Wednesday, 21 November 2018

YESUS DIANTARA PARA LELUHUR


YESUS DIANTARA PARA LELUHUR
Keberlanjutan dan ketidakberlanjutan
Luis Jonker

Nama orang dan tempat dalam narasi Alkitab normalnya tidak “bersalah.” Hal tersebut biasanya dijadikan sebagai alat untuk menonjolkan karakteristik dan orientasi secara geografis. Bagaimanapun, nama dan tempat dijelaskan karena memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu untuk membangun kesatuan pada masing-masing nama keturunan yang sama. Menggunakan nama sebagai pelabuhan masuknya kesatuan dunia yang luas, penulis secara rumit dan eksplisit menyediakan pertentangan di masa datang agar cerita mereka dapat dipahami.
            Perspektif ini dalam pribadi dan nama tempat dalam cerita telah diperhitungkan untuk pendekatan para cendekiawan dalam menginterpertasikan Alkitab. Contohnya, dalam pendekatan yang menganalisis Alkitab berdasarkan pada literatur ilmiah, para ahli mengindikasikan bahwa nama-nama tersebut (nama lengkap pribadi, dalam catatan khusus) seringkali dijadikan sebagai alat untuk menyediakan informasi penting untuk dapat memahami alur pada suatu narasi. Bagaimanapun, dalam pendekatan ini, pemikiran metodologi atas penggunaan nama dalam narasi Alkitabiah tidak selalu memberikan alasan untuk fungsi retorika pragmatis nama-nama tersebut dalam proses penyampaian yang mana menjadi bagian dari sebuah narasi. Pendekatan lainnya mengindikasikan bahwa penggunaan nama pada literatur (terkhususnya narasi) tidak hanya menjelaskan dinamika dalam narasi, tetapi juga mensituasikan dalam konteksnya penyampaian suatu sosial budaya. Penjelasan mengenai diri seseorang dan nama tempat kemudian terlihat sebagai alat yang menjadi bagian yang secara tekstual dapat meyakini dan mempengaruhi para pembaca.
             Artikel ini terutama akan memperhatikan keberadaan dari seorang pribadi bernama Yakub dan nama tempat yaitu Sikhar pada narasi yang tertulis dalam kitab Yohanes 4. Pada ayatnya yang ke 5 – 6, penulis pada cerita ini memberikan informasi geografis:
“Maka sampailah Ia ke sebuah kota di Samaria, yang bernama Sikhar dekat tanah yang diberikan Yakub dahulu kepada anaknya, Yusuf. Di situ terdapat sumur Yakub. Yesus sangat letih oleh perjalanan, karena itu Ia duduk dipinggir sumur itu. Hari kira-kira pukul dua belas.”

Pada ayatnya yang ke 12, penulis dalam cerita ini menjelaskan kepada kita bahwa seorang perempuan Samaria mengatakan bahwa leluhurnya, Yakub:
“Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?”

Walaupun para leluhur tidak disebutkan namanya pada ayat yang ke 20, ayat ini secara lebih dekat dengan kutipan pada ayat tersebut di atas yaitu:
“Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusamelmlah tempat orang menyembah”

Setelah mendalami bagaimana ketidakberlanjutan dan keberlanjutan antara garis keturunan laki-laki secara kontektual dan hidup dan arti dari Yesus yang menciptakan latar retorika ini berdasarkan narasi pada Yohanes 4, Saya akan menguji bagaimana berbagai kelompok pendalaman Alkitab menginterpertasikan garis Patrial ini/ Latar belakang leluhur yang telah mereka baca pada narasi ini sebagai bagian dari partisipasi dalam proyek pembacaan Alkitab lintas budaya.

Yesus dalam ke(tidak)berlanjutannya sejarah Patriarki
Yesus di Sumur Yakub dekat dengan Sikhar.
Yohanse 4 dimulai dengan adanya indiasi bahwa Yesus meninggalkan Yudea untuk pergi ke Galilea. Dalam perjalananNya, Ia telah melewati daerah Samaria dimana Ia pergi ke sebuah daerah yang bernama Sikhar. Kota ini secara cepat dikhususkan pada teks ini, dan bahkan semakin diperjelas “dekat dengan tanah yang diberikan Yakub kepada anaknya Yusuf”; “Sumur Yakub ada di tempat tersebut.” Kota Sikhar telah diidentifikasi oleh berbagai macam ahli dengan model desa modernnya Askar di bawah kaki gunung Ebal dekat Nabulus. Hendrikus Boers benar, bagaimanapun, saat ia berpendapat bahwa “informasi geografis yang tercantum tidak memiliki signifikansi tersendiri. Signifikasinya hanyalah nama tempat pada narasi, penjelasan latar tempat hanya dalam kondisi suat kejadian pada cerita tersebut berlangsung. Dalam percakapan yang tidak terbentang antara Yesus dan perempuan Samaria, telah menjadi jelas mengenai apa yang dimaksud dengan “Air Hidup” dan “tempat menyembah.” Boers oleh karena itu menlanjutkan, “Desa itu sendiri tidak terlalu signifikan pada cerita. Yang terpenting adalah lokasi yang berdekatan dengan sumur dan gunung. Pendapat tersebut kemudian juga memotivasi Friedhelm Wessel yang menyatakan bahwa “topografi pada narasi merepresentasikan kepada kita sebagai topografi secara teologikal.
            Lokasi Sikhar memiliki sejarah yang kuat akan garis keturunan Patriarki. Dalam kitab Kejadian 33: 18 – 20 menyebutkan sebagai berikut:
“Dalam perjalanannya dari Padan-Aram sampailah Yakub dengan selamat ke Sikhem, di tanah Kanan, lalu ia berkemah di sebelah timur kota itu. Kemudian dibelinyalah dari anak-anak Hemor, bapa SIkhem sebidang tanah, tempat ia memasang kemahnya, dengan harga serratus kesita. Ia mendirikan mezbah disitu dan dinamanya itu: “Allah Israel ialah Allah.”
Menurut kitab Kejadian 48: 22, Yakub memberikan sebagian besar tanahnya kepada anaknya Yusuf di wilayah:
“Dan sekarang aku memberikan kepadamu sebagai kelebihanmu dari pada saudara-saudaramu, suatu punggung gunung yang kurebut dengan pedang dan panahku dari tangan orang Amori.”

Dalam bahasa Ibrani diterjemahkan sebagai “bagian” pada ayat ini adalah Sikhem (memiliki arti “pundak” tetapi merujuk pada “lereng gunung”). Para ahli seringkali melihat teks ini sebagai kiasan untuk bagian dari tanah yang Yakub beli dekat dengan Sikhem. Keterangan sigfinikan lainnya dalam Alkitab bahasa Ibrani ada pada kitab Yosua 24: 32:
“Tulang-tulang Yusuf, yang dibawa orang Israel dari Mesir, dikuburkan mereka di Sikhem, di tanah milik yang dibeli Yakub dengan harga serratus kesita dari anak-anak Hemor, bapa Sikhem, dan ditentukan bagi bani Yusuf menjadi milik pusaka mereka.”

Ini merupakan hal yang menarik dikarenakan tidak ada acuan pada perjanjian lama yang menjelaskan bahwa siapa yang teleh menggali sumur yang diberikan nama Yakub, apakah Yakub sendiri atau para leluluh yang lainnya yang pernah tinggal di daerah tersebut. Boers memiliki opini yang menjelaskan bahwa seorang Palestina Targum pada kitab Kejadian 28: 10 kemungkinan memberikan suatu petunjuk pada cerita tersebut. Targum ini menyebutkan bahwa ada lima tanda yang ditunjukan oleh Yakub, kelima tanda tersebut adalah: “Setelah Yakub telah mengangkat batu dari mulut sumur, air sumur tersebut kemudian naik ke permukan tanah dan mengalir dan aliran sumur tersebut terjadi selama dua belas tahun lamanya: sepanjang hari Yakub bergumul di Haran.”
            Penulis dari Injil Yohanis sudah lebih dulu mneyadari akan kekayaan dari kumpulan adat istiadat yang dijelaskan terjadi pada latar geografis tersebut. Kesadaran ini memperjelas narasi secara eksplisit dengan adanya pertanyaan perempuan Samaria kepada Yesus: “Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya.” Leon Morris mengindikasi bahwa “Tidak bisa diragukanlagi bahwa Perjanjian lama mengambil bagian besar pada pikiran para penulis. Ia telah secara jelas membaca dengan baik dan merenungkannya sangat lama.” Tempat yang paling terkenal pada tradisi Perjanjian Lama dalam Injil Yohanes olehkarenanya memiliki hubungan dengan berbagai macam komentator untuk tujuan retorikal itu sendiri. Herman Ridderbos, contohnya, menuliskan:
“Tidak hanya tradisi gereja mula-mula saja, tetapi juga isi dari Injil itu sendiri secara jelas menunjuk pada perkembangan sejarah dalam hal Injil telah menjadi SItz im Leben dan yang mana dapat diterima dengan logika. Terkhusus hubungan yang berkelanjutan dengan adanya pertentangan dengan “orang Yahudi,” sebuah tema pokok yang mempengaruhi secara utuh tentang Identitas Yesus… Pertentangan tajam ini dengan “Orang Yahudi” telah terlihat dalam konteks yang memposisikan gereja Kristen kemudian sebagaimana gereja terdahulu yang mempertentangkan bangkitnya gereja Yahudi setelah kehancurannya di Yerusalem… Atas pertentangan tersebut, jemaat mula-mula sebagian menjauhkan dirinya: dan mempertanyakan apakah Yesus adalah Kristus? Dan bagaimana bisa Kristus yang harusnya ada dalam diriNya, berkinkarnasi, dan menjadi pengantar dan mati di atas kayu salib tidak menyesuaikan dirinya dengan apa yang orang Yahudi bayangkan oleh mereka dan tidak bisa meyakinkan mereka sebagai Mesias?... Sejarah ini memposisikan gereja sebagai vis-à-vis gereja Yahudi mungkin menjadi alasan dilakukannya penginjilan yang berfokus kepada keseluruhan sejarah yang memiliki arti pribadi Yesus itu sendiri, dan mungkin merupakan standard dan seleksi yang penting bagiNya sebagai materi dan dasar pembangunan InjilNya.

Pandangan ini dipakai dalam Perjanjian Lama pada kitab Injil Yohanes (dan oleh karena itu konteks dari garis keturunan patriarki disebutkan dalam Injil Yohanes) menekankan bahwa analisis retorika pragmatic hanya digunakan sekali dan terbatas pada dinamika yang ada di dalam narasi ini, akan tetapi  satu fokus lagi dalam analisis ini terpada pada interaksi yang seharusnya sesuai dengan interpertasi asli pada konteksnya. Selain itu, tidak hanya sau pertanyaan, apa pengaruhnya garis keturunan patriatki/leluhur yang disinggung dalam pembincaraan antara Yesus dengan perempuan Samaria? Tidak hanya, apakah fungsi yang ingin ditonjolkan pada narasi ini mengenai perbincangan Yesus dengan perempuan Samaria selama proses komunikasi yang diinterpertasikan oleh para pembaca?
            Bagian kedua selanjutnya akan mencoba untuk menjawab kedua pertanyaan di atas dengan konsep keberlanjutan dan ketidak berlanjutan.

Dunia terbadi, tetapi dengan leluhur yang sama! Dari keberlanjutan kepada ketidakberlanjutan
Dari pendahuluan yang ditulis oleh penulis pada ayatnya yang ke 1 – 6 dalam narasi, perbincangan antara Yesus dan perempuan Samaria dimulai pada ayatnya yang ke 7.  Latar belakangnya mengenai inti dari bagian perbincangan yang terbangun adalah tentang air. Ketika Yesus meminta minum, latar belakang geografis pda narasi ini, nama tempatnya,  sumur Yakub adalah untuk membantu pembaca dapat menginterpertasikan secara logika. Pada awalnya, narasi ini menciptakan kisah dimana perempuan Samaria yang akan memberikan air agar bisa memuaskan rasa hasu karna kelelahan yang dialami oleh Yesus.
            Namun, respon dari perempuan Samaria ini justru membingungkan ekspektasi awal. Reaksi sebaliknya tercatat di ayat yang ke 9 dimana perempuan Samaria justru menjelaskan tentang permasalahan sosial budaya yang belum selesai dalam perbincanfan tersebut. Yesus membalasnya pada ayat yang ke 10 dengan membalikkan inti perbincangan yang meminta air tersebut, tetapi menjadi jelas bahwa air yang dibahas Yesus menjadi bermetamorfosis menjadi sesua yang lain, nama, hidup baru yang Yesus dapat berikan. Lagi, pada ayat yang ke 11, perempuan itu merujuk pada sosoal budaya selama pembicaraan berlangsung. Tetapi, sebagai mana cerita dan reaksi yang Yesus tunjukkan, dimana memiliki arti yang sangat dalam dapat terlihat antara pertanyaan awal pada ayat 7 dan pernyataan balasannya di ayat yang ke 10, satu agi yang jiga dapat dilihat dari makna yang dalam mengenai topik pembicaraan yang diangkat oleh perempuan Samaria tentang sosial budaya. Reaksinya pada ayat yang ke 9 menunjukan perbedaan antara mereka, sementara reaksinya pada ayat yang ke 12 meminta untuk memuktikan kedaulatanNya.
            Banyak komentator yang mengindikasikan bahwa orang Yahudi membangun suatu pertanyaan pada ayat yang ke 12 secara signifikan. Pertanyaan dimulai dengan me, bentuk dari kata pertanyaan yang negative, normalnya merupakan suatu permulaan pertanyaan retorika yang mengharapkan jawaban yang negative pula. Pertanyaan perempuan Samaria pada ayat yang ke 12 dapar di parafrasekan: “Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub?” pertanyaan ini mempertanyakan implikasi dari tidak adanya kedaulatan Yesus sebelum perempuan Samaria itu tahu. Perempuan itu tidak memandang bahwa air yang Yesus janjikan lebih berharga dari air yang diberikan leluhurnya Yakub dari sumur di Sikhar tersebut.
            Secara garis besar dari komentar pada Injil Yohanes mengarah kepada cerita dinamis yang menyatakan suatu pertentangan antara orang Yahudi dan Samaria dan sudah menjadi hal yang menjadi sorotan karena respon dari perempuan tersebut. Sejarah antara ketegangan Yahudi dan Samaria sudah sangat diketahui oleh pembaca Injil Yohanes. Ini bukanlah sesuatu yang penting untuk diangkat edan dibahas mengenai kebencian yang ada antara Yahudi dan Samaria disini. Namun, hal ini menjadi penting untuk ditekankan oleh perempuan Samaria, dalam reaksinya, yang memfokuskan adanya perbedaan antara dirinya dan Yesus. Ia ingin fokus pada ketidakberlanjutan dan perbedaan. Setelah perbincangan tersebit, dalam ayat ke 20, ia mengangkat lagi pembicaraan tentang tempat untuk menyembah sebagai percobaan penekanan lainnya tentang ketidakberlanjutan. Bahwa reaksi yang disajikan dari tujuan perbincangan tersebut hanya menekankan permasalahan ketidakberlanjutan sosial budaya dan juga implikasi dari agama kepercayaan.
            Ironsnya, tentu, bahwa pembaca mendengarkan perbincangan ini (telah didahulu dengan penjeasan tempat, dimana terjadi dengan latar tempat di sumut Yakub di Sikhar) penuh dengan kesadaran bahwa faktanya Yahudi dan Samaria memiliki kesamaan sejarah. Dengan menyebutkan nama dari leluhurnya Yakub dan Yusuf, sama seperti dalam indikasi latar geografis, penulis telah mempersiapkan agar pembaca dapat menguji reaksi perempuan yang bukanlah sebuah pendapatnya. Walaupun perempuan tersebut protes melawan perbedaan dan ketidakberlanjutan antara Yesus dan dirinya, latar dari narasi tersebut berbicara lebih tentang keberlanjutan.
            Hal ini menjadi menarik bahwa Yesus tidak memiliki reaksi apapun kepada perempuan yang menguji Yesus dengan jawabannya terhadap pertanyaannya tersebut tentang ketidakberlanjutan adat antara Yahudi dan Samaria. Ia lebih mefokuskan kembali pada perbincangan yang mengarah kepada metamorphosis dari air hidup. Kemungkinan inilah yang menjadi pertanyaan kenapa perempuan tersebut sadar bahwa ia tidak akan mendapatkan lebih jauh dengan penilaiannya terhadap perbedaan sosial budaya. Reaksinya pada ayat ke 11 mulanya diikuti dengan garis pendahuluan bahwa Yesus (nama dan tema pokok air hidup), tapi perempuan itu memformulasikan sudut pandangnya dengan ketidakberlanjutan dari isu yang muncul sebagaimana dijelaskan pada ayat 12. Signifikansi ini, bagaimanapun juga, menjelaskan bahwa perempuan ini mengarahkan dirinya pada symbol keberlanjutan Yahudi dan Samaria baik dari nama, dan kisah leluhur yang mempunya sumur di Sikhar yang sesungguhnya.

Memiliki tradisi dan leluhir yang sama, tapi berbeda! Dari keberlanjutan kepada ketidakberlanjutan
Sudah jelas sekarang dari penjelasan di atas bahwa narasi yang membawa pertanyaan perempuan pada ayat 12 ini adalah suatu pergerakan dari ketidakberlanjutan menjadi keberlanjutan. Reaksi Yesus (ayat 10) kepada penekanan perempuan terhadap ketidakberlanjutanini (ay. 9) menunjukan bahwa Ia tidak menginginkan fokus perempuan itu  pada siapa diri dan asalNya, melainkan kepada air hidup yang dapat memberikan kehidupan kepadanya. Yesus membawa sudut pandang yang lain dimana perempuan tersebut menguji Dia dengan cara yang biasa pada konteksnya, baik dari segi nama dan adat istiadat leluhur.
            Bagaimanapun juga, sampai pada titik ini pada perbincangan tersebut, Yesus memulainya dengan mengarah kepada ketidakberlanjutan yang lainnya. Reaksinya pada ayat 13 – 14 kepada pertanyaann perempuan atas kedaulatanNya, Yesus menyatakan bahwa ada suatu perbedaan kualitatif antara air yang dapat diberikan pada leluhur dan air yang dapat Yesus berikan. Ridderbos menjelaskan reaksi Yesus sebagai berikut:
Ia … menerangkan air dari sumur Yakub dengan pemberianNya. Ia tidak menghukum pemikiran perempuan pada awalnya yang telah keliru. Ia juga bahkan memulai perbincangan dengan meminta aitr dari perempuan. Namun ada efek keterbatasan. Hal ini hanya memberikan kepuasan sementara kepada seseorang. Secara alami dalam kasus ini, penjelasan Panjang ini diulang untuk menekankan kepada karuniaNya – yang dapat mengurangi rasa haus seseorang selamanya, air yang tidak akan pernah habis, akan selalu ada dan tersedia, menjadi musim semi kehidupan, mengisi kebutuhan air dalam diri. Bukan seperti air yang hanya sekali habis dimunum yang akan memuaskan, tetapi tidak seperti karunia Tuhan yang bisa memuaskan selamanya, memberikan pembaruan diri dan kesegaran dalam hidup.
Dengan menggunakan perumpamaan air pada perbincangan ini, Yesus berhasil memperkenalkan diriNya dengan perempuan itu sebagai seseorang, dengan tradisi yang diturunkan oleh Yakub yang menyediakan makna dari air. Namun, pernyataan bahwa air tersebut adalah air yang dapat memberikan kehidupan, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Yakub yang baru. Ia membawa kehidupan untuk umatNya seperti yang para leluhurnya lakukan dengan memberika tanah dan air, tetapi lebih lagi dengan cara yang berbeda. Walaupun ia berdiri dia atas keberlanjutan dengan tradisi leluhurnya, ia juga menjelaskan dengan berbeda mengenai ketidakberlanjutan tersebut.

Lebih dari seorang Pendengar
Kemajuan dalam perbincangan sejauh ini adalah yang paling signifikan untuk para pendengar dan pembaca Ijil Yohanes. Eugene Botha menyatakan: “pada pasal 4 ayat 13 – 14, penulis ingin memastikan bahwa pembaca tidak mengikuti perempuan itu dengan penjelasan empatinya kepada perkataan Yesus menjelaskannya terlebih dahulu. Pembaca seharusnya memahami sudut pandang Yesus, bukan karakter perempuan tersebut. Karakter memanipulasi dari penyajian Injil dari pembicaraan yang seharusnya menjadi nilai yang ditelaah lebih lanjut. Makna berbelit yang dimainkan antara keberlanjutan dan ketidakberlanjtan ini, semakin penulis memberikan implikasi pada poin tersebut, semakin berpengaruhnya juga kepada kesimpulan yang diambil oleh pembaca mengenai siapa Yesus sebenarnya. Peran perempuan ini menunjukan adanya penekanan perbedaan. Ketidakberlanjutan antara dirinya dan Yesus diformulasikan dalam kategori sosialbudaya: Yesus adalah seorang Yahudi dan perempuan itu adalah seorang Samaria, perbedaan lainnya adalah laki-laki dan perempuan. Sumur Yakub adalah tempat pertemuan antara dua kebudayaan. Samapai pada titik ini, perempuan ini menekankan adanya perbedaan yang sangat jelas dan tidak berlanjut.
            Tetapi reaksi Yesus tidak terpancing pada penekanan perbedaan tersebut. Reaksi keduanya  (ay.10, 13), Ia menyatakan bahwa air yang Ia tawarkan bukanlah hal yang sama sebagaimana dimaksud oleh perempuan. Seperti pendapat Botha: “Karena air ini berbeda dengan air yang alam berikan. Pertanyaan yang dilontarkan perempuan Samaria berkaitan dengan kemampuannya dan berhubungan dengan kedaulatan Yesus yang dibandingkan dengan Yakub tidaklah sah.” Reaksi Yesus menggunakan latar tempat yaitu sumur Yakub sangatlah berbeda. Ia juga menekankan adanya ketidakberlanjutan, tetapi bukan kepada ketidakberlanjutan sosial budaya antara Yahudi dan Samaria. Yesus memfokuskan ketidakberlanjutan antara peran pada leluhur yang sama, yaitu Yakub yang menyedian kehidupan secara fisik, dan diriNya sebagai pemberi kehidupan secara spiritual untuk kehidupan. Sumur Yakub, berdasarkan respon Yesus, adalah pertemuan antara perjanjian lama dan perjanjian baru, antara tradisi yang mempersiapkan jalan Tuhan kepada keselamatan dengan Jalan keselamatan yang akan terpenuhi dan terpenuhinya keselamatan di dalam Yesus.
            Selama dalam konteks pertama yang pendengar dan pembaca dari Injil Yohanes, corak yang ironis ini bagi cerita Yesus akan tentunya memberikan penjelasan yang signifikan. Dengan pernyataan mengenai perbincangan antara Yesus dan perempuan Samaria dalam konteks garis keturunan patriarki di Sumur Sikhar, pendengar dan pembaca tidak hanya dibawa kepada penyediaan jawaban yang baru berkaitan dengan Yesus tetapi juga lebih kepada pertanyaan baru. Penekanan retorika pada narasi ini disimpulkan oleh Botha sebagai berikut: “Dengan menggunakan konsep air pada konteks, misi dan indentitas Yesus dapat disimpulkan untuk kepentingan dari pembaca. Walaupun tidak ada informasi yang berkaitan dengan misi Yesus yang sudah ditawarkan, ungkapan ini disajikan untuk membuat dialog dapat terlihat secara utuh dalam persepsi si pembaca. Dimana Yesus menghampiri perempuan yang sepenuhnya bersalah pada awalnya, situasi sekarang justru dibenarkan untuk tujuan selanjutnya. Kemajuan dari narasi (dari ketidakberlanjutan bahwa penekanan perempuan tersebut kepada ketidakberlanjutan pernyataan Yesus) menghantarkan pembaca untuk menyadari bahwa Yesus tidak sesuai dengan gambaran perbedaan sosial budaya yang ada. Yesus yang adalah dan yang ia lakukan tidak berfungsi secara sosial budaya yang terputus. Identitasnya seharusnya dipenuhi berdasarkan janji yang para leluhurnya pernah mengakatakan semasa hidup mereka, akan tetapi secara radikal  Yesus adalah Yakub yang baru dengan cara yang baru.
Pesan ini tentunya sudah menjadi hal yang penting untuk diperhatikan bagi jemaat Kristen mula-mula di pertengahan abad pertama setelah masa Kristus hidup. Setelah kejatuhan Yerusalem ke tangan pemerintahan Roma dan dengan perkembangan gereja non-Yahudi di wilayah masyakarat Mediteranian, sudah menjadi bagian yang penting dalam proses mengindentifikasi formasi didalam seuatu komunias Kristen yang seharusnya mencerminkan identitas Yesus. Banyak komentator yang menyatakan bahwa Injil Yohanes bermain bagian yang penting dalam proses pengenalan ini. Makna dari Yesus untuk komunitas Kristen, berlangsung di lingkungan keanekaragaman budaya, tentunya terformulasikan dalam cara yang kreatif dengan mengartikan narasi Injil tentang Yesus yang dipertemukan dengan perempuan Samaria di sumur Yakub. Cerita ini menjadi semakin jelas bahwa bagian dari identitas seorang Kristen adalah mengesampingkan ketidakberlanjutan hubungan diantara perbedaan sosial budaya dengan bersaksi bahwa pemberi kekuatan hidup adalaj Yesus yang telah memenuhi janji keselamatan pemberian Tuhan dalam diriNya seperti yang diceritakan oleh para leluhur. Agama Kristen oleh karena itu menetapkan baik itu berlanjut dan terputus dengan Yudaisme. Pada awal mula jemaat gereja Kristen mula-mula, mereka semua berasal dari keluarga dengan latar belakang agama Yahudi atau orang kafir, yang kemudian menyadari bahwa Yesus juga berasal dari tradisi yang sama sebagai garis keturunan patriarki, akan tetapi kemudian dengan cara yang radikal. Air yang ia berikan sangat berbeda secara radikal dengan air yang ada pada sumur Yakub. “Barangsiapa meminum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan hasu untuk selam-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (ay. 13 – 14)

Membaca dari konteks yang berbeda
Keberagaman budaya dan pembacaan Alkitab
Pada masa jemaat Kristen mula-mula, tentunya, bukan pembaca terakhir dari percakapan ini dan dari Injil Yohanes. Setelah proses kanonisasi Injil dan kitab Perjanjian Baru, berbagai macam interpretasi tradisi mulai bermunculan dan tradisi tersebut terus berlanjut sampai dengan hari ini. Tanpa kanonisasi, perjalanan panjang tradisi tidak akan menjadi penting untuk interpertasi sementara, karena pendapat yang akan terjadi nantinya memberikan contoh interpertasi sementara. Fokusnya akan menjadi bagaimana dinamika keberlanjutan dan ketidakberlanjutan bergema pada konteks sosial budaya pada zaman ini. Contohnya dapat diambil dari pembacaan laporan berita dari berbagai proyek internasional kelompok pendalaman Alkitab di luar budaya pembacaan Alkitab. Melalui cara pandang yang lain. Satu yang membedakan berkaitan dengan perbedan antara tingkatan pembacaan antar kebudayaan: Saat pembacaan Alkitab singkat, dari lingkungan sosial budaya modern, pembacaan alkitab, yang seringkali menjadi asing, karena perjalanan sosial budaya antara konteks lama dan baru. Pembacaan Alkitab zaman sekarang secara kontekstual mempunyai maksud mempertemukan antar budaya. Bagaimanapun, ketika pembacaan Alkitab zaman sekarang yang berasal dari konteks sosial budaya yang berbeda membacanya secara bersamaan, hal itu akan menciptakan tingkatan yan berbeda yang mempertemukan antar budaya. Hal ini akan membuat pembaca modern akan dua kali lebih menjadi asing karena adanya perbedaan yang cukup jauh antara konteks sosial budaya yang terdahulu yang dipertemukan dengan tradisi interpertasi zaman ini. Proyek pembacaan alkitab dari sudut padang lain secara garis besarnya merupakan tipe dari pembacaan pendalaman Alkitab.
            Teks penjelasan di atas menjelaskan bahwa proyek pendalaman Alkitab Injil Yohanes 4. Sebelum menganalisis lebih lajut menenai beberapa interpertasi dari teks ini, sangat penting terlebih dahulu untuk merefleksikan hubungan antar budaya yang mempengaruhi proses pembacaan pendalaman Alkitab. Dengan penjelasan adanya perbedaan pemikiran yang jelas, setidaknya hubungan antar budaya dapat dilihat dengan latihan pembacaan Alkitab dengan melihat hal sebagai berikut: (1) adanya hubungan komunikasi antara Yesus dan perempuan Samaria, (2) hubungan antar budaya antara kondisi sesungguhnya dari Kitab Yohanes 4 dan dunia zaman sekarang (kelompok kristen mula-mula/ keanekaragaman konteks sosial budaya kristen modern) dan (3) hubungan antara sosial budaya dunia pada saat itu yang berbeda dengan zaman sekarang.
            Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai perbedan aspek percakapan yang menggambarkan bagian (1) penekanan berbeagai pembaca zaman ini. Saya akan memberikan pendapat yang berbeda pada bagian ini kemudian dapat diukur referensi perbedaan di dalamnya (2) secara nama, jarak sosial budaya antara dunia dalam Alkitab dan dunia pembaca pada zaman sekarang. Pada bagian selanjutnya, satu contoh percakapan juga akan menggambarkan mengenai (3) penjelasan lebih lanjut mengenai penentuan dinamika dalam percakapan.

Antar budaya dapat diukur dari antara teks dan pembaca saat ini
Latar keturunan patriark dalam percakapan Yohanes 4 menyediakan poin permulaan dari beberapa kecenderungan pembacaan Alkitab yang ada pada situs proyek pendalaman Alkitab dari sudut pandang yang lain. Walau hal itu mungkin (dan diperlukan) untuk merefleksikan sisi uajg lainnya, namun fokus pada diskusi akan menjadi terbatas pada lingkup yang tertulis saja yang mana secata garis besarkan akan diinterpertasikan pada dua poin terakhir yang dijelaskan di bawah ini.
            Ketidakberlabjutan antara Yahudi dan Samaria.  Dalam interpertasi mereka, sebagian besar kelompok merujuk ketidakberlanjutan hubungan antara sosial budaya Yahudi dan Samaria (Pertanyaan yang disinggung oleh perempuan Samaria pada ayat 9). Umumnya, aspek ini akan menginterpertasikan percakapan (sejalan dengan para ahli zaman dulu) sebagaimana dengan latar belakang yang menekankan identitas dari Yesus. Bagaimanapun, hanya sebagian kelompok (yang mana hanya Sekolah Alkitab Sokhanya, Cape Town, Arika Selatan yang dapat memberikan contoh terbaiknya), yang dapat menjelaskan adanya ketidakberlanjutan hubungan antara Yahudi dan Samaria secara politik dan ras dengan pantas dalam konteks mereka sendiri. Beberapa pembaca, pada sumur Yakub dapat diinterpertasikan sebagai symbol dari terjadinya rekonsiliasi.
            Ketidakberlanjutan perbedaan strata Gender. Dari beberapa kelompok (contohnya dari kelompok pendalaman Alkitab di Makasar, Indonesia memberikan contoh yang baik), ketidakberlanjutan hubungan antara laki-laki dan perempuan menunjukan percakapan pada Injil Yohanes 4 dapat diambil sebagai titik permulaan konteks yang sensitif antara strata laki-laki dan perempuan.
            Latar leluhur.. Pada sebagian kecil pembacaan Alkitab, ketiga sudut padang yang diambil atas ketidaksinambungan sosial budaya antara Yesus dan perempuan. Pada laporan kali ini, latar para leluhur dan secara eksplisit dijelaskan dalam bentuk patriarki dari interpertasi yang mereka berikan. Kedua contoh pada tipe ini diinterpertasikan pada kelompok dari Harcourt, Nigeria dan Pendalaman Alkitab Siyaphila, Afrika Selatan.
            Pada penjelasan yang diberikan oleh kelompok Port Harcourt, Nigeria, berikut ini adalah laporan mengenai metode konteks pembacaan Alkitab:
Secara kontekstual, injil Yohanes 4 yaitu pada perspektif budaya Afrika. Sampai pada akhirnya, satu orang telah dipilih untuk mempersiapkan bagian secara tekstual atau ayat yang memiliki nilai yang tidak sesuai dengan aspek nilai budaya di Afrika seperti kesopansantunan, keleluhuran, seorang ibu dan perempuan, pernikahan lebih dari satu pasangan/polihami dan sistem Osu cate di Igboland atau diamanapun di Afrika. Kelompok ini kemudian mendiskusikan pada aspek tersebut. Anggota dari kelompok masing-masing membawa benda yang akan menjadi perumpamaan dalam pendalaman Alkitab tersebut seperti botol air mineral, sebuah salib, sebuah lilin dan satu potong baju putih. Kemudian kelompok tersebut mempertimbangkan alat bantu tersebut sebagai simbol seperti hidup, kekudusan dan terang, yang mana merupakan pancaran dari Kristus dalam hidup seorang Kristen. Selain itu, para anggota dalam grup tersebut membawa alat bantu seperti Ikenga atau Ofo, pajangan sapi, pot keramik, bulu unggas dan alat bantu lain yang merupakan simbol dari kepercayaan yang diterima oleh para leluhur berdasarkan latar budaya di Afrika. Kelompok tersebut memberikan atmosfir yang menyenangkan pada saat pendalaman Alkitab seperti kedalaman berpirkir, tertawa dan simpati emosi dengan perempuan Samaria, ketika perempuan tersebut digambarkan memiliki kepercayaan yang kuat pada tradisinya dengan para leluhur dan tempat penyembahan… pembacaan teks pada Injil Yohanes 4 membangkitkan pemikiran yang menarik, ingatan dan pengalaman bagi setiap individu yang ada pada kelompok pendalaman Alkitab tersebut. Ayat tersebut mengingatkan para anggotanya dengan aspek yang beraneka ragam dari latar belakang nilai budaya di Afrika dan pengamalannya baik dari segi nama leluhur dan permasalahan yang ada pada system Osu caste system di Igoland seperti poligami, kesopansantunan dan tentang perempuan dan seorang ibu.
Degan rujukan sebagaimana trcantum oada ayat 10 dan 22, kelompok tersebut menyimpulkan bahwa:
Tidak dapat diragukan lagi kejelasannya bahwa, baik secara alkitabah dan tradisi budaya di Afrika, setiap orang berpegang pada budaya leluhurnya. Oleh sebab itu, perempuan Samaria tidak ada perkataan Samaria yang mematahkan hubungan kepercayaan dengan para leluhurnya kepada Yesus, kepercayaann kepada luluhur yang sudah mengakar kuat dan selalu dia ingat dengan menanyakan: “Adakah Engkau lebih besar dari bapa leluhur kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami?” Lebih jauh lagi pada ayat 20, perempuan tersebut mengatakan: “leluhur kami menyembah di gunung ini” Perkataan ini sebagian mengingatkan para anggota kelompok tentang kegigihan para leluhur pada kearifan local setempat. Faktanya, para leluhur merupakan kunci dari kepercayaan dan budaya yang ada di Afrika. Oleh sebab itu, mereka menyembah leluhur yang sudah tiada. Pada teks ini, perempuan Samaria digambarkan seperti nabi bagi para leluhur. Kelompok tersebut melihat teks pada Yohanes 4 sebagai pemahaman yang signifikan dan biasa bagi pemahaman orang Kristen. Tentu saja, Yesus adalah air hidup bagi para leluhur yang sudah tidak ada terlebih dahulu di komunitas mereka. Tidak diragukan lagi bahwa gambaran Yesus yang juga adalah Tuhan bagi para leluhur semakin bergema pada Injil Yohanes. Konsekuensinya, setiap orang Kristen di Afrika pada akhirnya meyakini bahwa Yesus adalah teladan hidup sehari karena Ia adalah Tuhan. Seperti halnya dengan perempuan Samaria yang menyatakan bahwa Yakub adalah bapa leluhur, orang Kristen hari ini di Afrika berpegang teguh kepada Kristus yang adalah Leluhur yang sesungguhnya yang mereka percaya. Ini sangat signifikan.

No comments:

Post a Comment