berdua sebagai berikut: Yang harus dilakukan “untuk menjaga
hubungan yang baik antara banua ginjang dengan banua tonga maka mereka harus
memberikan sesaji dan sesaji ini harus bersih dan suci”. Yang tidak bisa
dilakukan “ tidak boleh memakan darah hewan karena darah itu adalah bagian
untuk Nagapadohaniaji, tidak boleh makan daging babi, dan bangkai”. Setelah
debata selesai memberikan semua perintah itu, debata bersama Debata Natolu dan
juga Deakparujar serta raja Odap-odap kembali ke banua ginjang. Raja Odap-odap
ditempatkan di matahari dan ini sangat sesuai dengan watak seorang ayah yang
keras. Deakparujar ditempatkan dibulan dan sesuai dengan sifat seorang ibu yang
lembut dan hingga kini bagi agama malim diyakini bahwa Deakparujar masih berada
dibulan sebagai ibu Panorha (ibu yang bertenun).[11]
2.4.
Keselamatan
menurut Parmalim
Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak,
orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”.
Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur
serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki
tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat
dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).
Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa
penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan
kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang
tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam
kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan
aktifitas manusia.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah
“Debata”, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon”
(Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu
dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek
moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat
bagi manusia.
Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu;
Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai
nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa “Ompu
Nabolon” ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan
adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi “Mula Jadi Nabolon” atau “Tuan Mula
Jadi Nabolon”. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan
yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang
Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula
Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di
depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa
(jamak) sehingga menjadi “Debata Mula Jadi Nabolon”.[12]
Parmalim melaksanakan
upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa,
serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat
melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim.
Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo Malim dengan melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan tersebut adalah: [13]
Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo Malim dengan melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan tersebut adalah: [13]
1. Martutuaek
(kelahiran)
Tiap tahun ada
dua kali ritual besar bagi Umat Parmalim. Pertama, Parningotan Hatutubu ni
Tuhan atau Sipaha Sada. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak,
yaitu di awal Maret. Ritual lainnya bernama Pameleon Bolon atau Sipaha Lima,
yang dilangsungkan antara bulan Juni-Juli. Ritual Sipaha Lima dilakukan setiap
bulan kelima dalam kalender Batak. Ini dilakukan untuk bersyukur atas panen
yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana
sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga
yang membutuhkan. Misalnya, untuk modal anak muda yang baru menikah, tetapi
tidak punya uang atau menyantuni warga yang tidak mampu. Seperti diutarakan
Monang Naipospos, Pengurus Pusat Parmalim.
2. Pasahat Tondi (kematian)
Doa yang dilakukan
setelah sebulan yang lalu terjadi kemalangan (meninggal).
3. Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu)
Ibadah persembahan
yang ditetapkan pada hari sabtu, dan dilaksanakan sekali dalam seminggu.
4. Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
Doa pribadi, untuk
meminta ampunan atas kesalahan yang telah diperbuat.
5. Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa).
Puasa untuk
menebus dosa yang dilaksanakan selama 24 jam penuh pada saat hari dan bulan hurung. Mangan Napaet melambangkan tentang penderitaan para pengikut malim.
6. Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi)
7. Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan / kurban)
Persembahan syukur
atas hasil panen yang mereka peroleh, diiringi dengan tor-tor, gondang serta
korban sembelihan (seperti kerbau dan lembu).
Selain ke-7
aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus menjunjung tinggi nilai – nilai
kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama manusia, menyantuni fakir
miskin, tidak boleh berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain
sebagainya.
Diluar hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging babi, daging anjing dan binatang liar lainnya, serta binatang yang berdarah.
Diluar hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging babi, daging anjing dan binatang liar lainnya, serta binatang yang berdarah.
3. Refleksi
Banyak masyarakat, terkhusus masyarakat Batak sendiri yang
menganggap bahwa Parmalim adalah aliran yang sesat. Banyak masyarakat yang
masih menganggap Ugamo Malim menyembah pohon-pohon besar, atau memberi sesajen
kepada roh-roh nenek moyang, namun pada kenyataannya mereka tidak melakukan
seperti yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Bahkan lembaga agama lainnya
masih memberikan stigma buruk kepada Parmalim seperti tidak memiliki peradaban,
belum mengenal jalan kebenaran Tuhan dan lain sebagainya. Banyak generasi muda
batak keheranan begitu seorang memperkenalkan diri sebagai Parmalim. Dalam hal
ini mereka bersifat tertutup dalam arti kata mereka tidak memberikan jawaban
atau respon akan hal itu, sebab mereka menganggap hal itu sebagai kekeliruan
saja. Akibatnya, stigma itu makin pekat dan sulit dihapus.
Seperti
kita yang mempunyai pandangan akan mereka, mereka juga mempunyai pandangan
mereka terhadap kita (agama-agama lain). Terutama kepada agama Kristen, mereka
mengatakan bahwa agama Kristen adalah munafik dan merasa lebih benar sebab
mereka telah mendengar di telinga mereka tentang para pendeta yang berkhotbah
dengan mengatakan bahwa Parmalim adalah sipelebegu,
ditambah lagi mereka menganggap bahwa orang Batak Kristenlah yang merendahkan
nilai kebudayaan mereka sendiri (Parmalim). Parmalim hidup seperti jemaat
mula-mula, Mereka hidup saling membantu, sebagai contoh hasil panen setiap
keluarga dikumpulkan di balepartonggoan
yang akan dibagikan untuk kegiatan sosial namun hanya untuk mereka, seperti
bantuan kepada orang yang baru menikah, yatim piatu, pendidikan, bahkan untuk
peribadatan mereka. Inilah yang menjadi kritik mereka terhadap kita, dimana
mereka yang tidak memiliki ajaran-ajaran tertulis telah melakukannya dibanding
orang Kristen yang tidak melakukan ajarannya namun memilikinya secara tertulis.
4. Penutup
Agama Parmalim
adalah suatu aliran kepercayaaan yang muncul dari peradaban budaya Batak. Agama
Parmalin memiliki prinsip untuk mempertahankan kebudayaan orang Batak. Agama
Parmalim disebut juga dengan Ugamo Malim yang mana Malim artinya Kudus. Dan
hasil penelitian kami bahwa Agama Parmalim tidak seperti penilaian beberapa
kita selama ini. Agama Parmalim memiliki tatanan Keagamaan yang teratur yang
sangat berpengaruh dengan masyarakat penganutnya. Agama Parmalin memiliki
kepercayaan terhadaap Tuhan yang disebut Mula Jadi Nabolon. Parmalim juga
memiliki tata ibadah, kesaksian iman,dan hukum yang diwariskan secara lisan kepada
setiap generasi berikutnya.
Agama
Parmalim memiliki pengertian tersendiri terhadap sejarah penciptaan, sejarah
manusia, dan juga terhadap kematian. Dunia ini diciptakan oleh Deakparujar
menggunakan segenggam tanah yang diminta kepada Debata Mulajadi NaboloN.
Manusia adalah keturunan Raja Ihat Manisia yang adalah anak dari Deakparujar.
Dalam pada kepercayaan Malim tentang kematian, manusia yang yang mati adalah manusia dimana rohnya tidak
lagi tinggal dalam badan, dan rohnya akan ditanyai tentang pengalamannya selama
ia hidup di dunia. Roh jahat yang ikut mendengarkan wawancara itu, mendatangi
keluarga roh itu, dan menggangu mereka dengan maksud agar keluarga itu
mempersembahkan persembahan baginya.
Lampiran

Gbr. 1. Suasana Ibadah Parmalim
(Mararisabtu) di Rumah Ulu Punguan yang menjadi rumah parsaktian atau tempat ibadah
komunitas ini.


Gambar
2 Gambar
3
Bale Pasogit Partonggoan adalah tempat berdoa para
Parmalim, bentuknya menyerupai bentuk Masjid, pemimpin mereka yang disebut
“ihutan” mendapatkan tempat yang tersendiri, ihutan tempatnya didepan para
penganut. Di atas Bale Pasogit Partonggoan, terdapat tiga patung ayam dengan warna
yang berbeda, dan warna-warna ini adalah warna khas orang Batak. Ayam yang
ditengah-tengah adalah ayam merah putih, yang disebelah kanan ayam “jarum
bosi”, dan yang dikiri adalah ayam hitam. Mengapa mereka membuat ayam sebagai
simbol?. Mereka memilih ayam sebagai
lambang persembahan karena ayam memiliki rahasia yang tidak dimiliki binatang
lainnya, yaitu mereka mengakui bahwa ayam
adalah “tertib dan disiplin”, dalam upacara keagamaan mereka, ayam itu
dianggap sebagai persembahan mereka kepada Mulajadi Nabolon. Mereka beribadah
hari Sabtu jam 11.00 WIB berdasarkan kesepakatan bersama. Adapun ritual
peribadahan Parmalim adalah dengan doa, bersaksi dengan menyampaikan
pengalaman-pengalaman hidup atau juga menyampaikan isi hatinya dan tidak
dibatasi, patik yang berasal dari pemula-pemula, dan dapat direvisi. Istilah “uing” adalah lagu yang dinyanyikan
oleh tiap keluarga ketika berdoa. Namun sekarang mereka tidak menggunakan
nyanyian itu. Dalam beribadah mereka
menggunakan ulos sebagai pakaian mereka baik laki-laki maupun perempuan dan
juga anak-anak. Khususnya bagi laki-laki mereka juga memakai sarung dan penutup
kepala dari kain yang berwarna putih seperti dalam kalangan muslim.
No comments:
Post a Comment