Tuesday, 21 November 2017

PARMALIM


PARMALIM

1.                  Pendahuluan
Indonesia memiliki kekayaan budaya dan hasil alam yang melimpah. Beragam suku, agama, ras menjadi Indonesia. Dari berbagai kekayaan yang beragam itu, Negara Indonesia hanya mengakui enam agama resmi, walau sebenarnya ada banyak agama-agama suku yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Walaupun tidak diakui secara resmi oleh pemerintah tetapi agama suku atau aliran kepercayaan tetap berusaha untuk mempertahankan nilai dari ajaran agama dan berusaha untuk berkembang. Salah satunya aliran kepercayaan di Indonesia dari suku Batak yang menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah agama Parmalim.

2.                  Isi
2.1.            Sejarah Kepercayaan Parmalim
Agama Kepercayaan yang ada di Indonesia hampir dapat dikatakan tidak terlepas dari pengaruh agama Hindu, tidak terkecuali agama kepercayaan suku Batak, Sipelebegu, Parbaringin, Parmalim dll. Yang kemudiannya pengembangannya tersentuh dengan pengaruh agama Islam Protestan/katolik.
Agama ini merupakan sebuah kepercayaan ‘Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’ yang tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara sejak dahulukala. “Tuhan Debata Mulajadi Nabolon” adalah pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh “Umat Ugamo Malim” (“Parmalim”).
Awalnya, Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam disebabkan agama baru yang dibawa oleh Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan politik atau ‘Parhudamdam’ yang menyatukan orang Batak menentang Belanda. Gerakan itu muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Sisingamangaraja XII, dengan pelopornya Guru Somalaing Pardede.[1]  Orang yang sangat besar partisipasinya dalam mengembangkan agama Parmalim ini adalah mantan panglima Sisingamangaraja, yaitu Guru Somalaing Pardede dan Raja Mulia Naipospos. Tetapi Raja Mulia Naipospos-lah yang  mendapat amanah langsung dari Sisingamangaraja XII untuk menjaga agama ini, dan menjadi pemimpinnya. Sedangkan Guru Somalaing Pardede yang merupakan seorang datu (dukun) terkenal menjadi salah seorang panglima sekaligus menjadi penasehat Sisingamangaraja XII.
        Parmalim merupakan suatu agama kepercayaan suku Batak yang masih berkembang hingga pada saat ini. Pendiri Agama malim atau Ugamo Malim adalah Sisingamangaraja XII sekitar tahun 1870. Tujuan pendiriannya menjaga unsur-unsur agama Batak kuno tetap terbina apalagi dalam menghadapi agama Kristen yang mulai masuk ke tanah Batak, dan penjajahan Belanda di tanah Batak
        Para penganut Ugamo Malim menamai Sisingamangaraja tersebut dengan sebutan Raja Nasiakbagi. Pada tahun 1907, Sisingamangaraja  XII meninggal, namun pihak Parmalim tidak percaya, dan tidak menerima kenyataan bahwa kematian Sisingamangaraja. Mereka meyakini bahwa Sisingamangaraja XII menderita dan mengembara dari suatu tempat ke tempat lain, dan tampil sebagai peminta-minta. Dengan kata lain pihak Parmalim masih percaya bahwa Sisingamangaraja masih hidup dan mereka mempunyai harapan messianik, bahwa Sisingamangaraja akan tampil kembali dalam kebesarannya dan bersinggasana di Bakara (Kerajaan Sisingamangaraja).[2]
        Agama malim mengakui adanya suruhan Allah atau Debata Mulajadi Nabolon yang disebut malimni  Debata. Ada empat malim yang diakui dan diyakini sebagai utusan Debata Mulajadi Nabolon, yaitu:
1.      Raja Uti
2.      Simarimbbosi
3.      Sisingamangaraja
4.      Raja Nasiakbagi

Malim Debata tersebut memiliki harajaon Malim yang ada di bumi (banua tonga) ini. Kerajaan Malim yang mereka pegang itu diyakini dalam Ugamo Malim berasal dari Debata Mulajadi Na Bolon.
        Raja Uti sebagai Malim yang pertama adalah seorang pemimpin umat kharismatis dan disegani dizamannya. Dia tampil ditengah-tengah suku Batak ketika dalam keadaan caos yang ditandai dengan kekacauan diantara sesama suku Batak. Raja Uti menyelamatkan manusia dan mengembalikan kepercayaan untuk menyembah Mulajadi Nabolon, dia juga yang membentuk ajaran “marsuhi ni ampang na opat” yang terdiri dari tona, poda, patik, uhum.
        Setelah Raja Uti, Debata Mulajadi Nabolon kemudian mengutus malim Simariumbosi.[3]  Agama Malim mengakui Simarimbbosi adalah bentuk kasih dari Debata kepada bangsa Batak. Mariumbosi melakukan pengembaraan, karena saudara-saudaranya yang tidak menyukainya. Dalam pengembaraannya, dia banyak mendapatkan petualangan gaib, seperti memenangkan taruhan begu, menaikkan pohon magis ke dunia atas (banua ginjang) dan juga turun ke dunia bawah (banua toru).[4]
        Sisingamangaraja hadir setelah beberapa tahun setelah Simarimbbosi yang tugasnya mengisbatkan adat patik-uhum yang dibentuk oleh Raja Uti. Perlu diketahui bahwa Sisingamangaraja berjumlah dua belas orang, dimana ada Sisingamangaraja I-XII. Hal ini menyebabkan ada sebutan Sisingamangaraja I, Sisingamangaraja II, dst.
        Sosok Raja Nasiakbagi membawa kesan yang menggembirakan bagi masyarakat Batak dimana mereka semakin yakin bahwa Sisingamangaraja tidak benar mati. Satu kalimat yang diucapkan Raja Nasiakbagi kepada murid-muridnya “malim ma hamu” yang artinya sucilah kamu atau senantiasalah suci dalam keagamaan. Sejak pengarahan ajaran inilah agama malim menjadi resmi dan popular. Kemudian Raja Nasiakbagi pergi meninggalkan anaknya namun dia mewariskan kepada muridnya yang setia, yaitu Raja Mulia Naipospos dan Raja Mulia Silalahi mengemban tugas untuk menyiarkan ajaran agama Malim.[5]
       
2.2.            Pemahaman Parmalim tentang Allah
Masuknya tatanan baru seiring dengan menyusupnya “kepercayaan baru” yang meninggalkan “Mulajadi Nabolon”. Sebelum agama Islam dan Kristen datang ke tanah Batak, orang batak mempercayai Tuhan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu orang Batak juga dapat dikatakan masih dalam keadaan tidak beragam (pagan). Paganisme adalah campuran kepercayaan agama kepada Debata, dalam paganisme orang Batak, Mulajadi Nabolon tidak ada yang bermula dari padaNya, Mulajadi Nabolon tidak kawin dan tidak beranak. Selain Mulajadi Nabolon orang batak juga mempercayai tiga Debata yang diambil dari Trimurti Hindu : 1. Batara Guru, 2. Soripada, 3. Mangalabulan. Selain Mulajadi Nabolon orang batak mempercayai kuasa-kuasa alam dalam paganisme batak, yaitu : Boraspati Di Tano dan Boru Saniangnaga, yang kedua-duanya dianggap sebagai dewa yang berkuasa dibanua tonga. Debata-debata ini disembah dalam setiap bius dan setiap bius mempunyai pemimpin yang dipilih oleh raja-raja Horja. Adapun upacara yang dilakukan dalam lembaga bius adalah pesta bius dan parmanuhon. Pertama adalah upacara pesta syukuran yang diadakan setiap tahun setelah panen dan menjelang menanam padi untuk tahun berikutnya. Upacara ini juga disebut Asean Taon. Upacara parmanuhon berlatar belakang bencana upacara ini dilakukan setelah adanya tanda-tanda alam dan terjadinya suatu musibah.[6]
        Oppu Mula Jadi Nabolon dipercaya sebagai pencipta alam semesta yang tak berwujud. Dia mengutus manusia sebagai perantaranya, yaitu Raja Sisingamangaraja, yang juga dikenal dengan Raja Nasiak Bagi. Raja Nasiak Bagi adalah istilah untuk kesucian atau hamalimon serta jasa-jasa sang raja hingga akhir hayat yang tetap setia mengayomi Bangsa Batak. Dengan begitu, agama Parmalim meyakini Raja Sisingamangaraja dan utusan-utusannya mampu mengantarkan Bangsa Batak kepada Debata atau Tuhan.[7]


2.3.            Ciptaan (Manusia/Alam) menurut Parmalim[8]
Siraja Batak bukan lahir dari tanah atau jatuh dari langit, usianya juga bukan seribu tahun. Penciptaan menurut parmalim dimulai dari para dewa serta roh-roh yang tidak terhitung jumlah ada dalam banua ginjang lalu debata berkeinginan menjodohkan dengan raja Odap-odap agar meramaikan banua ginjang. Namun Deakparujar menolak serta mengulur waktu. Melihat kelakuan Dewak Parujar debata marah kepadanya dengan berkata karena menurut mitologi Deakparujar belum menyelesaikan menenun ulosnya karena sikapnya yang berleha-leha itu. Oleh karena itu debata marah dan berkata “ambillah tongkatku yang besar itu dan kaitkanlah di dekat alat tenunmu”. Lalu Deakparujar melakukannya namun tongkat dan alat tenun itu jatuh  di ruang yang kosong dan Deakparujar mengikatkan roda gulungan benang pada tongkat itu namun benang itu semakin berlepasan, berserakan  dan jatuh. Deakparujar berusaha turun dan memegang benang itu sehingga sampai ke pangkal tongkat yang tertancap di dalam air. Deakparujar merenungkan kesalahannya lalu debata menyuruh Sileangleangmandi untuk menjemput Deakparujar agar kembali ke banua ginjang. Namun Deakparujar menolak untuk kembali ke banua ginjang. Dia memohon agar debata memberikan segenggam tanah agar diciptakannya untuk tempat tinggalnya. Lalu debata mengabulkannya dan Deakparujar menciptakkan tanah itu di atas air.
Untuk kedua kalinya debata mengutus Sileangleangmandi untuk menjemput deakparujar namun dia tidak mau, lalu debata mengutus Nagapadohaniaji untuk menghancurkan bumi ciptaan Deakparujar dan bumi itupun hancur. Lalu Deakparujar memohon agar debata memberikan tanah yang kedua untuk memperbaiki tanah yang rusak sekaligus menciptakan bumi yang baru. Namun Nagapadohaniaji kembali mengguncang ciptaan Deakparujar dan inilah yang disebut lalo. Karena peristiwa itu Deakparujar memohon agar diberikan segulung sirih masak (benang yang menyerupai dan segenggam tanah lagi). Lalu Deakparujar memakannya dan dia bertambah cantik. Lalu Nagapadohaniaji memohon agar Deakparujar mau kawin dengannya, namun Deakparujar menyuruh agar Nagapadohaniaji dipasung dan setelah dipasung dia menciptakan tanah untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya tanah itu semakin luas dan menutupi Deakparujar sampai tidak terlihat oleh Nagapadohaniaji. Nagapadohaniaji berusaha melepaskan diri dari pasungan itu tetapi tidak berhasil. Deakparujar terus mencipta tanah sehingga Nagapadohaniaji semakin tertimbun oleh tanah itu dan tanah inilah yang kemudian disebut banua tonga atau bumi. Bagi agama malim cerita penciptaan tanah ini sebagai simbol yang menggambarkan bahwa diatas bumi inilah awal kehidupan manusia sekaligus tempat mengabdi kepada debata sebelum kembali kepada asalnya. Manusialah yang mengelola bumi untuk kehidupannya.[9]
Setelah debata melihat tanah yang diciptakan Deakparujar itu indah dan luas maka debata kembali menyuruh Raja Odap-odap untuk menemani Deakparujar karena debata melihat betapa sepinya Deakparujar di tanah yang luas itu. Raja Odap-Odap mengiakan dan dia pergi ke bumi namun Deakparujar tidak memberikan respon sehingga debata marah dan mengirim suruhan untuk menjemput dia kembali ke banua ginjang kalau tidak biarlah dia sendirian di bumi mendengar itu sedihlah hati Deakparujar dan dia meminta agar suruhan itu kembali dan meminta agar debata turun untuk memberkati Deakparujar dengan Raja Odap-Odap, tetapi debata tidak mengabulkan permintaan itu. Debata berpesan biarlah mereka yang memberkati diri mereka sendiri dan oleh karena itu dia akan mendapat hukuman dalam perjalanan hidupnya dia harus berkeringat mencari makan. Akhirnya mereka menikah tanpa diberkati debata. Beberapa bulan kemudian Deakparujar melahirkan tetapi tidak layaknya seorang manusia tetapi berbentuk benda gumul atau ketuban yang masih terbungkus. Deakparujar sangat takut dengan bayinya sehingga dia memohon kepada debata supaya dia yang mengasuh bayinya tetapi debata berkata tidak usah takut dengan itu, tetapi tanamlah bayi itu di tanah yang kau ciptakan supaya ada sanggul-sangulnya. Deakparujar mengikuti dan setelah 7 hari pecahlah bayi yang tidak sempurna itu dan bersamaan dengan itu tumbuhlah dengan semacam tumbuh-tumbuhan dan rumput sebagai sangul-sanggul di tanah yang diciptakan Deakparujar. Kemudian Deakparujar mengandung dan melahirkan anak kembar satu laki-laki (Raja Ihat Manisia) dan perempuan (Boru Ihat Manisia). Setelah mereka besar debata Mulajadi Nabolon bersama Bataraguru, Sorisohaliapan, dan Bala Bulan datang ke bumi dan pada saat itu Raja Ihot dan Boru Ihot diberkati mula jadi nabolon menjadi suami-istri. Debata memberi pesan kepada mereka “na jadi dohot na so jadi” artinya apa yang harus dilakukan dan tidak bisa dilakukan.[10]
Debata memberi pesan kepada mereka berdua sebagai berikut: Yang harus dilakukan “untuk menjaga hubungan yang baik antara banua ginjang dengan banua tonga maka mereka harus memberikan sesaji dan sesaji ini harus bersih dan suci”. Yang tidak bisa dilakukan “ tidak boleh memakan darah hewan karena darah itu adalah bagian untuk Nagapadohaniaji, tidak boleh makan daging babi, dan bangkai”. Setelah debata selesai memberikan semua perintah itu, debata bersama Debata Natolu dan juga Deakparujar serta raja Odap-odap kembali ke banua ginjang. Raja Odap-odap ditempatkan di matahari dan ini sangat sesuai dengan watak seorang ayah yang keras. Deakparujar ditempatkan dibulan dan sesuai dengan sifat seorang ibu yang lembut dan hingga kini bagi agama malim diyakini bahwa Deakparujar masih berada dibulan sebagai ibu Panorha (ibu yang bertenun).[11]

2.4.            Keselamatan menurut Parmalim
Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).
Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah “Debata”, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon” (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia.
Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa “Ompu Nabolon” ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi “Mula Jadi Nabolon” atau “Tuan Mula Jadi Nabolon”. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (jamak) sehingga menjadi “Debata Mula Jadi Nabolon”.[12]
            Parmalim melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa, serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim.
Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo Malim dengan melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan tersebut adalah:
[13]
1. Martutuaek (kelahiran)
Tiap tahun ada dua kali ritual besar bagi Umat Parmalim. Pertama, Parningotan Hatutubu ni Tuhan atau Sipaha Sada. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak, yaitu di awal Maret. Ritual lainnya bernama Pameleon Bolon atau Sipaha Lima, yang dilangsungkan antara bulan Juni-Juli. Ritual Sipaha Lima dilakukan setiap bulan kelima dalam kalender Batak. Ini dilakukan untuk bersyukur atas panen yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga yang membutuhkan. Misalnya, untuk modal anak muda yang baru menikah, tetapi tidak punya uang atau menyantuni warga yang tidak mampu. Seperti diutarakan Monang Naipospos, Pengurus Pusat Parmalim.

2. Pasahat Tondi (kematian)
Doa yang dilakukan setelah sebulan yang lalu terjadi kemalangan (meninggal).


3. Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu)
Ibadah persembahan yang ditetapkan pada hari sabtu, dan dilaksanakan sekali dalam seminggu.

4. Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
Doa pribadi, untuk meminta ampunan atas kesalahan yang telah diperbuat.

5. Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa)
.
Puasa untuk menebus dosa yang dilaksanakan selama 24 jam penuh pada saat hari dan bulan hurung. Mangan Napaet melambangkan tentang penderitaan para pengikut malim.

6. Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi)

7. Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan / kurban)
Persembahan syukur atas hasil panen yang mereka peroleh, diiringi dengan tor-tor, gondang serta korban sembelihan (seperti kerbau dan lembu).

Selain ke-7 aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin, tidak boleh berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain sebagainya.
Diluar hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging babi, daging anjing dan binatang liar lainnya, serta binatang yang berdarah.

3.      Refleksi
            Banyak masyarakat, terkhusus masyarakat Batak sendiri yang menganggap bahwa Parmalim adalah aliran yang sesat. Banyak masyarakat yang masih menganggap Ugamo Malim menyembah pohon-pohon besar, atau memberi sesajen kepada roh-roh nenek moyang, namun pada kenyataannya mereka tidak melakukan seperti yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Bahkan lembaga agama lainnya masih memberikan stigma buruk kepada Parmalim seperti tidak memiliki peradaban, belum mengenal jalan kebenaran Tuhan dan lain sebagainya. Banyak generasi muda batak keheranan begitu seorang memperkenalkan diri sebagai Parmalim. Dalam hal ini mereka bersifat tertutup dalam arti kata mereka tidak memberikan jawaban atau respon akan hal itu, sebab mereka menganggap hal itu sebagai kekeliruan saja. Akibatnya, stigma itu makin pekat dan sulit dihapus.
            Seperti kita yang mempunyai pandangan akan mereka, mereka juga mempunyai pandangan mereka terhadap kita (agama-agama lain). Terutama kepada agama Kristen, mereka mengatakan bahwa agama Kristen adalah munafik dan merasa lebih benar sebab mereka telah mendengar di telinga mereka tentang para pendeta yang berkhotbah dengan mengatakan bahwa Parmalim adalah sipelebegu, ditambah lagi mereka menganggap bahwa orang Batak Kristenlah yang merendahkan nilai kebudayaan mereka sendiri (Parmalim). Parmalim hidup seperti jemaat mula-mula, Mereka hidup saling membantu, sebagai contoh hasil panen setiap keluarga dikumpulkan di balepartonggoan yang akan dibagikan untuk kegiatan sosial namun hanya untuk mereka, seperti bantuan kepada orang yang baru menikah, yatim piatu, pendidikan, bahkan untuk peribadatan mereka. Inilah yang menjadi kritik mereka terhadap kita, dimana mereka yang tidak memiliki ajaran-ajaran tertulis telah melakukannya dibanding orang Kristen yang tidak melakukan ajarannya namun memilikinya secara tertulis.

4.      Penutup
Agama Parmalim adalah suatu aliran kepercayaaan yang muncul dari peradaban budaya Batak. Agama Parmalin memiliki prinsip untuk mempertahankan kebudayaan orang Batak. Agama Parmalim disebut juga dengan Ugamo Malim yang mana Malim artinya Kudus. Dan hasil penelitian kami bahwa Agama Parmalim tidak seperti penilaian beberapa kita selama ini. Agama Parmalim memiliki tatanan Keagamaan yang teratur yang sangat berpengaruh dengan masyarakat penganutnya. Agama Parmalin memiliki kepercayaan terhadaap Tuhan yang disebut Mula Jadi Nabolon. Parmalim juga memiliki tata ibadah, kesaksian iman,dan hukum yang diwariskan secara lisan kepada setiap generasi berikutnya.
Agama Parmalim memiliki pengertian tersendiri terhadap sejarah penciptaan, sejarah manusia, dan juga terhadap kematian. Dunia ini diciptakan oleh Deakparujar menggunakan segenggam tanah yang diminta kepada Debata Mulajadi NaboloN. Manusia adalah keturunan Raja Ihat Manisia yang adalah anak dari Deakparujar. Dalam pada kepercayaan Malim tentang kematian, manusia yang  yang mati adalah manusia dimana rohnya tidak lagi tinggal dalam badan, dan rohnya akan ditanyai tentang pengalamannya selama ia hidup di dunia. Roh jahat yang ikut mendengarkan wawancara itu, mendatangi keluarga roh itu, dan menggangu mereka dengan maksud agar keluarga itu mempersembahkan persembahan baginya.
















Lampiran
IMG_1849
Gbr. 1. Suasana Ibadah Parmalim (Mararisabtu) di Rumah Ulu Punguan yang menjadi rumah parsaktian atau tempat ibadah komunitas ini.
  
        Gambar 2                                                             Gambar 3
Bale Pasogit Partonggoan adalah tempat berdoa para Parmalim, bentuknya menyerupai bentuk Masjid, pemimpin mereka yang disebut “ihutan” mendapatkan tempat yang tersendiri, ihutan tempatnya didepan para penganut. Di atas Bale Pasogit Partonggoan, terdapat tiga patung ayam dengan warna yang berbeda, dan warna-warna ini adalah warna khas orang Batak. Ayam yang ditengah-tengah adalah ayam merah putih, yang disebelah kanan ayam “jarum bosi”, dan yang dikiri adalah ayam hitam. Mengapa mereka membuat ayam sebagai simbol?.  Mereka memilih ayam sebagai lambang persembahan karena ayam memiliki rahasia yang tidak dimiliki binatang lainnya, yaitu mereka mengakui bahwa ayam  adalah “tertib dan disiplin”, dalam upacara keagamaan mereka, ayam itu dianggap sebagai persembahan mereka kepada Mulajadi Nabolon. Mereka beribadah hari Sabtu jam 11.00 WIB berdasarkan kesepakatan bersama. Adapun ritual peribadahan Parmalim adalah dengan doa, bersaksi dengan menyampaikan pengalaman-pengalaman hidup atau juga menyampaikan isi hatinya dan tidak dibatasi, patik yang berasal dari pemula-pemula, dan dapat direvisi. Istilahuing” adalah lagu yang dinyanyikan oleh tiap keluarga ketika berdoa. Namun sekarang mereka tidak menggunakan nyanyian itu. Dalam beribadah mereka menggunakan ulos sebagai pakaian mereka baik laki-laki maupun perempuan dan juga anak-anak. Khususnya bagi laki-laki mereka juga memakai sarung dan penutup kepala dari kain yang berwarna putih seperti dalam kalangan muslim.



No comments:

Post a Comment