Sunday, 21 January 2018

PERANG SALIB


   I.       Pendahuluan
Sekitar tahun 1070M daerah Palestina, Siria, dan Asia Kecil ditaklukan oleh Turki yang merupakan salah satu negara Islam. Posisi keagamaan dari bangsa yang berkuasa ini menjadi ancaman bagi orang kristen di Eropa, dimana orang kristen diganggu dan disiksa ketika mengunjungi tempat-tempat suci di Palestina. Kondisi ini disampaikan kepada paus. Dan Kaisar Pun yang merupakan kaisar Byzantium memohon pertolongan dari barat. Sehingga pada suatu sinode di Clermont (Prancis) pada tahun 1095M, umat kristen dikerahkan oleh Paus Urbanus II untuk melakukan perang suci untuk merebut Tanah Suci dari tangan umat Islam. Hal ini mendorong segala lapisan masyarakat mengikuti ajakan tersebut dengan prinsip “Allah menghendakinya!”.[1]
Usaha untuk merebut Tanah Suci, yaitu Yerusalem, dilakukan dengan usaha peperangan. Peperangan ini disebut dengan Perang Salib atau Perang Suci. Perang Salib terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan berlangsung secara bertahap, dan secara umum diketahui bahwa perang salib terjadi sebanyak delapan kali. Perang salib terjadi diantara umat Kristen dan umat Islam, pada awalnya perang ini dimaksudkan untuk tujuan keagamaan, namun pada beberapa perang salib lainnya ditemukan tujuan politik. Perang salib bukan hanya sekali saja terjadi, dimana ada 8 (delapan) tahap peperangan, namun perlu diketahui bahwa dalam seluruh tahap peperangan tersebut tidak umat Kristen yang selalu membawa kemenangan, pada beberapa tahap, umat Islam membawa kemanangan juga.
 Perang salib ketujuh merupakan pembahasan pokok di dalam makalah ini, dimana perang salib ketujuh dipimpin oleh Raja Louis IX dari Perancis dan perang salib ini berlangsung selama 6 (enam) tahun (1248-1254M). Perang salib ketujuh tidak begitu memberikan hasil yang memuaskan, atau dengan kata lain bahwa Raja Louis tidak mampu memenangkan peperangan ini.



                                                                                                                   II.       Isi

2.1.      Latar Belakang
Perang salib ketujuh terjadi dengan latar belakang penguasaan Baitul Maqdis (Al Quds, Yerusalem) oleh bangsa Khwarezm pada tahun 1244M. Pada saat itu bangsa Khwarezm baru berpindah, karena serangan oleh bangsa Mongol. Hal ini mendorong bangsa Khwarezm berusaha untuk menaklukkan Baitul Maqdis, dengan tujuan agar dapat bersekutu dengan bangsa Mamluk dari Mesir. Persekutuan tersebut membuat Baitul Maqdis (Yerusalem) jatuh ke tangan Islam lagi.
Peralihan kekuasaan Baitul Maqdis telah terjadi beberapa kali dalam dua kurun waktu yang lalu, sehingga hal ini bukan merupakan kejadian yang begitu menarik perhatian pemimpin-pemimpin kristen. Paus Innosensius IV dan Frederick II, kaisar Romawi Suci melanjutkan perjuangan kepausan-kekaisaran. Frederick ditangkap pada saat perjalanan ke Konsili Lyon dan kemudian ditangkap. Pada tahun 1245M, ia secara resmi digulingkan oleh Innosensius IV. Paus Gregorious IX dan Pangeran Robert dari Artois (saudara Raja Louis IX) telah ditawarkan untuk mengadakan perang salib dalam rangka merebut kembali Yerusalem, namun hal itu ditolak. Pada saat itu Henry III dari Inggris masih berjuang dengan Simon de Montfort karena sedang ada masalah di Inggris. Henry dan Louis sedang berselisih, dan mereka sedang terlibat dalam Capetia-Plantagenet. Henry II berjanji untuk tidak melakukan gencatan senjata selama Louis sedang pergi berperang. Kemudia Raja Louis IX mengundang Raja Haakon IV dari Norwegia untuk turut serta dalam perang salib, dimana hal ini dapat dilihat dari dikirimnya Matius Paris yang merupakan seorang penulis sejarah inggris ke Norwegia.[2] Namun usaha ini tetap saja ditolak, sehingga hanya Raja Louis IX yang berminat untuk melakukan perang salib kembali, dalam rangka untuk mengembalikan Yerusalem ke tangan Kristen. Pada tahun 1245M, Raja Louis IX menyatakan niatnya untuk pergi ke Timur untuk berjuang dan merebut Yerusalem dari tangan Islam.[3]

2.2.      Masa Persiapan
Perang salib ketujuh dilakukan dengan persiapan yang cukup matang dan dapat dikatakan jauh lebih besar pengeluaran yang dilakukan oleh Raja Louis IX. Persiapan ini dilakukan kurang lebih selama 4 (empat) tahun. Pertama, Raja Louis membangun pelabuhan besar di Aigues Mortes, Prancis Selatan yang sebelumnya belum ditempati (atau suatu tanah kosong). Pembangunan pelabuhan yang besar tentu bermaksud untuk membentuk suatu armada yang besar pula, dan hal itu nyata dari usaha Louis yang mengumpulkan sebuah armada besar untuk diberangkatkan ke Timur. Pada proses pembangunan ini, Raja Louis IX melibatkan para insinyur dan pembangun jembatan yang memainkan peranan penting dalam peperangan. Kedua, pada tanggal 28 Agustus 1948, armada uang dibangun oleh Louis berangkat dari Prancis dan tiba di Siprus pada 18 September.[4] Namun sebelum Louis memulai penyerangan, sudah ada saran dari orang Acre agar melakukan negoisasi perdamaian terhadap umat Islam yang menguasai Yerusalem. Akan tetapi Louis menolak dan dai membuka hubungan diplomatik degan bangsa Mongol dengan mengirim 2 (dua) misi diplomatik pada tahun 1245 lewat Paus Innosein IV. Misi diplomatik ini bertujuan agar kaum Mongol berpindah ke agama Kristen. Pengiriman ini didasari oleh kabar bahwa sebagian dari orang-orang Mongol adalah kaum Kristen Nestor. Utusan pertama mendapat informasi bahwa orang-orang Mongol tidak tertarik untuk pindah agama, dan mereka hanya tertarik pada penaklukan kaum Islam saja. Utusan kedua kembali membawa informasi dan dia disertai/bersama dengan wakil kaum Nestor yang dikirm Jendral Mongol, yaitu Baichu yang pada saat itu sedang berencana menyerang Baghdad. Ia menyatakan bahwa ada dukungan untuk mendorong dilancarkannya Perang Salib untuk memecah perhatian kaum muslim di Suriah, akan tetapi hal itu tidak menjamin bahwa akan ada aliansi permanen diantara kaum Kristen dengan kaum Mongol. Perwakilan Nestor dari Mongol itu kemudian dikirim kembali kepada Jendral Baichu pada bulan November 1248. Sebulan kemudian, datang lagi 2 (dua) orang Nestor di Siprus. Mereka perwakilan dari Jendral Mongol yang lain, yaitu Aljighidai. Mereka memberitahu Louis IX yang pada saat itu telah tiba di Siprus, bahwa kaum Mongol amat tertarik dengan agama Kristen. Kemudian Louis mengirim utusan kepada Khan, Raja Mongol sambil membawa hadiah berupa altar kecil portabel. Tetapi 3 (tiga) tahun kemudian Louis kecewa ketika utusannya kembali dengan berita bahwa kaum Mongol sama sekali tidak tertarik dengan agama Kristen, tetapi mereka mempertimbangkan mengenai usaha Louis untuk membuka aliansi dengan raja Prancis.[5]
Selain usaha untuk membangun aliansi dengan Mongol, Raja Louis IX juga melakukan usaha-usaha yang lain dalam rangka persiapan perang salib ketujuh ini. Namun perlu diketahui bahwa pada masa itu negara Perancis merupakan negara terkuat di Eropa. Dengan niat untuk melakukan Perang Salib, Albigensian telah membawa daerah Provence ke dalam penguasaan ParisPoitou diperintah oleh saudara Louis IX, Alphonse dari Poitiers yang menyertainya dalam perang salib tersebut. Seorang saudaranya yang lain, Charles I dari Anjou juga menyertai Louis.[6] Kondisi tersebut berpengaruh juga pada persiapana yang dilakukan oleh Raja Louis IX.
Pada masa persiapan ini juga, Raja Louis IX telah mengumpulkan sepersepuluh dari gereja (kebanyakannya datang daripada zakat gereja) dengan dasar perintah dari paus.[7] Pada tahun 1248, dia dan pasukannya yang berjumlah sekitar 15,000 orang, yang diantaranya melibatkan 3,000 orang kesatria dan 5,000 orang pemanah, telah belayar dengan 36 buah kapal dari pelabuhan Aigues-Mortes yang dibina khusus sebagai persediaan bagi perang salib tersebut. Persediaan Louis bagi ekspedisi ini terancang dengan baik, dan dia mampu mencapai atau menghabiskan sekitar 1,500,000 livres tournois (Paris pound). Persiapan yang mewah ini dapat terjadi karena bangsawan yang menyertai dan mendukung Louis pada ekspedisi turut membantu dengan meminjam uang daripada Perbendaharaan Kerajaan, sehingga perang salib tersebut disebut-sebut sebagai perang yang sangat mahal.[8] Hal dikatakan karena dana perang yang dikeluarkan sangat besar, dan persiapannya juga merupakan persiapan yang cukup matang dan pada dasarnya menjanjikan kemenangan. Persiapan ini menargetkan tujuan yang besar, sehingga persiapan yang dilakukan juga besar-besaran.

2.3.      Masa Penyerangan
Raja Louis IX memulai penyerangannya dengan berlayar ke Siprus pada tahun 1948M. Pada saat itu mereka menghabiskan masa musim sejuk di pulau tersebut sambil berunding dengan pelbagai kuasa di Timur, seperti Empayar Nicaea Bizantin, Kerajaan Antioch, dan Kesatria Kuil. Pada saat Raja Louis IX sudah berada di Siprus dan telah melakukan perundingan, pasukannya bertambah 700 orang kesatria dari Siprus dan Siriah.[9] Kedatangan Raja Louis ke Siprus telah didengar oleh Al-Salih Ayyub, sehingga dia mempersiapkan pasukannya di Mesir.[10]
Raja Louis IX menargetkan Mesir sebagai sasaran perang salibnya. Louis memperkirakan bahwa Mesir dapat menyediakan pengkalan untuk menyerang Yerusalem, karena kekayaaan yang dimiliki tanah Mesir diyakininya dapat membantu untuk mempersiapkan pasukan tentara salib dengan baik.
Pada 6 Juni 1249M, Damietta yang berada di daerah sungai Nil dapat ditaklukan oleh pasukan Louis. Walaupun menerima sedikit tentangan daripada orang Mesir yang mundur jauh ke hulu Sungai Nil. Bagaimana pun kondisi/keadaan alam berpengaruh juga dalam peperangan ini, dimana banjir Sungai Nil cukup sering terjadi di hulu sungai. Hal itu membuat Louis dan pasukannya menetap di Damietta selama enam bulan.[11]
Louis telah berhasil menguasai Damietta, namun dia tidak lupa akan perjanjian yang telah disepakati semasa Perang Salib Kelima. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa daerah Damietta sepatutnya diserahkan kepada Kerajaan Jerusalem, yang pada saat itu merupakan sebuah negara serpihan di Acre. Namun Louis tetap menggunakan daerah Damietta sebagai pengkalan/benteng yang dipersiapkannya untuk melancarkan serangan terhadap orang Islam di Siria. Hal ini menunjukkan bahwa Louis telah melanggar perjanjian yang sebelumnya telah disepakati. Pada saat itu Louis IX juga menuliskan dan mengirim sepucuk surat kepada al-Salih Ayyub yang berbunyi:[12]
Seperti mana yang tuan ketahui bahawa saya adalah pemerintah umat Kristian dan saya tahu bahawa tuan adalah pemerintah umat Muhammad. Orang Andalusia memberi wang dan hadiah kepada saya ketika mana kami menunggang mereka bagaikan lembu. Kami membunuh kaum lelaki mereka dan kami buatkan kaum wanita mereka menjadi janda. Kami ambil budak-budak lelaki dan perempuan sebagai tawanan perang dan kami buatkan rumah-rumah mereka kosong. Saya sudah cukup katakan pada tuan dan saya nasihatkan tuan habis-habisan, oleh itu sekarang sekiranya tuan melafazkan sumpah terkuat pada saya dan sekiranya tuan pergi kepada paderi-paderi dan rahib-rahib Kristian dan sekiranya tuan membawa lilin di depan mata saya sebagai tanda kepatuhan pada salib, semua ini tidak dapat memujuk saya daripada mencapai dan membunuh tuan di tempat kesayangan di atas dunia. Sekiranya tanah tersebut akan menjadi milik saya maka ia adalah hadiah buat saya. Sekiranya tanah tersebut adalah milik tuan dan tuan mengalahkan saya maka tuan berada di pihak yang menang. Saya sudah mengatakan pada tuan dan telah memberi amaran pada tuan mengenai askar-askar saya yang taat pada saya. Mereka dapat memenuhi padang-padang terbuka dan gunung-ganang, bilangan mereka seperti batu kerakal. Mereka akan dihantar kepada tuan dengan pedang kebinasaan.

Pada bulan November sultan Dinasti Ayyubiyyah Mesir, yaitu Al-Salih Ayyub, meninggal dunia karena sakit. Hal ini mendorong satu pasukan tentara yang diketuai Robert dari Artois, dan Kesatria Kuil menyerang perkemahan tentara Mesir di Gideila. Serangan Robert dilakukan secara tidak sabar, dimana dia tidak menunggu pasukan utama Louis.[13] Penyerangan tersebut tentu memicu kemarahan Al-Mansurah, sehingga menimbulkan perlawanan yang disebut sebagai Pertempuran Al-Mansurah. Usaha Al-mansurah menyebabkan serangan pasukan yang dipimpin oleh Robert mengalami kekalahan, dan bahkan Robert sendiri  terbunuh dalam pertempuran tersebut. Sementara itu, pasukan tentara utama Louis baru saja tiba dan berusaha menahan serangan dari kaum Islam. Selama beberapa minggu, pasukan utama Louis dikepung. Kemudian Turanshah dari golongan Mamluk tiba di Mesir dan segera menyerang pasukan Louis. Hal ini membuat pasukan kristen tersebut kalah, dan Louis berusaha untuk mengadakan perundingan namun ditolak oleh Turanshah.[14]
Serangan-serangan tersebut berhasil mengalahkan pasukan tentara salib yang dipimpin oleh Raja Louis IX, dan mereka dipukul mundur ke pangkalan militer yang telah dibangunnya di Damietta. Kekalahan ini tidak membuat Louis berhenti untuk beperang. Pada masa itu Louis menggerakkan pasukkannya untuk bergerak mengepung Al-Mansurah, namun tidak ada hasil yang didapat. Hal ini dipengaruhi juga oleh persediaan makanan yang semakin menipis, dan keadaan alam yang tidak sesuai dengan kemampuan tubuh pasukan Louis. Kondisi ini membuat usaha tersebut berakhir oleh karena kelaparan yang menyebabkan para tentara salib banyak mati kelaparan. Kematian tersebut membuat kuantitas pasukan Louis berkurang, dan kalah jumlah dengan tentara Islam. Dimana pada saat itu pasukan Islam berjumlah sekitar 25,000 orang dan jumlah pasukan Louis kurang dari 15,000.[15]  
Pada bulan Maret 1250, Louis akhirnya memutuskan untuk kembali ke Damietta, tetapi sebelum mereka kembali, mereka diserang oleh kalangan Mamluk pada Pertempuran di Fariskur. Pada pertempuran tersebut, Louis dan pasukannya mengalami kekalahan dan Louis sendiri menjadi tawanan. Kemudian Louis jatuh sakit akibat terkena disenteri, dan telah dirawat oleh seorang doktor Arab.[16]
Mengetahui itu, isteri Louis (Ratu Margaret) meminta Prancis untuk melangsungkan suatu negoisasi dengan kaum Mamluk. Dan akhirnya pemimpin Mamluk bersedia melepaskan Raja Louis IX dengan mengajukan beberapa syarat, yaitu memberikan uang tebusan sebesar 50,000 bezant emas (seharga dengan pendapatan bangsa Prancis selama setahun) dan menyerahkan daerah Damietta kepada mereka (Mamluk). Pada bulan Mei 1950, Raja Louis IX ditebus dengan 50,000 bezant emas, dan dia dengan segera meninggalkan Mesir dan pergi menuju daerah Acre yang merupakan salah satu kepunyaan tentara salib yang masih tinggal di Siria.
 2.4.         Masa Setelah Penyerangan
Usaha Louis tidak berhenti setelah dia ditahan dan kemudian dibebaskan oleh negaranya sendiri. Raja Louis IX memang menghentikan urusannya dengan orang Mamluk, yang pada saat itu merupakan musuh bagi Sultan Damsyik. Hal ini disebabkan perlakuan mereka kepada Raja Louis IX ketika dia ditahan, dimana perlakuan yang diterima Louis cukup baik. Kemudian Louis menetap di Tanah Suci (Yerusalem) selama dua tahun, dan di sana dia membangun pangkalan militernya yang baru.
Dia juga membangun pangkalan militer pasukan tentara salib yang lain di berbagai daerah, khususnya di daerah Jaffa dan Saida.[17]  Walaupun Kerajaan Siprus menyatakan bahwa itu merupakan daerah kekuasaannya, namun pada kenyataannya Louis-lah yang berkuasa di daerah tersebut, karena Louis mempunyai kuasa de facto di daerah tersebut.[18]
Raja Louis IX juga melanjutkan negoisasinya dengan orang Mongol yang sebelumnya telah diharapkan mau memeluk agama kristen, dan mau berjuang bersama-sama dalam rangka membantu gerakan pasukan Raja Louis IX dalam melawan orang Islam, dan untuk mengambil kembali negeri yang seharusnya menjadi milik orang kristen. Namun perlu diketahui bahwa orang Islam juga mengadakan suatu negoisasi terhadap orang Mongol untuk melawan dan bahkan menaklukkan orang Kristian.[19]
Pada kenyataanya bangsa Mongol tidak berminat untuk membantu kedua belah pihak, dan akhirnya membawa malapetaka bagi pihak Kristen dan pihak Islam.[20] Dua orang utusan daripada orang Mongol yang bernama David dan Marc telah mengunjungi Louis di Siprus. Kemudian Louis mengirim seorang duta bernama André de Longjumeau, dan kemudian William dari Rubruck untuk menanyakan tanggapan kaum Mongol terhadap permintaan yang telah disampaikan oleh Raja Louis IX. Namun Khan yang merupakan pemimpin kaum Mongol menolak permintaan Louis untuk memeluk agama Kristian, dan sebaliknya menyarankan agar Louis tunduk terhadapnya.[21]
Pada tahun 1254, Louis telah kehabisan dana perang, dan kehadirannya diperlukan di Perancis oleh karena ibunya, Blanche dari Castille, yang memerintah di Prancis selama dia berperang di Timur, meninggal dunia. Hal inilah yang membuat Raja Louis IX menunda niatnya untuk terus berjuang menaklukan umat muslim dan mengambil kembali Yerusalem dari tangan kaum Islam. Perang salib yang dipimpin oleh Louis berakhir dengan kegagalan. Akan tetapi Louis berjanji bahwa dia tidak akan menyerah untuk merebut Yerusalem.[22] Selain itu, perjuangan yang dilakukan Louis sangat dihargai oleh berbagai kalangan masyarakat, sehingga dia disebut sebagai “santa” Louis. Dan kemasyhuran yang didapatnya, menjadikan dia sebagai orang yang memiliki kuasa yang cukup besar di Eropa.[23]
Sejarah Perang Salib Ketujuh ditulis oleh Jean de Joinville yang merupakan salah satu pribadi yang turut ambil bagian dalm perang tersebut, dan dibantu juga oleh Matthew Paris dan para sejarawan Islam.[24]


                                                                                                        III.       Penutup
Peperangan yang terjadi pada perang salib ketujuh ini berlangsung dari tahu 1248-1254M, dimana yang menjadi pemimpin pasukan adalah Raja Louis IX dari Prancis. Perang salib yang dipimpin oleh Raja Louis IX ini merupakan perang yang sangat mahal bila dilihat dari proses persiapan perang salib yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya, karena untuk mempersiapkan pasukan saja, Raja Louis sudah banyak dibantu oleh para bangsawan, gereja, dan bahkan dibantu oleh paus. Hal ini juga terlihat dari pasukan yang dibawa Raja Louis ke Siprus jumlahnya sangat banyak, dan hal ini tentu membutuhkan persediaan makanan yang banyak. Jadi dapat dikatakan bahwa perang salib ketujuh ini merupakan perang yang mahal.
Perlu disadari bahwa tujuan dari perang salib ketujuh ini bukan hanya sekedar merebut Yerusalem dari tangan kaum Islam, namun ada juga maksud untuk mengkristenkan bangsa Mongol, dimana bangsa Mongol ditakuti dalam peperangan. Jadi bisa saja Raja Louis IX melakukan negoisasi dengan bangsa Mongol agar mendapat kekuatan yang lebih besar, dan dapat menaklukkan umat Islam. Tentu dengan takluknya umat Islam terhadap pasukan tentara salib yang dipimpin oleh Louis, maka seluruh daerah kekuasaan Islam akan jatuh ke tangan kaum Kristen. Tujuan ini semakin nampak ketika Raja Louis bermaksud untuk memfokuskan serangannya terhadap Mesir, dimana Mamluk berasal dari Mesir dan Mamluklah yang menguasai Yerusalem pada saat itu. Jadi dapat dikatakan bahwa sudut pandang ini menunjukkan bahwa perang salib ketujuh ini bukan karena masalah keagamaan lagi, namun sudah menjadi masalah kekuasaan (politik).
Perang salib ketujuh yang dilancarkan oleh Raja Louis IX dan pasukannya tidak berhasil atau mengalami kegagalan, karena kelalaian dari Robert yang tidak menunggu pasukan utama Louis dalam melakukan penyerangan.






Daftar Pustaka

Dr. Berkdari dan Dr. I. H. Enklaar
            2010               : Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia)


Google Book

Atlas Perang Salib

Henry G. Bohn
            1969               : The Road to Knowledge of The Return of Kings:
Chronicles of The Crusades (AMS Press)

J. Riley
            1993               : The Crusades: A History

M. R. B. Shaw (Translated)
            1963               : Joinville and Villardouin: Chronicles of The Crusades
(New York: Penguin Classics)

Peter Jackson (Translated)
            1988               : Seventh Crusader: Source and Documents
(Inggris: Ashgate Publishing)


Internet

http://archive.kaskus.co.id/thread/9226757/100
(Minggu, 27 September 2015 – 22.00 WIB)

https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade
(Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)



[1] Lih. Dr. Berkdari dan Dr. I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), Hlm. 82
[2] Lih. (Google Book) Peter Jackson, Seventh Crusades: Source and Documents (Inggris: Ashgate Publishing, 1988), Hlm. 17-20
[3] Lih. (Google Book) Henry G. Bohn, The Road To Knowledge of The Return of Kings: Chronicles of The Crusades (AMS Press, 1969), Hlm. 430
[4] Lih. (Google Book) Peter Jackson, Seventh Crusades: Source and Documents, Hlm.  21-22
[5] Lih. http://archive.kaskus.co.id/thread/9226757/100 (Minggu, 27 September 2015 – 22.00 WIB)
[6] Lih. (Google Book) Peter Jackson, Seventh Crusades: Source and Documents, Hlm. 23-24
[7] Lih. (Google Book) Peter Jackson, Seventh Crusades: Source and Documents, Hlm. 21-22
[8] Lih. (Googel Book) J. Riley, The Crusades: A History, Hlm. 193
[9] Lih. (Google Book) Peter Jackson, Seventh Crusades: Source and Documents, Hlm. 63
[10] Lih. (Google Book) Atlas Perang Salib, Hlm. 173
[11] Lih. (Google Book) Peter Jackson, Seventh Crusades: Source and Documents, Hlm. 64-65
[12] Lih. (Google Book) Henry G. Bohn, The Road To Knowledge of The Return of Kings: Chronicles of The Crusades, Hlm. 430
[13] Lih. http://archive.kaskus.co.id/thread/9226757/100 (Minggu, 27 September 2015 – 22.00 WIB)
[14] Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade (Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)
[15] Lih. (Google Book) Peter Jackson, Seventh Crusades: Source and Documents, Hlm. 63
[16] Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade (Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)
[17] Lih. (Google Book) M. R. B. Shaw (translated), Joinville and Villehardouin: Chronicles of the Crusades (New York: Penguin Classics, 1963), Hlm. 261
[18] Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade (Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)
[19] Lih. (Google Book) Peter Jackson, Seventh Crusades: Source and Documents, Hlm. 67-69
[20] Lih. (Google Book) Peter Jackson, Seventh Crusades: Source and Documents, Hlm. 66
[21] Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade (Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)
[22] Lih. http://archive.kaskus.co.id/thread/9226757/100 (Minggu, 27 September 2015 – 22.00 WIB)
[23] Lih. (Google Book) Peter Jackson, Seventh Crusades: Source and Documents, Hlm. 69-71
[24] Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade (Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)

No comments:

Post a Comment