Wednesday, 21 November 2018

YESUS DIANTARA PARA LELUHUR


YESUS DIANTARA PARA LELUHUR
Keberlanjutan dan ketidakberlanjutan
Luis Jonker

Nama orang dan tempat dalam narasi Alkitab normalnya tidak “bersalah.” Hal tersebut biasanya dijadikan sebagai alat untuk menonjolkan karakteristik dan orientasi secara geografis. Bagaimanapun, nama dan tempat dijelaskan karena memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu untuk membangun kesatuan pada masing-masing nama keturunan yang sama. Menggunakan nama sebagai pelabuhan masuknya kesatuan dunia yang luas, penulis secara rumit dan eksplisit menyediakan pertentangan di masa datang agar cerita mereka dapat dipahami.
            Perspektif ini dalam pribadi dan nama tempat dalam cerita telah diperhitungkan untuk pendekatan para cendekiawan dalam menginterpertasikan Alkitab. Contohnya, dalam pendekatan yang menganalisis Alkitab berdasarkan pada literatur ilmiah, para ahli mengindikasikan bahwa nama-nama tersebut (nama lengkap pribadi, dalam catatan khusus) seringkali dijadikan sebagai alat untuk menyediakan informasi penting untuk dapat memahami alur pada suatu narasi. Bagaimanapun, dalam pendekatan ini, pemikiran metodologi atas penggunaan nama dalam narasi Alkitabiah tidak selalu memberikan alasan untuk fungsi retorika pragmatis nama-nama tersebut dalam proses penyampaian yang mana menjadi bagian dari sebuah narasi. Pendekatan lainnya mengindikasikan bahwa penggunaan nama pada literatur (terkhususnya narasi) tidak hanya menjelaskan dinamika dalam narasi, tetapi juga mensituasikan dalam konteksnya penyampaian suatu sosial budaya. Penjelasan mengenai diri seseorang dan nama tempat kemudian terlihat sebagai alat yang menjadi bagian yang secara tekstual dapat meyakini dan mempengaruhi para pembaca.
             Artikel ini terutama akan memperhatikan keberadaan dari seorang pribadi bernama Yakub dan nama tempat yaitu Sikhar pada narasi yang tertulis dalam kitab Yohanes 4. Pada ayatnya yang ke 5 – 6, penulis pada cerita ini memberikan informasi geografis:
“Maka sampailah Ia ke sebuah kota di Samaria, yang bernama Sikhar dekat tanah yang diberikan Yakub dahulu kepada anaknya, Yusuf. Di situ terdapat sumur Yakub. Yesus sangat letih oleh perjalanan, karena itu Ia duduk dipinggir sumur itu. Hari kira-kira pukul dua belas.”

Pada ayatnya yang ke 12, penulis dalam cerita ini menjelaskan kepada kita bahwa seorang perempuan Samaria mengatakan bahwa leluhurnya, Yakub:
“Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?”

Walaupun para leluhur tidak disebutkan namanya pada ayat yang ke 20, ayat ini secara lebih dekat dengan kutipan pada ayat tersebut di atas yaitu:
“Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusamelmlah tempat orang menyembah”

Setelah mendalami bagaimana ketidakberlanjutan dan keberlanjutan antara garis keturunan laki-laki secara kontektual dan hidup dan arti dari Yesus yang menciptakan latar retorika ini berdasarkan narasi pada Yohanes 4, Saya akan menguji bagaimana berbagai kelompok pendalaman Alkitab menginterpertasikan garis Patrial ini/ Latar belakang leluhur yang telah mereka baca pada narasi ini sebagai bagian dari partisipasi dalam proyek pembacaan Alkitab lintas budaya.

Yesus dalam ke(tidak)berlanjutannya sejarah Patriarki
Yesus di Sumur Yakub dekat dengan Sikhar.
Yohanse 4 dimulai dengan adanya indiasi bahwa Yesus meninggalkan Yudea untuk pergi ke Galilea. Dalam perjalananNya, Ia telah melewati daerah Samaria dimana Ia pergi ke sebuah daerah yang bernama Sikhar. Kota ini secara cepat dikhususkan pada teks ini, dan bahkan semakin diperjelas “dekat dengan tanah yang diberikan Yakub kepada anaknya Yusuf”; “Sumur Yakub ada di tempat tersebut.” Kota Sikhar telah diidentifikasi oleh berbagai macam ahli dengan model desa modernnya Askar di bawah kaki gunung Ebal dekat Nabulus. Hendrikus Boers benar, bagaimanapun, saat ia berpendapat bahwa “informasi geografis yang tercantum tidak memiliki signifikansi tersendiri. Signifikasinya hanyalah nama tempat pada narasi, penjelasan latar tempat hanya dalam kondisi suat kejadian pada cerita tersebut berlangsung. Dalam percakapan yang tidak terbentang antara Yesus dan perempuan Samaria, telah menjadi jelas mengenai apa yang dimaksud dengan “Air Hidup” dan “tempat menyembah.” Boers oleh karena itu menlanjutkan, “Desa itu sendiri tidak terlalu signifikan pada cerita. Yang terpenting adalah lokasi yang berdekatan dengan sumur dan gunung. Pendapat tersebut kemudian juga memotivasi Friedhelm Wessel yang menyatakan bahwa “topografi pada narasi merepresentasikan kepada kita sebagai topografi secara teologikal.
            Lokasi Sikhar memiliki sejarah yang kuat akan garis keturunan Patriarki. Dalam kitab Kejadian 33: 18 – 20 menyebutkan sebagai berikut:
“Dalam perjalanannya dari Padan-Aram sampailah Yakub dengan selamat ke Sikhem, di tanah Kanan, lalu ia berkemah di sebelah timur kota itu. Kemudian dibelinyalah dari anak-anak Hemor, bapa SIkhem sebidang tanah, tempat ia memasang kemahnya, dengan harga serratus kesita. Ia mendirikan mezbah disitu dan dinamanya itu: “Allah Israel ialah Allah.”
Menurut kitab Kejadian 48: 22, Yakub memberikan sebagian besar tanahnya kepada anaknya Yusuf di wilayah:
“Dan sekarang aku memberikan kepadamu sebagai kelebihanmu dari pada saudara-saudaramu, suatu punggung gunung yang kurebut dengan pedang dan panahku dari tangan orang Amori.”

Dalam bahasa Ibrani diterjemahkan sebagai “bagian” pada ayat ini adalah Sikhem (memiliki arti “pundak” tetapi merujuk pada “lereng gunung”). Para ahli seringkali melihat teks ini sebagai kiasan untuk bagian dari tanah yang Yakub beli dekat dengan Sikhem. Keterangan sigfinikan lainnya dalam Alkitab bahasa Ibrani ada pada kitab Yosua 24: 32:
“Tulang-tulang Yusuf, yang dibawa orang Israel dari Mesir, dikuburkan mereka di Sikhem, di tanah milik yang dibeli Yakub dengan harga serratus kesita dari anak-anak Hemor, bapa Sikhem, dan ditentukan bagi bani Yusuf menjadi milik pusaka mereka.”

Ini merupakan hal yang menarik dikarenakan tidak ada acuan pada perjanjian lama yang menjelaskan bahwa siapa yang teleh menggali sumur yang diberikan nama Yakub, apakah Yakub sendiri atau para leluluh yang lainnya yang pernah tinggal di daerah tersebut. Boers memiliki opini yang menjelaskan bahwa seorang Palestina Targum pada kitab Kejadian 28: 10 kemungkinan memberikan suatu petunjuk pada cerita tersebut. Targum ini menyebutkan bahwa ada lima tanda yang ditunjukan oleh Yakub, kelima tanda tersebut adalah: “Setelah Yakub telah mengangkat batu dari mulut sumur, air sumur tersebut kemudian naik ke permukan tanah dan mengalir dan aliran sumur tersebut terjadi selama dua belas tahun lamanya: sepanjang hari Yakub bergumul di Haran.”
            Penulis dari Injil Yohanis sudah lebih dulu mneyadari akan kekayaan dari kumpulan adat istiadat yang dijelaskan terjadi pada latar geografis tersebut. Kesadaran ini memperjelas narasi secara eksplisit dengan adanya pertanyaan perempuan Samaria kepada Yesus: “Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya.” Leon Morris mengindikasi bahwa “Tidak bisa diragukanlagi bahwa Perjanjian lama mengambil bagian besar pada pikiran para penulis. Ia telah secara jelas membaca dengan baik dan merenungkannya sangat lama.” Tempat yang paling terkenal pada tradisi Perjanjian Lama dalam Injil Yohanes olehkarenanya memiliki hubungan dengan berbagai macam komentator untuk tujuan retorikal itu sendiri. Herman Ridderbos, contohnya, menuliskan:
“Tidak hanya tradisi gereja mula-mula saja, tetapi juga isi dari Injil itu sendiri secara jelas menunjuk pada perkembangan sejarah dalam hal Injil telah menjadi SItz im Leben dan yang mana dapat diterima dengan logika. Terkhusus hubungan yang berkelanjutan dengan adanya pertentangan dengan “orang Yahudi,” sebuah tema pokok yang mempengaruhi secara utuh tentang Identitas Yesus… Pertentangan tajam ini dengan “Orang Yahudi” telah terlihat dalam konteks yang memposisikan gereja Kristen kemudian sebagaimana gereja terdahulu yang mempertentangkan bangkitnya gereja Yahudi setelah kehancurannya di Yerusalem… Atas pertentangan tersebut, jemaat mula-mula sebagian menjauhkan dirinya: dan mempertanyakan apakah Yesus adalah Kristus? Dan bagaimana bisa Kristus yang harusnya ada dalam diriNya, berkinkarnasi, dan menjadi pengantar dan mati di atas kayu salib tidak menyesuaikan dirinya dengan apa yang orang Yahudi bayangkan oleh mereka dan tidak bisa meyakinkan mereka sebagai Mesias?... Sejarah ini memposisikan gereja sebagai vis-à-vis gereja Yahudi mungkin menjadi alasan dilakukannya penginjilan yang berfokus kepada keseluruhan sejarah yang memiliki arti pribadi Yesus itu sendiri, dan mungkin merupakan standard dan seleksi yang penting bagiNya sebagai materi dan dasar pembangunan InjilNya.

Pandangan ini dipakai dalam Perjanjian Lama pada kitab Injil Yohanes (dan oleh karena itu konteks dari garis keturunan patriarki disebutkan dalam Injil Yohanes) menekankan bahwa analisis retorika pragmatic hanya digunakan sekali dan terbatas pada dinamika yang ada di dalam narasi ini, akan tetapi  satu fokus lagi dalam analisis ini terpada pada interaksi yang seharusnya sesuai dengan interpertasi asli pada konteksnya. Selain itu, tidak hanya sau pertanyaan, apa pengaruhnya garis keturunan patriatki/leluhur yang disinggung dalam pembincaraan antara Yesus dengan perempuan Samaria? Tidak hanya, apakah fungsi yang ingin ditonjolkan pada narasi ini mengenai perbincangan Yesus dengan perempuan Samaria selama proses komunikasi yang diinterpertasikan oleh para pembaca?
            Bagian kedua selanjutnya akan mencoba untuk menjawab kedua pertanyaan di atas dengan konsep keberlanjutan dan ketidak berlanjutan.

Dunia terbadi, tetapi dengan leluhur yang sama! Dari keberlanjutan kepada ketidakberlanjutan
Dari pendahuluan yang ditulis oleh penulis pada ayatnya yang ke 1 – 6 dalam narasi, perbincangan antara Yesus dan perempuan Samaria dimulai pada ayatnya yang ke 7.  Latar belakangnya mengenai inti dari bagian perbincangan yang terbangun adalah tentang air. Ketika Yesus meminta minum, latar belakang geografis pda narasi ini, nama tempatnya,  sumur Yakub adalah untuk membantu pembaca dapat menginterpertasikan secara logika. Pada awalnya, narasi ini menciptakan kisah dimana perempuan Samaria yang akan memberikan air agar bisa memuaskan rasa hasu karna kelelahan yang dialami oleh Yesus.
            Namun, respon dari perempuan Samaria ini justru membingungkan ekspektasi awal. Reaksi sebaliknya tercatat di ayat yang ke 9 dimana perempuan Samaria justru menjelaskan tentang permasalahan sosial budaya yang belum selesai dalam perbincanfan tersebut. Yesus membalasnya pada ayat yang ke 10 dengan membalikkan inti perbincangan yang meminta air tersebut, tetapi menjadi jelas bahwa air yang dibahas Yesus menjadi bermetamorfosis menjadi sesua yang lain, nama, hidup baru yang Yesus dapat berikan. Lagi, pada ayat yang ke 11, perempuan itu merujuk pada sosoal budaya selama pembicaraan berlangsung. Tetapi, sebagai mana cerita dan reaksi yang Yesus tunjukkan, dimana memiliki arti yang sangat dalam dapat terlihat antara pertanyaan awal pada ayat 7 dan pernyataan balasannya di ayat yang ke 10, satu agi yang jiga dapat dilihat dari makna yang dalam mengenai topik pembicaraan yang diangkat oleh perempuan Samaria tentang sosial budaya. Reaksinya pada ayat yang ke 9 menunjukan perbedaan antara mereka, sementara reaksinya pada ayat yang ke 12 meminta untuk memuktikan kedaulatanNya.
            Banyak komentator yang mengindikasikan bahwa orang Yahudi membangun suatu pertanyaan pada ayat yang ke 12 secara signifikan. Pertanyaan dimulai dengan me, bentuk dari kata pertanyaan yang negative, normalnya merupakan suatu permulaan pertanyaan retorika yang mengharapkan jawaban yang negative pula. Pertanyaan perempuan Samaria pada ayat yang ke 12 dapar di parafrasekan: “Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub?” pertanyaan ini mempertanyakan implikasi dari tidak adanya kedaulatan Yesus sebelum perempuan Samaria itu tahu. Perempuan itu tidak memandang bahwa air yang Yesus janjikan lebih berharga dari air yang diberikan leluhurnya Yakub dari sumur di Sikhar tersebut.
            Secara garis besar dari komentar pada Injil Yohanes mengarah kepada cerita dinamis yang menyatakan suatu pertentangan antara orang Yahudi dan Samaria dan sudah menjadi hal yang menjadi sorotan karena respon dari perempuan tersebut. Sejarah antara ketegangan Yahudi dan Samaria sudah sangat diketahui oleh pembaca Injil Yohanes. Ini bukanlah sesuatu yang penting untuk diangkat edan dibahas mengenai kebencian yang ada antara Yahudi dan Samaria disini. Namun, hal ini menjadi penting untuk ditekankan oleh perempuan Samaria, dalam reaksinya, yang memfokuskan adanya perbedaan antara dirinya dan Yesus. Ia ingin fokus pada ketidakberlanjutan dan perbedaan. Setelah perbincangan tersebit, dalam ayat ke 20, ia mengangkat lagi pembicaraan tentang tempat untuk menyembah sebagai percobaan penekanan lainnya tentang ketidakberlanjutan. Bahwa reaksi yang disajikan dari tujuan perbincangan tersebut hanya menekankan permasalahan ketidakberlanjutan sosial budaya dan juga implikasi dari agama kepercayaan.
            Ironsnya, tentu, bahwa pembaca mendengarkan perbincangan ini (telah didahulu dengan penjeasan tempat, dimana terjadi dengan latar tempat di sumut Yakub di Sikhar) penuh dengan kesadaran bahwa faktanya Yahudi dan Samaria memiliki kesamaan sejarah. Dengan menyebutkan nama dari leluhurnya Yakub dan Yusuf, sama seperti dalam indikasi latar geografis, penulis telah mempersiapkan agar pembaca dapat menguji reaksi perempuan yang bukanlah sebuah pendapatnya. Walaupun perempuan tersebut protes melawan perbedaan dan ketidakberlanjutan antara Yesus dan dirinya, latar dari narasi tersebut berbicara lebih tentang keberlanjutan.
            Hal ini menjadi menarik bahwa Yesus tidak memiliki reaksi apapun kepada perempuan yang menguji Yesus dengan jawabannya terhadap pertanyaannya tersebut tentang ketidakberlanjutan adat antara Yahudi dan Samaria. Ia lebih mefokuskan kembali pada perbincangan yang mengarah kepada metamorphosis dari air hidup. Kemungkinan inilah yang menjadi pertanyaan kenapa perempuan tersebut sadar bahwa ia tidak akan mendapatkan lebih jauh dengan penilaiannya terhadap perbedaan sosial budaya. Reaksinya pada ayat ke 11 mulanya diikuti dengan garis pendahuluan bahwa Yesus (nama dan tema pokok air hidup), tapi perempuan itu memformulasikan sudut pandangnya dengan ketidakberlanjutan dari isu yang muncul sebagaimana dijelaskan pada ayat 12. Signifikansi ini, bagaimanapun juga, menjelaskan bahwa perempuan ini mengarahkan dirinya pada symbol keberlanjutan Yahudi dan Samaria baik dari nama, dan kisah leluhur yang mempunya sumur di Sikhar yang sesungguhnya.

Memiliki tradisi dan leluhir yang sama, tapi berbeda! Dari keberlanjutan kepada ketidakberlanjutan
Sudah jelas sekarang dari penjelasan di atas bahwa narasi yang membawa pertanyaan perempuan pada ayat 12 ini adalah suatu pergerakan dari ketidakberlanjutan menjadi keberlanjutan. Reaksi Yesus (ayat 10) kepada penekanan perempuan terhadap ketidakberlanjutanini (ay. 9) menunjukan bahwa Ia tidak menginginkan fokus perempuan itu  pada siapa diri dan asalNya, melainkan kepada air hidup yang dapat memberikan kehidupan kepadanya. Yesus membawa sudut pandang yang lain dimana perempuan tersebut menguji Dia dengan cara yang biasa pada konteksnya, baik dari segi nama dan adat istiadat leluhur.
            Bagaimanapun juga, sampai pada titik ini pada perbincangan tersebut, Yesus memulainya dengan mengarah kepada ketidakberlanjutan yang lainnya. Reaksinya pada ayat 13 – 14 kepada pertanyaann perempuan atas kedaulatanNya, Yesus menyatakan bahwa ada suatu perbedaan kualitatif antara air yang dapat diberikan pada leluhur dan air yang dapat Yesus berikan. Ridderbos menjelaskan reaksi Yesus sebagai berikut:
Ia … menerangkan air dari sumur Yakub dengan pemberianNya. Ia tidak menghukum pemikiran perempuan pada awalnya yang telah keliru. Ia juga bahkan memulai perbincangan dengan meminta aitr dari perempuan. Namun ada efek keterbatasan. Hal ini hanya memberikan kepuasan sementara kepada seseorang. Secara alami dalam kasus ini, penjelasan Panjang ini diulang untuk menekankan kepada karuniaNya – yang dapat mengurangi rasa haus seseorang selamanya, air yang tidak akan pernah habis, akan selalu ada dan tersedia, menjadi musim semi kehidupan, mengisi kebutuhan air dalam diri. Bukan seperti air yang hanya sekali habis dimunum yang akan memuaskan, tetapi tidak seperti karunia Tuhan yang bisa memuaskan selamanya, memberikan pembaruan diri dan kesegaran dalam hidup.
Dengan menggunakan perumpamaan air pada perbincangan ini, Yesus berhasil memperkenalkan diriNya dengan perempuan itu sebagai seseorang, dengan tradisi yang diturunkan oleh Yakub yang menyediakan makna dari air. Namun, pernyataan bahwa air tersebut adalah air yang dapat memberikan kehidupan, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Yakub yang baru. Ia membawa kehidupan untuk umatNya seperti yang para leluhurnya lakukan dengan memberika tanah dan air, tetapi lebih lagi dengan cara yang berbeda. Walaupun ia berdiri dia atas keberlanjutan dengan tradisi leluhurnya, ia juga menjelaskan dengan berbeda mengenai ketidakberlanjutan tersebut.

Lebih dari seorang Pendengar
Kemajuan dalam perbincangan sejauh ini adalah yang paling signifikan untuk para pendengar dan pembaca Ijil Yohanes. Eugene Botha menyatakan: “pada pasal 4 ayat 13 – 14, penulis ingin memastikan bahwa pembaca tidak mengikuti perempuan itu dengan penjelasan empatinya kepada perkataan Yesus menjelaskannya terlebih dahulu. Pembaca seharusnya memahami sudut pandang Yesus, bukan karakter perempuan tersebut. Karakter memanipulasi dari penyajian Injil dari pembicaraan yang seharusnya menjadi nilai yang ditelaah lebih lanjut. Makna berbelit yang dimainkan antara keberlanjutan dan ketidakberlanjtan ini, semakin penulis memberikan implikasi pada poin tersebut, semakin berpengaruhnya juga kepada kesimpulan yang diambil oleh pembaca mengenai siapa Yesus sebenarnya. Peran perempuan ini menunjukan adanya penekanan perbedaan. Ketidakberlanjutan antara dirinya dan Yesus diformulasikan dalam kategori sosialbudaya: Yesus adalah seorang Yahudi dan perempuan itu adalah seorang Samaria, perbedaan lainnya adalah laki-laki dan perempuan. Sumur Yakub adalah tempat pertemuan antara dua kebudayaan. Samapai pada titik ini, perempuan ini menekankan adanya perbedaan yang sangat jelas dan tidak berlanjut.
            Tetapi reaksi Yesus tidak terpancing pada penekanan perbedaan tersebut. Reaksi keduanya  (ay.10, 13), Ia menyatakan bahwa air yang Ia tawarkan bukanlah hal yang sama sebagaimana dimaksud oleh perempuan. Seperti pendapat Botha: “Karena air ini berbeda dengan air yang alam berikan. Pertanyaan yang dilontarkan perempuan Samaria berkaitan dengan kemampuannya dan berhubungan dengan kedaulatan Yesus yang dibandingkan dengan Yakub tidaklah sah.” Reaksi Yesus menggunakan latar tempat yaitu sumur Yakub sangatlah berbeda. Ia juga menekankan adanya ketidakberlanjutan, tetapi bukan kepada ketidakberlanjutan sosial budaya antara Yahudi dan Samaria. Yesus memfokuskan ketidakberlanjutan antara peran pada leluhur yang sama, yaitu Yakub yang menyedian kehidupan secara fisik, dan diriNya sebagai pemberi kehidupan secara spiritual untuk kehidupan. Sumur Yakub, berdasarkan respon Yesus, adalah pertemuan antara perjanjian lama dan perjanjian baru, antara tradisi yang mempersiapkan jalan Tuhan kepada keselamatan dengan Jalan keselamatan yang akan terpenuhi dan terpenuhinya keselamatan di dalam Yesus.
            Selama dalam konteks pertama yang pendengar dan pembaca dari Injil Yohanes, corak yang ironis ini bagi cerita Yesus akan tentunya memberikan penjelasan yang signifikan. Dengan pernyataan mengenai perbincangan antara Yesus dan perempuan Samaria dalam konteks garis keturunan patriarki di Sumur Sikhar, pendengar dan pembaca tidak hanya dibawa kepada penyediaan jawaban yang baru berkaitan dengan Yesus tetapi juga lebih kepada pertanyaan baru. Penekanan retorika pada narasi ini disimpulkan oleh Botha sebagai berikut: “Dengan menggunakan konsep air pada konteks, misi dan indentitas Yesus dapat disimpulkan untuk kepentingan dari pembaca. Walaupun tidak ada informasi yang berkaitan dengan misi Yesus yang sudah ditawarkan, ungkapan ini disajikan untuk membuat dialog dapat terlihat secara utuh dalam persepsi si pembaca. Dimana Yesus menghampiri perempuan yang sepenuhnya bersalah pada awalnya, situasi sekarang justru dibenarkan untuk tujuan selanjutnya. Kemajuan dari narasi (dari ketidakberlanjutan bahwa penekanan perempuan tersebut kepada ketidakberlanjutan pernyataan Yesus) menghantarkan pembaca untuk menyadari bahwa Yesus tidak sesuai dengan gambaran perbedaan sosial budaya yang ada. Yesus yang adalah dan yang ia lakukan tidak berfungsi secara sosial budaya yang terputus. Identitasnya seharusnya dipenuhi berdasarkan janji yang para leluhurnya pernah mengakatakan semasa hidup mereka, akan tetapi secara radikal  Yesus adalah Yakub yang baru dengan cara yang baru.
Pesan ini tentunya sudah menjadi hal yang penting untuk diperhatikan bagi jemaat Kristen mula-mula di pertengahan abad pertama setelah masa Kristus hidup. Setelah kejatuhan Yerusalem ke tangan pemerintahan Roma dan dengan perkembangan gereja non-Yahudi di wilayah masyakarat Mediteranian, sudah menjadi bagian yang penting dalam proses mengindentifikasi formasi didalam seuatu komunias Kristen yang seharusnya mencerminkan identitas Yesus. Banyak komentator yang menyatakan bahwa Injil Yohanes bermain bagian yang penting dalam proses pengenalan ini. Makna dari Yesus untuk komunitas Kristen, berlangsung di lingkungan keanekaragaman budaya, tentunya terformulasikan dalam cara yang kreatif dengan mengartikan narasi Injil tentang Yesus yang dipertemukan dengan perempuan Samaria di sumur Yakub. Cerita ini menjadi semakin jelas bahwa bagian dari identitas seorang Kristen adalah mengesampingkan ketidakberlanjutan hubungan diantara perbedaan sosial budaya dengan bersaksi bahwa pemberi kekuatan hidup adalaj Yesus yang telah memenuhi janji keselamatan pemberian Tuhan dalam diriNya seperti yang diceritakan oleh para leluhur. Agama Kristen oleh karena itu menetapkan baik itu berlanjut dan terputus dengan Yudaisme. Pada awal mula jemaat gereja Kristen mula-mula, mereka semua berasal dari keluarga dengan latar belakang agama Yahudi atau orang kafir, yang kemudian menyadari bahwa Yesus juga berasal dari tradisi yang sama sebagai garis keturunan patriarki, akan tetapi kemudian dengan cara yang radikal. Air yang ia berikan sangat berbeda secara radikal dengan air yang ada pada sumur Yakub. “Barangsiapa meminum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan hasu untuk selam-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (ay. 13 – 14)

Membaca dari konteks yang berbeda
Keberagaman budaya dan pembacaan Alkitab
Pada masa jemaat Kristen mula-mula, tentunya, bukan pembaca terakhir dari percakapan ini dan dari Injil Yohanes. Setelah proses kanonisasi Injil dan kitab Perjanjian Baru, berbagai macam interpretasi tradisi mulai bermunculan dan tradisi tersebut terus berlanjut sampai dengan hari ini. Tanpa kanonisasi, perjalanan panjang tradisi tidak akan menjadi penting untuk interpertasi sementara, karena pendapat yang akan terjadi nantinya memberikan contoh interpertasi sementara. Fokusnya akan menjadi bagaimana dinamika keberlanjutan dan ketidakberlanjutan bergema pada konteks sosial budaya pada zaman ini. Contohnya dapat diambil dari pembacaan laporan berita dari berbagai proyek internasional kelompok pendalaman Alkitab di luar budaya pembacaan Alkitab. Melalui cara pandang yang lain. Satu yang membedakan berkaitan dengan perbedan antara tingkatan pembacaan antar kebudayaan: Saat pembacaan Alkitab singkat, dari lingkungan sosial budaya modern, pembacaan alkitab, yang seringkali menjadi asing, karena perjalanan sosial budaya antara konteks lama dan baru. Pembacaan Alkitab zaman sekarang secara kontekstual mempunyai maksud mempertemukan antar budaya. Bagaimanapun, ketika pembacaan Alkitab zaman sekarang yang berasal dari konteks sosial budaya yang berbeda membacanya secara bersamaan, hal itu akan menciptakan tingkatan yan berbeda yang mempertemukan antar budaya. Hal ini akan membuat pembaca modern akan dua kali lebih menjadi asing karena adanya perbedaan yang cukup jauh antara konteks sosial budaya yang terdahulu yang dipertemukan dengan tradisi interpertasi zaman ini. Proyek pembacaan alkitab dari sudut padang lain secara garis besarnya merupakan tipe dari pembacaan pendalaman Alkitab.
            Teks penjelasan di atas menjelaskan bahwa proyek pendalaman Alkitab Injil Yohanes 4. Sebelum menganalisis lebih lajut menenai beberapa interpertasi dari teks ini, sangat penting terlebih dahulu untuk merefleksikan hubungan antar budaya yang mempengaruhi proses pembacaan pendalaman Alkitab. Dengan penjelasan adanya perbedaan pemikiran yang jelas, setidaknya hubungan antar budaya dapat dilihat dengan latihan pembacaan Alkitab dengan melihat hal sebagai berikut: (1) adanya hubungan komunikasi antara Yesus dan perempuan Samaria, (2) hubungan antar budaya antara kondisi sesungguhnya dari Kitab Yohanes 4 dan dunia zaman sekarang (kelompok kristen mula-mula/ keanekaragaman konteks sosial budaya kristen modern) dan (3) hubungan antara sosial budaya dunia pada saat itu yang berbeda dengan zaman sekarang.
            Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai perbedan aspek percakapan yang menggambarkan bagian (1) penekanan berbeagai pembaca zaman ini. Saya akan memberikan pendapat yang berbeda pada bagian ini kemudian dapat diukur referensi perbedaan di dalamnya (2) secara nama, jarak sosial budaya antara dunia dalam Alkitab dan dunia pembaca pada zaman sekarang. Pada bagian selanjutnya, satu contoh percakapan juga akan menggambarkan mengenai (3) penjelasan lebih lanjut mengenai penentuan dinamika dalam percakapan.

Antar budaya dapat diukur dari antara teks dan pembaca saat ini
Latar keturunan patriark dalam percakapan Yohanes 4 menyediakan poin permulaan dari beberapa kecenderungan pembacaan Alkitab yang ada pada situs proyek pendalaman Alkitab dari sudut pandang yang lain. Walau hal itu mungkin (dan diperlukan) untuk merefleksikan sisi uajg lainnya, namun fokus pada diskusi akan menjadi terbatas pada lingkup yang tertulis saja yang mana secata garis besarkan akan diinterpertasikan pada dua poin terakhir yang dijelaskan di bawah ini.
            Ketidakberlabjutan antara Yahudi dan Samaria.  Dalam interpertasi mereka, sebagian besar kelompok merujuk ketidakberlanjutan hubungan antara sosial budaya Yahudi dan Samaria (Pertanyaan yang disinggung oleh perempuan Samaria pada ayat 9). Umumnya, aspek ini akan menginterpertasikan percakapan (sejalan dengan para ahli zaman dulu) sebagaimana dengan latar belakang yang menekankan identitas dari Yesus. Bagaimanapun, hanya sebagian kelompok (yang mana hanya Sekolah Alkitab Sokhanya, Cape Town, Arika Selatan yang dapat memberikan contoh terbaiknya), yang dapat menjelaskan adanya ketidakberlanjutan hubungan antara Yahudi dan Samaria secara politik dan ras dengan pantas dalam konteks mereka sendiri. Beberapa pembaca, pada sumur Yakub dapat diinterpertasikan sebagai symbol dari terjadinya rekonsiliasi.
            Ketidakberlanjutan perbedaan strata Gender. Dari beberapa kelompok (contohnya dari kelompok pendalaman Alkitab di Makasar, Indonesia memberikan contoh yang baik), ketidakberlanjutan hubungan antara laki-laki dan perempuan menunjukan percakapan pada Injil Yohanes 4 dapat diambil sebagai titik permulaan konteks yang sensitif antara strata laki-laki dan perempuan.
            Latar leluhur.. Pada sebagian kecil pembacaan Alkitab, ketiga sudut padang yang diambil atas ketidaksinambungan sosial budaya antara Yesus dan perempuan. Pada laporan kali ini, latar para leluhur dan secara eksplisit dijelaskan dalam bentuk patriarki dari interpertasi yang mereka berikan. Kedua contoh pada tipe ini diinterpertasikan pada kelompok dari Harcourt, Nigeria dan Pendalaman Alkitab Siyaphila, Afrika Selatan.
            Pada penjelasan yang diberikan oleh kelompok Port Harcourt, Nigeria, berikut ini adalah laporan mengenai metode konteks pembacaan Alkitab:
Secara kontekstual, injil Yohanes 4 yaitu pada perspektif budaya Afrika. Sampai pada akhirnya, satu orang telah dipilih untuk mempersiapkan bagian secara tekstual atau ayat yang memiliki nilai yang tidak sesuai dengan aspek nilai budaya di Afrika seperti kesopansantunan, keleluhuran, seorang ibu dan perempuan, pernikahan lebih dari satu pasangan/polihami dan sistem Osu cate di Igboland atau diamanapun di Afrika. Kelompok ini kemudian mendiskusikan pada aspek tersebut. Anggota dari kelompok masing-masing membawa benda yang akan menjadi perumpamaan dalam pendalaman Alkitab tersebut seperti botol air mineral, sebuah salib, sebuah lilin dan satu potong baju putih. Kemudian kelompok tersebut mempertimbangkan alat bantu tersebut sebagai simbol seperti hidup, kekudusan dan terang, yang mana merupakan pancaran dari Kristus dalam hidup seorang Kristen. Selain itu, para anggota dalam grup tersebut membawa alat bantu seperti Ikenga atau Ofo, pajangan sapi, pot keramik, bulu unggas dan alat bantu lain yang merupakan simbol dari kepercayaan yang diterima oleh para leluhur berdasarkan latar budaya di Afrika. Kelompok tersebut memberikan atmosfir yang menyenangkan pada saat pendalaman Alkitab seperti kedalaman berpirkir, tertawa dan simpati emosi dengan perempuan Samaria, ketika perempuan tersebut digambarkan memiliki kepercayaan yang kuat pada tradisinya dengan para leluhur dan tempat penyembahan… pembacaan teks pada Injil Yohanes 4 membangkitkan pemikiran yang menarik, ingatan dan pengalaman bagi setiap individu yang ada pada kelompok pendalaman Alkitab tersebut. Ayat tersebut mengingatkan para anggotanya dengan aspek yang beraneka ragam dari latar belakang nilai budaya di Afrika dan pengamalannya baik dari segi nama leluhur dan permasalahan yang ada pada system Osu caste system di Igoland seperti poligami, kesopansantunan dan tentang perempuan dan seorang ibu.
Degan rujukan sebagaimana trcantum oada ayat 10 dan 22, kelompok tersebut menyimpulkan bahwa:
Tidak dapat diragukan lagi kejelasannya bahwa, baik secara alkitabah dan tradisi budaya di Afrika, setiap orang berpegang pada budaya leluhurnya. Oleh sebab itu, perempuan Samaria tidak ada perkataan Samaria yang mematahkan hubungan kepercayaan dengan para leluhurnya kepada Yesus, kepercayaann kepada luluhur yang sudah mengakar kuat dan selalu dia ingat dengan menanyakan: “Adakah Engkau lebih besar dari bapa leluhur kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami?” Lebih jauh lagi pada ayat 20, perempuan tersebut mengatakan: “leluhur kami menyembah di gunung ini” Perkataan ini sebagian mengingatkan para anggota kelompok tentang kegigihan para leluhur pada kearifan local setempat. Faktanya, para leluhur merupakan kunci dari kepercayaan dan budaya yang ada di Afrika. Oleh sebab itu, mereka menyembah leluhur yang sudah tiada. Pada teks ini, perempuan Samaria digambarkan seperti nabi bagi para leluhur. Kelompok tersebut melihat teks pada Yohanes 4 sebagai pemahaman yang signifikan dan biasa bagi pemahaman orang Kristen. Tentu saja, Yesus adalah air hidup bagi para leluhur yang sudah tidak ada terlebih dahulu di komunitas mereka. Tidak diragukan lagi bahwa gambaran Yesus yang juga adalah Tuhan bagi para leluhur semakin bergema pada Injil Yohanes. Konsekuensinya, setiap orang Kristen di Afrika pada akhirnya meyakini bahwa Yesus adalah teladan hidup sehari karena Ia adalah Tuhan. Seperti halnya dengan perempuan Samaria yang menyatakan bahwa Yakub adalah bapa leluhur, orang Kristen hari ini di Afrika berpegang teguh kepada Kristus yang adalah Leluhur yang sesungguhnya yang mereka percaya. Ini sangat signifikan.

TEOLOGI MINJUNG


TEOLOGI MINJUNG

1.             Minjung, Minjung Solidarist and Minjung Leader
1.1  Siapakah Minjung ?[1]
Minjung adalah subjek sejarah dan substansinya adalah  masyarakat, Minjung adalah orang kelas bawah yang tertindas secara politik, dieksploitasi secara ekonomi dan diasingkan,Minjung adalah konsep yang dinamis dan relatif, Tuhan ada di pihak Minjung.Bagian yang terdapat didalam Alkitab yang merujuk terhadap Minjung, yaitu: Anak Yatim (Job 24:9); Janda (kel 22:22; Ul 27:19; Yes 10:2); Pendatang  (Im 19:10; Ul 24:19-21); Penduduk Sementara (Kel 12:45; mzm 39:12); Pekerja upah harian (Im 19:13; ul 24:15); Orang Miskin (mzm 25:12-14; 86:1); Orang yang lemah (2 samuel 13:4); Pelayan (Keluaran 21:7-11). Mereka adalah orang tertindas, dieksploitasi serta tidak memiliki siapa-siapa untuk membantu mereka dan mereka diperlakukan tidak manusiawi. Tuhan memerintahkan umatNya untuk membantu dan melidungi mereka. Tuhan memerintahkan anggota komunitas Israel untuk tidak memanfaatkan, menindas atau menahan keadilan dari mereka
·      Orang-orang yang tergabung dalam Minjung
          Adam dan hawa adalah manusia pertama yang digolongkan Minjung, setelah kejatuhan kedalam dosa maka Hawa menjadi yang diperintah (seorang Minjung), Habel adalah Minjung yang ditindas oleh Kain. Nuh dan keluarganya menjadi korban dunia yang penuh dengan kekerasan dan penindasan (Kej 6:9-13). Abraham adalah orang asing dan penghuni sementara. Hagar dan Ismael dikirim Sarah dan mereka berkeliaran di padang pasir (Kej 21:8-21). Yakub yang menjadi buruh tani yang tinggal selama 20 tahun di rumah istrinya. Orang Israel yang menjadi budak Firaun di Mesir.


1.2 Minjung Solidarist[2]
          Minjung Solidaris adalah orang yang membantu para kaum Minjung untuk memenuhi tujuan yang memberikan dukungan penting untuk mencapai gerakan Minjung. Ayat Alkitab yang menunjukkan Minjung solidaris ini adalah dalam (Imamat 25:23-28, 47-55).

2.             Jesus as Reformer of popular Messianic Movements in the 1 century C. E
          Pada abad pertama terjadi perlawanan Yahudi melawan kekaisaran Romawi yang telah berkembang dalam berbagai bentuk di Palestina. Perlawanan Yahudi terhadap kekaisaran Romawi dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: pergerakan mesianis yang populer, gerakan perwujudan bentuk tindakan dan gerakan lainnya seperti kaum Sicarii, Zealot dan perampok.
2.1 Perwujudan nabi dan gerakan lain dalam abad 1.
          R. A. Horsley membagi rencana Palestina pada abad pertama yaitu gerakan kenabiaaan dan gerakan mesianik populer. Kemudian ia membagi gerakan kenabian  tersebut kedalam dua jenis, yaitu: bentuk nubuatan dan bentuk aksi. Bentuk nabi nubuatan merupakan yang tidak memiliki pengikut dan merupakan utusan (Yohanes pembaptis). Bentuk nabi aksi adalah yang memiliki banyak pengikut untuk tujuan menyelamatkan (Musa, Yosua). Kaum zelot merupakan kelas yang paling tertindas seperti budak, petani dan pekerja upah yang mengharapkan Mesias dan yang memperjuangkan eskatologis. Misi mereka adalah untuk memulihkan teokrasi kesetaraan melalui kepemimpinan kelompok. Kelompok sicarii merupakan kelompok yang menolak pencurian tetapi tidak menolak pembunuhan, terdapat tiga taktik teror mereka, yaitu: pembunuhan simbolis terhadap orang-orang terpilih, menghancurkan kekayaan orang kaya dan penculikan. Tujuan akhir dari pemberontakan kelompok ini adalah untuk mengusir orang Romawi dari Palestina.[3]

2.2    Gerakan Mesiannik Populer pada abad 1.[4]
          Ada dua gerakan Mesianik populer yang ada di abad 1, yaitu: pemberontakan besar-besaran Minjung setelah kematian Herodes dan perlawanan Yahudi melawan orang Romawi pada tahun 66-70. Pergerakan mesianik populer berakar dari Saul dan Daud.
·   Gerakan Mesianik Populer setelah kematian Herodes
          Penindasan dan eksploitas Roma terhadap Palestina dalam pemerintahan Herodes ditujukan kepada kaum Minjung. Selama kepemimpinan Herodes orang miskin dipaksa untuk membayar pajak yang sangat besar. Akibatnya tujuan dari gerakan mesianik adalah untuk memenangkan kebebasan dari peraturan Herodesdan untuk membangun masyarakat yang setara. Setelah kematian dari Herodes banyak Minjung yang berpartisipasi dalam gerakan mesianik untuk mengembalikan kembali hak mereka yang telah direbut dan memperbaiki sistem ekonomi yang memburuk.
·    Gerakan Mesianik Populer pada tahun 68-70
          Alasan utama terjadinya gerakan mesianik ini adalah karena Gessius Florus (64-66) dan pemungut cukai yang mengeksploitasi orang-orang dari kalangan rendah. Karena ketidakadilan tersebut maka kaum sicarii yang dipimpin oleh Menahen melakukan pemberontakan berskala besar di Yerusalem untuk membela keadilan.

2.3    Gerakan Mesianik Yesus[5]
          Metode yang dilakukan didalam gerakan Mesianik Yesus adalah metode tanpa kekerasan. Karena dengan tindakan kekerasan hanya akan menimbulkan lebih banyak lagi kekerasan. Yesus lebih memilih mengorbankan diriNya di kayu salib. Metode yang lain adalah pengampunan dan cinta terhadap musuh (Matius 5:43-44). Dia tidak hanya mengajarkan tetapi mempraktekkannya. Yesus adalah hamba yang menderita seperti yang telah dinubuatkan oleh Yesaya. Dia menanggung kelemahan kita dan menanggung penyakit kita (Matius 8:17). Tujuan Yesus bukanlah pembebasan orang-orang Yahudi dari kekaisaran Romawi dan merekonstruksi kerajaan Israel, bukan untuk membangun kerajaan duniawi melainkan kerajaan Allah.

3.             PENDEKATAN TERHADAP MINJUNG
3.1  Perjanjian Lama dari Perspektif Teologi Minjung
A.  Metode untuk Menafsirkan Alkitab dari Perspektif Teologi Minjung[6]
          Inti metode penafsiran teologi Minjung adalah membaca dan menafsirkan Alkitab melalui “mata Minjung”. Untuk pembacaan Alkitab ini, para teolog Minjung menggunakan metode penafsiran, seperti: metode historis Kritis, pembacaan secara holistik terhadap canon dan metode historis sosioekonomi.
3.2 Metode Historis-Kritis dan keterbatasannya.
Metode ini memberikan kontribusi penting bagi penafsiran Alkitab dengan mengetahui latar belakang historis teks, siapa penulis, maksud penulis dan kapan ditulis. Tetapi disisi yang lain metode ini juga memiliki kelemahan yaitu dapat merusak otoritas Alkitab atau Firman Allah. Metode ini untuk membantu pembaca Alkitab menemukan dan memahami arti sebenarnya dari teks Alkitab itu sendiri.

3.3  Holistic Reading of the Canon
          Didalam membaca Alkitab kita harus menggunakan iman kita, bukan hanya dari sudut pandang teologisnya. Metode ini muncul karena banyaknya kelemahan yang didapat dari penggunaan metode historis Kritis. Metode ini lebih dekat kepada Minjung karena metode ini mempelajari dari sudut pandang Minjung.
3.4    Socioeconomic-Historical Interpretation of the Bible
          Kebanyakan orang hanya menafsirkan Alkitab dari sudut pandang religius, perlu diketahui bahwa di Alkitab bukan hanya membahas mengenai Agama, tetapi menggambarkan semua aspek kehidupan manusia, yaitu aspek sosial, politik, budaya dan ekonomi. Maka diperlukan metode sosio-ekonomi supaya memiliki pemahaman yang benar tentang Alkitab dan masyarakat manusia didalam Alkitab, khususnya kaum Minjung.

3.5    Membaca Alkitab melalui mata Minjung
          Pembacaan Alkitab melalui “mata Minjung” adalah pendekatan dan inti tafsiran Alkitabnya dari sudut pandang Teologi Minjung. Minjung merupakan umat Allah yang berada di kelas bawah yang terasing secara sosial, dieksploitasi secra ekonomi dan tertindas secara potitis. Yesus sebagai manusia sejati dan Allah yang benar dan Mesias berada bersama-sama dengan Minjung serta membebaskan Minjung dari penindasan.[7]
B.  Contoh Interpretasi Alkitab dari Perspektif Teologi Minjung
          Beberapa teolog yang menafsirkan Alkitab dari perspektif Teologi Minjung, yaitu:
3.6    Suh Nam-Dong
          Referensi teologi Minjung dalam perjanjian lama menurut Suh Nam-Dong merujuk kepada ibrani 11 yaitu  saksi dari iman” yang meliputi Adam, Hawa, Habel, Henonk, Nuh, Abraham, Yakub, Musa, Rahab, Gideon, Simson, Yefta, Samuel dan yang lainnya bahwa mereka adalah Minjung. Artinya adalah bahwa tradisi saksi adalah garis silsilah gerakan Minjung. Kemudian peristiwa keluarnya bangsa Israel dari perbudakan bangsa Mesir, orang-orang Ibrani yang termasuk masyarakat yang berasal dari kalangan rendah seperti pengemis.
3.7    Moon Ik-Whan
Moon Ik-whanadalah seorang aktivis  gerakan Minjung yang berusaha untuk menyatukan antara korea utara dan selatan. Dari penafsiran Alkitab yang dilakukannya, ia berpendapat bahwa sejarah israel adalah sebagai sejarah Minjung. Ia mengatakan bahwa bangsa Israel yang sedang dalam keadaan tertindas hanya menyembah Yahweh yang merupakan salah satu dewa dari banyaknya dewa mereka. Hanya Yahweh yang membebaskan mereka oleh karena itu mereka hanya menyembah Yahweh dan meninggalkan dewa yang lain. Dan mereka membuat perjanjian didalam komunitas mereka hanya menyembah Yahweh yang merupakan Raja mereka.

Sebuah Pemahaman Teologi Minjung dari Dasa Titah
          Minjung adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Korea, yang secara harafiah berarti orang banyak. Tetapi teolog Minjung Korea mendefinisikan Minjung sebagai berikut:
1.    Minjung umumnya merujuk kepada kelas rendah yang diasingkan secara sosial, atau dimanfaatkan secara ekonomis, atau menindas secara politis, dan lain-lain.
2.    Minjung adalah subjek (pokok) sejarah dan hakekat masyarakat.
3.    Tuhan memberikan sisi Minjung
4.    Bangsa, yang mana Minjung adalah subjeknya, adalah bangsa yang adil, memiliki hak yg sama, kebebasan, dan perdamaian.
Dasa Titah muncul sebanyak dua kali dalam Perjanjian Lama yaitu Kel 20:2-17 dan Ul 5:6-21. Kel. 20:2-17 adalah “Perjanjian di Gunung Sinai” yang mana Musa menerima dari Tuhan di Gunung Sinai. Disamping itu, Ul. 5: 6-21 adalah dalam konteks Musa berkhotbah pada bangsa Israel di dataran Moab meninjau kembali kehidupan mereka dihutan belantara selama 40 tahun lalu. Kesepuluh Firman dalam Ul. 5 sebagai pengulangan Kesepuluh Firman dalam Kel. 20.
Khususnya, ada banyak banyak perbedaan penting di dasar Dasa Titah Hari Sabat. Dalam Kel. 20:2-17 dikatakan bahwa hari Sabat harus kita jaga sebagai hari yang kudus karena dalam enam hari lamanya Tuhan menciptakan langit dan bumi, laut, dan seluruh ciptaan, tetapi istirahat pada hari ketujuh dari semua semua pekerjaan yang telah Ia selesaikan. Selain itu, dalam Ul. 5:15 dikatakan bahwa Allah memerintahkan bangsa Israel untuk menjaga hari Sabat karena Dia telah melepaskan mereka dari perbudakan di Mesir.


Roh Kesepuluh Firman
          Kesepuluh Firman secara umum dibagi menjadi dua bagian, pertama berhubungan dengan Tuhan (1-4), dan yang lain berhubungan dengan manusia (5-10). “Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan”. (Kel. 20:2; Ul. 5:6). Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan telah mengatur agar bangsa Israel bebas dari perbudakan di Mesir. Penyataan pembebasan ini tidak terbatas untuk bangsa Israel, tetapi berlaku juga untuk setiap manusia yang hidup di bumi. Kebebasan itu dianggap berasal dari Tuhan, dan kebebasan untuk manusia tidak harus hidup sebagai budak (tertindas).
                   Dasa Titah yang pertama, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel. 20:3; Ul. 5:7), adalah sebuah permintaan yang eksklusif bahwa kita melayani Allah sendiri. Hanya Yahweh adalah Tuhan yang benar tiada duanya dan Tuhan yang sesungguhnya membebaskan dunia. Dasa Titah yang pertama adalah sebuah pernyataan yang melarang seperti pendewaan manusia, seperti Adolf Hitler dan Kim II Sung Korean Utara yang menguasai setiap bagian pemerintahan lebih dari orang-orang. Dalam hal ini, banyak umat Kristen Korea telah berjuang melawan dan menentang pemerintahan yang diktatoris (adikara, angkuh).
          Dasa Titah yang kedua, “Jangan membuat bagimu patung…. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya . . .” (Kel. 20:4-5; Ul. 5:8-9). . Dasa Titah ke-2 mendekati Dasa Titah ke-3, mengajar kita bahwa Allah bukan makhluk yang mana kita dapat atur seraya kemauan kita. Dasa Titah ke empat, Dasa Titah tentang hari Sabad melayani sebagai rantai yang menghubungkan tiga perintah yang pertama, yang mana menyatakan secara tidak  langsung bahwa ada hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Dasa Titah ke 5 sampai ke 10 yang menyatakan bahwa ada sebuah hubungan horizontal antara makhluk hidup.[8]
Dasa Titah ke 5 sampai ke 10 adalah hukum tentang hubungan manusia dalam masyarakat. Dasa Titah ke 5, “Hormatilah ayahmu dan ibumu” (Kel. 20:12; Ul. 5:16), mengatakan bahwa itu adalah kewajiban anak laki-laki dan anak perempuan untuk menghormati orangtua mereka. Hukum ini menyatakan bahwa kita harus menghormati semua orangtua, terutama sekali orangtua yang lemah yang sudah tua dan lemah kesehatannya. Mereka adalah Minjung. Tradisi orang Korea yang bagus diantarnya menghargai orang-orang tua mereka yang sebagian besar berkurang hari-harinya. Dasa Titah yang ke 6, “Jangan membunuh” (Kel. 20:13; Ul. 5:17), adalah sebuah peringatan yang melarang kecenderungan untuk memandang rendah terhadap hidup, seperti seorang manusia dapat mengambil kehidupan yang lain (hidup lain). Dasa Titah ke 7, “Jangan berzinah” (Kel. 20:16; Ul 5:18),  telah menjadi objek yang penjaga kesucian kehidupan perkawinan dan penjaga perdamaian di rumah dengan mencegah seks dari menjadi sederhana yang berarti kenikmatan. Dasa Titah kedelapan, “Jangan mencuri” (Kel. 20:15; Ul. 5:19), dibuat untuk makhluk hidup dan berbagai objek. Bagaimanapun, disini kita hanya akan memikirkan objek dari hukum ini dalam istilah benda daripada makhluk hidup.
Dasa Titah ke 9, “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”, adalah sebuah hukum untuk memberhentikan kebohongan supaya menyadari bagaimana masyarakat yang adil atau pantas. Dasa Titah yang ke 10, “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan atau lembunya,atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu” (Kel. 20:17; Ul. 5:21), adalah sama dengan Dasa Titah yang kedelapan, “Jangan mencuri”.  


Membaca Alkitab dari Perspektif orang Asia
          Sejak tahun 1970 an, ilmu teologi jelas sudah mucul di banyak negara-negara Asia. Mereka adalah Teologi Minjung di Korea. Secara khusus pembahasan ini akan membahas ciri-ciri umum dari Teologi Asia dan cara orang Asia membaca Alkitab dari perbedaan-perbedaan dan mengenai masalah dan sasaran hasil Teologi Asia.
          Teologi Asia memakai semboyan anti Teologi Barat, sebab teologi Barat tidak cocok dengan situasi masing-masing negara Asia dan tidak dapat memenuhi cita-cita gereja Asia. Di Korea sendiri sebagian besar dari perkabar Injil Amerika mencegah pergerakan kemerdekaan. Pendeta Korea dan umat Kristen mengadakan Pergerakan Kemeredekaan pada 1 Mei 1919. Selama diktator kemiliteran pada tahun 1970an dan 80an, gereja-gereja Korea dikuasai oleh Teologi Pemisahan Gereja dan Negara yang mana pendeta telah di bawah peraturan imperialisme Jepang. Beberapa pendeta yang nampaknya menuntut pemisahan agama dan politik dan mendoakan rezim kemiliteran. Sebaliknya, beberapa teolog dan pendeta berjuang melawan demokratisasi dan membebaskan intimidasi dari rezim kemiliteran. Rezim saat itu bahkan mejebloskan ke pejara dan menyiksa teolog Korea Suh Nam- Dong dan Ahn Byung-Mu yang menentang teologi Barat karena bersifat idealis dan menyimpang dari situasi nyata Korea. Teolog-teolog Asia sangat tidak sabar dengan teologi tradisional yang tidak mampu memberi reaksi terhadap keadaan yang terjadi dan berpartisipasi dalam memperjuangkan kebebasan.             
          Ciri-ciri utama teologi Asia yang lain adalah bahwa ini adalah bukan teologi untuk penguasa atau kelas yang menguasai tetapi yang dikuasai/diperintah, tidak ada sebuah teologi untuk penindas tetapi menindas. Teologi Asia yang baru lahir memiliki karakter dari post-kolonialisme, apakah dengan sadar atau tidak dengan sadar. Teologi Asia tidak hanya untuk kepentingan teologi saja, tetapi pembebasan dari tindasan; teologi Minjung di Korea bertujuan untuk pembebasan Minjung dari otokrasi militer.[9]
          Membaca Alkitab dari perspektif teologi Asia adalah membaca Alkitab dari bawah yaitu dari Perjanjian Lama adalah cerita Yahudi yang diperbudak di Mesir. Membaca Alkitab dari bawah adalah membaca Alkitab yang terutama dari sudut pandang yang tidak adil dimanfaatkan dan ditindas dari bawah. Banyak yang mengkritik bahwa membaca Alkitab berdasarkan teologi Asia condong menjadi paham (golongan) tertentu dan sebagian berdiri di pihak yang tertindas, hal itu dapat merusak konsep keselamatan Tuhan untuk seluruh dunia. Tuhan tetap menyelamatkan Minjung. dan juga anti- Minjung. Membaca Alkitab dari perspektif teologi Asia tidak hanya untuk memperoleh pengetahuan Injil, tetapi juga meneruskan untuk memperbaiki kepercayaan yang tersesat dari gereja yang ada tentang dasar kebenaran dogma dari kepercayaan sendiri. Teologi Asia menganjurkan sebuah ajaran tentang keselamatan manusia yang membuat tekanan istimewa untuk praktik supaya memperbaiki penyalahgunaan agama Kristen yang meniadakan dan mengurangi nilai-nilai etis. Berdasarkan Mat 7:21, ukuran untuk masuk surga pada penghakiman terakhir adalah manusia yang peduli kepada orang yang lapar, orang yang haus, orang yang telanjang, orang sakit, dan orang yang dipenjara (ditawan).
          Teologi Asia memiliki kecenderungan memperhatikan praksis yang besar, sedangkan praksis yang lebih kecil dikecualikan seolah-olah mereka tidak penting. Menurut Mat 25:31-46, ukuran penghakiman pada Hari Terakhir akan menjadi tindakan yang termasuk dalam kategori tindakan kecil. Asia adalah masyarakat multi agama, dan beberapa agama-agama tersebut memiliki Kitab Suci yang sudah datang ribuan tahun. Suh Nam-Dong, seorang teolog Minjung berkata dalam “pertemuan dua cerita”nya bahwa tugas teologi Minjung adalah untuk bersaksi untuk pertemuan tradisi Kristen Minjung dan tradisi Korea Minjung sebagai “mission dei”. Dia bermaksud bahwa tradisi Minjung Korea, sebagai tradisi pemeberontak revolusioner dalam sejarah Korea (Man-Juk, Yim Kkuk-Jung, Gal Cho-Sa, Chun Pong-Choon, Myo-Chong, Sa Myung-Dang, Soo-Oon, Man-Hae dan lain sebagainya).[10] Sampai awal tahun 1970an teolog Korea menganjurkan agar gereja-gereja berpartisipasi secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan kewajiban untuk memulai sebuah reformasi. Banyak teolog Asia lainnya menggunakan metode historis sosioekonomi ini. Metode ini penting bagi mereka karena teologi Asia tidak hanya bersifat akademis. Mereka bertujuan untuk berlatih di luar pagar Gereja dan merangkul wilayah evolusioner kehidupan manusia dimana kekuasaan Allah mencapai.

Masalah-masalah
·      Sinkretisme
          Agama Kristen di negara-negara Asia dapat mereformasi dirinya melalui dialog interkatif dengan agama-agama lain dan juga saling kritik. Karakteristik sinkretisme yang paling menonjol adalah “penyatuan dunia tuhan”. Menurut Mensching “penyatuan dunia tuhan” dapat dicapai dengan mengidentifikasi tuhannya sendiri dengan allah asing lainnya.
·      Kesesuaian dengan kanon
          Kanonisitas Alkitab tidak dapat diterima oleh Ahn Byung- Mu karena kanon itu menjadi kanon bukan karena itu adalah kebenaran, tetapi karena otoritas gereja yang memilih keempat buku di antara buku-buku lainnya. Sedangkan Suh Nam- Dong sebaliknya, ia lebih suka menyebutnya Alkitab “titik acuan” atau “buku referensi”. Orang-orang Kristen di Korea membaca Alkitab sebagai kanon dengan hormat dan percaya. Jika kita tidak mengakui kanonisitas Alkitab dan otoritas atas Kitab Suci lainnya di Asia, kita tidak dapat mencapai tujuan yang kita harapkan dalam pembacaan Alkitab.
·      Antara Keistimewaan dan Universalisme
          Teologi Minjung di Korea harus mengembangkan sebuah teologi yang mencakup keselamatan bukan hanya Minjung tapi juga non Minjung. Teologi Asia harus mengembangkan sebuah teologi yang mencakup keselamatan orang-orang di seluruh dunia (Yoh 3:16). Jika non-Minjung ingin berpartisipasi dalam gerakan Minjung, mereka harus diterima begitu Minjung dan non-Minjung bisa melanjutkan. Teologi Asia cenderung berpegang pada teologi mereka sendiri dan mempertahankannya dengan hanya menggunakan beberapa teks pilihan serta tetap pada kontekstual tertentu sehingga tidak dapat berkembang menjadi teologi universal. Penulis lebih setuju dengan pendapat Profesor Suh Nam- Dong yang mengatakan bahwa Minjung melakukan peran Mesias daripada Minjung Mesias. Teologi Minjung dan teologi Asia sepakat bahwa Minjung miskin yang tertindas adalah subyek sejarah dan memiliki kekuatan untuk mengubah sejarah.

Tujuan Membaca Alkitab dari Perspektif Asia
          Para pendeta di gereja-gereja Minjung pada tahun 90an melakukan pelayanan sesuai dengan teologi Minjung untuk menjadikan gereja sebagi gereja yang berkumpul. Teologi Asia seharusnya merupakan untuk masyarakat dalam karakter utama.[11]
          Teologi Minjung selalu menaruh perhatian pada wanita Minjung dan berbicara tentang rasa sakit dan aspirasi mereka untuk pembebasan. Namun feminis di Korea dipisahkan dari teologi Minjung. Ada dua kritik feminis Korea terhadap teologi Minjung yaitu pertama, Teologi Minjung biasanya menyebutkan Minjung namun tidak mencatat kenyataan tentang wanita atau cukup mengakui pengorbanan wanita dalam sejarah. Kedua, teologi Minjung telah gagal membaca Alkitab dari sudut perempuan dan teks Alkitab yang berorientasi laki-laki tidak memberi ruang lingkup untuk perspektif itu. Menurut penulis, alam yang menderita di bawah tekanan dan pemerasan dianggap sebagai semacam Minjung, oleh karena itu sudah saatnya kita serius memperhatikan pelestarian dan pembebasan alam. Penulis mengusulkan tiga hal untuk memperdalam kepentingan kita dalam mengembangkan sebuah teologi yang memberi ruang lingkup untuk saling belajar dan saling membantu dalam tugas bersama kita, yaitu pertukaran teologis terus- menerus, publikasi tahunan jurnal teologi Asia, dan membangun jaringan.[12]
           

4.      MEMPRAKTIKKAN IMAN
4.1         Tahun Yobel dan Permohonannya untuk Hari ini
          Masyarakat Israel adalah salah satu yang mewujudkan kebebasan, kesetaraan, kedamaian, dan kebenaran. Hal ini terjadi pada masa hakim-hakim yang menjadi wakil Tuhan di bumi, namun hal tersebut berubah setelah dinasti Daud. Terjadilah pemusatan kekuasaan dan kekuatan ekonomi terpusat di tangan sejumlah kecil orang kelas atas, kesetaraan berubah menjadi ketidaksetaraan.
4.2 Tahun Yobel: Hukum tahun Sabat
          Hukum tahun Sabat dianggap sebagai dasar hukum dari tahun Yobel. Tahun Sabat adalah untuk membiarkan Minjung dan hewan yang malang mendapatkan hasil tanah pada tahun Sabat. Ada dua peraturan dalam kode etik Ulangan yaitu membatalkan hutang yang telah dibuat, dan membebaskan seorang pelayan (pembantu Ibrani). Ada dua sistem penghitungan tahun Yobel. Metode tradisional yaitu menambahkan satu tahun ke tujuh hari Sabat tahun ke tujuh hari Sabat tahun tujuh kali tujuh tahun berjumlah periode empat puluh sembilan tahun, dalam hal ini tahun ke lima puluh akan menjad tahun Yobel. Cara kedua, tahun Yobel akan menjadi tahun ke empat puluh Sembilan yang diambil dari tujuh tahun kali tujuh tahun sampai periode empat puluh Sembilan tahun. Tahun Yobel menegaskan kebebasan dan mereka yang kehilangan tanah dapat kembali ke posisi dan tanah leluhur mereka.[13] Orang Israel yang menjadi miskin dan menjual dirinya sebagai budak akan dibebaskan pada tahun Yobel yang berakar pada gagasan bahwa orang-orang Israel diselamatkan dari perbudakan Mesir dan tidak boleh lagi menjadi budak bagi siapa pun. Hukum tahun Yobel tidak sebuah keputusan tetapi sebuah hukum konkrit yang harus dipraktikkan di Israel. Hukum tahun Yobel dilaksanakan di Israel untuk membentuk sebuah komunitas  yang setara tanpa kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, terkhusus orang kaya dan berkuasa berkewajiban untuk mempraktikkannya dan yang mereka lakukan adalah memberikan apa yang telah mereka dapatkan dengan berlimpah kembali kepada orang miskin. Tahun Yobel diberlakukan orang Israel di tanah Kanaan untuk melestarikan kesetaraan di masyarakat mereka dan memungkinkan untuk menebus tanah bagi pemilik tanah asli.[14] Dalam hukum tahun Yobel tidak ada peraturan untuk memungut bunga atas orang asing. Dalam sistem ekonomi modern bunga diperbolehkan karena didasarkan pada tujuan pemegang pinjaman untuk mendapat keuntungan. Namun saat ini pinjaman tanpa bunga pada semangat hukum tahun Yobel sudah tidak aktif lagi. Menurut penulis mempraktikkan semangat Yobel merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin untuk mengakhiri semua masalah. Alasan mengapa hukum tahun Yobel belum ditegakkan karena orang-orang tidak memiliki keinginan untuk mempraktikkannya. [15]

4.2  Belajar dari Konfusianisme dan agama Budha.
          Orang Korea tua karena peradaban telah kehilangan moralitas dan etika yang mereka pegang dan melakukan kesenangan. Konfusianime dan kekristenan perlu memahami dan bekerja satu sama lain demi tujuan bersama membangun kembali Hyo dalam masyarakat Korea kontemporer. Menurut kamus Korea, “Hyo adalah melayani orangtua, dan Hyodo adalah kewajiban wajar pria untuk melayani orangtua.” Dalam kitab analisis Konfusius (Lun Yu) dikatakan bahwa Hyo adalah inti dari kebajikan yang membuat manusia menjadi manusiawi. Gereja-gereja Korea harus menghidupkan dan memulihkan kembali Hyo sebagai salah satu prinsip etika keluarga Kristen. Salah satu cara mempromosikan Hyo yaitu dengan menyingkirkan aspek-aspek lemah dan negatif Konfusianisme sejauh mungkin dan membangun kembali Hyo tradisional dengan cara yang sesuai orang modern. Ada sejumlah ayat yang mengejutkan yang berbicara mengenai Hyo, misal Kel 21:17 yang menyatakan siapapun yang mengutuk ayah dab ibunya harus dihukum mati. Ayat lainnya yaitu Ul 21:18-21, Kel 21:15, Im 19:3, dan lain-lain.[16]
          Tokoh Alkitab yang melaksanakan Hyo yaitu Sem dan Ham yang menutupi ketelanjangan ayah mereka (Kej 9:27-27). Ishak mematuhi Abraham (Kej 22:1-14), dan tokoh-tokoh lainnya. Kekristenan telah kehilangan etika Hyo, terkhusus di negara-negara Barat setelah modernisasi, dan etika Kristen harus berperan dalam mengatasi krisis modern ini. Sadar atau tidak sadar kita condong memandang rendah tradisi Asia kita dan berupaya mengikuti Barat, sedangkan Barat mecoba belajar dari filsafat oriental dan moralitas. Apabila kekristenan mengambil pandangan serius dan menghidupkan moralitas dasar manusia atau Hyo, maka hal ini akan berkontribusi dalam mengatasi krisis kodrat manusia saat ini membangun moralitas sosial. Meditasi merupakan faktor yang sangat diperlukan dalam kehidupan beragama.             
          Para ilmuwan mengatakan bahwa Zen berasal dari titik berkumpul Buddhisme dan Taoisme Mahayayan (kendaraan besar). Dharme Zen dibentuk di Cina, dan menyebar ke Korea dan Jepang. Buddhisme Zen melampaui Buddhisme sampai batas tertentu karena ia berusaha untuk langsung terbangun tanpa bantuan dari kitab suci Buddha. Di Zen, orang yang bermeditasi tidak seharusnya menutup mata, tetapi dalam meditasi Kristen, dengan menutup mata bisa membantu konsentrasi. Di Zen mereka pernafasan perut, hal ini menstabilkan pikiran dan baik untuk kesehatan. Tempat Zen melakukan meditasi terutama di kuil-kuil Buddha. Orang Kristen sendiri di ruangan yang rapi dan luas dengan pencahayaan yang lembut akan baik untuk meditasi. Menurut penulis, ruangan yang luas bukanlah keharusan meditasi Kristen, kecuali apabila anda bermeditasi dalam kelompok sehingga memerlukan ruangan besar, seperti Gereja, rumah doa atau biara.[17]
Kesimpulan Konfusianisme dan Buddhisme adalah agama tradisional, yang telah memiliki pengaruh besar pada masyarakat Asia untuk waktu yang lama, jauh lebih lama daripada agama Kristen. Terlepas dari kelemahan dan perbedaan mereka dari Kekristenan, mereka memiliki banyak kelebihan yang bisa dipelajari orang Kristen. Karena kebajikan ini, Konghucu dan Buddhisme mampu mengakar dalam tanah Asia dan untuk mempengaruhi kehidupan orang-orang Asia selama lebih dari 2500 tahun. Di antara manfaatnya, saya yakin bahwa Hyo dan Zen adalah gagasan paling khas dan representatif dari Konfusianisme dan Buddhisme.[18]

4.3 Kehidupan dan Kedamaian dipandang dari Sudut Kekristenan
Di dalam Perjanjian Baru, kata dalam bahasa Yunani yang digunakan untuk “damai” adalah “eirene”.“Eirene”adalah lawan kata dari adanya perang.Yesus adalah Raja Damai yang meniadakan perang, kekacauan, masalah, kematian, dan memberikan “hidup” kepada semua orang. Kedamaian yang berasal dari Kristus merupakan sesuatu yang abadi dan kedamaian yang benar-benar terasa ada di dalam kehidupan yang Ia berikan kepada semua orang. Yesus mengundang kita untuk masuk ke dalam kedamaian ini dan memanggil kita untuk menjadi seorang pembawa damai. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan selama ini, kedamaian yang ada di dalam Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama bukanlah kedamaian yang bersifat pasif melainkan perdamaian yang bersifat aktif. Faktor-faktor yang menyebabkan kehancuran dari perdamaian ini bermacam-macam, oleh karena itu usaha untuk membangun dan mmepertahankan perdamaian itu bermacam-macam pula.Hanya beberapa orang, pihak, dan oknum yang mampu bertahan tidak menerima kedamaian.Perdamaian hanya bisa diraih jika umat manusia bekerjasama untuk menciptakannya di dalam berbagai aspek, baik itu di bidang pengetahuan, politik, ekonomi, hukum, lingkungan hidup, sosial masyarakat, budaya, dan termasuk juga teologi.Kita semua dipanggil untuk menjadi pembawa damai.Hal ini mengartikan bahwa tidak seorang pun yang pasif dan tidak melakukan hal itu.Memperbaiki dan mempertahankan perdamaian sejati di dalam bumi adalah tugas kita.Damai yang berasal dari Kerajaan Allah telah datang dan dimulai sejak kedatangan Yesus, Raja Damai di dunia ini.Tetapi ini belum lengkap, Allah memanggil kita untuk menjadi pekerjanya dalam menyelesaikan misi perdamaian yang bersumber dari Kerajaan Allah, Kerajaan Damai.Kita sebaiknya berperan aktif di dalam pemanggilan Allah ini.[19]

4.6 Pedagogi Yesus dalam Pertemuan
Dalam tulisan ini saya akan mencari semangat dan metode utama Yesus untuk menemukan sus pedagogi dalam pertemuan yang ingin menjelaskan karakteristik dasar dengan memeriksa beberapa gerakan mesianis Yesus 1. Karakteristik Gerakan Yesus Messianie la Gerakan mesianis populer Yesus aktif. Mesias yang populer bertujuan untuk membangun komunitas baru seperti Yesus. Namun, pendekatan Yesus memiliki karakter yang berbeda secara mendasar dibandingkan dengan Mesias Populer lainnya. Kita dapat menemukan karakter umum Yesus dari karakteristik ini.
Metode Tanpa kekerasan Perbedaan utama antara gerakan messianie yang populer di abad pertama Masehi, dan gerakan mesianik Yesus adalah penggunaan kekerasan. Sementara gerakan mesianik populer menggunakan senjata untuk mencapai tujuan mereka, Yesus menekankan sebuah metodologi tanpa kekerasan. adalah sebuah kutipan dari khotbah di Bukit dimana Yesus menekankan tidak ada kekerasan.
Pengampunan dan Cinta untuk Musuh Yesus tidak hanya mengajar tanpa kekerasan tapi juga mengajarkan kita untuk mencintai musuh kita. "Anda telah mendengar bahwa itu dikatakan, 'Lo tetangga Anda dan benci musuh Anda.' Tapi saya Anda: Cintai musuh Anda dan berdoalah untuk orang-orang yang menganiaya Anda 5: 43-44). Dia tidak hanya mengajarkannya, tetapi juga mempraktikkannya. Yesus tidak hanya meninggalkan jalan kekerasan, juga mencintai orang Romawi. tentara yang membunuhnya. Penderitaan Penderita Yesus bukanlah Mesias politik heroik, seperti yang diharapkan orang Yahudi, tapi dia adalah Hamba yang menderita seperti yang telah dinubuatkan oleh Yesaya. "Dia kemudian mulai mengajar mereka bahwa anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh para tua-tua, imam kepala dan guru hukum, dan bahwa dia harus dibunuh dan setelah tiga hari bangkit kembali." (Markus 8:31) Yesus, yang hidup dan mati sebagai Hamba, tidak populer di antara manusia dan bahkan mengecewakan murid-muridNya. Ribuan orang berkumpul setelah melihat mukjizat, tapi mereka segera bertebaran. Ketika Yesus ditangkap oleh tentara Romawi, para murid melarikan diri. [20]
Tanggapan Dogmatis
Di Asia muncul semangat nasionalisme ada akhir abad ke-19, yaitu kesadaran bangsa-bangsa yang berdaulat dan makmur. Oleh karena itu bangsa di Asia ingin sekali dan bersemangat untuk melepaskan diri dari jajahan Barat, termasuk juga di dalam bidang keagamaan (gereja). Adanya kemandirian teologi, yakni kemandirian gereja untuk merumuskan teologi dan juga ekklesiologi sendiri sesuai dengan pemahaman dan pengalaman iman masing-masing di dalam konteks sosial, ekonomi, budaya, politik dan religius masing-masing.[21]
Kekristenan di Asia berhadapan dengan kemiskinan dan kenyataan hidup di tengah mayoritas penganut agama-agama lain, misalnya di Korea Utara. Pengaruh dari teologi pembebasan tidak hanya terjadi di Amerika Selatan, akan tetapi sampai ke Asia. Para teolog di Asia melihat bahwa banyak orang-orang miskin yang hilang yang kekurangan gizi, tidak bisa menikmati pendidikan dan lain sebagainya. Teologi Minjung berkembang di Korea yang mana dalam bahasa Korea, Minjung artinya “rakyat yang tertekan dan menderita” seperti kaum petani, buruh dan pedagang kecil serta pegawai rendahan. Orang-orang yang menderita ini berada di sekitar Yesus (Mat. 4: 25), dan Yesus menunjukkan sikap belas kasihan kepada mereka (Mat. 9: 36).[22]
Kata Minjung mulai dipakai ketika para teolog, pekerja muda, mahasiswa, imam dan pastor, mengadakan pertemuan dan saling berbagi cerita satu sama lain. Mereka membentuk himpunan dan penyampaian pendapat, mulai dari pekerja remaja perempuan yang menderita di pabrik, petani, mahasiswa yang diseret dalam pengadilan militer, para profesor dan wartawan yang diculik. Teologi Minjung berangkat dari sejarah dan kebudayaan rakyat Korea sehingga dapat diterjemahkan pula sebagai teologi rakyat Korea.[23]
Teologi Minjung lahir dari upaya-upaya yang dilakukan sejumlah teolog Korea pada suatu konsultan atas prakarsa Komisi Teologi Dewan Gereja-gereja Nasional di Korea yang diadakan di Seoul, 22-24 Oktober 1979 dengan pokok utama yang dibicarakan yaitu: “Umat Allah dan misi Gereja” dan teolog yang paling terkenal dalam Teologi Minjung adalah Kim Yong Bock. Seorang teolog perempuan yang juga mengembangkan pemikiran mengenai teologi Minjung ialah Chung Hyun Kyung. Dia dengan berani memakai unsur konteks Asia untuk menyatakan makna Kristus dan merenungkan kembali gambaran Yesus sebagai hamba.Teologi Minjung merupakan semacam teologi pembebasan dalam konteks Korea.[24]
Teologi Minjung tidak melepaskan Kitab Suci sebagai sumber teologinya. Teologi Minjung menempatkan pengalaman manusia sebagai titik tolak refleksi. Refleksi atas pengalaman penderitaan rakyat Korea yang terungkap dalam bahasa-bahasa mereka yang khas yaitu bahasa han dan seni pertunjukan tari topeng, dan memadukannya dengan refleksi biblis, melahirkan sebuah teologi Minjung. Tugas hermeneutis dasar teologi Minjung bukanlah menafsirkan teks-teks Kitab Suci dalam terang situasi dan konteks Korea, tetapi menafsirkan pengalaman penderitaan kaum Minjung Korea dalam terang teks Kitab Suci. Ini bukan berarti bahwa Minjung lebih penting dari Kitab Suci, namun hanya mau menegaskan bahwa Minjung adalah titik awal dari sebuah hermeneutika biblis.[25]
Rakyat Minjung adalah rakyat jelata yang sudah sekian lama dalam penderitaan karena banyaknya penindasan yang mereka alami dari pemerintah sendiri dan juga beberapa kuasa penjajah. Hal inilah yang melatarbelakangi terbentuknya teologi Minjung yang mencoba memberi interpretasi iman Kristen yang bertolak dari penderitaan Minjung, dan interpretasi yang dimaksud di sini adalah bersifat politik. Oleh sebab itu, Teologi Minjung sesungguhnya merupakan reaksi terhadap kecenderungan para pekabar injil dahulu dan sebagian orang Kristen di Korea sekarang untuk mengutamakan penghiburan rohani dalam iman Kristen. Teologi ini mengusahakan adanya keterkaitan antara pengalaman penderitaan Minjung dengan kerinduan akan pembebasannya, yang mana di dalam sejarah Korea menyebabkan pemberontakan rakyat terhadap para penindas dengan cerita-cerita di dalam Alkitab. Salah satu cerita di dalam Alkitab yang paling dekat dengan teologi ini adalah cerita keluaran bangsa Israel dari tanah Mesir. Yesus Kristus dipercayai dan dilihat sebagai personifikasi Minjung dan menjadikan Minjung rindu akan Kerajaan Allah, yang mana Yesus mati di kayu salib dan dalam kebangkitannya, Yesus juga menyatakan DiriNya kepada Minjung sebagai mahluk ciptaan Tuhan.[26]
Yang menjadi corak khas Korea adalah bahwa unsur kebudayaan dan sejarah Korea dipergunakan untuk menginterpretasikan iman Kristen. Istilah han memainkan peran yang sangat penting dalam tologi Minjung yang artinya, penderitaan tanpa kuasa untuk membebaskan diri dari penderitaan ini dan tanpa harapan, tetapi sekaligus penuh kerinduan untuk mengatasi penderitaan. Tujuan dari teologi Minjung adalah untuk mengambil dari injil Kristus harapan yang membangkitkan Minjung untuk memperjuangkan keadilan, persekutuan dan syalom, yang adalah unsur-unsur hakiki kerajaan mesianis yang diproklamasikan Kristus.[27]
Di tengah-tengah masyarakat Korea yang sudah berada di dalam kelas menengah ke atas, ada kelompok-kelompok masyarakat yang masih menderita akibat penindasan dari pemerintah, dan gerakan Minjung ingin membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan penderitaan, karena Yesus berpihak kepada orang-orang yang lemah. Teologi ini mempunyai semboyan “Yesus yang tersalib itu berasal dari Minjung”[28]
Dalam Buku “Wajah Yesus di Asia” oleh Sugirtharajah dijelaskan bahwa Yesus digambarkan sebagai sebuah patung yang terbuat dari semen dan bermahkota emas. Semen digambarkan sebagai kristologi yang dibuat oleh gereja dan mahkota emas adalah ideologi dari gereja yang mapan.Hal inilah yang menjadi pembatas yang diciptakan oleh dogma yang dibentuk di Eropa sepanjang sejarah Gereja Barat.Akan tetapi, Minjung yang melepaskan mahkota emas itu, seolah-olah membuka mulut Tuhan untuk berbicara dan ikut merasakan penderitaan yang hebat yang dialami oleh Minjung dari tanah Korea itu yang sudah lama dikurung dalam penderitaan.[29]
Kim Yong Bock melihat Minjung sebagai subjek sejarah dalam sejarah yang baru. Dari kesadaran sejarah yang baru ini, menurutnya lahirlah persekutuan baru dari manusia yang telah dimerdekakan. Teologi Minjung ini menggunakan agama asli Korea, seperti tradisi shamanisme di kalangan rakyat Korea, yakni kepercayaan akan roh-roh orang mati yang dapat dipanggil dan memasuki tokoh tertentu (shaman). Shaman ini diminta untuk memasuki orang miskin dan juga merefleksikan legitimasi kekuasaan dari bawah yang telah dirampas oleh para penguasa.Teologi Minjung ini, sangat memihak kepada orang-orang miskin dan tertindas.[30] Dari keadaan dan latar belakang munculnya teologi Minjung ini, ada beberapa sumber penting bagi teologi Minjung:
·      Sumber-sumber Alkitabiah ditafsirkan untuk menjelaskan bagaimana Allah berhubungan dengan Minjung.
·      Rujukan kedua bagi Minjung adalah menafsirkan ulang sejarah gereja dari perspektif Minjung
·      Aspek yang peling mencolok dari teologi Minjung adalah bahwa para teolog Minjung di Korea telah membahas tradisi perjuangan pembebasan Minjung, yang tidak hanya menerima revolusi dan pemberontakan rakyat secara serius, tetapi juga perjuangan dan aspirasi Minjung.[31]