Sesi I: Gereja dan Pariwisata
Pdt.Anry Krismanto Nababan, M.Th, M.Pd.K
(Pendeta HKBP Ressort Garoga Distrik II
Silindung)
Pendahuluan
"Indonesia
sebagai archipelagic state memiliki banyak potensi
pariwisata, terdapat lebih dari 17.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke dan banyaknya pantai di Indonesia, mengingat Indonesia salah satu
negara yang memiliki garis pantai terpanjang. Indonesia yang kaya dengan
potensi tujuan wisata seperti bernuansa pantai/bahari, kekayaan alam bawah laut
kawasan hijau, agrowisata hingga lembah dan gunung serta masih banyak lagi
tujuan wisata yang dapat dikunjungi. Pemerintah Indonesia juga mengembangkan 5
tujuan wisata super selain Bali, yakni Danau Toba, Mandalika, Labuan
Bajo, Likupang dan Borobudur.
Pengembangan destinasi pariwisata, salah satunya adalah
nilai-nilai seperti peningkatan spiritualitas, wawasan wisata, skill,
kebersihan, keramahtamahan, serta kesopanan, yang mana akan sangat membantu di
dalam membangun kepariwisataan yang lebih baik. Mantan Presiden Dewan Gereja
Dunia. Pdt. S.A.E Nababan, mengatakan peranan gereja dalam membangun pariwisata
di Danau Toba harus dijunjung tinggi sehingga penduduk yang ada di sekitar
Danau Toba dapat menikmati perubahaan dan adanya peningkatan kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh Jumat, 10 Desember 2021, HKBP bekerjasama dengan Badan Pelaksana
Otorita Danau Toba (BPODT) kembali melakukan sosialisasi kepariwisataan kepada
gereja dan masyarakat yang berada di sekitaran Danau Toba.
Isi
Tugas panggilan gereja tertulis di dalam Matius 28:19-20: “Karena itu
pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa
dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir zaman.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tugas diterangkan
sebagai berikut, “Tugas” diartikan sebagai: Kewajiban yang harus dikerjakan,
pekerjaan yang merupakan tanggungjawab; pekerjaan yang dibebankan; perintah
untuk berbuat atau melakukan sesuatu.”[1]
Bila dihubungkan dengan Gereja, maka kita dapati bahwa kata Tugas merupakan;
kewajiban atau tanggungjawab yang harus dilakukan oleh setiap orang percaya
sesuai dengan maksud dan tujuan yang memberikan tugas agung tersebut, yaitu
Tuhan Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja. Tugas itu diberikan kepada semua orang
yang telah menerima Yesus sebagai penebus dan juruselamatnya, “Perintah
Juruselamat kepada murid-murid meliputi semua orang percaya. Perintah itu
meliputi semua orang percaya dalam Kristus sampai akhir zaman.”[2]
Selanjutnya dikatakan bahwa tugas menyampaikan Injil bagi orang Kristen
bukanlah pilihan tetapi keharusan, “Injil harus disampaikan, bukannya sebagai
suatu teori yang tidak ada kehidupan dalamnya, melainkan sebagai tenaga hidup
untuk mengubahkan kehidupan.”[3]Ini
menunjukkan betapa perlunya kita melakukan tugas agung tersebut.
Kepada Petrus Tuhan berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu
karang ini aku akan mendirikan jemaat-ku dan alam maut tidak akan menguasianya
(Mat. 16:18). Ini adalah pernyataan Tuhan Yesus akan suatu lembaga baru yang
akan dibentuknya yaitu gereja. Kata gereja (jemaat) berasal dari kata Yunani,
Ekklesia. Kata Ekklesia terbentuk dari 2 kata, yaitu ek (keluar) dan kaleo
(memanggil). Ekklesia bisa diartikan “dipanggil keluar” untuk masuk kedalam
persekutuan orangorang kudus.[4]
Gereja adalah sekumpulan orang percaya yang bersatu sebagai satu tubuh dengan
sekarela. Mereka bersatu atas dasar iman kepada Yesus Kristus. Tujuan orang
percaya berkumpul bersama sebagai gereja adalah untuk melakukan misi Tuhan
Yesus bagi dunia ini. Hal yang Tuhan Yesus lakukan sewaktu di dunia ini
ditugaskan-Nya kepada gereja-Nya supaya gereja-Nya meneruskan pekerjaan itu.
Gereja yang sehat akan menjangkau jiwa bagi Kristus. Hasilnya adalah pertumbuhan
dalam gereja itu sendiri. Sesungguhnya pertumbuhan gereja bukan merupakan gol,
melainkan hasil.[5]
Gereja ada dan bertumbuh tidaklah dapat dilepaskan dari hakekatnya untuk
melayani sesama dalam arti menjawab pergumulan yang sedang dihadapi oleh
manusia. Gereja dalam dirinya sendiri menyadari akan adanya tugas panggilan di
tengah-tengah dunia ini sepanjang zaman. Rentang waktu perjalanan gereja dalam
memahami keberadaan tersebut memberikan rumusan, yang membuat pengelompokkan
tugas panggilan gereja yang sering disebut dengan “tri-tugas panggilan gereja”
atau “tri darma gereja,” dengan uraian selanjutnya koinonia, marturia dan
diakonia. Dari sudut pandang teologis setiap orang Kristen adalah bait Allah,
Roh Allah diam di dalamnya (1 Kor. 3:16:2 ; 2 Kor. 6:16). Oleh karena itu
ketika berbicara tentang gereja fokus perhatian bukan kepada gedung gerejanya
tetapi kepada orang Kristen secara individu dan persekutuan orang-orang percaya
sebagai suatu persekutuan di tengah-tengah masyarakat dan dunia. Gereja dibangun
di atas batu dasar yang teguh dan kokoh yakni Yesus Kristus (1 Kor. 3:11).
Jadi, Segala sesuatu yang berkaitan dengan gereja, landasan keimanannya,
ibadahnya, hubungan secara vertikal dan horizontal, sistem pengelolaan,
struktur atau pengorganisasiannya, dan sebagainya harus senantiasa didasarkan
pada batu dasar itu yaitu, Yesus Kristus.
Gereja
hadir di dunia ini untuk sebuah tujuan mulia dari Tuhan, menjadi saksi yang
jujur dan benar. Gereja di masa lalu memiliki empat sikap terhadap masyarakat:
Pertama,
gereja dengan tegas manarik garis pemisah dengan urusan dunia sekuler. Gereja
hanya mengurus perkara-perkara rohani dan hal-hal sorgawi. Hal ini diakibatkan
oleh pengaruh pietisme (paham kesucian) dan keyakinan fundamentalis di kalangan
umat kristiani. Hal ini muncul sebagai reaksi terhadap gereja yang pada
suatu kurung waktu, mabuk dengan kekuasaan, yaitu gereja sebagai lembaga yang
terlibat langsung dengan kekuasaan politik kenegaraan.
Kedua,
sikap gereja mendominasi ketika gereja sebagai institusi mulai memiliki pegaruh
terhadap kekuasaan negara. Ketika kaisar konstantin menyatakan semacam kristen
sebagai satu-satunya agama yang resmi di kerajaan Romawi, maka abad-abad
sesudah itu, gereja terperangkap pada godaan untuk mendominasi kekuasaan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya. Terjadilah degradasi
spiritual (kemerosotan rohani) dalam gereja sampai abad pertengahan XV.
Gereja telah berubah menjadi institusi kekuasaan di dunia, lengkap dengan
segala atributnya, sampai Marten Luther memprotesnya.
Ketiga,
sikap gereja yang ketiga adalah sikap integrasi. Yaitu, persepsi bahwa gereja
harus berada di dalam dunia, walaupun ia bukan berasal dari dunia. Gereja
dengan arif dan hati-hati berintegrasi dengan kehidupan sosial masyarakat.
Keempat,
gereja tetap mengembangkan panggilan kudusnya, memberitakan injil ke
seluruh dunia, pemuridan, pembaptisan kepada seluruh suku bangsa. Namun paralel
dengan panggilan itu, gereja juga menyadari tanggungjawab sebagai warga negara
dan masyarakat. Dengan sikap keempat ini, gereja tidak memisahkan diri dari
pergumulan kamasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan, tetapi tidak juga
berpolitik praktis.
Banyak
pemimpin gereja menyebutkan pandangan atau sikap ini, sebagai sikap
“partisipasi” atau sikap peran serta gereja yang artinya gereja dapat
berperan aktif dengan cerdik dan lincah dalam permasalahan kemasyarakatan
dengan tetap solid dalam posisi dan fungsi spiritualnya.
Lalu apa
strategi peran serta gereja? Strategi peran serta gereja terdiri dari dua
prinsip kesaksian kristen yang diajarkan oleh Yesus Kristus yang terdapat dalam
injil Matius 5:13-14 yaitu: “Kamu adalah garam dan terang dunia”.
Prinsip
pertama, “Berperan sebagai garam dunia”. Maksud dari prinsip garam adalah
fungsi kesaksian Kristen yang kuat dan yang mempengaruhi, walaupun ia tidak
kelihatan. Pada waktu garam melarut, rasa asinnya berpengaruh nyata dan dapat
dirasakan. Orang-orang kristen harus melarut di segala bidang kehidupan manusia
walaupun tidak memamerkan label Kristen. Di sini lebih berperan nilai kualitas
orang Kristen secara spritual dan intelektual di seluruh strata dan segmen
masyarakat.
Prinsip
kedua, tampil sebagai terang dunia. Yang dimaksud dengan strategi terang
ini ialah kerja atau performansi orang-orang kristen ditengah kehidupan dunia
sekuler. Kinerja ini diuraikan secara populer oleh Tuhan Yesus dalam Matius
5:16 “demikianlah hendaknya terangmu bercahaya didepan orang, supaya mereka
melihat perbuatanmu yang baik” dan memuliakan Bapa mu yang di sorga. Sebagai
perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.
Gereja
dan warga gereja (jemaatnya) harus dapat dilihat oleh banyak orang, oleh dunia,
perbuatan atau karya-karyanya yang kongkrit, yang baik, yang bermanfaat.
Sekecilnya cahaya terang dalam kegelapan ia memiliki daya atau kuasa menembus
kegelapan dan mengubah situasi gelap menjadi kurang gelap, tidak gelap atau
terang menderang, tergantung pada kekuatan cahayanya. Contoh: lampu di malam
hari.
Dalam
situasi dan kondisi di negeri kita ini dan upaya pemerintah serta kondisi
sosial, politik, ekonomi, penegakan hukum, pemutusan mata rantai penyebaran
virus covid 19, dan lainnya di negara yang kita cintai ini, gereja atau
orang-orang Kristen (umat) maupun sebagai institusi, organisasi, atau
kelembagaan-kelembagaan harus tampil, harus maju, menyatakan terang cahaya
Kristianinya. Secara populis dan simplis digambarkan seperti “lilin-lilin
Natal, yang bersinar". Di sini peran kapasitas, potensi dan kinerja atau
karya kongkrit orang-orang Kristen.
Kemudian
ada strategi perjuangan yang telah saya kemukakan tadi. Strategi peran serta
Kristen dalam segala dimensi kehidupan manusia di dunia ini sebagai garam dan
terang dunia. Yaitu, kesaksian gereja, kesaksian Kristiani baik tidak
kelihatan tetapi sangat mempengaruhi.
Masih
ada strategi ketiga yang juga diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada murid-muridNya.
Saya sebut saja strategi perjuangan di dalam injil Matius 10:16:
"Lihatlah, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala,
sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati".
Sepintas
dengan tanggapan emosi dan logika, pengutusan Yesus dengan model seperti ini
memberi kesan/syarat, orang Kristen itu lemah, tidak militan, dan konyol. Sebab
bagaimana domba dapat bertahan hidup di tengah-tengah serigala? Pasti sang
domba tidak sanggup bertahan, serta menjadi mangsa empuk, tidak berdaya dan
pada akhirnya mati dimakan serigala.
Tetapi,
jika kita melihat pengutusan Yesus dengan apa yang tertulis dalam kitab Mazmur
23:4, "sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut
bahaya, sebab Engkau besertaku", maka pengutusan dan perjuangan kita
sungguh dijamin oleh Tuhan. Kalau kita adalah domba-dombaNya Dia tidak
membiarkan kita dimangsa oleh serigala. Tuhan akan selalu menjaga dan
memelihara kita. [6]
Sikap
Gereja tentang Pengembangan Danau Toba[7]
Ati
Hidebrant Rambe mengatakan “salah satu temuan yang cukup memprihatikan adalah
pelik dan kompleksnya kasus-kasus agraria yang sangat serius dihadapi umat
berbanding terbalik dengan minimnya bahkan kecenderungan nihilnya perhatian
(petinggi-petinggi) gereja untuk berjuang bersama para warga yang menjadi
korban perampasan lahan kehidupan oleh penguasa raksasa dan pemilik modal.
Demikian halnya minimnya kesadaran gereja untuk ikut serta secara serius dan
konsisten dalam arak-arakan pemeliharaan dan pemulihan alam lingkungan yang
telah tercemar dan rusak”. Terjadinya degradasi yang parah, baik hutan di
sekitar kawasan, maupun pencemaran air yang massif bahkan terjadinya
penggusuran warga dan terjadinya tindak kriminalisasi yang berkepanjangan di
sekitar Danau Toba
Kita
mengingat bagaimana perkembangan kota Jakarta dengan tersingkirnya warga asli
yaitu Betawi. Contoh ekstrem di wilayah DKI
Jakarta. Di mana, warga Betawi tergeser di daerah-daerah pinggiran. Budaya asli
Betawi pun tergerus. Tanah-tanah dijual ke pemilik modal, dijadikan pusat-pusat
perbelanjaan, hotel, dan sejenisnya, orang Betawi mulai tersingkirkan. Hal ini
tentunya bisa terjadi dengan orang batak tersingkir dari tanahnya sendiri.
Lalu bagaimana sikap gereja terhadap pengembangan Danau Toba
1. Mendorong pemerintah untuk mengutamakan masyarakat
lokal dalam pembangunan pariwisata kawasan danau toba. Gereja harus
pro-aktif mencermati dan mengkritisi program pembangunan, seperti program
pengembangan parawisata di kawasan Danau Toba, dengan memperhatikan keberadaan
masyarakat lokal dan adat. Tentunya Gereja melakukan penolakan seperti
penolakan tempat hiburan malam.
2. Gereja meningkatkan sinerginitas dengan lembaga peduli
terhadap isu penyelamatan lingkungan. Untuk itu, Gereja perlu memperkuat proses
pembinaan warga gereja dan pendidikan pemeliharaan lingkungan. Gereja perlu
menumbuhkan kesadaran baru dan memperkuat kemampuan warga gereja untuk
menyikapi dan bertindak konkrit mengatasi persoalan ekologi.
3. Gereja
mendorong mempertahankan kearifan budaya lokal dalam pengembangan wisata
sekaligus melestarikan tanah adat. Ketika pinggiran Danau Toba dikuasai
investor maka akses penduduk lokal akan hilang ke Danau Toba.
Keuntungan dan Kerugian daerah destinasi Pariwisata sisi budaya
1. Dalam tuntutan persaingan harga, mulai
bermain pelaris. Bahkan Menurut Penelitian Pdt Kurt E Koch, seperti di Bali
setiap souvenir berisikan matera untuk memanggil kembali pembelinya datang
kembali ke Bali.(Kerugian)
2. Perubahan struktur masyarakat seperti
perubahan pekerjaan dan kebiasaan masyarakat dan perubahan pola interaksi sosial.seperti
perilaku kebarat baratan
3. Mendapatkan perhatian Pemerintah dalam
menjual nilai dari destinasi wisata/ point promosi (Keuntungan)
Keuntungan dan Kerugian daerah destinasi Pariwisata sisi ekonomi
1. Meningkatkan pendapatan
masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pertumbuhan ekonomi. Perkembangan pariwisata juga mendorong dan mempercepat pertumbuhan
ekonomi. Kegiatan pariwisata menciptakan permintaan, baik konsumsi maupun
investasi yang pada gilirannya akan menimbulkan kegiatan produksi barang dan
jasa. (Keuntungan)
2. Semakin ketatnya persaingan harga antar
sektor, harga lahan semakin tinggi,ketergantungan yang tinggi dari negara
terhadap pariwisata, (Kerugian)
Keuntungan dan Kerugian daerah destinasi Pariwisata sisi pendidikan
1. Masyarakat bisa menguasai beberapa asing agar
bisa berkomunikasi dengan wisatawan asing guna menambah pengetahuan dan
pengalaman.(Keuntungan)
2. Meningkatnya pelanggaran hukum (Kerugian)
Keuntungan dan Kerugian daerah destinasi Pariwisata sisi kerohanian
1. Memudahkan mata-mata masuk ke Indonesia dan
penyebaran obat terlarang. (Kerugian)
2. Masuknya para penginjil lebih mudah masuk
memberitakan Injil (Keuntungan)
[1] Tim Prima Pena, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia (Jakarta: Gitamedia Press, n.d.), s.v. “Tugas.”
[2] Ellen G. White, Alfa dan Omega,
Jilid II (Bandung: Indonesia Publishing House, 2005), 477.
[3] Ibid., 483.
[4] Harianto GP, Pengantar Misiologi
(Yogyakarta: Penerbit Andi, 2012), 18.
[5] Ibid.
[6] Pdt Alexander Sasauw
(Ketua Sinode GKPMI,
https://kemenag.go.id/read/peran-serta-gereja-dalam-masyarakat-v3vdy
[7] http://pendetaanry.blogspot.com/2017/01/sikap-gereja-terhadap-wisata-danau-toba.html
No comments:
Post a Comment