Sunday, 3 June 2018

Pertimbangan Etika Kekristenan Mengenai Adopsi


Pertimbangan Etika Kekristenan Mengenai Adopsi

  Pendahuluan
            Hal yang paling penting bagi seorang anak adalah keluarga. Ketika lahir ke dunia, seorang anak memiliki hak untuk dicintai dan memiliki keluarga yang baik. Masa depan masyarakat akan terasa cerah saat semua keluarga dapat memberikan hak yang dimiliki oleh seorang anak. Saat adopsi digiatkan, semua anak-anak yang akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang dapat tumbuh dengan sehat baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Apabila semua orang turut berbagian dalam adopsi, dunia ini dapat berubah.
            Makalan ini akan meneliti perkara adopsi berdasarkan pandangan yang Alkitabiah mengenai adopsi melalui praktik etika Kristiani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami etika Kristiani dan alternatif praktis dari adopsi. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menekankan pada aspek etika Kristiani dibandingkan aspek lainnya.

            1. Definisi adopsi
            Adopsi adalah memindahkan hak dan kewajiban pengasuhan anak di masa sekarang hingga masa yang akan datang secara hukum dan administrasi, dari orangtua anak secara biologis kepada orang lain yang tidak memiliki hubungan darah.[1] Kata adopsi diambil dari Bahasa Latin “adoptio”. Hal ini merujuk kepada membangun sebuah hubungan orangtua kepada orang lain yang tidak berhubungan secara hukum. Di masa modern, orangtua adopsi bisa menjadi orangtua yang sah secara hukum apabila orangtua biologis tidak mampu mengasuh anak tersebut. [2] Anak yang tidak dapat dirawat oleh orangtua kandungnya bisa mendapatkan orangtua baru sehingga memungkinkan anak ini untuk bertumbuh dalam lingkungan keluarga yang normal dan memenuhi kebutuhan sosialnya. Menerima perlindungan dari orangtua dan bertumbuh merupakan warisan yang sudah sejak dulu diturunkan turun temurun[3].

            2. Kesalahpahaman serta Manfaat Pola Adopsi dan Keterbukaan Adopsi
            Adopsi memiliki 3 pola yakni adopsi rahasia yang benar-benar dirahasiakan, adopsi yang boleh diketahui oleh pihak yang mengadopsi dan orang-orang di sekitarnya, serta adopsi yang mengizinkan orangtua kandung dan pihak yang mengadopsi untuk dapat berkomunikasi.

            2.1 Adopsi Rahasia
            Adopsi rahasia adalah adopsi yang merahasiakan semua fakta-fakta terkait adopsi dikarenakan adanya kekhawatiran bahwa di dalam masyarakat, anak adopsi akan diperlakukan secara tidak adil yang membuatnya menyimpang. Adopsi rahasia selalu membuat anggota keluarga merasa terganggu secara psikologis dengan segaa sesuatu terkait adopsi. Keluarga yang mengetahui hal ini akan merasa gugup dan takut rahasianya akan diketahui, mereka juga bisa menjaga jarak dengan anggota keluarga yang tidak mengetahui rahasia sehingga mempengaruhi interaksi yang terjadi di rumah. Hal ini menyebabkan keluarga akan kehilangan rasa percaya diri dan keintimannya. Hubungan orangtua dengan anak yang seharusnya didasari oleh rasa saling percaya dapat terancam bahaya setiap saat. Pada saat mengetahui perkara adopsi ini, anak yang diadopsi cenderung akan membuat hal-hal yang membingungkan terhadap hubungan orangtua dan anak.[4]

            2.2 Adopsi terbuka
            Anak yang diadopsi memperoleh informasi adopsi dari pihak pengadopsi, keluarga, dan relatifnya. Hal ini akan membentuk hubungan orangtua dan anak yang berdasarkan pada kepercayaan dan kejujuran yang berarti mereka akan mengetahui dan melewati perkara lampau dan menyublimasikan perkara ini. Karena itu, baik di luar keluarga maupun kepada mereka yang memerlukan penjelasan, mereka dapat dengan bebas mengatakan perkara adopsi. Hal ini menyebabkan citra diri yang sehat dan memberikan gambaran yang positif dan tepat mengenai adopsi apabila anak mengetahui dengan sebaik-baiknya apa yang berhak ia dapatkan. Mereka akan membantu bersimpati dan membangun akar serta kepercayaan yang baik antara orangtua dan anak.[5]

            2.3 Adopsi yang bebas
            Adopsi yang bebas adalah adopsi yang memperkenankan terjadinya pertukaran informasi dan interaksi terkait kehidupan anak yang diadopsi di antara orangtua kandung dan orangtua asuh sebelum atau selama masa adopsi. Derajat keterbukaan bermacam-macam, bisa dari pergantian nama, detil pribadi, rekam medis, atau temu muka. Terjadi perdebatan mengenai manfaat dan kerugian dari prosedur ini.[6]

            2.4. Manfaat dari adopsi secara terbuka[7]
1. Hubungan orangtua-anak didasarkan pada kepercayaan. Adalah mungkin untuk membentuk hubungan kepercayaan yang mendalam berdasarkan kejujuran ketika orangtua mengungkapkan fakta adopsi dari masa kanak-kanak dan secara alami menciptakan suasana di mana keluarga dapat berbicara tentang adopsi.
2. Adanya rasa hormat akan kepribadian satu sama lain. Adanya rasa menghargai hak anak-anak untuk mengetahui kelahiran mereka. Mengenali nilai eksistensial dan mengenali hak serta kualifikasi sebagai anak yang sah dapat membantu membangun identitas dan kepribadian yang sehat,.
3. Dapat berpartisipasi dalam kelompok adopsi orang tua (kelompok swadaya). Orangtua asuh menemukan bantuan untuk memecahkan masalah dan kebutuhan yang mungkin timbul dari adopsi.
4. Menerima ucapan selamat dari teman ataupun keluarga sehingga dapat membantu perubahan pola pikir mengenai adopsi dalam masyarakat.
5. Tidak perlu bersikap hati-hati saat bertindak. Ada rasa nyaman karena dapat bertindak layaknya orangtua kandung di hadapan orang lain. Orangtua dan anak dapat bekerja sama sekeras mungkin untuk mencintai dan menjalin hubungan. Melalui hal ini juga dapat membuat orang lain ikut dalam program adopsi.
6. Cara berpikir yang jernih, mencari nilai, luka anak-anak dapat diminimalkan. Dapat dipastikan bahwa adopsi dapat menyebar secara positif dengan mengamankan harga diri satu sama lain. Dalam hal pendidikan, itu memberi pengaruh positif pada kehidupan, kemanusiaan, dan semangat layanan.
7. Dapat memberikan peluang adopsi kepada anak-anak dari berbagai usia. Adopsi rahasia mempersempit kesempatan ini karena hanya diberikan kepada bayi yang baru lahir.
8. Adanya pemberian layanan medis yang tepat berdasarkan informasi yang akurat. Adanya pemberian informasi yang akurat tentang latar belakang genetik anak kepada penyedia layanan kesehatan membuatnya menerima layanan kesehatan yang tepat.  
9. Dapat memiliki efek positif. Adanya dorongan adopsi domestik, peningkatan hukum adopsi, memberikan berbagai manfaat bagi pemerintah negara dan pemerintah lokal.
10. Dengan memperoleh segala informasi terkait adopsi dan mempersiapkan adopsi secara sistematis, pihak yang mengadopsi dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul setelahnya.

            2.5 Kesalahpahaman mengenai adopsi terbuka[8]
1. Anak-anak adopsi akan mengalami diskriminasi sosial dan kerugian. Hampir tidak ada kemungkinan bahwa adopsi secara terbuka mengakibatkan adanya diskriminasi dan adopsi terbuka tidak memerlukan memberitahu orang-orang mengenai adopsi. Tidak ada perbedaan antara anak-anak adopsi dan anak-anak lainnya. Mereka sama-sama bisa menjadi orang dewasa yang sukses. Untuk dapat berhasil di dalam kemasyarakatan, kepribadian seimbang dan kemampuan jauh lebih penting daripada perkara adopsi.
2. Mereka akan diabaikan dan diejek dari kelompoknya. Nyaris tidak ada kemungkinan bahwa anak ini akan menerima ejekan atau diskriminasi dari teman-teman sekolah dan orang dewasa. Rata-rata orang yang memiliki persepsi negatif mengenai adopsi adalah orang-orang yang sudah memiliki praduga mengenai hal yang belum pernah mereka alami. Apabila seorang anak merasa percaya diri akan fakta adopsi, ia justru dapat meningkatkan kesadaran sosial yang positif mengenai adopsi kepada kelompok sosialnya.
3. Adanya rasa sedih dan bertanya-tanya ketika mereka mengetahui soal adopsi. Pemahaman mengenai adopsi tidak berhenti hanya sampai pada pemberitahuan mengenai perkara adopsi tetapi diteruskan dengan pemberian pendidikan secara tepat dan berkelanjutan kepada anak-anak yang berada dalam tahap pertumbuhan. Melalui pendidikan ini, anak akan menerima masa lalu dan situasinya pada masa sekarang dan mengembangkan pandangan yang positif mengenai kehidupan. Karena itu, informasi yang diberikan oleh orangtua adopsi kepada anak dan keyakinan dalam perkara adopsi memiliki pengaruh yang besar.
4. Tidak mengakui orangtua adopsi dan mencari orangtua kandung. Seperti sebuah pepatah yang berkata ‘Kasih sayang orangtua asuh lebih kuat dibanding orangtua kandung’, anak akan mengikuti mereka yang lebih mengasihi dengan sepenuh hati. Sulit bagi anak angkat untuk memiliki ketertarikan pada seseorang yang pertalian darahnya tidak jelas. Kasih sayang dan keyakinan yang diberikan oleh orangtua asih secara terus-menerus akan memperkuat hubungan antara anak dan orangtua.
5. Merasa terbeban karena adanya pandangan khusus terhadap tindakan dermawan yang dilakukan. Hal ini terjadi bukan karena adopsi merupakan hal yang tidak lazim tetapi memang ada perhatian khusus yang diterima. Akan tetapi, orangtua asuh tidak merasakan adanya perbedaan saat merawat anak asuh dengan merawat anak kandung. Hal ini dikarenakan tidaka adanya perbedaan antara peran dasar dan sifat yang diperlukan untuk mengasuh dan membesarkan anak adopsi dan anak kandung. Keraguan terhadap adopsi terbuka disebabkan oleh ketakutan yang tiak jelas. Ketakutan ini mempengaruhi kehidupan keluarga orangtua asuh dan sebenarnya pengalaman ini berbeda-beda dari tiap keluarga angka. Sangat diharapkan bahwa dengan pemamahan yang jelas tentang memilih metode adopsi secara bijaksana membuat banyak anak-anak yang memerlukan rumah dan kehidupan dalam masyarakat membuat banyak keluarga yang bahagia.

            Apabila kita melihat situasi adopsi saat ini, terjadi perubahan ke arah positif dari adopsi secara rahasia menuju adopsi terbuka. Ditambah lagi, manfaat dari adopsi terbukan dan kekurangan dari adopsi secara rahasia diberitahukan melalui media massa. Walaupun demikian, pada realitasnya, adopsi masih menemui banyak kesulitan karena adanya ketakutan secara sosial dan budaya. Hal ini juga dikarenakan adanya asumsi bahwa akan terjadi kerusakan hubungan antara orangtua asuh dan anak angkat ketika asal-usul adopsi diketahui olehnya. Sehingga, sepertinya masih diperlukan lebih banyak waktu lagi bagi masyarakat untuk menerima perkara adopsi.

          3. Pertimbangan Etika Kekristenan mengenai Adopsi
            Banyak orang memahami dan menekankan etika Kekristenan sebagai dasar dari adopsi, namun mereka tidak dapat memahami secara etis dan praktik spiritual. Shin Won-ha dalam bukunya yang berjudul "Discernment and Moral Choices" menunjukkan alasan-alasannya.

Apabila kita membicarakan Injil Kristen, kita membicarakan mengenai adopsi yang Tuhan lakukan. “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.” (Yohanes 1:12) merupakan kata-kata yang mengekspresikan apabila menerima Yesis, maka kita akan diterima juga sebagai anak-anak Allah. Walaupun ada pengajaran ini, orang Kristen seringkali mengabaikan implikasi etis dari hal ini dalam kehidupan dan hanya memahami secara rohani pemikiran bahwa “Umat Kristen adalah anak-anak yang diadopsi oleh Allah.[9]
           
  Pandangan etis yang ditekankan oleh Shin adalah sistem yang diimplementasikan pada kemasyarakatan Roma pada saat itu. Sebagai contoh, sistem adopsi pada masa Roma-Yunani adalah “Dalam dunia Yunani-Roma, anak asuh berhak untuk menikmati status legal dan hak sama seperti seorang anak kandung, juga memiliki status dan hak untuk mewarisi harta orangtua. Adopsi berarti lepas dari posisi sebelumnya untuk dapat menjadi anggota keluarga yang baru, memiliki identitas, hak, dan kewajiban keluarga yang baru.”[10] Sisteman adopsi ini pun berlaku juga pada perkumpulan gereja yang dimaksudkan oleh Paulus dalam suratnya secara langsung karena perkumpulan gereja termasuk ke dalam masyarakat pada saat itu.

            3.1 Adopsi dan Nepotisme
            Salah satu hal yang dapat kita temui dalam kenyataan mengenai hal yang menghalangi adopsi adalah hubungan darah dalam keluarga. Karakteristik dari keluarga tradisional Korea dapat dilihat dari sistem patriarkal berdasarkan hubungan darah. Sistem keluarga tradisional yang telah terbentuk dan berpusat pada klan telah menjadi struktur sosial dari zaman kuno. Sejak zaman Samhan di Korea, sistem keluarga telah terbentuk dengan menekankan pengorbanan leluhur dan suksesi keluarga sebagai dasarnya. Dengan demikian, garis keturunan harus dilimpahkan pada keturunannya dan sistem bilateral mulai berkembang[11]. Seiring dengan berlanjutnya gagasan sistem bilateral dalam relasi keluarga traidisional, sistem adopsi modern belum berkembang. Di Korea, sistem keluarga sudah berubah dari keluarga tradisional menuju keluarga inti dalam perkara struktur keluarga sejak kemerdekaan, ideologi kesamaan hak, kebebasan diri sendiri dan otonomi diperkenalkan secara luas. Di sisi lain, dalam perkara hubungan, pandangan etika didominasi oleh Yangja, yakni orangtua sebagai pihak otoriter dan dominan, juga ada akar yang kuat bahwa seorang anak harus patuh dan tunduk, dan hubungan keluarga tradisional terus berlanjut. Adopsi dipandang sebagai sesuatu yang negatif dan tidak diterima secara luas dalam masyarakat[12]. Selama hubungan darah dalam keluarga masih dianggap paling penting, agak sulit untuk merevitalisasi perkara adopsi. Walaupun demikian, orang Kristen harus menang atas asumsi ini dengan melihat keluarga dari sisi Alkitabiah. Yesus telah memberikan keluarga baru. Ia menganggap murid-murid-Nya sebagai keluarga yang berarti hubungan Yesus dengan murid-murid-Nya bukanlah berdasarkan hubungan darah. Mereka yang adalah anggota keluarga Yesus bukan saja murid-murid-Nya melainkan juga mereka yang melakukan kehendak Bapa (Markus 3:31-35). Yesus meminta mereka yang mendengar Firman-Nya dan juga murid-Nya untuk mencintai Yesus lebih dari mencintai keluarga karena Yesus pun demikian. Mereka adalah saudara, saudari, dan keluarga dalam Kristus. Ini bukanlah adopsi modern namun perlu diingat bahwa mereka tinggal seperti dalam komunitas keluarga. Adopsi adalah untuk menyelamatkan yang hilang dari komunitas ini. Dengan pandangan biblikan inilah kita dapat mengatasi asumsi dalam perkara adopsi.

            3.2 Anak adopsi
            Kita dapat mengkategorikan orang yang terkait dengan adopsi dalam 3 aspek: anak asuh, orangtua asuh, dan orangtua kandung. Yang pertama menjadi perhatian adalah anak-anak yang perlu dilindungi oleh pemerintah dan memerlukan keluarga adalah anak-anak yang orangtuanya bercerai, kematian orangtua dan pengangguran, kelaparan, korban kekerasan pada anak-anak, anak-anak yang kabur dari rumah, dan anak-anak yang lahir di luar pernikahan yang sah. Anak-anak yang memerlukan perlindungan ini adalah anak-anak yang dimaksud di dalam kitab Perjanjian Lama bahwa Tuhan memperhatikan janda dan anak yatim, karena itu, melalui hal ini kita bisa membangun pilar teori yang kuat mengenai adopsi. Melindungi anak yatim yang kehilangan orangtua mereka dan tidak punya rumah merupakan sebuah gambaran moral yang penting dari kita, sebagai orang Israel secara rohani hari ini untuk menggambarkan bagaimana kita melindungi mereka yang lemah[13].
            Apakah anak yatim yang dimaksud dalam Perjanjian Lama hanyalah mereka yang ibunya telah meninggal? Anak yatim juga adalah mereka yang kehilangan ayahnya karena kematian. Hal ini merefleksikan sistem patriarkal yang menjadikan ayah sebagai pusatnya. Dalam sistem patriarkal, ketika seorang ayah meninggal dunia, keluarga yang ditinggalkan dapat tercerai-berai dan hidupnya kacau. Karena itu, dalam Ulangan 10:18 dan Mazmur 146:9 menyebutkan anak yatim dan janda-janda. Anak yatim yang kehilangan ayah (kepala keluarga) biasanya tidak memiliki kekuatan dan lemah serta berkeliaran di jalan-jalan (Mazmur 109:9,10). Bagian “Mishpatim” (Hukum) pada Keluaran 22:21-27 merupakan hukum yang pertama kalinya muncul untuk menjelaskan tentang perlindungan kepada mereka yang lebih lemah dan memiliki kekurangan. Dalam hukum ini, mereka yang dikategorikan lemah termasuk janda, anak yatim, dan orang asing. Dalam kitab Taurat, mereka memiliki peran dalam komunitas yang seperti keluarga. Perhatian kepada anak yatim merupakan hal yang penting dalam hukum. Beberapa ayat dalam Perjanjian Lama juga menyatakan hal ini. Kasih Tuhan yang diekspresikan dalam kitab Taurat digambarkan seperti kasih seorang ayah yang memberikan suplaian yang diperlukan bagi anak yatim. Pada waktu itu, mereka bukan mengadopsi tetapi tinggal dalam komunitas yang seperti keluarga. Karena itu, kita perlu mengikuti perintah Tuhan dengan tepat sehingga tidak ada lagi diskriminasi dan asumsi terkait anak yatim. Trence E. Fretheim menyatakan, “Apa yang terpenting dalam komunitas bangsa Israel bukanlah bagaimana mereka menjadi orang yang disisihkan, tetapi bagaimana mereka menjaga status mereka sebagai umat yang dikuduskan oleh Tuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari[14]. Adalah tugas mereka untuk melindungi mereka yang kekurangan dan anak yatim, terutama mereka yang dieksploitasi. Dengan demikian, orang Kristen dipanggil untuk menghidupi kehidupan secara etis, mereka perlu patuh, melindungi, dan mengasihi mereka yang lemah menurut Alkitab.
           
3.3 Orangtua Asuh
            Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam adopsi adalah siapakah orangtua yang sebenarnya? Secara sosial, memang orangtua asuh bukanlah orangtua kandung. Namun, kelahiran seorang anak hanyalah merupakan awal. Menjadi orangtua adalah hal setelahnya. Orangtua yang sesungguhnya adalah mereka yang mengasuh, berbelanja bersama, merawat saat sakit, memeluk dan menjaga mereka saat sedih. Makna leksikal dari “parenting” atau pengasuhan adalah orang yang memiliki anak dan secara sah disebut ayah dan ibu. Ini berarti bahwa tidak seperti di masa lalu yang memfokuskan aspek biologis dari kelahiran anak, masyarakat menjadi semakin kompleks dan beragam[15]. Kadushin (1980) menyatakan tindakan adopsi orangtua adalah tindakan yang menjadikan seseorang sebagai orangtua secara hal melalui proses legal dan sosial, bukan saja melalui proses biologikal. Dengan kata lain, mengasuh anak merupakan sebuah ikatan emosional yang melewati hubungan orangtua dan anak secara biologis. Karena itu, pengasuhan berdasarkan tindakan adopsi dapat menjadi model yang terus dipilih untuk merawat tanpa mempedulikan adanya ikatan darah atau tidak[16]. Tanggung jawab yang penting dari orangtua adalah untuk merawat anak mereka sampai anak-anak tersebut terjun ke dalam masyarakat dan memiliki keluarga sendiri. Walaupun perawatan dari orangtua biologis lebih diharapkan, hal ini tidak sebanding apabila dibandingkan dengan kekurangan kasih sayang dari ayah atau ibu. Terkadang orangtua asuh dapat mengasuh lebih baik. Alkitab tidak menyatakan bahwa anak dan orangtua saling memiliki. Dalam waktu yang sama, Alkitab juga menyatakan bahwa hubungan ini tidak abadi. Alkitab mengajarkan bahwa anak harus meninggalkan ayah dan ibunya, bersatu dengan pasangannya (Kejadian 2:24). Hal ini memberitahukan bahwa anak bukanlah milik orangtua. Kualifikasi dari pengasuhan yang sejati tidaklah berdasarkan hubungan darah melainkan pemenuhan tanggung jawab perawatan anak. Tugas terbesar orangtua adalah untuk mengajarkan kepercayaan, kebajikan, dan nilai dari Firman Tuhan dan memelihara iman serta mengirim mereka ke dunia dan ke komunitas gereja. Elemen esensial dan penting dari pengasuhan adalah kepercayaan bahwa Tuhan mempercayakan anak ini kepada mereka dan mereka menjawab panggilan untuk berkomitmen dan bertanggung jawab merawat anak ini dibandingkan mementingkan ada tidaknya hubungan secara biologis.[17]

            3.4 Orangtua Kandung
            Aspek lain dari adopsi adalah orangtua kandung dari anak angkat. Orangtua kandung tidak hanya kehilangan hubungan mereka dengan sang anak, tetapi juga kehilangan bagian dalam pertumbuhan dan melihat proses perkembangan sang anak. Meninggalkan anak untuk diadopsi merupakan keputusan yang sulit dan menyakitkan. Hanya ada satu alasan yang memungkinkan mereka untuk menjelaskan kepada orangtua asuh mengapa mereka menyerahkan anaknya untuk diadopsi, yakni mereka dalam situasi yang sulit. Mereka tidak dapat berbohong. Hanya mengatakn, “Mungkin mereka dalam kesulitan.” Terkadang, orangtua angkat juga perlu mengatakan “Mungkin saya akan melakukan keputusan yang sama dengan Anda” untuk membuat orangtua kandung lebih lega. Namun, cerita seperti ini dapat menjadikan seorang anak angkat menjadi khawatir ketika orangtua asuh kehilangan pekerjaan atau menghadapi kesulitan ekonomi. Lebih baik orangtua adopsi tidak menempatkan diri sebagai orangtua kandung dengan mengatakan, “Saya sudah memikirkan apa yang saya lakukan kalau menjadi sepertinya. Saya akan tetap bersamamu apapun yang terjadi.” Sebuah buku mengenai adopsi merekomendasikan cara untuk melindungi anak angkat dengan mengatakan, “Saya pikir, adalah sebuah kesalahan orangtuamu tidak mau memebesarkanmu. Bagaimana pun, saya senang kamu adalah anak saya.” Untuk meyakinkan mereka bahwa mereka tidak akan dikirim untuk diadopsi[18]. Tidak mudah bagi orangtua asuh untuk membicarakan tentang orangtua kandung karena mereka dapat menjustifikasi secara berlebihan posisi orangtua kandung dan anak bisa merasa kurang aman dalam keluarga. Karena itu, orang Kristen perlu menghidupi kehidupan yang etis berdasarkan Alkitab bagaimana melindungi mereka yang lemah. Misalnya orangtua kandung tidak dalam kondisi yang normal untuk membesarkan anak bahkan justru membahayakan mereka, apakah mereka dapat membesarkan anak ketika ini terjadi? Apakah kasus ini memberi manfaat bagi sang anak? Bukankah kita akan memilih agar anak tersebut mendapatkan orangtua yang mengasihinya? Terkadang, memberikan anak tanpa merawatnya dan justru mempercayakannya ke tempat yang lebih baik adalah praktik Kekristenan. Karena itu, tidak mudah bagi orangtua kandung untuk menyerahkan anak mereka tetapi mereka harus lepas dari pemikiran bahwa meninggalkan anak adalah perbuatan dosa. Orangtua meninggalkan anak demi sang anak karena ia adalah anggota kerajaan Allah dan telah dipercayakan kepada orangtua lainnya bagi Kerajaan Allah.

            3.5 Etika Hidup Yesus dan Adopsi[19]
            Penulis menjelaskan adopsi melalui perspektif etika kekristenan melalui hidup yang menjadi dubyek dari etika Yesus dan implikasinya pada adopsi melalui pernyataan-pernyataan di atas. Subyek dari etika Yesus adalah hidup. Jika kita melihat perkataan Yesus, kita dapat melihat semuanya berpusat pada hidup. Karena itu, penulis ingin mendiskusikan adopsi dari aspek etika hidup Yesus.
Pertama, etika hidup Yesus adalah individu namun juga kebersamaan. Hal ini merupakan keunikan dan keesaan dari hidup yang dinyatakan oleh Yesus. Khususnya, saat Ia membicarakan tentang hidup kekal, Ia mengatakan bahwa siapapun yang percaya pada-Nya akan beroleh hidup kekal, hal ini melibatkan iman seorang individu dan dalam waktu yang sama juga menyatakan kehidupan secara komunitas, komunitas yang merindukan kehidupan kekal. Namun ini bukanlah kelompok yang tanpa iman. Hidup kekal berbeda secara politik dan sosial dengan prinsip pemikiran duniawi[20].
  Kedua, kehidupan Yesus perlu diperhidupkan dan dipertahankan. Dengan kata lain, hidup yang diterima dari Allah perlu dipertahankan saat kita tinggal di duniai ini. Orang yang memiliki hidup ini perlu mengekspresikannya selama dia hidup. Begitu banyak bentuk dan jenis-jenis ekspresinya, namun hal ini terlihat dari tindakan dan pekerjaan. Karena itu, jerih lelah dan pekerjaan adalah ekspresi dari hidup dan orang yang hidup harus melakukannya. Yesus bekerja, murid-murid-Nya pun bekerja. Mereka memang tidak selalu aktif mengekspresikan hidup namun inilah tanda kehidupan bahwa seseorang memperhidupkan kesempatan hidup dengan hidup bersama dan menunjukkan kehidupan itu sendiri.
  Ketiga, kehidupan Yesus adalah kehidupan yang menyelematkan hidup orang lain. Misi dari Kekristenan tentu saja memberikan kehidupan kekal namun dalam konsep modern, hal ini juga berarti menunjang secara jasmaniah. Yesus juga memberitahu murid-murid-Nya bahwa mereka hidup mereka terlihat dari tindakan mereka (Matius 5:16). Melalui tindakan ini, Ia memuridkan dan menunjukkan hidup. Tindakan menunjukkan kehidupan dan Yesus juga memberikan teladan ini (Yohanes 13:15).
  Keempat, hidup Yesus menunjukkan bahwa ketika seseorang berada dalam kondisi ‘mati’ atau miskin, Yesus melihatnya sebagai sebuah penyakit, Ia menyembuhkan, dan memperbaharuinya. Karena hayat diekspresikan saat hidup, kita perlu memperhatikan situasi dan kondisi untuk tetap tenang. Karena itu, di sini, tindakan menyembuhkan dan memperbaharui adalah tindakan yang penting. Tindakan penyembuhan dan pembaharuan termasuk juga memperbaharui komunitas tempat tinggal bersama. Lebih jauh lagi, kehidupan digenapkan melalui memperhidupkan secara bersama dengan orang yang belum memiliki hidup kekal (Mat. 5:43). Adopsi menurut perspektif etika Kekristenan adalah seperti yang telah dijelaskan di atas.

          4. Kesimpulan
            Implikasi etis dari adopsi dalam kehidupan adalah terkait dengan hubungan darah, perlindungan hak asasi manusia dari anak adopsi, pengasuhan orangtua adopsi, dan etika hidup orangtua kandung. Dalam keempat faktor ini, etika kehidupan Yesus memiliki keunikan dan keesaan, dan diperlukan adanya pertahanan selama hidup. Selama hidup, perlu menyelamatkan hidup orang lain dan semua harus dijaga dalam kondisi yang tenang. Karena itu, terkait adopsi, kekristenan memiliki dasar yakni untuk memahami dan mempraktikkan berdasarkan etika hidup Yesus. Etika kekristenan ini membantu untuk memahami dan menyelesaikan masalah di dunia. Adopsi akan diterima sebagai praktik kekristenan secara penuh ketika ada dukungan dari masyarakat dan gereja di dalamnya.
           
            Makna yang lebih positif dari adopsi adalah “Cinta” dan “Perlindungan terhadap yang lemah". Menerima anak yatim adalah salah satu cara dari menghidupi kehidupan Kristiani yang sejati. Dalam Perjanjian Baru, pemikiran tentang adopsi dapat ditemui sebagian besar pada surat-surat Paulus. Paulus menghubungkan penerimaan Roh Kudus dengan diadopsinya manusia oleh Allah. Dalam Roma 8:15 dan Galatia 4:4-5, Paulus merujuk kepada “Roh yang menjadikan kamu anak Allah”. Orang yang percaya dapat berbagian dalam adopsi dari Kristus dan memanggil Allah, “Abba, Bapa.” Pengadopsian bekerja melalui Roh Kudus dan sebagai hasilnya, mereka yang telah diadopsi menjadi orang-orang yang telah dilahir ulangkan dan menjadi pewaris Tuhan dan Kristus menikmati berkat serta anugerah dalam keselamatan seperti yang telah dijanjikan.


[1] "금성판 국어대사전" (서울: 금성출판사, 1991), 2894. "Kamus Besar Bahasa Korea" (Seoul: Penerbit Keum Sung, 1991), 2894
[2] "사회복지대백과사전" (서울: 나눔의 , 1999), 51. "Kamus Besar Sosial dan Masyarakat" (Seoul: Penerbit Nanum, 1991), 51
[3] 이순형 2, "아동복지-이론과실천"(서울: 학지사, 2003), 234. Lee Sunyoung "Kesejahteraan anak - teori dan praktik" (Seoul: Hakzisa, 2003), 234
[4] 보건복지부, "함께하는 입양" (경기도: 보건복지부 인구아동정책관실 아동복지팀, 2006), 10. Kementerian Dinas Sosial, "Adopsi Bersama" (Kyoung Gido: Dinas Sosial bagian Anak-anak, 2006), 10.
[5] Ibid, 10.
[6] Ibid, 10.
[7] Ibid, 11.
[8] Ibid, 12
[9] 신원하, "시대의 분별과 윤리적 선택" (서울: SFC출판부, 2004), 38. Shin Won-ha, "Discernment and Moral Choices" (Seoul: Penerbit SFC, 2004), 38.
[10] Ibid, 39
[11] 윤영수, “한국입양사업의 정착화에 관한 연구” (미간행 사회복지학석사학위 논문, 단국대 대학원, 1993), 7. Yun Young-su, "Proyek Perkembangan Adopsi Korea" (Seoul: University Danguk), 7.
[12] 송성자, "가족관계와 치료" (서울: 홍익제, 1992), 78-79. Song Soung-ja "Hubungan Keluarga dan Penyehatan" (Seoul: Penerbit Hong Ik-je, 1992), 78-9.
[13] 신원하, "시대의 분별과 윤리적 선택" (서울: SFC출판부, 2004), 41-42. Shin Won-ha, "Discernment and Moral Choices" (Seoul: Penerbit SFC, 2004), 41-42.
[14] Trence E. Fretheim, Interpretation : A Bible Commentary for Teaching a Exodus, 강성열 , "현대성서 주석: 출애굽기", (서울: 한국장로교 출판사, 2001), 382. Penerjemahan Kang Soung-yeul, (Seoul: Penerbit  Presbyterian Korea, 2001), 382.
[15] 정현숙, 유계숙, "가족관계" (서울: 학지사, 2001), 318. Joung Hyun-sul, Yu Gye-suk, "Hubungan Keluarga" (Seoul: Penerbit Hakzisa, 2001), 318.
[16] 정명례, “입양에 의한 부모됨의 경험” (미간행 사회복지학석사학위 논문, 전북대학교 대학원, 2004), 7-8. Jung Myung-Rye, "Pengalaman yang Menjadi Orangtua dengan adopsi" (Jeoun-Buk: Penerbit University Jeoun-Buk, 2004), 7-8.
[17] 신원하, 『시대의 분별과 윤리적 선택』(서울: SFC출판부, 2004), 44. Shin Won-ha, "Discernment and Moral Choices" (Seoul: Penerbit SFC, 2004), 44.
[18] H. van Gulden and L.M. Bartels-Rabb, "Real parents, real children : parenting the adopted child", 안재진, 권지성 공역, "누가 진짜 부모인가" (서울: 학지사, 2006), 60-62. Penerjemahan, An Jae-jin dan Gyuen Ji-sung, "Siapa Orangtua yang Benar" (Seoul: Hakzisa, 2006), 60-62.
[19] 맹용길, "기독교 윤리학 개론" (서울: 한국장로교출판사, 1999), 244-45. Maeng Yong-gil, "Introduce Etika Kristiani" (Seoul: Penerbit Presbyterian Korea, 1999), 244-45.
[20] 한마당 편집부 , "세계와 인간" (서울: 한마당, 1988), 272-73. Penerbit Hanmadang, "Dunia dan Manusia" (Seoul: Penerbit Hanmadang, 1988), 272-73.

No comments:

Post a Comment