Pandangan
Etika terhadap Pendeta Bisnis
I.
Pendahuluan
Agama, ekonomi, politik, dan sosial
budaya merupakan satu kesatuan dalam hidup sehari-hari.[1]
Namun pemahaman jemaat sering memisahkan pemahaman ini kalau bicara Agama
dengan ekonomi, Agama dengan politik. Apalagi berbicara tentang sosok pendeta
yang dianggap kaum suci yang tidak mencari harta di dunia sementara tujuan
bisnis adalah keuntungan. Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Bisnis berlangsung
sebagai komunikasi sosial yang menguntungkan untuk kedua belah pihak yang
melibatkan diri. Pengalaman panggilan kependetaan dalam menghayati pelayanan,
menjadi nilai yang dicontoh dalam bersikap. Tugas pendeta tidak hanya melayani
masyarakat, melainkan lebih kepada melayani Allah dalam kehidupan jemaat maupun
masyarakat untuk kemuliaan Allah. Panggilan religius seorang pendeta sebagai
mandataris Yesus yang diutus oleh gereja untuk menjadi pelayannya dalam melayani
jemaat maupun masyarakat untuk kemuliaan Allah. Adanya keterpanggilan pribadi
oleh proses yang religius.[2]
II.
Kasus[3]
Hotel Dhyana
Pura, milik sebuah gereja di Bali, yakni Gereja Kristen Prostestan di Bali
(GKPB). Ada keheranan dan bercampur kagum di hati, ada gereja yang memiliki
Hotel, suatu tempat yang berkonotasi negatif bagi sebagian besar umat. Namun
ada rasa kagum karena sebuah gereja bisa memiliki asset yang begitu mahal dan
berharga di tengah-tengah situasi banyak lembaga keumatan yang mengalami
kesulitan finansial.
Penulis
menemukan buku yang membahas tentang praktik bisnis di GKPB, khususnya mengenai
Hotel Dhyana Pura. Buku berjudul ‘Teologi Kewirausahaan’ dengan subjudul Konsep
dan Praktik Bisnis Gereja Kristen Protestan di Bali ini menjelaskan secara
lengkap latar belakang keterlibatan GKPB dalam praktik bisnis di Bali, dasar
teologi yang melandasi pemikiran tersebut serta pro-kontra di antara pemimpin
jemaat mengenai praktik gereja berbisnis tersebut. Yang membuat buku ini
istimewa adalah bahwa penulis adalah anak kandung dari mantan Ketua Sinode
Gereja GKPB , Pdt. DR. Em. I Wayan Mastra, yang memimpin GPKB dari tahun 1972
hingga 2000. DR. I Wayan Mastra lah yang memberikan landasan teologis praktis
bisnis Gereja Bali dari awal hingga berkembang seperti saat ini.Buku ini
sendiri diangkat dari tesis penulis di pasca Sarjana Fakultas Teologi
Universitas Duta Wacana,Yogyakarta.
Pada bagian
pertama, buku ini menjelaskan latar belakang sejarah, kebijakan-kebijakan serta
usaha-usaha bisnis gereja Kristen protestan di Bali. Sejarah kekristenan
sendiri di Bali sudah dimulai dari tahun 1863. Namun kemudian ada pelarangan
dari pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga stabilitas karena adanya
resistensi penduduk setempat yang mayoritas Hindu. Tahun 1929, pemerintah
Hindia Belanda kembali memberi ijin kepada penginjil Cina yang bekerja sebagai
penginjil di kalangan etnis Tionghoa Bali. Tahun 1933, penginjilan kembali
dilarang karena adanya tekanan dari masyarakat Hindu Bali yang tidak senang
dengan perpindahan orang-orang Bali ke agama Kristen.Namun saat itu sudah ada
sekitar 200 orang yang dibaptis oleh penginjil Cina tersebut.
Tahun 1933,
penginjil dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Jawa Timur dan dengan
bantuan dari misiolog dari Belanda mengumpulkan orang Kristen Bali dan
mempersiapkan mereka menjadi gereja yang mandiri. Tahun 1948 berdirilah Gereja
Kristen Protestan Bali” dan kemudian tahun 1962 diubah menjadi “Gereja Kristen
Protestan di Bali’. Tahun 1963, akibat letusan Gunung Agung, banyak lahan
pertanian subur menjadi kering dan tidak dapat ditanami. Kemiskinan melanda
Bali. Gereja Bali mendapat bantuan dari Church
World Service untuk menolong korban bencana berupa gandum, bahan makanan
dan pakaian. Sebagian penduduk kemudian tertarik dan beralih ke agama
Kristensehingga mereka disindir oleh masyarakat Hindu sebagai “orang Kristen
gandum’. Akibat cemoohan penduduk, sebagian ada yang kembali ke agama semula,
tapi ada juga yang bertahan dan bertumbuh imannya.
Masa
pergolakan tahun 1960-1965 menimbulkan banyak masyarakat Hindu yang pro PKI
yang beralih masuk ke agama Kristen karena menganggap agama Kristen lebih
menampung nilai-nilai sosialis komunis. Namun orang Kristen sendiri juga
dibenci PKI yang ateis. Banyak orang Kristen yang kemudian terbunuh pada masa
penumpasan PKI. Agama Kristen menjadi sasaran kebencian masyarakat yang anti
komunis. Tahun 1965-1971 merupakan masa krisis bagi gereja Bali.
Awal tahun 1972 Gereja Bali mengalami defisit sehingga tidak mampu membayar
gaji pendetanya sehingga hidupnya serba berkekurangan. Jemaat juga mengalami
kesulitan ekonomi dan umumnya berprofesi sebagai petani dan pekerja kasar.
Peralihan menjadi agama Kristen membuat mereka kehilangan harta benda,warisan
dan dikucilkan masyarakat. Anak-anak muda generasi kedua sulit mendapat
pekerjaan di pemerintahan karena mereka Kristen. Di sektor pariwisata juga
tidak mudah untuk masuk karena mereka tidak mampumembiayai sekolah pariwisata
yang mahal sehingga mereka tidak bisa bekerja di Hotel atau biro perjalanan,
Mereka juga tidak bisa membuka usaha sendiri karena tidak memiliki modal dan
jaminan ke bank untuk mendapat pinjaman. Kondisi seperti inilah yang membuat
pengurus Gereja untuk fokus memikirkan peningkatan perekonomian gereja dan
jemaat.
Kebijakan sinode tahun 1 1972 memutuskan untuk menjadikan Gereja Bali
menjadi gereja yang mandiri dan kontekstual dengan budaya Bali. Misi
kontekstualisasinya adalah mengupayakan kekristenan menjadi bagian dari
masyarakat dan memberikan makna baru kehidupan tanpa menghilangkan budaya dan
lingkungan dimana mereka tinggal. Misi kontekstualisasi ini diwujudkan
dalambentuk penggunaaan elemen-elemen budaya Bali yang berestetika tinggi dalam
gedung gereja, seni tari dan musik dan mengembangkan usaha-usaha bisnis yang
terkait dengan pariwisata untuk mengembangkan perekonomian dan pelayanan
gereja.
Kemudian dibentuklah departemen-departemen yang membawahi Yayasan-yayasan
yang melayani 3 kebutuhan manusia ,yaitu kebutuhan otak (kepala),
kebutuhan hati, dan kebutuhan perut. Kebutuhan kepala ditangani
Departemen kesaksian dan Pengembangan (Marturia) melalui Yayasan Harapan yang
mengelola pendidikan dari TK hingga SMA dan juga panti asuhan. Kebutuhan hati
ditangani oleh Departemen Persekutuan dan Pembinaan (Koinonia) melalui Yayasan
Dhyana Pura yang mengelola Hotel Resor Dhyana Pura dan Wisma Nangun Kerti di
pegunungan Bedugul,Sekolah Perhotelan dan Pariwisata (Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen (STIM), Jasa Penyelenggaraan Pernikahan bagi orang-orang asing.
Sementara kebutuhan perut ditangani Departemen Pelayanan dan Usaha
menggunakan Yayasan Maha Bhoga Marga yang menyediakan fasilitas kredit dan
program pembinaan untuk peningkatan ekonomi masyarakat golongan ekonomi rendah.
Jenis-jenis usaha di bawah yayasan ini antara lain Usaha Permebelan (1994) ,yang
melayani kebutuhan mebel untuk gereja, hotel dan kantor, Usaha Percetakan
(1995), Bank Perkreditan Rakyat dan Pinjaman Modal Sarana Usaha (1990). PMSU
memberikan pinjaman modal bagi peserta yang telah mengikuti pelatihan
keterampilan seperti pertukangan,menjahit,dll, untuk membeli alat kerja. Bila
mereka telah berhasil, mereka kemudian mendapatkan kredit dari BPR untuk
mengembangkan usahanya.
Keterlibatan Gereja Bali dalam praktik bisnis ini tentu saja berdampak
positif bagi peningkatan keuangan dan asset gereja. Sebagai perbandingan,
terlihat dari datapertumuhan kekayaan GKPB tahun 2003-2007, tahun 2003 aset
GPKB bernilai Rp 77.616.789.10,- tahun 2007 mejadi Rp 113.075.002.669,-.
Hutang, tahun 2003 Rp 11.270.836.210,- dan tahun 2007 Hutang Rp 96.336.344.491,-Sementara
modal tahun 2003 sebesar Rp 66.345.952.893,- dan tahun 2007 menjadi Rp
96.336.344.491.Rata-rata pertumbuhan asset dalam setahun sebesar 9,92%,
sementara pertumbuhan modal 9,86% dan pertumbuhan utang 11.36% .
III.
Dasar Pertimbangan Etis
Secara etimologis, kata etika
berasal dari kata Yunani ethos (tunggal)
yang berarti adat, kebiasan, watak, akhlak, sikap, perasaan dan cara berpikir. [4]
Etika adalah ilmu yang mencari orientasi atau dasar dari tindakan dan tingkah
laku manusia. Berpikir bagaiman manusia itu harus bertindak. Dengan tahu dan
mengerti dasar akan tindakan atau tingkah laku yang akan dilakukan maka manusia
dapat menentukan nasibnya. Etika membantu manusia bertanggung jawab atas
kehidupannya.[5]
Dengan berpikir apa yang akan dilakukan, maka manusia menjadi tahu dan siap
menanggung resiko yang akan diterimanya dari tindakannya. Dalam tindakannya,
manusia harus mempunyai dasar dan serta siap mempertanggung jawabkan
tindakkannya.Untuk itu dalam pembahasan ini etika membantu untuk membantu
mengambil sikap yang tepat terhadap konflik nilai dan menghadapi transformasi
di kehidupan moderinisasi termasuk memberikan dasar pertimbangan etis terhadap
pendeta bisnis.
Elaine Sternberg
dalam Just Busnisness: Business Ethichs
in Action (19994:32), mendefinisikan tujuan bisnis sebagai ‘to maximize the
owner value by selling goods or services.” Tujuan bisnis, menurut Sternberg,
adalah melipat gandakan nilai pemilik melalui penjualan barang dan jasa. Secara
sederhana tujuan suatu bisnis adalah melipatgandakan kuntungan bagi pemilik
bisnis dengan penjualan dan jasa. Bagaimana meraup keuntungan yang dimaksud? Menjadikan
keuntungan sebagai satu-satunya tujuan setiap aktivitas bisnis sangat rentan
terhadap penyimpangan-penyimpangan moral. Seperti memeralat manusia dalam hal
ini pekerja atau karyawan sebagai sarana. Padahal, baik secara moral maupun
secara hukum memeralat pekerja atau karyawan untuk tujuan apapun adalah identik
dengan merendahkan harkat dan martabat mereka sebagai manusia. Alasan yang
mendasari hal ini adalah bahwa karyawan adalah manusia, dan sebagai manusia
mereka merupakan tujuan untuk dirinya sendiri karenanya tidak boleh
dipergunakan untuk tujuan lain di luar tujuan dirinya sendiri.[6]
Mengacu
kepada Etika Kristen menurut Malcom ada etika akibat, etika kewajiban dan etika
tanggungjawab.[7]
Etika
akibat yang mengutamakan nilai-nilai Kristen dan tujuan-tujuan perbuatan kita.
Menurut penganut etika akibat kehendak Tuhan dinyatakan dalam maksudNya,
rencanaNya, dan tujuanNya. Pertanyaan etis yang paling penting ialah:
nilai-nilai apa yang cocok dengan kehendak Allah sehingga kita harus mencarinya?
Kebaikan atau keburukan perbuatan kita bergantung kepada tujuan atau hasil. [8] berdasarkan
pemahaman ini, yang harus digali adalah apa tujuan pendeta itu berbisnis, kalau
hanya untuk mencari keuntungan atau mengumpulkan harta duniawi, jelas menurut
pemahaman etika akibat ini sangat bertentangan.
Etika kewajiban yang mengutamakan
hukum-hukum dan norma-norma Kristen. Menurut penganut etika kewajiban kehendak
Tuhan dinyatakan dalam hukumNya, perintahnya, dan kaidahNya. Manusia bukan
sebagai pencipta melainkan sebagai warga negara.[9]
Berdasarkan pemahaman ini yang harus dipatuhi pendeta sebagai pelaku bisnis
adalah menaati aturan bisnis yang berlaku seperti membayar pajak kepada negara.
Etika tanggung jawab menurut
penganutnya, kehendak Tuhan dinyatakan terutama bukan dalam rencanaNya atau
hukumNya, melainkan dalam perbuatanNya, pekerjaanNya, dan kegiatanNya.
Perbuatan kita dianggap baik kalau sesuai terhadap pekerjaan Allah. Menurut
pemahaman ini, manusia bukan sebagai pencipta atau warga negara, melainkan
sebagai penjawab.[10]
Berdasarkan pemahaman ini, pendeta sebagai pelaku bisnis harus melihat apa yang
dikerjakan sesuai dengan Firman Tuhan. misalnya memperhatikan aspek keadilan
dalam keuntungan.
IV.
Faktor Pertimbangan Etis
-
Good
ethic-good business
Setiap kebijakan dan keputusan
bisnis selalu lahir dari pertimbangan-pertimbangan yang matang, sadar dan
bebas. Karena pebisnis tidak ingin namanya jelek. Tidak ada orang di muka bumi
ini yang menghendaki namanya masuk black-list atau daftar hitam manapun.
Sebaliknya, setiap orang menghendaki agar namanya harus baik supaya diormati
dan dihargai. Pebisnis forward-looking person atau orang yang berwawasan ke
depan, yang tidak meremehkan masa lalu, namu juga tidak melebih-lebihkan masa
kini dan masa depan. Dengan kata lain, pebisnis seperti ini adalah orang-orang
yang selalu mawas diri. Mereka selalu melihat ke depan karena sudah terlebih
dahulu menoleh dan melirik. Bagi mereka, nama baik atau dalam bahasa etis
adalah harga yang harus dipertahnkan. Implikasinya, dengan serius mereka akan
terus berupaya untuk menjaga nama baik atau harga diri mereka dalam setiap
jengkal aktivitis bisnis.[11]
-
Etika Profesi Pendeta
Istilah Pendeta berakar dari bahasa sansekerta, yaitu “pandit” yang artinya alim, yang berilmu, ahli dalam bidang agama,
filsafat, akademis, dan keterampilan. Dalam masyarakat, pandit biasanya
memiliki kedudukan yang spesifik sebagai tokoh utama pemimpin masyarakat maupun
agama.[12]
Dalam konteks Alkitab, pendeta dapat disebut dengan
istilah “Poimen” (ποίμην) dan “Doulos”(δουλος) dari bahasa Yunani. “Poimen” (ποίμην) artinya gembala,
pendeta, direktur, seorang yang mengawasi dan mengontrol orang lain, memiliki
komitmen, dan memberi perintah, aturan atau ajaran untuk dipatuhi oleh mereka.
Kata kerja dari “Poimen” (ποίμην) ini
adalah “Proistemi” (Yun: προίστημι),
artinya memimpin, berwenang terhadap anggota, mengurus, membantu, melindungi,
memberi perhatian kepada mereka yang dipimpin.[13] “Doulos” (δουλος) yang artinya “Hamba”.
Hamba adalah seseorang yang bekerja dan melaksanakan kepentingan orang lain.
Dalam kehidupan agama Israel, istilah hamba digunakan untuk menunjukkan
kerendahan hati seseorang dihadapan Allah dan wujud penyerahan diri kepada
Allah.[14]
Dalam bahasa Inggris, pendeta/pastor disebut juga “Shepherd” (Gembala). “Shepherd” menunjukkan posisinya sebagai
pemimpin, pelindung, pemelihara, memperdulikan, dan fungsinya sebagai pemberi
makanan, memperdulikan dan merawat, dan mengurusi orang lain.[15]
-
Relevansi Keuntungan
Tidak bisa disangkal, pertimbangan etis mau tidak
mau membatasi peranan keuntungan dalam bisnis. Seandainya keuntungan merupakan
merupakan faktor satu-satunya yang menentukan sukses dalam bisnis, perdagangan
heroin, kokain atau obat terlarang lainnya harus dianggap sebagai good
business, karena sempat membawa
untuk amat banyak. Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan keuntungan
dimutlakan dan segi moral dikesampingkan. Manajemen modern sering disifatkan
sebagai management by objectives. Manajemen yang
ingin berhasil harus menentukan dengan jelas tujuan-tujuan yang mau dicapai.
Dan dalam manajemen ekonomi salah satu unsur penting adalah cost-benefit analysis. Supaya dapat
mencapai sukses, hasil dalam suatu usaha bisnis harus melebihi biaya yang
dikeluarkan. Usaha ekonomis baru bisa dianggap berhasil bila memungkinkan laba.
Semuanya bisa diterima, asalkan tetap disertai pertimbangan etis. Bisnis
menjadi tidak etis, jika keuntungan dijadikan satusatunya objective atau benefit dimengerti sebagai laba belaka
dengan mengorbankan semua faktor lain.
Keuntungan dalam bisnis tetap perlu. Hanya tidak
bisa dikatakan lagi bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis atau
bahwa profit merupakan tujuan bisnis atau bahwa profil merupakan satu satunya
tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relavitas
keuntungan dalam bisnis, sambil tidak mengabaikan perlunya, adalah sebagai
berikut:
a. Keuntungan
merupakan tolak ukur untuk menila kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen
dalam perusahaan;
b. Keuntungan
adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh
masyarakat;
c. Keuntungan
adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
d. Keuntungan
merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
e. Keuntungan
mengimbangi resiko dalam usaha.[16]
V.
Dasar/Pandangan teologi
Keadilan itu penting dalam konteks
ekonomi dan bisnis, karena tidak pernah sebatas perasaan atau sikap batin saja
tetapi menyangkut kepentingan atau barang yang dimiliki atau dituntut oleh
pelbagai pihak. Antara ekonomi dan keadilan terjadi hubungan erat, karena
dua-duanya berasal dari sumber yang sama. Sumber itu adalah masalah
kelangkahan. Ekonomi timbul karena keterbatasan sumber daya alam.[17]
Para kolonialis dan para penguasa
bergabung dalam upaya pembangunan kekuasaan. Dalam kegiatan ekonomi dan politik
itu mereka merasa terbebas dari pengendalian etis yang pernah ditekannkan oleh
kekristenan abad-abad pertengahan atas kehidupan politik dan ekonomi dari
orang-orang percaya itu.
Para
misionaris Kristen juga ikut serta dalam usaha pembangunan kerajaan itu
diilhami oleh semangat menyelamatkan jutaan jiwa yang belum mengenal Kristus.
Mereka tidak menilai secara krisis perkembangan dan penggunaan ilmu pengetahuan
dan teknologi tersebut, atau kegiatan ekonomi dan politik dari orang orang
setanah airnya. Oleh karena itu, sekalipun ada usaha besar-besaran dari orang-orang
yang benar-benar dimotivasikan oleh agama, tidak terdapat pengarahan moral yang
positif dalam usaha bisnis orang Eropa yang membangun tatanan dunia sekarang
ini. Langkah-langkah yang diambil para penjajah dan para misionaris tidak
pernah klop untuk menjamin kebaikan bersama bagi seluruh umat manusia.
Sebenarnya para tokoh perdagangan dan industri, bersama-sama dengan
pemerintah-negara-bangsa yang baru muncul, telah mengambil alih kemudian dalam
kehidupan sehari-hari.
Hasilnya
adalah kenyataan bahwa tatatan dunia sekarang ini sedang mengalami kekacauan
dan tidak sanggup menyediakan kebutuhan yang paling minim sekalipun bagi
milyaran umat manusia. Kapitalisme pada dasarnya tidak sanggup melahirkan suatu
masyarakat yang adil, karena motivasi yang menuntunnya adalah pemenuhan
keuntungan perseorangan dan perusahaan. Untuk itu, susunan tatanan dunia yang
adil adalah dimana (1) setiap orang terjamin kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya
dan dihormati manusia sebagai manusia, tanpa diskriminasi; (2) setiap
masyarakat sanggup menyediakan fasilitas-fasilitas bagi kehidupan yang layak
dari para anggotanya dan bagi perkembangan budayanya sendiri; (3) planet bumi diurus
dan tidak diperlakukan sedemikian rupa sehingga menjadi tempat yang tidak
sesuai bagi manusia di masa kini dan masa depan.[18]
Teologi Ekonomi Gereja Kristen protestan di Bali. Pertama-tama di bahas
Perspektif teologi Dr. I Wayan Mastra. Pemikiran teologi Mastra terbagi dua,
satu untuk konteks Bali dan kedua dengan konteks keindonesiaan. Dalam konteks
Bali, Mastra menyampaikan 8 pokok pikirannya. Diantaranya adalah tentang:
1.
Pentingya kemandirian untuk jati diri dan martabat.
Menurut Mastra, Gereja harus membuat program-program yang memberdayakan orang
untuk mandiri dan nantinya bisa menolong orang lain. Tujuannya adalah untuk
mengangkat martabat manusia supaya bisa dihargai di masyarakat.
2.
Orang Kristen Diberkati untuk bisa memberkati. Mastra
merefleksikan pikirannya ini dari panggilan Allah kepada Abraham…”Aku
akanmembuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkauserta
membuat namamu masyhur, dan engkau akan menjadi berkat..olehmu semua kaum di
muka bumi akan mendapat berkat” (Kej 12:2-3). Pokok pikiran ketiga, senanda
dengan kedua, yaitu mengembangkan sikap hidup lebih suka memberi daripada
menerima (Prinsip Tangan Di Atas).
3.
Mastra menekankan bahwa orang yang diberkati adalah
orang yang memberi. Seperti tangan, kita harus membalikkan telapak tangan untuk
bisa memberi, bukan menengadahkan tangan ke atas.
4.
Adanya Kesatuan antara tubuh ,roh dan Jiwa atau
pikiran hati dan perut. Tuhan menciptakan manusia tidak hanya dengan kebutuhan
rohani tapi juga kebutuhan jasmani.Kelima, Mastra juga mengembangkan apa yang
disebutnya ‘Teolog Perut’. Ia menekankan pentingnya mengembangkan perekonomian
jemaat dengan alasan bahwa ‘perut yang kosong tidak mempunyai telinga. Artinya,
jika jemaat masih mengalami pergumulan dalam kebutuhan hidup sehari-hari, maka
akan sulit bagi mereka menerima Firman Tuhan. Hal ini mungkin relevan dengan
latar belakang jemaat gereja Bali yang berasal dari kaum miskin dan tersisihkan
dalam struktur masyarakat Bali. Mastra berpendapat orang Kristen seharusnya
tidak hidup dalam kemiskinan tapi hidup sebagai ‘kapitalis’ dalam arti selalu
melipatgandakan modal sebagaimana perumpaaan Tuhan Yesus tentang pelipatgandaan
Talenta.
5.
Mastra juga menekankan pentingnya pendeta memberi
contoh dengan juga terlibat dalam berwirausaha sehingga pendeta tidak menjadi
beban bagi jemaatnya.
6.
Mastra juga menekankan peran konteks budaya dan
kekayaan local dalam pengembangan ekonomi jemaat dan gereja. Dalam konteks
Bali, jemaat dan gereja harus memanfaatkan pariwisata untuk kemajuan ekonomi mereka.
7.
Selain pemikiran Mastra, buku ini juga memuat
pemikiran Tokoh-tokoh gereja Bali lainnya mengenai pro-kontra keterlibatan
gereja Bali dalam bisnis. Prof.DR. I Wayan Waspada, mantan Bishop GPKB, misalnya
mengingatkan agar gereja tidak terjebak dalam usaha memperkaya diri yang tak
berkesudahan. Ia juga mengingatkan bahaya penyalahgunaan ekonomi gereja untuk
kepentingan diri sendiri atau kebanggan diri yang dapat mengalihkan perhatian
gereja dari misi utamanya yaitu penginjilan Prof. Waspadadan Suyaga Ayub juga
mengkritik teologi Mastra bahwa seseorang harus menjadi kaya dahulu untuk bisa
memberkati. Orang miskin pun, menurut mereka, bisa memberkati. (hal 100-101).
Teologi Mastra dianggap telalu menekankan berkat jasmaniah dan mengabaikan
berkat rohaniah.
8.
Namun Mastra sendiri menanggapi bahwa kegiatan bisnis
gereja adalah rohaniah karena semua pemikiran kegiatan bisnis gereja adalah
rohaniah karena semua pemikiran maupun kegiatan bisnis gereja didasari oleh
usaha penyerahan diri dan membangun hubungan baik dengan Allah. Hubungan yang
baik dengan Allah itulah yang menyebabkan hidup seseorang dianugerahi dengan
berbagai bentuk berkat, termasuk di dalamnya berkat materi.[19]
VI.
Refleksi Aktual
Pendeta menjadi pusat perhatian dan
keaktifan jemaat. Pendeta yang memegang peranan yang penting dalam segala
aktivitas jemaat. Dipandang dari sudut manusia, kemajuan dan perkembangan hidup
rohani orang Kristen bergantung kepada kerajinan dan kecakapan pendeta; begitu
pula pelaksanaan tugas gereja di dalam dunia ini.[20]
Gereja hidup dalam perjanjiannya dengan Allah serta kepada sesama. Pendeta
menjadi mediator di dalam gereja. Pendeta harus dapat menghubungkan jemaat
dengan Allah dan antara jemaat ke jemaat lain. Sebelum daripada itu, patutlah
seorang pendeta mempunyai hubungan yang baik kepada Allah, dan juga jemaat.
Iman dan
kesejahteraan rohani, adalah tujuan utama dalam pelayanan pendeta. Dalam
membangun kebangkitan iman dan kesejahteraan rohani jemaat peranan pendeta
sangatlah penting. Pendeta menjadi kunci akan iman dan kesejahteraan rohani itu
sendiri. Jemaat dituntut untuk mandiri, tetapi memang seperti itulah tugas dan
tanggung jawab pendeta. Oleh karena itu, pendeta bukan hanya membentuk iman dan
kesejahteraan rohaninya saja, melainkan harus membagikan dan membimbing iman serta
kesejahteraan rohani jemaat. Seorang pendeta tidak boleh mementingkan dirinya
sendiri. Seorang pendeta harus memperhatikan jemaat yang dia pimpin. Seorang
pendeta harus dapat memanajemen jemaat baik dalam pelayanan gerejawi, sosial
dan ekonomi. Manajemen ini, diperlukan untuk mempermudah seorang pendeta dalam
melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Akan tetapi, pendeta sering mengalami
masalah dalam manajemen ekonomi di jemaat. Ketergiuran seorang pendeta dalam
kebutuhan hidupnya sering mendesak pendeta menjadikan jemaat sebagai ladang
bisnis.[21]
Tantangan dalam dunia profesi yang dihadapi para professional sekarang ini
adalah sulitnya menyeimbangkan antara idealisme dan keuntungan pribadi. Padahal
profesi mengandung arti yang suci, karena di dalamnya memiliki makna kesetian
yang luhur terhadap profesinya, yaitu tanggung jawab terhadap masyarakat dan
diri sendiri.[22]
Tugas dan tanggung jawab seorang
pendeta tentu sangat berat. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran yang lebih
akan tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan profesinya. Dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya, seorang pendeta harus dengan kesungguhan hati.
Untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab, dibutuhkan suatu pendorang yang
menjadikan seseorang lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya. Spiritual adalah pendorong yang menjadikan seseorang
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh. Dengan
berspiritual, maka seseorang akan sadar dan lebih tahu tugas dan tanggung
jawabnya.[23]
Spiritualitas mengarahkan seseorang dalam menentukan sikap dan pribadinya. Spiritualitas
seseorang dapat dilihat dari perkataan, pikiran dan tindakan seseorang.
Spiritualitas seorang pendeta tentu tidak diragukan lagi bahwa spiritualitasnya
sangat didukung oleh sifat dan tindakan yang tertuju pada kemuliaan Allah.[24]
Oleh karena itu, seorang pendeta harus lebih memiliki spiritualitas yang
tangguh agar dapat melaksnakan tugas dan tanggung jawab profesinya dengan
maksimal.
Seseorang yang disebut profesional,
adalah orang yang mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya.
Penyatuan diri dengan pekerjaannya membentuk identitas dan kematangan dirinya.
Berkembang bersama dengan perkembangan dan kemajuan pekerjaannya. Komitmen
seperti ini melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam atas pekerjaannya.[25]
Tanggung jawab moral pendeta dalam pelayanan profesinya, tidak
hanya untuk pribadi atau kepada orang lain, melainkan kepada Allah. Pendeta
menjadikan Allah sebagi sumber hidupnya, sama dengan menjadikan hidup ke arah
yang bermoral. Dengan menjadikan Allah sebagai sumber dan tujuan hidup, maka
sikap atau pribadi seorang pendeta harus berdasarkan nilai-nilai yang
dikehendaki Allah. Prinsif kerja teologis-etis tanggung jawab professional
seorang pendeta dalam pelayanannya adalah:
1.
Iman, sebagai jalan masuk kepada Allah
melalui Alkitab, keyakinan-keyakinan rohani yang telah dibentuk oleh tradisi
gereja, hidup dalam doa, kesaksian-kesakian umum dan permenungan teologis
2.
Akal budi, sebagai jalan masuk kepada
Allah melalui pengertian tentang makna menjadi manusia.[26]
[1] F.Rahardi, Menguak Rahasia Bisnis Gereja (Jakarta:Visi Media, 2007), 2.
[3] Made Gunarakswati Mastra-ten
Veen, Teologi Kewirausahaan, (https://www.kompasiana.com/rihat/resensi-buku-teologi-kewirausahaan_55004f00a3331153725107a0,), diambil pada hari, Senin, 14
Mei 2018, pukul. 13.49 wita.
[4] L. Sinour Yosephus, Etika Bisnis (Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010), 9.
[5]
Franz Mangnis Suseno, Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 14-15.
[6] L.Sinour Yosephus, Etika Bisnis (Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010), 68-70 mengutip Ronal
Duska, “The Why’s of Business Revisited’, Journal of Business Ethics, vol.15
no. 12-13, September 1997. Lihat juga Shirley Roels , On Moral Business, Grand
Rapids, Michigans, 1995).
[7] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 71-74.
[8] Ibid.,
31-32.
[9] Ibid.,
34-35.
[10] Ibid.,
34.
[11] Idem, L. Sinour Yosephus, Etika Bisnis (Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010), 75, 77.
[12] Muhammad Zain, Kamus
Modern Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Grafika, 2000), 564
[13]
Joesph Henry Thayer, Greek-English
Lexicon of The New Testament (American:
Book Company, 1889), 527, 539.
[16] K.
Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), 161-162.
[17] Ibid.,
85.
[18] Tissa
Balasurya, Teologi Siarah (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004), 88-89.
[19] Idem, Made Gunarakswati
Mastra-ten Veen, Teologi Kewirausahaan,
(https://www.kompasiana.com/rihat/resensi-buku-teologi-kewirausahaan_55004f00a3331153725107a0,), diambil pada hari, Senin, 14
Mei 2018, pukul. 13.49 wita.
[21] Gaylord Noyce, Tanggung Jawab Etis Pelayanan Jemaat: Etika
Pastoral, (Jakarta: BPK-GM, 2016), 28.
[22] H. As. Mahmuddin, Etika Bisnis Perbankan, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), 16.
[23] Joe E.Trull & James E.
Carter, Etika Pelayan Gereja (Peran Moral
dan Tanggung Jawab Etis Pelayan Gereja), (Jakarta: BPK-GM, 2014), 88-90.
[24] B. F. Drewes & Julianus
Mojau, Apa Itu Teologi?, (Jakarta:
BPK-GM, 2015), 28-30.
[25] I
Putu Jati Arsana, Etika Profesi Insinyur:
Membangun Sikap Profesionalisme sarjana Teknik, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), 80.
No comments:
Post a Comment