Sunday, 3 June 2018

Pandangan Etika terhadap Pendeta Bisnis


Pandangan Etika terhadap Pendeta Bisnis

I.                   Pendahuluan
Agama, ekonomi, politik, dan sosial budaya merupakan satu kesatuan dalam hidup sehari-hari.[1] Namun pemahaman jemaat sering memisahkan pemahaman ini kalau bicara Agama dengan ekonomi, Agama dengan politik. Apalagi berbicara tentang sosok pendeta yang dianggap kaum suci yang tidak mencari harta di dunia sementara tujuan bisnis adalah keuntungan. Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Bisnis berlangsung sebagai komunikasi sosial yang menguntungkan untuk kedua belah pihak yang melibatkan diri. Pengalaman panggilan kependetaan dalam menghayati pelayanan, menjadi nilai yang dicontoh dalam bersikap. Tugas pendeta tidak hanya melayani masyarakat, melainkan lebih kepada melayani Allah dalam kehidupan jemaat maupun masyarakat untuk kemuliaan Allah. Panggilan religius seorang pendeta sebagai mandataris Yesus yang diutus oleh gereja untuk menjadi pelayannya dalam melayani jemaat maupun masyarakat untuk kemuliaan Allah. Adanya keterpanggilan pribadi oleh proses yang religius.[2]

II.                Kasus[3]
Hotel Dhyana Pura, milik sebuah gereja di Bali, yakni Gereja Kristen Prostestan di Bali (GKPB). Ada keheranan dan bercampur kagum di hati, ada gereja yang memiliki Hotel, suatu tempat yang berkonotasi negatif bagi sebagian besar umat. Namun ada rasa kagum karena sebuah gereja bisa memiliki asset yang begitu mahal dan berharga di tengah-tengah situasi banyak lembaga keumatan yang mengalami kesulitan finansial.
Penulis menemukan buku yang membahas tentang praktik bisnis di GKPB, khususnya mengenai Hotel Dhyana Pura. Buku berjudul ‘Teologi Kewirausahaan’ dengan subjudul Konsep dan Praktik Bisnis Gereja Kristen Protestan di Bali ini menjelaskan secara lengkap latar belakang keterlibatan GKPB dalam praktik bisnis di Bali, dasar teologi yang melandasi pemikiran tersebut serta pro-kontra di antara pemimpin jemaat mengenai praktik gereja berbisnis tersebut. Yang membuat buku ini istimewa adalah bahwa penulis adalah anak kandung dari mantan Ketua Sinode Gereja GKPB , Pdt. DR. Em. I Wayan Mastra, yang memimpin GPKB dari tahun 1972 hingga 2000. DR. I Wayan Mastra lah yang memberikan landasan teologis praktis bisnis Gereja Bali dari awal hingga berkembang seperti saat ini.Buku ini sendiri diangkat dari tesis penulis di pasca Sarjana Fakultas Teologi Universitas Duta Wacana,Yogyakarta.
Pada bagian pertama, buku ini menjelaskan latar belakang sejarah, kebijakan-kebijakan serta usaha-usaha bisnis gereja Kristen protestan di Bali. Sejarah kekristenan sendiri di Bali sudah dimulai dari tahun 1863. Namun kemudian ada pelarangan dari pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga stabilitas karena adanya resistensi penduduk setempat yang mayoritas Hindu. Tahun 1929, pemerintah Hindia Belanda kembali memberi ijin kepada penginjil Cina yang bekerja sebagai penginjil di kalangan etnis Tionghoa Bali. Tahun 1933, penginjilan kembali dilarang karena adanya tekanan dari masyarakat Hindu Bali yang tidak senang dengan perpindahan orang-orang Bali ke agama Kristen.Namun saat itu sudah ada sekitar 200 orang yang dibaptis oleh penginjil Cina tersebut.
Tahun 1933, penginjil dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Jawa Timur dan dengan bantuan dari misiolog dari Belanda mengumpulkan orang Kristen Bali dan mempersiapkan mereka menjadi gereja yang mandiri. Tahun 1948 berdirilah Gereja Kristen Protestan Bali” dan kemudian tahun 1962 diubah menjadi “Gereja Kristen Protestan di Bali’. Tahun 1963, akibat letusan Gunung Agung, banyak lahan pertanian subur menjadi kering dan tidak dapat ditanami. Kemiskinan melanda Bali. Gereja Bali mendapat bantuan dari Church World Service untuk menolong korban bencana berupa gandum, bahan makanan dan pakaian. Sebagian penduduk kemudian tertarik dan beralih ke agama Kristensehingga mereka disindir oleh masyarakat Hindu sebagai “orang Kristen gandum’. Akibat cemoohan penduduk, sebagian ada yang kembali ke agama semula, tapi ada juga yang bertahan dan bertumbuh imannya.
Masa pergolakan tahun 1960-1965 menimbulkan banyak masyarakat Hindu yang pro PKI yang beralih masuk ke agama Kristen karena menganggap agama Kristen lebih menampung nilai-nilai sosialis komunis. Namun orang Kristen sendiri juga dibenci PKI yang ateis. Banyak orang Kristen yang kemudian terbunuh pada masa penumpasan PKI. Agama Kristen menjadi sasaran kebencian masyarakat yang anti komunis. Tahun 1965-1971 merupakan masa krisis bagi gereja Bali.
Awal tahun 1972 Gereja Bali mengalami defisit sehingga tidak mampu membayar gaji pendetanya sehingga hidupnya serba berkekurangan. Jemaat juga mengalami kesulitan ekonomi dan umumnya berprofesi sebagai petani dan pekerja kasar. Peralihan menjadi agama Kristen membuat mereka kehilangan harta benda,warisan dan dikucilkan masyarakat. Anak-anak muda generasi kedua sulit mendapat pekerjaan di pemerintahan karena mereka Kristen. Di sektor pariwisata juga tidak mudah untuk masuk karena mereka tidak mampumembiayai sekolah pariwisata yang mahal sehingga mereka tidak bisa bekerja di Hotel atau biro perjalanan, Mereka juga tidak bisa membuka usaha sendiri karena tidak memiliki modal dan jaminan ke bank untuk mendapat pinjaman. Kondisi seperti inilah yang membuat pengurus Gereja untuk fokus memikirkan peningkatan perekonomian gereja dan jemaat.
Kebijakan sinode tahun 1 1972 memutuskan untuk menjadikan Gereja Bali menjadi gereja yang mandiri dan kontekstual dengan budaya Bali. Misi kontekstualisasinya adalah mengupayakan kekristenan menjadi bagian dari masyarakat dan memberikan makna baru kehidupan tanpa menghilangkan budaya dan lingkungan dimana mereka tinggal. Misi kontekstualisasi ini diwujudkan dalambentuk penggunaaan elemen-elemen budaya Bali yang berestetika tinggi dalam gedung gereja, seni tari dan musik dan mengembangkan usaha-usaha bisnis yang terkait dengan pariwisata untuk mengembangkan perekonomian dan pelayanan gereja.
Kemudian dibentuklah departemen-departemen yang membawahi Yayasan-yayasan yang melayani 3 kebutuhan manusia ,yaitu kebutuhan otak (kepala), kebutuhan hati, dan kebutuhan perut. Kebutuhan kepala ditangani Departemen kesaksian dan Pengembangan (Marturia) melalui Yayasan Harapan yang mengelola pendidikan dari TK hingga SMA dan juga panti asuhan. Kebutuhan hati ditangani oleh Departemen Persekutuan dan Pembinaan (Koinonia) melalui Yayasan Dhyana Pura yang mengelola Hotel Resor Dhyana Pura dan Wisma Nangun Kerti di pegunungan Bedugul,Sekolah Perhotelan dan Pariwisata (Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM), Jasa Penyelenggaraan Pernikahan bagi orang-orang asing.
Sementara kebutuhan perut ditangani Departemen Pelayanan dan Usaha menggunakan Yayasan Maha Bhoga Marga yang menyediakan fasilitas kredit dan program pembinaan untuk peningkatan ekonomi masyarakat golongan ekonomi rendah. Jenis-jenis usaha di bawah yayasan ini antara lain Usaha Permebelan (1994) ,yang melayani kebutuhan mebel untuk gereja, hotel dan kantor, Usaha Percetakan (1995), Bank Perkreditan Rakyat dan Pinjaman Modal Sarana Usaha (1990). PMSU memberikan pinjaman modal bagi peserta yang telah mengikuti pelatihan keterampilan seperti pertukangan,menjahit,dll, untuk membeli alat kerja. Bila mereka telah berhasil, mereka kemudian mendapatkan kredit dari BPR untuk mengembangkan usahanya.
Keterlibatan Gereja Bali dalam praktik bisnis ini tentu saja berdampak positif bagi peningkatan keuangan dan asset gereja. Sebagai perbandingan, terlihat dari datapertumuhan kekayaan GKPB tahun 2003-2007, tahun 2003 aset GPKB bernilai Rp 77.616.789.10,- tahun 2007 mejadi Rp 113.075.002.669,-. Hutang, tahun 2003 Rp 11.270.836.210,- dan tahun 2007 Hutang Rp 96.336.344.491,-Sementara modal tahun 2003 sebesar Rp 66.345.952.893,- dan tahun 2007 menjadi Rp 96.336.344.491.Rata-rata pertumbuhan asset dalam setahun sebesar 9,92%, sementara pertumbuhan modal 9,86% dan pertumbuhan utang 11.36% .

III.             Dasar Pertimbangan Etis
Secara etimologis, kata etika berasal dari kata Yunani ethos (tunggal) yang berarti adat, kebiasan, watak, akhlak, sikap, perasaan dan cara berpikir. [4] Etika adalah ilmu yang mencari orientasi atau dasar dari tindakan dan tingkah laku manusia. Berpikir bagaiman manusia itu harus bertindak. Dengan tahu dan mengerti dasar akan tindakan atau tingkah laku yang akan dilakukan maka manusia dapat menentukan nasibnya. Etika membantu manusia bertanggung jawab atas kehidupannya.[5] Dengan berpikir apa yang akan dilakukan, maka manusia menjadi tahu dan siap menanggung resiko yang akan diterimanya dari tindakannya. Dalam tindakannya, manusia harus mempunyai dasar dan serta siap mempertanggung jawabkan tindakkannya.Untuk itu dalam pembahasan ini etika membantu untuk membantu mengambil sikap yang tepat terhadap konflik nilai dan menghadapi transformasi di kehidupan moderinisasi termasuk memberikan dasar pertimbangan etis terhadap pendeta bisnis.
Elaine Sternberg dalam Just Busnisness: Business Ethichs in Action (19994:32), mendefinisikan tujuan bisnis sebagai ‘to maximize the owner value by selling goods or services.” Tujuan bisnis, menurut Sternberg, adalah melipat gandakan nilai pemilik melalui penjualan barang dan jasa. Secara sederhana tujuan suatu bisnis adalah melipatgandakan kuntungan bagi pemilik bisnis dengan penjualan dan jasa. Bagaimana meraup keuntungan yang dimaksud? Menjadikan keuntungan sebagai satu-satunya tujuan setiap aktivitas bisnis sangat rentan terhadap penyimpangan-penyimpangan moral. Seperti memeralat manusia dalam hal ini pekerja atau karyawan sebagai sarana. Padahal, baik secara moral maupun secara hukum memeralat pekerja atau karyawan untuk tujuan apapun adalah identik dengan merendahkan harkat dan martabat mereka sebagai manusia. Alasan yang mendasari hal ini adalah bahwa karyawan adalah manusia, dan sebagai manusia mereka merupakan tujuan untuk dirinya sendiri karenanya tidak boleh dipergunakan untuk tujuan lain di luar tujuan dirinya sendiri.[6]
Mengacu kepada Etika Kristen menurut Malcom ada etika akibat, etika kewajiban dan etika tanggungjawab.[7] Etika akibat yang mengutamakan nilai-nilai Kristen dan tujuan-tujuan perbuatan kita. Menurut penganut etika akibat kehendak Tuhan dinyatakan dalam maksudNya, rencanaNya, dan tujuanNya. Pertanyaan etis yang paling penting ialah: nilai-nilai apa yang cocok dengan kehendak Allah sehingga kita harus mencarinya? Kebaikan atau keburukan perbuatan kita bergantung kepada tujuan atau hasil. [8] berdasarkan pemahaman ini, yang harus digali adalah apa tujuan pendeta itu berbisnis, kalau hanya untuk mencari keuntungan atau mengumpulkan harta duniawi, jelas menurut pemahaman etika akibat ini sangat bertentangan.
Etika kewajiban yang mengutamakan hukum-hukum dan norma-norma Kristen. Menurut penganut etika kewajiban kehendak Tuhan dinyatakan dalam hukumNya, perintahnya, dan kaidahNya. Manusia bukan sebagai pencipta melainkan sebagai warga negara.[9] Berdasarkan pemahaman ini yang harus dipatuhi pendeta sebagai pelaku bisnis adalah menaati aturan bisnis yang berlaku seperti membayar pajak kepada negara.
Etika tanggung jawab menurut penganutnya, kehendak Tuhan dinyatakan terutama bukan dalam rencanaNya atau hukumNya, melainkan dalam perbuatanNya, pekerjaanNya, dan kegiatanNya. Perbuatan kita dianggap baik kalau sesuai terhadap pekerjaan Allah. Menurut pemahaman ini, manusia bukan sebagai pencipta atau warga negara, melainkan sebagai penjawab.[10] Berdasarkan pemahaman ini, pendeta sebagai pelaku bisnis harus melihat apa yang dikerjakan sesuai dengan Firman Tuhan. misalnya memperhatikan aspek keadilan dalam keuntungan.

IV.             Faktor Pertimbangan Etis
-          Good ethic-good business
Setiap kebijakan dan keputusan bisnis selalu lahir dari pertimbangan-pertimbangan yang matang, sadar dan bebas. Karena pebisnis tidak ingin namanya jelek. Tidak ada orang di muka bumi ini yang menghendaki namanya masuk  black-list atau daftar hitam manapun. Sebaliknya, setiap orang menghendaki agar namanya harus baik supaya diormati dan dihargai. Pebisnis forward-looking person atau orang yang berwawasan ke depan, yang tidak meremehkan masa lalu, namu juga tidak melebih-lebihkan masa kini dan masa depan. Dengan kata lain, pebisnis seperti ini adalah orang-orang yang selalu mawas diri. Mereka selalu melihat ke depan karena sudah terlebih dahulu menoleh dan melirik. Bagi mereka, nama baik atau dalam bahasa etis adalah harga yang harus dipertahnkan. Implikasinya, dengan serius mereka akan terus berupaya untuk menjaga nama baik atau harga diri mereka dalam setiap jengkal aktivitis bisnis.[11]
-                      Etika Profesi Pendeta
Istilah Pendeta berakar dari bahasa sansekerta, yaitu “pandit” yang artinya alim, yang berilmu, ahli dalam bidang agama, filsafat, akademis, dan keterampilan. Dalam masyarakat, pandit biasanya memiliki kedudukan yang spesifik sebagai tokoh utama pemimpin masyarakat maupun agama.[12]
Dalam konteks Alkitab, pendeta dapat disebut dengan istilah “Poimen” (ποίμην) dan “Doulos”(δουλος) dari bahasa Yunani. “Poimen” (ποίμην) artinya gembala, pendeta, direktur, seorang yang mengawasi dan mengontrol orang lain, memiliki komitmen, dan memberi perintah, aturan atau ajaran untuk dipatuhi oleh mereka. Kata kerja dari “Poimen” (ποίμην) ini adalah “Proistemi” (Yun: προίστημι), artinya memimpin, berwenang terhadap anggota, mengurus, membantu, melindungi, memberi perhatian kepada mereka yang dipimpin.[13]Doulos” (δουλος) yang artinya “Hamba”. Hamba adalah seseorang yang bekerja dan melaksanakan kepentingan orang lain. Dalam kehidupan agama Israel, istilah hamba digunakan untuk menunjukkan kerendahan hati seseorang dihadapan Allah dan wujud penyerahan diri kepada Allah.[14]
Dalam bahasa Inggris, pendeta/pastor disebut juga “Shepherd” (Gembala). “Shepherd” menunjukkan posisinya sebagai pemimpin, pelindung, pemelihara, memperdulikan, dan fungsinya sebagai pemberi makanan, memperdulikan dan merawat, dan mengurusi orang lain.[15]
-          Relevansi Keuntungan
Tidak bisa disangkal, pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan keuntungan dalam bisnis. Seandainya keuntungan merupakan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan sukses dalam bisnis, perdagangan heroin, kokain atau obat terlarang lainnya harus dianggap sebagai  good business,  karena sempat membawa untuk amat banyak. Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan keuntungan dimutlakan dan segi moral dikesampingkan. Manajemen modern sering disifatkan sebagai  management by objectives. Manajemen yang ingin berhasil harus menentukan dengan jelas tujuan-tujuan yang mau dicapai. Dan dalam manajemen ekonomi salah satu unsur penting adalah cost-benefit analysis. Supaya dapat mencapai sukses, hasil dalam suatu usaha bisnis harus melebihi biaya yang dikeluarkan. Usaha ekonomis baru bisa dianggap berhasil bila memungkinkan laba. Semuanya bisa diterima, asalkan tetap disertai pertimbangan etis. Bisnis menjadi tidak etis, jika keuntungan dijadikan satusatunya  objective atau  benefit dimengerti sebagai laba belaka dengan mengorbankan semua faktor lain.
Keuntungan dalam bisnis tetap perlu. Hanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis atau bahwa profit merupakan tujuan bisnis atau bahwa profil merupakan satu satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relavitas keuntungan dalam bisnis, sambil tidak mengabaikan perlunya, adalah sebagai berikut:
a.       Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menila kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;
b.      Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat;
c.       Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
d.      Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
e.       Keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.[16]

V.                Dasar/Pandangan teologi
Keadilan itu penting dalam konteks ekonomi dan bisnis, karena tidak pernah sebatas perasaan atau sikap batin saja tetapi menyangkut kepentingan atau barang yang dimiliki atau dituntut oleh pelbagai pihak. Antara ekonomi dan keadilan terjadi hubungan erat, karena dua-duanya berasal dari sumber yang sama. Sumber itu adalah masalah kelangkahan. Ekonomi timbul karena keterbatasan sumber daya alam.[17]
Para kolonialis dan para penguasa bergabung dalam upaya pembangunan kekuasaan. Dalam kegiatan ekonomi dan politik itu mereka merasa terbebas dari pengendalian etis yang pernah ditekannkan oleh kekristenan abad-abad pertengahan atas kehidupan politik dan ekonomi dari orang-orang percaya itu.
      Para misionaris Kristen juga ikut serta dalam usaha pembangunan kerajaan itu diilhami oleh semangat menyelamatkan jutaan jiwa yang belum mengenal Kristus. Mereka tidak menilai secara krisis perkembangan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, atau kegiatan ekonomi dan politik dari orang orang setanah airnya. Oleh karena itu, sekalipun ada usaha besar-besaran dari orang-orang yang benar-benar dimotivasikan oleh agama, tidak terdapat pengarahan moral yang positif dalam usaha bisnis orang Eropa yang membangun tatanan dunia sekarang ini. Langkah-langkah yang diambil para penjajah dan para misionaris tidak pernah klop untuk menjamin kebaikan bersama bagi seluruh umat manusia. Sebenarnya para tokoh perdagangan dan industri, bersama-sama dengan pemerintah-negara-bangsa yang baru muncul, telah mengambil alih kemudian dalam kehidupan sehari-hari.
      Hasilnya adalah kenyataan bahwa tatatan dunia sekarang ini sedang mengalami kekacauan dan tidak sanggup menyediakan kebutuhan yang paling minim sekalipun bagi milyaran umat manusia. Kapitalisme pada dasarnya tidak sanggup melahirkan suatu masyarakat yang adil, karena motivasi yang menuntunnya adalah pemenuhan keuntungan perseorangan dan perusahaan. Untuk itu, susunan tatanan dunia yang adil adalah dimana (1) setiap orang terjamin kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya dan dihormati manusia sebagai manusia, tanpa diskriminasi; (2) setiap masyarakat sanggup menyediakan fasilitas-fasilitas bagi kehidupan yang layak dari para anggotanya dan bagi perkembangan budayanya sendiri; (3) planet bumi diurus dan tidak diperlakukan sedemikian rupa sehingga menjadi tempat yang tidak sesuai bagi manusia di masa kini dan masa depan.[18]
Teologi Ekonomi Gereja Kristen protestan di Bali. Pertama-tama di bahas Perspektif teologi Dr. I Wayan Mastra. Pemikiran teologi Mastra terbagi dua, satu untuk konteks Bali dan kedua dengan konteks keindonesiaan. Dalam konteks Bali, Mastra menyampaikan 8 pokok pikirannya. Diantaranya adalah tentang:
1.      Pentingya kemandirian untuk jati diri dan martabat. Menurut Mastra, Gereja harus membuat program-program yang memberdayakan orang untuk mandiri dan nantinya bisa menolong orang lain. Tujuannya adalah untuk mengangkat martabat manusia supaya bisa dihargai di masyarakat.
2.      Orang Kristen Diberkati untuk bisa memberkati. Mastra merefleksikan pikirannya ini dari panggilan Allah kepada Abraham…”Aku akanmembuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkauserta membuat namamu masyhur, dan engkau akan menjadi berkat..olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej 12:2-3). Pokok pikiran ketiga, senanda dengan kedua, yaitu mengembangkan sikap hidup lebih suka memberi daripada menerima (Prinsip Tangan Di Atas).
3.      Mastra menekankan bahwa orang yang diberkati adalah orang yang memberi. Seperti tangan, kita harus membalikkan telapak tangan untuk bisa memberi, bukan menengadahkan tangan ke atas.
4.      Adanya Kesatuan antara tubuh ,roh dan Jiwa atau pikiran hati dan perut. Tuhan menciptakan manusia tidak hanya dengan kebutuhan rohani tapi juga kebutuhan jasmani.Kelima, Mastra juga mengembangkan apa yang disebutnya ‘Teolog Perut’. Ia menekankan pentingnya mengembangkan perekonomian jemaat dengan alasan bahwa ‘perut yang kosong tidak mempunyai telinga. Artinya, jika jemaat masih mengalami pergumulan dalam kebutuhan hidup sehari-hari, maka akan sulit bagi mereka menerima Firman Tuhan. Hal ini mungkin relevan dengan latar belakang jemaat gereja Bali yang berasal dari kaum miskin dan tersisihkan dalam struktur masyarakat Bali. Mastra berpendapat orang Kristen seharusnya tidak hidup dalam kemiskinan tapi hidup sebagai ‘kapitalis’ dalam arti selalu melipatgandakan modal sebagaimana perumpaaan Tuhan Yesus tentang pelipatgandaan Talenta.
5.      Mastra juga menekankan pentingnya pendeta memberi contoh dengan juga terlibat dalam berwirausaha sehingga pendeta tidak menjadi beban bagi jemaatnya.
6.      Mastra juga menekankan peran konteks budaya dan kekayaan local dalam pengembangan ekonomi jemaat dan gereja. Dalam konteks Bali, jemaat dan gereja harus memanfaatkan pariwisata untuk kemajuan ekonomi mereka.
7.        Selain pemikiran Mastra, buku ini juga memuat pemikiran Tokoh-tokoh gereja Bali lainnya mengenai pro-kontra keterlibatan gereja Bali dalam bisnis. Prof.DR. I Wayan Waspada, mantan Bishop GPKB, misalnya mengingatkan agar gereja tidak terjebak dalam usaha memperkaya diri yang tak berkesudahan. Ia juga mengingatkan bahaya penyalahgunaan ekonomi gereja untuk kepentingan diri sendiri atau kebanggan diri yang dapat mengalihkan perhatian gereja dari misi utamanya yaitu penginjilan Prof. Waspadadan Suyaga Ayub juga mengkritik teologi Mastra bahwa seseorang harus menjadi kaya dahulu untuk bisa memberkati. Orang miskin pun, menurut mereka, bisa memberkati. (hal 100-101). Teologi Mastra dianggap telalu menekankan berkat jasmaniah dan mengabaikan berkat rohaniah.
8.        Namun Mastra sendiri menanggapi bahwa kegiatan bisnis gereja adalah rohaniah karena semua pemikiran kegiatan bisnis gereja adalah rohaniah karena semua pemikiran maupun kegiatan bisnis gereja didasari oleh usaha penyerahan diri dan membangun hubungan baik dengan Allah. Hubungan yang baik dengan Allah itulah yang menyebabkan hidup seseorang dianugerahi dengan berbagai bentuk berkat, termasuk di dalamnya berkat materi.[19]

VI.             Refleksi Aktual
Pendeta menjadi pusat perhatian dan keaktifan jemaat. Pendeta yang memegang peranan yang penting dalam segala aktivitas jemaat. Dipandang dari sudut manusia, kemajuan dan perkembangan hidup rohani orang Kristen bergantung kepada kerajinan dan kecakapan pendeta; begitu pula pelaksanaan tugas gereja di dalam dunia ini.[20] Gereja hidup dalam perjanjiannya dengan Allah serta kepada sesama. Pendeta menjadi mediator di dalam gereja. Pendeta harus dapat menghubungkan jemaat dengan Allah dan antara jemaat ke jemaat lain. Sebelum daripada itu, patutlah seorang pendeta mempunyai hubungan yang baik kepada Allah, dan juga jemaat.
Iman dan kesejahteraan rohani, adalah tujuan utama dalam pelayanan pendeta. Dalam membangun kebangkitan iman dan kesejahteraan rohani jemaat peranan pendeta sangatlah penting. Pendeta menjadi kunci akan iman dan kesejahteraan rohani itu sendiri. Jemaat dituntut untuk mandiri, tetapi memang seperti itulah tugas dan tanggung jawab pendeta. Oleh karena itu, pendeta bukan hanya membentuk iman dan kesejahteraan rohaninya saja, melainkan harus membagikan dan membimbing iman serta kesejahteraan rohani jemaat. Seorang pendeta tidak boleh mementingkan dirinya sendiri. Seorang pendeta harus memperhatikan jemaat yang dia pimpin. Seorang pendeta harus dapat memanajemen jemaat baik dalam pelayanan gerejawi, sosial dan ekonomi. Manajemen ini, diperlukan untuk mempermudah seorang pendeta dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Akan tetapi, pendeta sering mengalami masalah dalam manajemen ekonomi di jemaat. Ketergiuran seorang pendeta dalam kebutuhan hidupnya sering mendesak pendeta menjadikan jemaat sebagai ladang bisnis.[21] Tantangan dalam dunia profesi yang dihadapi para professional sekarang ini adalah sulitnya menyeimbangkan antara idealisme dan keuntungan pribadi. Padahal profesi mengandung arti yang suci, karena di dalamnya memiliki makna kesetian yang luhur terhadap profesinya, yaitu tanggung jawab terhadap masyarakat dan diri sendiri.[22]
Tugas dan tanggung jawab seorang pendeta tentu sangat berat. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran yang lebih akan tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan profesinya. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, seorang pendeta harus dengan kesungguhan hati. Untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab, dibutuhkan suatu pendorang yang menjadikan seseorang lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Spiritual adalah pendorong yang menjadikan seseorang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh. Dengan berspiritual, maka seseorang akan sadar dan lebih tahu tugas dan tanggung jawabnya.[23] Spiritualitas mengarahkan seseorang dalam menentukan sikap dan pribadinya. Spiritualitas seseorang dapat dilihat dari perkataan, pikiran dan tindakan seseorang. Spiritualitas seorang pendeta tentu tidak diragukan lagi bahwa spiritualitasnya sangat didukung oleh sifat dan tindakan yang tertuju pada kemuliaan Allah.[24] Oleh karena itu, seorang pendeta harus lebih memiliki spiritualitas yang tangguh agar dapat melaksnakan tugas dan tanggung jawab profesinya dengan maksimal.
Seseorang yang disebut profesional, adalah orang yang mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya. Penyatuan diri dengan pekerjaannya membentuk identitas dan kematangan dirinya. Berkembang bersama dengan perkembangan dan kemajuan pekerjaannya. Komitmen seperti ini melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam atas pekerjaannya.[25]
 Tanggung jawab moral  pendeta dalam pelayanan profesinya, tidak hanya untuk pribadi atau kepada orang lain, melainkan kepada Allah. Pendeta menjadikan Allah sebagi sumber hidupnya, sama dengan menjadikan hidup ke arah yang bermoral. Dengan menjadikan Allah sebagai sumber dan tujuan hidup, maka sikap atau pribadi seorang pendeta harus berdasarkan nilai-nilai yang dikehendaki Allah. Prinsif kerja teologis-etis tanggung jawab professional seorang pendeta dalam pelayanannya adalah:
1.         Iman, sebagai jalan masuk kepada Allah melalui Alkitab, keyakinan-keyakinan rohani yang telah dibentuk oleh tradisi gereja, hidup dalam doa, kesaksian-kesakian umum dan permenungan teologis
2.         Akal budi, sebagai jalan masuk kepada Allah melalui pengertian tentang makna menjadi manusia.[26]



[1] F.Rahardi, Menguak Rahasia Bisnis Gereja (Jakarta:Visi Media, 2007),  2.
[2] Ibid.,  25-28.
[3] Made Gunarakswati Mastra-ten Veen, Teologi Kewirausahaan, (https://www.kompasiana.com/rihat/resensi-buku-teologi-kewirausahaan_55004f00a3331153725107a0,), diambil pada hari, Senin, 14 Mei 2018, pukul. 13.49 wita.
[4] L. Sinour Yosephus, Etika Bisnis (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 9.
[5] Franz Mangnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 14-15.
[6] L.Sinour Yosephus, Etika Bisnis (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010),  68-70 mengutip Ronal Duska, “The Why’s of Business Revisited’, Journal of Business Ethics, vol.15 no. 12-13, September 1997. Lihat juga Shirley Roels , On Moral Business, Grand Rapids, Michigans, 1995).
[7] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 71-74.
[8] Ibid., 31-32.
[9] Ibid., 34-35.
[10] Ibid., 34.
[11] Idem, L. Sinour Yosephus, Etika Bisnis (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 75, 77.
[12] Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, (Jakarta: Grafika, 2000), 564
[13] Joesph Henry Thayer, Greek-English Lexicon of The New Testament (American: Book Company, 1889), 527, 539.
[14] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab: A Dictionary of the Bible, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 131.
[15] E.P. Gintings, Penggembalaan, (Bandung: Jurnal Info Media, 2009), 24.
[16] K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 161-162.
[17] Ibid., 85.
[18]  Tissa Balasurya, Teologi Siarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 88-89.
[19] Idem, Made Gunarakswati Mastra-ten Veen, Teologi Kewirausahaan, (https://www.kompasiana.com/rihat/resensi-buku-teologi-kewirausahaan_55004f00a3331153725107a0,), diambil pada hari, Senin, 14 Mei 2018, pukul. 13.49 wita.
[20] E. G. Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 53.
[21] Gaylord Noyce, Tanggung Jawab Etis Pelayanan Jemaat: Etika Pastoral, (Jakarta: BPK-GM, 2016), 28.
[22] H. As. Mahmuddin, Etika Bisnis Perbankan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 16.
[23] Joe E.Trull & James E. Carter, Etika Pelayan Gereja (Peran Moral dan Tanggung Jawab Etis Pelayan Gereja), (Jakarta: BPK-GM, 2014), 88-90.
[24] B. F. Drewes & Julianus Mojau, Apa Itu Teologi?, (Jakarta: BPK-GM, 2015), 28-30.
[25] I Putu Jati Arsana, Etika Profesi Insinyur: Membangun Sikap Profesionalisme sarjana Teknik, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), 80.
[26] Ibid., 24-25.

No comments:

Post a Comment