Pertimbangan
Etika Kekristenan Mengenai Adopsi
Pendahuluan
Hal yang
paling penting bagi seorang anak adalah keluarga. Ketika lahir ke dunia,
seorang anak memiliki hak untuk dicintai dan memiliki keluarga yang baik. Masa
depan masyarakat akan terasa cerah saat semua keluarga dapat memberikan hak
yang dimiliki oleh seorang anak. Saat adopsi digiatkan, semua anak-anak yang
akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang dapat tumbuh dengan sehat baik
dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Apabila semua orang turut berbagian
dalam adopsi, dunia ini dapat berubah.
Makalan ini
akan meneliti perkara adopsi berdasarkan pandangan yang Alkitabiah mengenai
adopsi melalui praktik etika Kristiani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memahami etika Kristiani dan alternatif praktis dari adopsi. Oleh karena itu,
penelitian ini ingin menekankan pada aspek etika Kristiani dibandingkan aspek
lainnya.
1.
Definisi adopsi
Adopsi
adalah memindahkan hak dan kewajiban pengasuhan anak di masa sekarang hingga
masa yang akan datang secara hukum dan administrasi, dari orangtua anak secara
biologis kepada orang lain yang tidak memiliki hubungan darah.[1] Kata adopsi diambil dari Bahasa Latin
“adoptio”. Hal ini merujuk kepada membangun sebuah hubungan orangtua kepada
orang lain yang tidak berhubungan secara hukum. Di masa modern, orangtua adopsi bisa menjadi
orangtua yang sah secara hukum apabila orangtua biologis tidak mampu mengasuh
anak tersebut. [2]
Anak yang tidak dapat dirawat oleh orangtua kandungnya bisa mendapatkan
orangtua baru sehingga memungkinkan anak ini untuk bertumbuh dalam lingkungan
keluarga yang normal dan memenuhi kebutuhan sosialnya. Menerima perlindungan
dari orangtua dan bertumbuh merupakan warisan yang sudah sejak dulu diturunkan
turun temurun[3].
2.
Kesalahpahaman serta Manfaat Pola Adopsi dan Keterbukaan Adopsi
Adopsi
memiliki 3 pola yakni adopsi rahasia yang benar-benar dirahasiakan, adopsi yang
boleh diketahui oleh pihak yang mengadopsi dan orang-orang di sekitarnya, serta
adopsi yang mengizinkan orangtua kandung dan pihak yang mengadopsi untuk dapat
berkomunikasi.
2.1
Adopsi Rahasia
Adopsi
rahasia adalah adopsi yang merahasiakan semua fakta-fakta terkait adopsi
dikarenakan adanya kekhawatiran bahwa di dalam masyarakat, anak adopsi akan
diperlakukan secara tidak adil yang membuatnya menyimpang. Adopsi rahasia
selalu membuat anggota keluarga merasa terganggu secara psikologis dengan segaa
sesuatu terkait adopsi. Keluarga yang mengetahui hal ini akan merasa gugup dan
takut rahasianya akan diketahui, mereka juga bisa menjaga jarak dengan anggota
keluarga yang tidak mengetahui rahasia sehingga mempengaruhi interaksi yang
terjadi di rumah. Hal ini menyebabkan keluarga akan kehilangan rasa percaya
diri dan keintimannya. Hubungan orangtua dengan anak yang seharusnya didasari
oleh rasa saling percaya dapat terancam bahaya setiap saat. Pada saat
mengetahui perkara adopsi ini, anak yang diadopsi cenderung akan membuat
hal-hal yang membingungkan terhadap hubungan orangtua dan anak.[4]
2.2
Adopsi terbuka
Anak yang
diadopsi memperoleh informasi adopsi dari pihak pengadopsi, keluarga, dan
relatifnya. Hal ini akan membentuk hubungan orangtua dan anak yang berdasarkan
pada kepercayaan dan kejujuran yang berarti mereka akan mengetahui dan melewati
perkara lampau dan menyublimasikan perkara ini. Karena itu, baik di luar
keluarga maupun kepada mereka yang memerlukan penjelasan, mereka dapat dengan
bebas mengatakan perkara adopsi. Hal ini menyebabkan citra diri yang sehat dan
memberikan gambaran yang positif dan tepat mengenai adopsi apabila anak
mengetahui dengan sebaik-baiknya apa yang berhak ia dapatkan. Mereka akan
membantu bersimpati dan membangun akar serta kepercayaan yang baik antara
orangtua dan anak.[5]
2.3
Adopsi yang bebas
Adopsi yang
bebas adalah adopsi yang memperkenankan terjadinya pertukaran informasi dan
interaksi terkait kehidupan anak yang diadopsi di antara orangtua kandung dan
orangtua asuh sebelum atau selama masa adopsi. Derajat keterbukaan
bermacam-macam, bisa dari pergantian nama, detil pribadi, rekam medis, atau
temu muka. Terjadi perdebatan mengenai manfaat dan kerugian dari prosedur ini.[6]
2.4.
Manfaat dari adopsi secara terbuka[7]
1.
Hubungan orangtua-anak didasarkan pada kepercayaan. Adalah mungkin untuk
membentuk hubungan kepercayaan yang mendalam berdasarkan kejujuran ketika orangtua
mengungkapkan fakta adopsi dari masa kanak-kanak dan secara alami menciptakan
suasana di mana keluarga dapat berbicara tentang adopsi.
2.
Adanya rasa hormat akan kepribadian satu sama lain. Adanya rasa menghargai hak
anak-anak untuk mengetahui kelahiran mereka. Mengenali nilai eksistensial dan
mengenali hak serta kualifikasi sebagai anak yang sah dapat membantu membangun
identitas dan kepribadian yang sehat,.
3.
Dapat berpartisipasi dalam kelompok adopsi orang tua (kelompok swadaya).
Orangtua asuh menemukan bantuan untuk memecahkan masalah dan kebutuhan yang
mungkin timbul dari adopsi.
4.
Menerima ucapan selamat dari teman ataupun keluarga sehingga dapat membantu
perubahan pola pikir mengenai adopsi dalam masyarakat.
5.
Tidak perlu bersikap hati-hati saat bertindak. Ada rasa nyaman karena dapat
bertindak layaknya orangtua kandung di hadapan orang lain. Orangtua dan anak
dapat bekerja sama sekeras mungkin untuk mencintai dan menjalin hubungan.
Melalui hal ini juga dapat membuat orang lain ikut dalam program adopsi.
6.
Cara berpikir yang jernih, mencari nilai, luka anak-anak dapat diminimalkan.
Dapat dipastikan bahwa adopsi dapat menyebar secara positif dengan mengamankan
harga diri satu sama lain. Dalam hal pendidikan, itu memberi pengaruh positif
pada kehidupan, kemanusiaan, dan semangat layanan.
7.
Dapat memberikan peluang adopsi kepada anak-anak dari berbagai usia. Adopsi
rahasia mempersempit kesempatan ini karena hanya diberikan kepada bayi yang
baru lahir.
8.
Adanya pemberian layanan medis yang tepat berdasarkan informasi yang akurat. Adanya
pemberian informasi yang akurat tentang latar belakang genetik anak kepada
penyedia layanan kesehatan membuatnya menerima layanan kesehatan yang tepat.
9.
Dapat memiliki efek positif. Adanya dorongan adopsi domestik, peningkatan hukum
adopsi, memberikan berbagai manfaat bagi pemerintah negara dan pemerintah
lokal.
10.
Dengan memperoleh segala informasi terkait adopsi dan mempersiapkan adopsi secara
sistematis, pihak yang mengadopsi dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul
setelahnya.
2.5
Kesalahpahaman mengenai adopsi terbuka[8]
1.
Anak-anak adopsi akan mengalami diskriminasi sosial dan kerugian. Hampir tidak
ada kemungkinan bahwa adopsi secara terbuka mengakibatkan adanya diskriminasi
dan adopsi terbuka tidak memerlukan memberitahu orang-orang mengenai adopsi.
Tidak ada perbedaan antara anak-anak adopsi dan anak-anak lainnya. Mereka
sama-sama bisa menjadi orang dewasa yang sukses. Untuk dapat berhasil di dalam
kemasyarakatan, kepribadian seimbang dan kemampuan jauh lebih penting daripada
perkara adopsi.
2.
Mereka akan diabaikan dan diejek dari kelompoknya. Nyaris tidak ada kemungkinan
bahwa anak ini akan menerima ejekan atau diskriminasi dari teman-teman sekolah
dan orang dewasa. Rata-rata orang yang memiliki persepsi negatif mengenai
adopsi adalah orang-orang yang sudah memiliki praduga mengenai hal yang belum
pernah mereka alami. Apabila seorang anak merasa percaya diri akan fakta
adopsi, ia justru dapat meningkatkan kesadaran sosial yang positif mengenai
adopsi kepada kelompok sosialnya.
3.
Adanya rasa sedih dan bertanya-tanya ketika mereka mengetahui soal adopsi.
Pemahaman mengenai adopsi tidak berhenti hanya sampai pada pemberitahuan mengenai
perkara adopsi tetapi diteruskan dengan pemberian pendidikan secara tepat dan
berkelanjutan kepada anak-anak yang berada dalam tahap pertumbuhan. Melalui
pendidikan ini, anak akan menerima masa lalu dan situasinya pada masa sekarang
dan mengembangkan pandangan yang positif mengenai kehidupan. Karena itu,
informasi yang diberikan oleh orangtua adopsi kepada anak dan keyakinan dalam
perkara adopsi memiliki pengaruh yang besar.
4.
Tidak mengakui orangtua adopsi dan mencari orangtua kandung. Seperti sebuah pepatah
yang berkata ‘Kasih sayang orangtua asuh lebih kuat dibanding orangtua
kandung’, anak akan mengikuti mereka yang lebih mengasihi dengan sepenuh hati. Sulit
bagi anak angkat untuk memiliki ketertarikan pada seseorang yang pertalian
darahnya tidak jelas. Kasih sayang dan keyakinan yang diberikan oleh orangtua
asih secara terus-menerus akan memperkuat hubungan antara anak dan orangtua.
5.
Merasa terbeban karena adanya pandangan khusus terhadap tindakan dermawan yang
dilakukan. Hal ini terjadi bukan karena adopsi merupakan hal yang tidak lazim
tetapi memang ada perhatian khusus yang diterima. Akan tetapi, orangtua asuh
tidak merasakan adanya perbedaan saat merawat anak asuh dengan merawat anak
kandung. Hal ini dikarenakan tidaka adanya perbedaan antara peran dasar dan
sifat yang diperlukan untuk mengasuh dan membesarkan anak adopsi dan anak
kandung. Keraguan terhadap adopsi terbuka disebabkan oleh ketakutan yang tiak
jelas. Ketakutan ini mempengaruhi kehidupan keluarga orangtua asuh dan
sebenarnya pengalaman ini berbeda-beda dari tiap keluarga angka. Sangat
diharapkan bahwa dengan pemamahan yang jelas tentang memilih metode adopsi
secara bijaksana membuat banyak anak-anak yang memerlukan rumah dan kehidupan
dalam masyarakat membuat banyak keluarga yang bahagia.
Apabila
kita melihat situasi adopsi saat ini, terjadi perubahan ke arah positif dari
adopsi secara rahasia menuju adopsi terbuka. Ditambah lagi, manfaat dari adopsi
terbukan dan kekurangan dari adopsi secara rahasia diberitahukan melalui media
massa. Walaupun demikian, pada realitasnya, adopsi masih menemui banyak
kesulitan karena adanya ketakutan secara sosial dan budaya. Hal ini juga
dikarenakan adanya asumsi bahwa akan terjadi kerusakan hubungan antara orangtua
asuh dan anak angkat ketika asal-usul adopsi diketahui olehnya. Sehingga,
sepertinya masih diperlukan lebih banyak waktu lagi bagi masyarakat untuk
menerima perkara adopsi.
3. Pertimbangan Etika Kekristenan
mengenai Adopsi
Banyak
orang memahami dan menekankan etika Kekristenan sebagai dasar dari adopsi,
namun mereka tidak dapat memahami secara etis dan praktik spiritual. Shin Won-ha
dalam bukunya yang berjudul "Discernment and Moral Choices" menunjukkan
alasan-alasannya.
Apabila
kita membicarakan Injil Kristen, kita membicarakan mengenai adopsi yang Tuhan
lakukan. “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi
anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.” (Yohanes 1:12)
merupakan kata-kata yang mengekspresikan apabila menerima Yesis, maka kita akan
diterima juga sebagai anak-anak Allah. Walaupun ada pengajaran ini, orang
Kristen seringkali mengabaikan implikasi etis dari hal ini dalam kehidupan dan
hanya memahami secara rohani pemikiran bahwa “Umat Kristen adalah anak-anak
yang diadopsi oleh Allah.[9]
Pandangan etis yang ditekankan oleh Shin
adalah sistem yang diimplementasikan pada kemasyarakatan Roma pada saat itu.
Sebagai contoh, sistem adopsi pada masa Roma-Yunani adalah “Dalam dunia Yunani-Roma,
anak asuh berhak untuk menikmati status legal dan hak sama seperti seorang anak
kandung, juga memiliki status dan hak untuk mewarisi harta orangtua. Adopsi
berarti lepas dari posisi sebelumnya untuk dapat menjadi anggota keluarga yang
baru, memiliki identitas, hak, dan kewajiban keluarga yang baru.”[10]
Sisteman adopsi ini pun berlaku juga pada perkumpulan gereja yang dimaksudkan
oleh Paulus dalam suratnya secara langsung karena perkumpulan gereja termasuk
ke dalam masyarakat pada saat itu.
3.1
Adopsi dan Nepotisme
Salah satu
hal yang dapat kita temui dalam kenyataan mengenai hal yang menghalangi adopsi
adalah hubungan darah dalam keluarga. Karakteristik dari keluarga tradisional
Korea dapat dilihat dari sistem patriarkal berdasarkan hubungan darah. Sistem
keluarga tradisional yang telah terbentuk dan berpusat pada klan telah menjadi
struktur sosial dari zaman kuno. Sejak zaman Samhan di Korea, sistem keluarga
telah terbentuk dengan menekankan pengorbanan leluhur dan suksesi keluarga
sebagai dasarnya. Dengan demikian, garis keturunan harus dilimpahkan pada keturunannya
dan sistem bilateral mulai berkembang[11].
Seiring dengan berlanjutnya gagasan sistem bilateral dalam relasi keluarga
traidisional, sistem adopsi modern belum berkembang. Di Korea, sistem keluarga
sudah berubah dari keluarga tradisional menuju keluarga inti dalam perkara
struktur keluarga sejak kemerdekaan, ideologi kesamaan hak, kebebasan diri
sendiri dan otonomi diperkenalkan secara luas. Di sisi lain, dalam perkara
hubungan, pandangan etika didominasi oleh Yangja, yakni orangtua sebagai pihak
otoriter dan dominan, juga ada akar yang kuat bahwa seorang anak harus patuh
dan tunduk, dan hubungan keluarga tradisional terus berlanjut. Adopsi dipandang
sebagai sesuatu yang negatif dan tidak diterima secara luas dalam masyarakat[12].
Selama hubungan darah dalam keluarga masih dianggap paling penting, agak sulit
untuk merevitalisasi perkara adopsi. Walaupun demikian, orang Kristen harus
menang atas asumsi ini dengan melihat keluarga dari sisi Alkitabiah. Yesus
telah memberikan keluarga baru. Ia menganggap murid-murid-Nya sebagai keluarga
yang berarti hubungan Yesus dengan murid-murid-Nya bukanlah berdasarkan
hubungan darah. Mereka yang adalah anggota keluarga Yesus bukan saja
murid-murid-Nya melainkan juga mereka yang melakukan kehendak Bapa (Markus
3:31-35). Yesus meminta mereka yang mendengar Firman-Nya dan juga murid-Nya
untuk mencintai Yesus lebih dari mencintai keluarga karena Yesus pun demikian.
Mereka adalah saudara, saudari, dan keluarga dalam Kristus. Ini bukanlah adopsi
modern namun perlu diingat bahwa mereka tinggal seperti dalam komunitas
keluarga. Adopsi adalah untuk menyelamatkan yang hilang dari komunitas ini.
Dengan pandangan biblikan inilah kita dapat mengatasi asumsi dalam perkara
adopsi.
3.2
Anak adopsi
Kita dapat mengkategorikan orang yang
terkait dengan adopsi dalam 3 aspek: anak asuh, orangtua asuh, dan orangtua
kandung. Yang pertama menjadi perhatian adalah anak-anak yang perlu dilindungi
oleh pemerintah dan memerlukan keluarga adalah anak-anak yang orangtuanya
bercerai, kematian orangtua dan pengangguran, kelaparan, korban kekerasan pada
anak-anak, anak-anak yang kabur dari rumah, dan anak-anak yang lahir di luar
pernikahan yang sah. Anak-anak yang memerlukan perlindungan ini adalah
anak-anak yang dimaksud di dalam kitab Perjanjian Lama bahwa Tuhan
memperhatikan janda dan anak yatim, karena itu, melalui hal ini kita bisa
membangun pilar teori yang kuat mengenai adopsi. Melindungi anak yatim yang
kehilangan orangtua mereka dan tidak punya rumah merupakan sebuah gambaran
moral yang penting dari kita, sebagai orang Israel secara rohani hari ini untuk
menggambarkan bagaimana kita melindungi mereka yang lemah[13].
Apakah anak
yatim yang dimaksud dalam Perjanjian Lama hanyalah mereka yang ibunya telah
meninggal? Anak yatim juga adalah mereka yang kehilangan ayahnya karena
kematian. Hal ini merefleksikan sistem patriarkal yang menjadikan ayah sebagai
pusatnya. Dalam sistem patriarkal, ketika seorang ayah meninggal dunia,
keluarga yang ditinggalkan dapat tercerai-berai dan hidupnya kacau. Karena itu,
dalam Ulangan 10:18 dan Mazmur 146:9 menyebutkan anak yatim dan janda-janda.
Anak yatim yang kehilangan ayah (kepala keluarga) biasanya tidak memiliki
kekuatan dan lemah serta berkeliaran di jalan-jalan (Mazmur 109:9,10). Bagian
“Mishpatim” (Hukum) pada Keluaran 22:21-27 merupakan hukum yang pertama kalinya
muncul untuk menjelaskan tentang perlindungan kepada mereka yang lebih lemah
dan memiliki kekurangan. Dalam hukum ini, mereka yang dikategorikan lemah
termasuk janda, anak yatim, dan orang asing. Dalam kitab Taurat, mereka
memiliki peran dalam komunitas yang seperti keluarga. Perhatian kepada anak
yatim merupakan hal yang penting dalam hukum. Beberapa ayat dalam Perjanjian
Lama juga menyatakan hal ini. Kasih Tuhan yang diekspresikan dalam kitab Taurat
digambarkan seperti kasih seorang ayah yang memberikan suplaian yang diperlukan
bagi anak yatim. Pada waktu itu, mereka bukan mengadopsi tetapi tinggal dalam
komunitas yang seperti keluarga. Karena itu, kita perlu mengikuti perintah
Tuhan dengan tepat sehingga tidak ada lagi diskriminasi dan asumsi terkait anak
yatim. Trence E. Fretheim menyatakan, “Apa yang terpenting dalam komunitas
bangsa Israel bukanlah bagaimana mereka menjadi orang yang disisihkan, tetapi
bagaimana mereka menjaga status mereka sebagai umat yang dikuduskan oleh Tuhan
dalam kehidupan mereka sehari-hari[14].
Adalah tugas mereka untuk melindungi mereka yang kekurangan dan anak yatim,
terutama mereka yang dieksploitasi. Dengan demikian, orang Kristen dipanggil
untuk menghidupi kehidupan secara etis, mereka perlu patuh, melindungi, dan
mengasihi mereka yang lemah menurut Alkitab.
3.3
Orangtua Asuh
Aspek yang
perlu dipertimbangkan dalam adopsi adalah siapakah orangtua yang sebenarnya?
Secara sosial, memang orangtua asuh bukanlah orangtua kandung. Namun, kelahiran
seorang anak hanyalah merupakan awal. Menjadi orangtua adalah hal setelahnya.
Orangtua yang sesungguhnya adalah mereka yang mengasuh, berbelanja bersama,
merawat saat sakit, memeluk dan menjaga mereka saat sedih. Makna leksikal dari
“parenting” atau pengasuhan adalah orang yang memiliki anak dan secara sah
disebut ayah dan ibu. Ini berarti bahwa tidak seperti di masa lalu yang
memfokuskan aspek biologis dari kelahiran anak, masyarakat menjadi semakin
kompleks dan beragam[15].
Kadushin (1980) menyatakan tindakan adopsi orangtua adalah tindakan yang
menjadikan seseorang sebagai orangtua secara hal melalui proses legal dan
sosial, bukan saja melalui proses biologikal. Dengan kata lain, mengasuh anak
merupakan sebuah ikatan emosional yang melewati hubungan orangtua dan anak
secara biologis. Karena itu, pengasuhan berdasarkan tindakan adopsi dapat
menjadi model yang terus dipilih untuk merawat tanpa mempedulikan adanya ikatan
darah atau tidak[16].
Tanggung jawab yang penting dari orangtua adalah untuk merawat anak mereka
sampai anak-anak tersebut terjun ke dalam masyarakat dan memiliki keluarga
sendiri. Walaupun perawatan dari orangtua biologis lebih diharapkan, hal ini
tidak sebanding apabila dibandingkan dengan kekurangan kasih sayang dari ayah atau
ibu. Terkadang orangtua asuh dapat mengasuh lebih baik. Alkitab tidak
menyatakan bahwa anak dan orangtua saling memiliki. Dalam waktu yang sama,
Alkitab juga menyatakan bahwa hubungan ini tidak abadi. Alkitab mengajarkan
bahwa anak harus meninggalkan ayah dan ibunya, bersatu dengan pasangannya
(Kejadian 2:24). Hal ini memberitahukan bahwa anak bukanlah milik orangtua.
Kualifikasi dari pengasuhan yang sejati tidaklah berdasarkan hubungan darah
melainkan pemenuhan tanggung jawab perawatan anak. Tugas terbesar orangtua
adalah untuk mengajarkan kepercayaan, kebajikan, dan nilai dari Firman Tuhan
dan memelihara iman serta mengirim mereka ke dunia dan ke komunitas gereja.
Elemen esensial dan penting dari pengasuhan adalah kepercayaan bahwa Tuhan
mempercayakan anak ini kepada mereka dan mereka menjawab panggilan untuk
berkomitmen dan bertanggung jawab merawat anak ini dibandingkan mementingkan
ada tidaknya hubungan secara biologis.[17]
3.4
Orangtua Kandung
Aspek lain
dari adopsi adalah orangtua kandung dari anak angkat. Orangtua kandung tidak
hanya kehilangan hubungan mereka dengan sang anak, tetapi juga kehilangan
bagian dalam pertumbuhan dan melihat proses perkembangan sang anak.
Meninggalkan anak untuk diadopsi merupakan keputusan yang sulit dan
menyakitkan. Hanya ada satu alasan yang memungkinkan mereka untuk menjelaskan
kepada orangtua asuh mengapa mereka menyerahkan anaknya untuk diadopsi, yakni
mereka dalam situasi yang sulit. Mereka tidak dapat berbohong. Hanya mengatakn,
“Mungkin mereka dalam kesulitan.” Terkadang, orangtua angkat juga perlu
mengatakan “Mungkin saya akan melakukan keputusan yang sama dengan Anda” untuk
membuat orangtua kandung lebih lega. Namun, cerita seperti ini dapat menjadikan
seorang anak angkat menjadi khawatir ketika orangtua asuh kehilangan pekerjaan
atau menghadapi kesulitan ekonomi. Lebih baik orangtua adopsi tidak menempatkan
diri sebagai orangtua kandung dengan mengatakan, “Saya sudah memikirkan apa
yang saya lakukan kalau menjadi sepertinya. Saya akan tetap bersamamu apapun
yang terjadi.” Sebuah buku mengenai adopsi merekomendasikan cara untuk
melindungi anak angkat dengan mengatakan, “Saya pikir, adalah sebuah kesalahan
orangtuamu tidak mau memebesarkanmu. Bagaimana pun, saya senang kamu adalah
anak saya.” Untuk meyakinkan mereka bahwa mereka tidak akan dikirim untuk
diadopsi[18].
Tidak mudah bagi orangtua asuh untuk membicarakan tentang orangtua kandung
karena mereka dapat menjustifikasi secara berlebihan posisi orangtua kandung
dan anak bisa merasa kurang aman dalam keluarga. Karena itu, orang Kristen
perlu menghidupi kehidupan yang etis berdasarkan Alkitab bagaimana melindungi
mereka yang lemah. Misalnya orangtua kandung tidak dalam kondisi yang normal
untuk membesarkan anak bahkan justru membahayakan mereka, apakah mereka dapat membesarkan
anak ketika ini terjadi? Apakah kasus ini memberi manfaat bagi sang anak?
Bukankah kita akan memilih agar anak tersebut mendapatkan orangtua yang
mengasihinya? Terkadang, memberikan anak tanpa merawatnya dan justru
mempercayakannya ke tempat yang lebih baik adalah praktik Kekristenan. Karena
itu, tidak mudah bagi orangtua kandung untuk menyerahkan anak mereka tetapi
mereka harus lepas dari pemikiran bahwa meninggalkan anak adalah perbuatan
dosa. Orangtua meninggalkan anak demi sang anak karena ia adalah anggota
kerajaan Allah dan telah dipercayakan kepada orangtua lainnya bagi Kerajaan
Allah.
3.5
Etika Hidup Yesus dan Adopsi[19]
Penulis
menjelaskan adopsi melalui perspektif etika kekristenan melalui hidup yang
menjadi dubyek dari etika Yesus dan implikasinya pada adopsi melalui
pernyataan-pernyataan di atas. Subyek dari etika Yesus adalah hidup. Jika kita
melihat perkataan Yesus, kita dapat melihat semuanya berpusat pada hidup.
Karena itu, penulis ingin mendiskusikan adopsi dari aspek etika hidup Yesus.
Pertama, etika hidup Yesus adalah
individu namun juga kebersamaan. Hal ini merupakan keunikan dan keesaan dari
hidup yang dinyatakan oleh Yesus. Khususnya, saat Ia membicarakan tentang hidup
kekal, Ia mengatakan bahwa siapapun yang percaya pada-Nya akan beroleh hidup
kekal, hal ini melibatkan iman seorang individu dan dalam waktu yang sama juga
menyatakan kehidupan secara komunitas, komunitas yang merindukan kehidupan
kekal. Namun ini bukanlah kelompok yang tanpa iman. Hidup kekal berbeda secara
politik dan sosial dengan prinsip pemikiran duniawi[20].
Kedua, kehidupan Yesus perlu diperhidupkan dan
dipertahankan. Dengan kata lain, hidup yang diterima dari Allah perlu
dipertahankan saat kita tinggal di duniai ini. Orang yang memiliki hidup ini
perlu mengekspresikannya selama dia hidup. Begitu banyak bentuk dan jenis-jenis
ekspresinya, namun hal ini terlihat dari tindakan dan pekerjaan. Karena itu,
jerih lelah dan pekerjaan adalah ekspresi dari hidup dan orang yang hidup harus
melakukannya. Yesus bekerja, murid-murid-Nya pun bekerja. Mereka memang tidak
selalu aktif mengekspresikan hidup namun inilah tanda kehidupan bahwa seseorang
memperhidupkan kesempatan hidup dengan hidup bersama dan menunjukkan kehidupan
itu sendiri.
Ketiga, kehidupan
Yesus adalah kehidupan yang menyelematkan hidup orang lain. Misi dari
Kekristenan tentu saja memberikan kehidupan kekal namun dalam konsep modern,
hal ini juga berarti menunjang secara jasmaniah. Yesus juga memberitahu
murid-murid-Nya bahwa mereka hidup mereka terlihat dari tindakan mereka (Matius
5:16). Melalui tindakan ini, Ia memuridkan dan menunjukkan hidup. Tindakan
menunjukkan kehidupan dan Yesus juga memberikan teladan ini (Yohanes 13:15).
Keempat, hidup Yesus
menunjukkan bahwa ketika seseorang berada dalam kondisi ‘mati’ atau miskin,
Yesus melihatnya sebagai sebuah penyakit, Ia menyembuhkan, dan
memperbaharuinya. Karena hayat diekspresikan saat hidup, kita perlu
memperhatikan situasi dan kondisi untuk tetap tenang. Karena itu, di sini,
tindakan menyembuhkan dan memperbaharui adalah tindakan yang penting. Tindakan
penyembuhan dan pembaharuan termasuk juga memperbaharui komunitas tempat
tinggal bersama. Lebih jauh lagi, kehidupan digenapkan melalui memperhidupkan
secara bersama dengan orang yang belum memiliki hidup kekal (Mat. 5:43). Adopsi
menurut perspektif etika Kekristenan adalah seperti yang telah dijelaskan di
atas.
4. Kesimpulan
Implikasi
etis dari adopsi dalam kehidupan adalah terkait dengan hubungan darah,
perlindungan hak asasi manusia dari anak adopsi, pengasuhan orangtua adopsi,
dan etika hidup orangtua kandung. Dalam keempat faktor ini, etika kehidupan
Yesus memiliki keunikan dan keesaan, dan diperlukan adanya pertahanan selama
hidup. Selama hidup, perlu menyelamatkan hidup orang lain dan semua harus dijaga
dalam kondisi yang tenang. Karena itu, terkait adopsi, kekristenan memiliki
dasar yakni untuk memahami dan mempraktikkan berdasarkan etika hidup Yesus.
Etika kekristenan ini membantu untuk memahami dan menyelesaikan masalah di
dunia. Adopsi akan diterima sebagai praktik kekristenan secara penuh ketika ada
dukungan dari masyarakat dan gereja di dalamnya.
Makna yang
lebih positif dari adopsi adalah “Cinta” dan “Perlindungan terhadap yang lemah".
Menerima anak yatim adalah salah satu cara dari menghidupi kehidupan Kristiani
yang sejati. Dalam Perjanjian Baru, pemikiran tentang adopsi dapat ditemui
sebagian besar pada surat-surat Paulus. Paulus menghubungkan penerimaan Roh
Kudus dengan diadopsinya manusia oleh Allah. Dalam Roma 8:15 dan Galatia 4:4-5,
Paulus merujuk kepada “Roh yang menjadikan kamu anak Allah”. Orang yang percaya
dapat berbagian dalam adopsi dari Kristus dan memanggil Allah, “Abba, Bapa.”
Pengadopsian bekerja melalui Roh Kudus dan sebagai hasilnya, mereka yang telah
diadopsi menjadi orang-orang yang telah dilahir ulangkan dan menjadi pewaris
Tuhan dan Kristus menikmati berkat serta anugerah dalam keselamatan seperti
yang telah dijanjikan.
[1] "금성판 국어대사전" (서울: 금성출판사, 1991), 2894. "Kamus
Besar Bahasa Korea" (Seoul: Penerbit Keum Sung, 1991), 2894
[2] "사회복지대백과사전" (서울: 나눔의 집, 1999), 51. "Kamus
Besar Sosial dan Masyarakat" (Seoul: Penerbit Nanum, 1991), 51
[3] 이순형 외 2인, "아동복지-이론과실천"(서울: 학지사, 2003), 234. Lee Sunyoung "Kesejahteraan anak - teori dan praktik" (Seoul:
Hakzisa, 2003), 234
[4] 보건복지부, "함께하는 입양" (경기도: 보건복지부 인구아동정책관실 아동복지팀, 2006), 10. Kementerian Dinas Sosial, "Adopsi Bersama" (Kyoung Gido: Dinas Sosial bagian
Anak-anak, 2006), 10.
[5] Ibid, 10.
[6] Ibid, 10.
[7] Ibid, 11.
[8] Ibid, 12
[9] 신원하, "시대의 분별과 윤리적 선택" (서울: SFC출판부, 2004), 38쪽. Shin Won-ha, "Discernment
and Moral Choices" (Seoul: Penerbit SFC, 2004), 38.
[10] Ibid, 39
[11] 윤영수, “한국입양사업의 정착화에 관한 연구” (미간행 사회복지학석사학위 논문, 단국대 대학원, 1993), 7. Yun Young-su,
"Proyek Perkembangan Adopsi Korea" (Seoul: University Danguk), 7.
[12] 송성자, "가족관계와 치료" (서울: 홍익제, 1992), 78-79. Song Soung-ja "Hubungan Keluarga dan Penyehatan" (Seoul: Penerbit Hong
Ik-je, 1992), 78-9.
[13] 신원하, "시대의 분별과 윤리적 선택" (서울: SFC출판부, 2004), 41-42. Shin Won-ha, "Discernment and Moral Choices" (Seoul: Penerbit SFC,
2004), 41-42.
[14] Trence E. Fretheim, Interpretation
: A Bible Commentary for Teaching a Exodus, 강성열 역, "현대성서 주석: 출애굽기", (서울: 한국장로교 출판사, 2001), 382. Penerjemahan Kang Soung-yeul, (Seoul:
Penerbit Presbyterian Korea, 2001), 382.
[15] 정현숙, 유계숙, "가족관계" (서울: 학지사, 2001), 318. Joung Hyun-sul, Yu Gye-suk, "Hubungan Keluarga" (Seoul:
Penerbit Hakzisa, 2001), 318.
[16] 정명례, “입양에 의한 부모됨의 경험” (미간행 사회복지학석사학위 논문, 전북대학교 대학원, 2004), 7-8. Jung Myung-Rye, "Pengalaman yang Menjadi Orangtua dengan adopsi"
(Jeoun-Buk: Penerbit University Jeoun-Buk, 2004), 7-8.
[17] 신원하, 『시대의 분별과 윤리적 선택』(서울: SFC출판부, 2004), 44. Shin Won-ha, "Discernment and Moral Choices" (Seoul: Penerbit SFC,
2004), 44.
[18] H. van Gulden and L.M. Bartels-Rabb, "Real parents, real children : parenting the adopted child",
안재진, 권지성 공역, "누가 진짜 부모인가" (서울: 학지사, 2006), 60-62. Penerjemahan, An Jae-jin dan Gyuen Ji-sung,
"Siapa Orangtua yang Benar"
(Seoul: Hakzisa, 2006), 60-62.
[19] 맹용길, "기독교 윤리학 개론" (서울: 한국장로교출판사, 1999), 244-45. Maeng Yong-gil, "Introduce Etika Kristiani" (Seoul: Penerbit Presbyterian
Korea, 1999), 244-45.
[20] 한마당 편집부 편, "세계와 인간" (서울: 한마당, 1988), 272-73. Penerbit Hanmadang, "Dunia dan Manusia" (Seoul: Penerbit Hanmadang, 1988),
272-73.
No comments:
Post a Comment