YESUS DIANTARA PARA
LELUHUR
Keberlanjutan
dan ketidakberlanjutan
Luis
Jonker
Nama
orang dan tempat dalam narasi Alkitab normalnya tidak
“bersalah.” Hal tersebut biasanya dijadikan sebagai alat untuk menonjolkan
karakteristik dan orientasi secara geografis. Bagaimanapun, nama dan tempat
dijelaskan karena memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu untuk membangun kesatuan
pada masing-masing nama keturunan yang sama. Menggunakan nama sebagai pelabuhan
masuknya kesatuan dunia yang luas, penulis secara rumit dan eksplisit
menyediakan pertentangan di masa datang agar cerita mereka dapat dipahami.
Perspektif ini dalam pribadi dan
nama tempat dalam cerita telah diperhitungkan untuk pendekatan para cendekiawan
dalam menginterpertasikan Alkitab. Contohnya, dalam pendekatan yang
menganalisis Alkitab berdasarkan pada literatur ilmiah, para ahli mengindikasikan
bahwa nama-nama tersebut (nama lengkap pribadi, dalam catatan khusus)
seringkali dijadikan sebagai alat untuk menyediakan informasi penting untuk
dapat memahami alur pada suatu narasi. Bagaimanapun, dalam pendekatan ini, pemikiran
metodologi atas penggunaan nama dalam narasi Alkitabiah tidak selalu memberikan
alasan untuk fungsi retorika pragmatis nama-nama tersebut dalam proses
penyampaian yang mana menjadi bagian dari sebuah narasi. Pendekatan lainnya
mengindikasikan bahwa penggunaan nama pada literatur (terkhususnya narasi) tidak
hanya menjelaskan dinamika dalam narasi, tetapi juga mensituasikan dalam
konteksnya penyampaian suatu sosial budaya. Penjelasan mengenai diri seseorang
dan nama tempat kemudian terlihat sebagai alat yang menjadi bagian yang secara
tekstual dapat meyakini dan mempengaruhi para pembaca.
Artikel ini terutama akan memperhatikan
keberadaan dari seorang pribadi bernama Yakub dan nama tempat yaitu Sikhar pada
narasi yang tertulis dalam kitab Yohanes 4. Pada ayatnya yang ke 5 – 6, penulis
pada cerita ini memberikan informasi geografis:
“Maka sampailah
Ia ke sebuah kota di Samaria, yang bernama Sikhar dekat tanah yang diberikan
Yakub dahulu kepada anaknya, Yusuf. Di situ terdapat sumur Yakub. Yesus sangat
letih oleh perjalanan, karena itu Ia duduk dipinggir sumur itu. Hari kira-kira
pukul dua belas.”
Pada
ayatnya yang ke 12, penulis dalam cerita ini menjelaskan kepada kita bahwa
seorang perempuan Samaria mengatakan bahwa leluhurnya, Yakub:
“Adakah Engkau
lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami
dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan
ternaknya?”
Walaupun
para leluhur tidak disebutkan namanya pada ayat yang ke 20, ayat ini secara
lebih dekat dengan kutipan pada ayat tersebut di atas yaitu:
“Nenek moyang
kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusamelmlah
tempat orang menyembah”
Setelah
mendalami bagaimana ketidakberlanjutan dan keberlanjutan antara garis keturunan
laki-laki secara kontektual dan hidup dan arti dari Yesus yang menciptakan
latar retorika ini berdasarkan narasi pada Yohanes 4, Saya akan menguji
bagaimana berbagai kelompok pendalaman Alkitab menginterpertasikan garis
Patrial ini/ Latar belakang leluhur yang telah mereka baca pada narasi ini
sebagai bagian dari partisipasi dalam proyek pembacaan Alkitab lintas budaya.
Yesus dalam
ke(tidak)berlanjutannya sejarah Patriarki
Yesus
di Sumur Yakub dekat dengan Sikhar.
Yohanse
4 dimulai dengan adanya indiasi bahwa Yesus meninggalkan Yudea untuk pergi ke
Galilea. Dalam perjalananNya, Ia telah melewati daerah Samaria dimana Ia pergi
ke sebuah daerah yang bernama Sikhar. Kota ini secara cepat dikhususkan pada
teks ini, dan bahkan semakin diperjelas “dekat dengan tanah yang diberikan
Yakub kepada anaknya Yusuf”; “Sumur Yakub ada di tempat tersebut.” Kota Sikhar
telah diidentifikasi oleh berbagai macam ahli dengan model desa modernnya Askar
di bawah kaki gunung Ebal dekat Nabulus. Hendrikus Boers benar, bagaimanapun,
saat ia berpendapat bahwa “informasi geografis yang tercantum tidak memiliki
signifikansi tersendiri. Signifikasinya hanyalah nama tempat pada narasi,
penjelasan latar tempat hanya dalam kondisi suat kejadian pada cerita tersebut
berlangsung. Dalam percakapan yang tidak terbentang antara Yesus dan perempuan
Samaria, telah menjadi jelas mengenai apa yang dimaksud dengan “Air Hidup” dan
“tempat menyembah.” Boers oleh karena itu menlanjutkan, “Desa itu sendiri tidak
terlalu signifikan pada cerita. Yang terpenting adalah lokasi yang berdekatan
dengan sumur dan gunung. Pendapat tersebut kemudian juga memotivasi Friedhelm
Wessel yang menyatakan bahwa “topografi pada narasi merepresentasikan kepada
kita sebagai topografi secara teologikal.
Lokasi Sikhar memiliki sejarah yang
kuat akan garis keturunan Patriarki. Dalam kitab Kejadian 33: 18 – 20
menyebutkan sebagai berikut:
“Dalam
perjalanannya dari Padan-Aram sampailah Yakub dengan selamat ke Sikhem, di
tanah Kanan, lalu ia berkemah di sebelah timur kota itu. Kemudian dibelinyalah
dari anak-anak Hemor, bapa SIkhem sebidang tanah, tempat ia memasang kemahnya,
dengan harga serratus kesita. Ia mendirikan mezbah disitu dan dinamanya itu:
“Allah Israel ialah Allah.”
Menurut
kitab Kejadian 48: 22, Yakub memberikan sebagian besar tanahnya kepada anaknya
Yusuf di wilayah:
“Dan
sekarang aku memberikan kepadamu sebagai kelebihanmu dari pada
saudara-saudaramu, suatu punggung gunung yang kurebut dengan pedang dan panahku
dari tangan orang Amori.”
Dalam
bahasa Ibrani diterjemahkan sebagai “bagian” pada ayat ini adalah Sikhem
(memiliki arti “pundak” tetapi merujuk pada “lereng gunung”). Para ahli
seringkali melihat teks ini sebagai kiasan untuk bagian dari tanah yang Yakub
beli dekat dengan Sikhem. Keterangan sigfinikan lainnya dalam Alkitab bahasa Ibrani
ada pada kitab Yosua 24: 32:
“Tulang-tulang
Yusuf, yang dibawa orang Israel dari Mesir, dikuburkan mereka di Sikhem, di
tanah milik yang dibeli Yakub dengan harga serratus kesita dari anak-anak
Hemor, bapa Sikhem, dan ditentukan bagi bani Yusuf menjadi milik pusaka
mereka.”
Ini
merupakan hal yang menarik dikarenakan tidak ada acuan pada perjanjian lama
yang menjelaskan bahwa siapa yang teleh menggali sumur yang diberikan nama
Yakub, apakah Yakub sendiri atau para leluluh yang lainnya yang pernah tinggal
di daerah tersebut. Boers memiliki opini yang menjelaskan bahwa seorang
Palestina Targum pada kitab Kejadian 28: 10 kemungkinan memberikan suatu
petunjuk pada cerita tersebut. Targum ini menyebutkan bahwa ada lima tanda yang
ditunjukan oleh Yakub, kelima tanda tersebut adalah: “Setelah Yakub telah
mengangkat batu dari mulut sumur, air sumur tersebut kemudian naik ke permukan
tanah dan mengalir dan aliran sumur tersebut terjadi selama dua belas tahun
lamanya: sepanjang hari Yakub bergumul di Haran.”
Penulis dari Injil Yohanis sudah
lebih dulu mneyadari akan kekayaan dari kumpulan adat istiadat yang dijelaskan
terjadi pada latar geografis tersebut. Kesadaran ini memperjelas narasi secara
eksplisit dengan adanya pertanyaan perempuan Samaria kepada Yesus: “Adakah
Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada
kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan
ternaknya.” Leon Morris mengindikasi bahwa “Tidak bisa diragukanlagi bahwa
Perjanjian lama mengambil bagian besar pada pikiran para penulis. Ia telah
secara jelas membaca dengan baik dan merenungkannya sangat lama.” Tempat yang
paling terkenal pada tradisi Perjanjian Lama dalam Injil Yohanes olehkarenanya
memiliki hubungan dengan berbagai macam komentator untuk tujuan retorikal itu
sendiri. Herman Ridderbos, contohnya, menuliskan:
“Tidak
hanya tradisi gereja mula-mula saja, tetapi juga isi dari Injil itu sendiri
secara jelas menunjuk pada perkembangan sejarah dalam hal Injil telah menjadi
SItz im Leben dan yang mana dapat diterima dengan logika. Terkhusus hubungan
yang berkelanjutan dengan adanya pertentangan dengan “orang Yahudi,” sebuah
tema pokok yang mempengaruhi secara utuh tentang Identitas Yesus… Pertentangan
tajam ini dengan “Orang Yahudi” telah terlihat dalam konteks yang memposisikan
gereja Kristen kemudian sebagaimana gereja terdahulu yang mempertentangkan
bangkitnya gereja Yahudi setelah kehancurannya di Yerusalem… Atas pertentangan
tersebut, jemaat mula-mula sebagian menjauhkan dirinya: dan mempertanyakan
apakah Yesus adalah Kristus? Dan bagaimana bisa Kristus yang harusnya ada dalam
diriNya, berkinkarnasi, dan menjadi pengantar dan mati di atas kayu salib tidak
menyesuaikan dirinya dengan apa yang orang Yahudi bayangkan oleh mereka dan
tidak bisa meyakinkan mereka sebagai Mesias?... Sejarah ini memposisikan gereja
sebagai vis-à-vis gereja Yahudi mungkin menjadi alasan dilakukannya penginjilan
yang berfokus kepada keseluruhan sejarah yang memiliki arti pribadi Yesus itu
sendiri, dan mungkin merupakan standard dan seleksi yang penting bagiNya
sebagai materi dan dasar pembangunan InjilNya.
Pandangan
ini dipakai dalam Perjanjian Lama pada kitab Injil Yohanes (dan oleh karena itu
konteks dari garis keturunan patriarki disebutkan dalam Injil Yohanes) menekankan
bahwa analisis retorika pragmatic hanya digunakan sekali dan terbatas pada
dinamika yang ada di dalam narasi ini, akan tetapi satu fokus lagi dalam analisis ini terpada
pada interaksi yang seharusnya sesuai dengan interpertasi asli pada konteksnya.
Selain itu, tidak hanya sau pertanyaan, apa pengaruhnya garis keturunan
patriatki/leluhur yang disinggung dalam pembincaraan antara Yesus dengan
perempuan Samaria? Tidak hanya, apakah fungsi yang ingin ditonjolkan pada
narasi ini mengenai perbincangan Yesus dengan perempuan Samaria selama proses
komunikasi yang diinterpertasikan oleh para pembaca?
Bagian kedua selanjutnya akan
mencoba untuk menjawab kedua pertanyaan di atas dengan konsep keberlanjutan dan
ketidak berlanjutan.
Dunia terbadi, tetapi
dengan leluhur yang sama! Dari keberlanjutan kepada ketidakberlanjutan
Dari
pendahuluan yang ditulis oleh penulis pada ayatnya yang ke 1 – 6 dalam narasi,
perbincangan antara Yesus dan perempuan Samaria dimulai pada ayatnya yang ke
7. Latar belakangnya mengenai inti dari
bagian perbincangan yang terbangun adalah tentang air. Ketika Yesus meminta minum,
latar belakang geografis pda narasi ini, nama tempatnya, sumur Yakub adalah untuk membantu pembaca
dapat menginterpertasikan secara logika. Pada awalnya, narasi ini menciptakan
kisah dimana perempuan Samaria yang akan memberikan air agar bisa memuaskan
rasa hasu karna kelelahan yang dialami oleh Yesus.
Namun, respon dari perempuan Samaria
ini justru membingungkan ekspektasi awal. Reaksi sebaliknya tercatat di ayat
yang ke 9 dimana perempuan Samaria justru menjelaskan tentang permasalahan
sosial budaya yang belum selesai dalam perbincanfan tersebut. Yesus membalasnya
pada ayat yang ke 10 dengan membalikkan inti perbincangan yang meminta air
tersebut, tetapi menjadi jelas bahwa air yang dibahas Yesus menjadi
bermetamorfosis menjadi sesua yang lain, nama, hidup baru yang Yesus dapat
berikan. Lagi, pada ayat yang ke 11, perempuan itu merujuk pada sosoal budaya
selama pembicaraan berlangsung. Tetapi, sebagai mana cerita dan reaksi yang
Yesus tunjukkan, dimana memiliki arti yang sangat dalam dapat terlihat antara
pertanyaan awal pada ayat 7 dan pernyataan balasannya di ayat yang ke 10, satu
agi yang jiga dapat dilihat dari makna yang dalam mengenai topik pembicaraan
yang diangkat oleh perempuan Samaria tentang sosial budaya. Reaksinya pada ayat
yang ke 9 menunjukan perbedaan antara mereka, sementara reaksinya pada ayat
yang ke 12 meminta untuk memuktikan kedaulatanNya.
Banyak komentator yang
mengindikasikan bahwa orang Yahudi membangun suatu pertanyaan pada ayat yang ke
12 secara signifikan. Pertanyaan dimulai dengan me, bentuk dari kata pertanyaan yang negative, normalnya merupakan
suatu permulaan pertanyaan retorika yang mengharapkan jawaban yang negative
pula. Pertanyaan perempuan Samaria pada ayat yang ke 12 dapar di parafrasekan:
“Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub?” pertanyaan ini
mempertanyakan implikasi dari tidak adanya kedaulatan Yesus sebelum perempuan
Samaria itu tahu. Perempuan itu tidak memandang bahwa air yang Yesus janjikan
lebih berharga dari air yang diberikan leluhurnya Yakub dari sumur di Sikhar
tersebut.
Secara garis besar dari komentar
pada Injil Yohanes mengarah kepada cerita dinamis yang menyatakan suatu
pertentangan antara orang Yahudi dan Samaria dan sudah menjadi hal yang menjadi
sorotan karena respon dari perempuan tersebut. Sejarah antara ketegangan Yahudi
dan Samaria sudah sangat diketahui oleh pembaca Injil Yohanes. Ini bukanlah
sesuatu yang penting untuk diangkat edan dibahas mengenai kebencian yang ada
antara Yahudi dan Samaria disini. Namun, hal ini menjadi penting untuk
ditekankan oleh perempuan Samaria, dalam reaksinya, yang memfokuskan adanya
perbedaan antara dirinya dan Yesus. Ia ingin fokus pada ketidakberlanjutan dan
perbedaan. Setelah perbincangan tersebit, dalam ayat ke 20, ia mengangkat lagi
pembicaraan tentang tempat untuk menyembah sebagai percobaan penekanan lainnya
tentang ketidakberlanjutan. Bahwa reaksi yang disajikan dari tujuan
perbincangan tersebut hanya menekankan permasalahan ketidakberlanjutan sosial
budaya dan juga implikasi dari agama kepercayaan.
Ironsnya, tentu, bahwa pembaca
mendengarkan perbincangan ini (telah didahulu dengan penjeasan tempat, dimana
terjadi dengan latar tempat di sumut Yakub di Sikhar) penuh dengan kesadaran
bahwa faktanya Yahudi dan Samaria memiliki kesamaan sejarah. Dengan menyebutkan
nama dari leluhurnya Yakub dan Yusuf, sama seperti dalam indikasi latar
geografis, penulis telah mempersiapkan agar pembaca dapat menguji reaksi
perempuan yang bukanlah sebuah pendapatnya. Walaupun perempuan tersebut protes
melawan perbedaan dan ketidakberlanjutan antara Yesus dan dirinya, latar dari
narasi tersebut berbicara lebih tentang keberlanjutan.
Hal ini menjadi menarik bahwa Yesus
tidak memiliki reaksi apapun kepada perempuan yang menguji Yesus dengan
jawabannya terhadap pertanyaannya tersebut tentang ketidakberlanjutan adat
antara Yahudi dan Samaria. Ia lebih mefokuskan kembali pada perbincangan yang
mengarah kepada metamorphosis dari air hidup. Kemungkinan inilah yang menjadi
pertanyaan kenapa perempuan tersebut sadar bahwa ia tidak akan mendapatkan
lebih jauh dengan penilaiannya terhadap perbedaan sosial budaya. Reaksinya pada
ayat ke 11 mulanya diikuti dengan garis pendahuluan bahwa Yesus (nama dan tema
pokok air hidup), tapi perempuan itu memformulasikan sudut pandangnya dengan
ketidakberlanjutan dari isu yang muncul sebagaimana dijelaskan pada ayat 12.
Signifikansi ini, bagaimanapun juga, menjelaskan bahwa perempuan ini
mengarahkan dirinya pada symbol keberlanjutan Yahudi dan Samaria baik dari
nama, dan kisah leluhur yang mempunya sumur di Sikhar yang sesungguhnya.
Memiliki tradisi dan
leluhir yang sama, tapi berbeda! Dari keberlanjutan kepada ketidakberlanjutan
Sudah
jelas sekarang dari penjelasan di atas bahwa narasi yang membawa pertanyaan
perempuan pada ayat 12 ini adalah suatu pergerakan dari ketidakberlanjutan
menjadi keberlanjutan. Reaksi Yesus (ayat 10) kepada penekanan perempuan
terhadap ketidakberlanjutanini (ay. 9) menunjukan bahwa Ia tidak menginginkan
fokus perempuan itu pada siapa diri dan
asalNya, melainkan kepada air hidup yang dapat memberikan kehidupan kepadanya.
Yesus membawa sudut pandang yang lain dimana perempuan tersebut menguji Dia
dengan cara yang biasa pada konteksnya, baik dari segi nama dan adat istiadat
leluhur.
Bagaimanapun juga, sampai pada titik
ini pada perbincangan tersebut, Yesus memulainya dengan mengarah kepada
ketidakberlanjutan yang lainnya. Reaksinya pada ayat 13 – 14 kepada pertanyaann
perempuan atas kedaulatanNya, Yesus menyatakan bahwa ada suatu perbedaan
kualitatif antara air yang dapat diberikan pada leluhur dan air yang dapat
Yesus berikan. Ridderbos menjelaskan reaksi Yesus sebagai berikut:
Ia … menerangkan air dari sumur Yakub dengan
pemberianNya. Ia tidak menghukum pemikiran perempuan pada awalnya yang telah
keliru. Ia juga bahkan memulai perbincangan dengan meminta aitr dari perempuan.
Namun ada efek keterbatasan. Hal ini hanya memberikan kepuasan sementara kepada
seseorang. Secara alami dalam kasus ini, penjelasan Panjang ini diulang untuk
menekankan kepada karuniaNya – yang dapat mengurangi rasa haus seseorang
selamanya, air yang tidak akan pernah habis, akan selalu ada dan tersedia, menjadi
musim semi kehidupan, mengisi kebutuhan air dalam diri. Bukan seperti air yang
hanya sekali habis dimunum yang akan memuaskan, tetapi tidak seperti karunia
Tuhan yang bisa memuaskan selamanya, memberikan pembaruan diri dan kesegaran
dalam hidup.
Dengan
menggunakan perumpamaan air pada perbincangan ini, Yesus berhasil
memperkenalkan diriNya dengan perempuan itu sebagai seseorang, dengan tradisi
yang diturunkan oleh Yakub yang menyediakan makna dari air. Namun, pernyataan
bahwa air tersebut adalah air yang dapat memberikan kehidupan, Ia
memperkenalkan dirinya sebagai Yakub yang baru. Ia membawa kehidupan untuk
umatNya seperti yang para leluhurnya lakukan dengan memberika tanah dan air,
tetapi lebih lagi dengan cara yang berbeda. Walaupun ia berdiri dia atas keberlanjutan
dengan tradisi leluhurnya, ia juga menjelaskan dengan berbeda mengenai
ketidakberlanjutan tersebut.
Lebih dari seorang
Pendengar
Kemajuan
dalam perbincangan sejauh
ini adalah yang paling signifikan untuk para pendengar dan pembaca Ijil
Yohanes. Eugene Botha menyatakan: “pada pasal 4 ayat 13 – 14, penulis ingin
memastikan bahwa pembaca tidak mengikuti perempuan itu dengan penjelasan
empatinya kepada perkataan Yesus menjelaskannya terlebih dahulu. Pembaca
seharusnya memahami sudut pandang Yesus, bukan karakter perempuan tersebut. Karakter
memanipulasi dari penyajian Injil dari pembicaraan yang seharusnya menjadi
nilai yang ditelaah lebih lanjut. Makna berbelit yang dimainkan antara
keberlanjutan dan ketidakberlanjtan ini, semakin penulis memberikan implikasi
pada poin tersebut,
semakin berpengaruhnya juga kepada kesimpulan yang diambil oleh pembaca
mengenai siapa Yesus sebenarnya. Peran perempuan ini menunjukan adanya penekanan
perbedaan. Ketidakberlanjutan antara dirinya dan Yesus diformulasikan dalam
kategori sosialbudaya: Yesus adalah seorang Yahudi dan perempuan itu adalah
seorang Samaria, perbedaan lainnya adalah laki-laki dan perempuan. Sumur Yakub
adalah tempat pertemuan antara dua kebudayaan. Samapai pada titik ini,
perempuan ini menekankan adanya perbedaan yang sangat jelas dan tidak
berlanjut.
Tetapi reaksi Yesus tidak terpancing
pada penekanan perbedaan tersebut. Reaksi keduanya (ay.10, 13), Ia menyatakan bahwa air yang Ia
tawarkan bukanlah hal yang sama sebagaimana dimaksud oleh perempuan. Seperti
pendapat Botha: “Karena air ini berbeda dengan air yang alam berikan.
Pertanyaan yang dilontarkan perempuan Samaria berkaitan dengan kemampuannya dan
berhubungan dengan kedaulatan Yesus yang dibandingkan dengan Yakub tidaklah
sah.” Reaksi Yesus menggunakan latar tempat yaitu sumur Yakub sangatlah
berbeda. Ia juga menekankan adanya ketidakberlanjutan, tetapi bukan kepada
ketidakberlanjutan sosial budaya antara Yahudi dan Samaria. Yesus memfokuskan
ketidakberlanjutan antara peran pada leluhur yang sama, yaitu Yakub yang
menyedian kehidupan secara fisik, dan diriNya sebagai pemberi kehidupan secara
spiritual untuk kehidupan. Sumur Yakub, berdasarkan respon Yesus, adalah pertemuan
antara perjanjian lama dan perjanjian baru, antara tradisi yang mempersiapkan
jalan Tuhan kepada keselamatan dengan Jalan keselamatan yang akan terpenuhi dan
terpenuhinya keselamatan di dalam Yesus.
Selama dalam konteks pertama yang
pendengar dan pembaca dari Injil Yohanes, corak yang ironis ini bagi cerita
Yesus akan tentunya memberikan penjelasan yang signifikan. Dengan pernyataan
mengenai perbincangan antara Yesus dan perempuan Samaria dalam konteks garis
keturunan patriarki di Sumur Sikhar, pendengar dan pembaca tidak hanya dibawa
kepada penyediaan jawaban yang baru berkaitan dengan Yesus tetapi juga lebih
kepada pertanyaan baru. Penekanan retorika pada narasi ini disimpulkan oleh Botha
sebagai berikut: “Dengan menggunakan konsep air pada konteks, misi dan
indentitas Yesus dapat disimpulkan untuk kepentingan dari pembaca. Walaupun
tidak ada informasi yang berkaitan dengan misi Yesus yang sudah ditawarkan,
ungkapan ini disajikan untuk membuat dialog dapat terlihat secara utuh dalam
persepsi si pembaca. Dimana Yesus menghampiri perempuan yang sepenuhnya bersalah
pada awalnya, situasi sekarang justru dibenarkan untuk tujuan selanjutnya.
Kemajuan dari narasi (dari ketidakberlanjutan bahwa penekanan perempuan
tersebut kepada ketidakberlanjutan pernyataan Yesus) menghantarkan pembaca
untuk menyadari bahwa Yesus tidak sesuai dengan gambaran perbedaan sosial
budaya yang ada. Yesus yang adalah dan yang ia lakukan tidak berfungsi secara
sosial budaya yang terputus. Identitasnya seharusnya dipenuhi berdasarkan janji
yang para leluhurnya pernah mengakatakan
semasa hidup mereka,
akan tetapi secara radikal Yesus adalah Yakub yang baru dengan cara yang
baru.
Pesan
ini tentunya sudah menjadi hal yang penting untuk diperhatikan bagi jemaat
Kristen mula-mula di pertengahan abad pertama setelah masa Kristus hidup.
Setelah kejatuhan Yerusalem ke tangan pemerintahan Roma dan dengan perkembangan
gereja non-Yahudi di wilayah
masyakarat Mediteranian, sudah menjadi bagian yang penting dalam proses
mengindentifikasi formasi didalam seuatu komunias Kristen yang seharusnya
mencerminkan identitas Yesus. Banyak komentator yang menyatakan bahwa Injil
Yohanes bermain bagian yang penting dalam proses pengenalan ini. Makna dari
Yesus untuk komunitas Kristen, berlangsung di lingkungan keanekaragaman budaya,
tentunya terformulasikan dalam cara yang kreatif dengan mengartikan narasi
Injil tentang Yesus yang dipertemukan dengan perempuan Samaria di sumur Yakub.
Cerita ini menjadi semakin jelas bahwa bagian dari identitas seorang Kristen
adalah mengesampingkan ketidakberlanjutan hubungan diantara perbedaan sosial
budaya dengan bersaksi bahwa pemberi kekuatan hidup adalaj Yesus yang telah
memenuhi janji keselamatan pemberian Tuhan dalam diriNya seperti yang
diceritakan oleh para leluhur. Agama
Kristen oleh karena itu menetapkan baik itu berlanjut dan terputus dengan
Yudaisme. Pada awal mula jemaat gereja
Kristen mula-mula, mereka semua berasal dari keluarga dengan latar belakang
agama Yahudi atau orang kafir, yang kemudian menyadari bahwa Yesus juga berasal
dari tradisi yang sama sebagai garis keturunan patriarki, akan tetapi kemudian
dengan cara yang radikal. Air yang ia berikan sangat berbeda secara radikal
dengan air yang ada pada sumur Yakub. “Barangsiapa meminum air ini, ia akan haus
lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan
hasu untuk selam-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan
menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus menerus memancar sampai kepada
hidup yang kekal.” (ay. 13 – 14)
Membaca dari konteks
yang berbeda
Keberagaman budaya dan
pembacaan Alkitab
Pada
masa jemaat Kristen mula-mula, tentunya, bukan pembaca terakhir dari percakapan
ini dan dari Injil Yohanes. Setelah proses kanonisasi Injil dan kitab
Perjanjian Baru, berbagai macam interpretasi
tradisi mulai bermunculan dan tradisi tersebut terus berlanjut sampai dengan
hari ini. Tanpa kanonisasi, perjalanan panjang tradisi tidak akan menjadi
penting untuk interpertasi sementara, karena pendapat yang akan terjadi
nantinya memberikan contoh interpertasi sementara. Fokusnya akan menjadi
bagaimana dinamika keberlanjutan dan ketidakberlanjutan bergema pada konteks
sosial budaya pada zaman ini. Contohnya dapat diambil dari pembacaan laporan
berita dari berbagai proyek internasional kelompok pendalaman Alkitab di luar
budaya pembacaan Alkitab.
Melalui cara pandang yang lain. Satu yang membedakan berkaitan dengan perbedan
antara tingkatan
pembacaan antar kebudayaan: Saat pembacaan Alkitab singkat, dari lingkungan
sosial budaya modern, pembacaan alkitab, yang seringkali menjadi asing, karena
perjalanan sosial budaya antara konteks lama dan baru. Pembacaan Alkitab zaman
sekarang secara kontekstual mempunyai maksud mempertemukan antar budaya.
Bagaimanapun, ketika pembacaan Alkitab zaman sekarang yang berasal dari konteks
sosial budaya yang berbeda membacanya secara bersamaan, hal itu akan
menciptakan tingkatan yan berbeda yang mempertemukan antar budaya. Hal ini akan
membuat pembaca modern akan dua kali lebih menjadi asing karena adanya
perbedaan yang cukup jauh antara konteks sosial budaya yang terdahulu yang
dipertemukan dengan tradisi interpertasi zaman ini. Proyek pembacaan alkitab
dari sudut padang lain secara garis besarnya merupakan tipe dari pembacaan
pendalaman Alkitab.
Teks penjelasan di atas menjelaskan
bahwa proyek pendalaman Alkitab Injil Yohanes 4. Sebelum menganalisis lebih
lajut menenai beberapa interpertasi dari teks ini, sangat penting terlebih
dahulu untuk merefleksikan hubungan antar budaya yang mempengaruhi proses
pembacaan pendalaman Alkitab. Dengan penjelasan adanya perbedaan pemikiran yang
jelas, setidaknya hubungan antar budaya dapat dilihat dengan latihan pembacaan
Alkitab dengan melihat hal sebagai berikut: (1) adanya hubungan komunikasi
antara Yesus dan perempuan
Samaria, (2) hubungan antar budaya antara kondisi sesungguhnya dari Kitab
Yohanes 4 dan dunia zaman sekarang (kelompok kristen mula-mula/ keanekaragaman
konteks sosial budaya kristen modern) dan (3) hubungan antara sosial budaya
dunia pada saat itu yang berbeda dengan zaman sekarang.
Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan
mengenai perbedan aspek
percakapan yang menggambarkan bagian (1) penekanan berbeagai pembaca zaman ini.
Saya akan memberikan pendapat yang berbeda pada bagian ini kemudian dapat diukur referensi perbedaan di
dalamnya (2) secara nama, jarak sosial budaya antara dunia dalam Alkitab dan
dunia pembaca pada zaman sekarang. Pada bagian selanjutnya, satu contoh percakapan
juga akan menggambarkan mengenai (3) penjelasan lebih lanjut mengenai penentuan
dinamika dalam percakapan.
Antar budaya dapat
diukur dari antara teks dan pembaca saat ini
Latar
keturunan patriark dalam percakapan Yohanes 4 menyediakan poin permulaan dari
beberapa kecenderungan pembacaan Alkitab yang ada pada situs proyek pendalaman
Alkitab dari sudut pandang yang lain. Walau hal itu mungkin (dan diperlukan)
untuk merefleksikan sisi uajg lainnya, namun fokus pada diskusi akan menjadi
terbatas pada lingkup yang tertulis saja yang mana secata garis besarkan akan
diinterpertasikan pada dua poin terakhir yang dijelaskan di bawah ini.
Ketidakberlabjutan antara Yahudi dan Samaria.
Dalam interpertasi mereka, sebagian
besar kelompok merujuk ketidakberlanjutan hubungan antara sosial budaya Yahudi
dan Samaria (Pertanyaan yang disinggung oleh perempuan Samaria pada ayat 9).
Umumnya, aspek ini akan menginterpertasikan percakapan (sejalan dengan para
ahli zaman dulu) sebagaimana dengan latar belakang yang menekankan identitas
dari Yesus. Bagaimanapun, hanya sebagian kelompok (yang mana hanya Sekolah
Alkitab Sokhanya, Cape Town, Arika Selatan yang dapat memberikan contoh
terbaiknya), yang dapat menjelaskan adanya ketidakberlanjutan hubungan antara Yahudi
dan Samaria secara politik dan ras dengan pantas dalam konteks mereka sendiri.
Beberapa pembaca, pada sumur Yakub dapat diinterpertasikan sebagai symbol dari
terjadinya rekonsiliasi.
Ketidakberlanjutan perbedaan strata Gender.
Dari beberapa kelompok (contohnya dari kelompok pendalaman Alkitab di Makasar,
Indonesia memberikan contoh yang baik), ketidakberlanjutan hubungan antara
laki-laki dan perempuan menunjukan percakapan pada Injil Yohanes 4 dapat
diambil sebagai titik permulaan konteks yang sensitif antara strata
laki-laki dan perempuan.
Latar leluhur.. Pada
sebagian kecil pembacaan Alkitab, ketiga sudut padang yang diambil atas ketidaksinambungan sosial budaya antara
Yesus dan perempuan. Pada laporan kali ini, latar para leluhur dan secara
eksplisit dijelaskan dalam bentuk patriarki dari interpertasi yang mereka
berikan. Kedua contoh pada tipe ini diinterpertasikan pada kelompok dari
Harcourt, Nigeria dan Pendalaman Alkitab Siyaphila, Afrika Selatan.
Pada penjelasan yang diberikan oleh
kelompok Port Harcourt, Nigeria, berikut ini adalah laporan mengenai metode
konteks pembacaan Alkitab:
Secara kontekstual, injil Yohanes 4 yaitu pada
perspektif budaya Afrika. Sampai pada akhirnya, satu orang telah dipilih untuk
mempersiapkan bagian secara tekstual atau ayat yang memiliki nilai yang tidak
sesuai dengan aspek nilai budaya di Afrika seperti kesopansantunan,
keleluhuran, seorang ibu dan perempuan, pernikahan lebih dari satu
pasangan/polihami dan sistem
Osu cate di Igboland atau diamanapun di Afrika. Kelompok ini kemudian
mendiskusikan pada aspek tersebut. Anggota dari kelompok masing-masing membawa
benda yang akan menjadi perumpamaan dalam pendalaman Alkitab tersebut seperti
botol air mineral, sebuah salib, sebuah lilin dan satu potong baju putih. Kemudian
kelompok tersebut mempertimbangkan alat bantu tersebut sebagai simbol seperti
hidup, kekudusan dan terang, yang mana merupakan pancaran dari Kristus dalam
hidup seorang Kristen. Selain itu, para anggota dalam grup tersebut membawa
alat bantu seperti Ikenga atau Ofo, pajangan sapi, pot keramik, bulu unggas dan
alat bantu lain yang merupakan simbol dari kepercayaan yang diterima oleh para
leluhur berdasarkan latar budaya di Afrika. Kelompok tersebut memberikan
atmosfir yang menyenangkan pada saat pendalaman Alkitab seperti kedalaman
berpirkir, tertawa dan simpati emosi dengan perempuan Samaria, ketika perempuan
tersebut digambarkan memiliki kepercayaan yang kuat pada tradisinya dengan para
leluhur dan tempat penyembahan… pembacaan teks pada Injil Yohanes 4
membangkitkan pemikiran yang menarik, ingatan dan pengalaman bagi setiap
individu yang ada pada kelompok pendalaman Alkitab tersebut. Ayat tersebut
mengingatkan para anggotanya dengan aspek yang beraneka ragam dari latar
belakang nilai budaya di Afrika dan pengamalannya baik dari segi nama leluhur
dan permasalahan yang ada pada system Osu caste system di Igoland seperti
poligami, kesopansantunan dan tentang perempuan dan seorang ibu.
Degan
rujukan sebagaimana trcantum oada ayat 10 dan 22, kelompok tersebut
menyimpulkan bahwa:
Tidak dapat diragukan lagi kejelasannya bahwa, baik
secara alkitabah dan tradisi budaya di Afrika, setiap orang berpegang pada
budaya leluhurnya. Oleh sebab
itu, perempuan Samaria
tidak ada perkataan Samaria yang mematahkan hubungan kepercayaan dengan para
leluhurnya kepada Yesus, kepercayaann kepada luluhur yang sudah mengakar kuat
dan selalu dia ingat dengan menanyakan: “Adakah Engkau lebih besar dari bapa
leluhur kami Yakub, yang memberikan
sumur ini kepada kami?” Lebih jauh lagi pada ayat 20, perempuan tersebut
mengatakan: “leluhur kami menyembah di gunung ini” Perkataan ini sebagian
mengingatkan para anggota kelompok tentang kegigihan para leluhur pada kearifan
local setempat. Faktanya, para leluhur merupakan kunci dari kepercayaan dan
budaya yang ada di Afrika. Oleh sebab itu, mereka menyembah leluhur yang sudah
tiada. Pada teks ini, perempuan Samaria digambarkan seperti nabi bagi para
leluhur. Kelompok tersebut melihat teks pada Yohanes 4 sebagai pemahaman yang
signifikan dan biasa bagi pemahaman orang Kristen. Tentu saja, Yesus adalah air
hidup bagi para leluhur yang sudah tidak ada terlebih dahulu di komunitas
mereka. Tidak diragukan lagi bahwa gambaran Yesus yang juga adalah Tuhan bagi
para leluhur semakin bergema pada Injil Yohanes. Konsekuensinya, setiap orang
Kristen di Afrika pada akhirnya meyakini bahwa Yesus adalah teladan hidup
sehari karena Ia adalah Tuhan. Seperti halnya dengan perempuan Samaria yang
menyatakan bahwa Yakub adalah bapa leluhur, orang Kristen hari ini di Afrika berpegang
teguh kepada Kristus yang adalah Leluhur yang sesungguhnya yang mereka percaya.
Ini sangat signifikan.