I. Pendahuluan
Sekitar tahun 1070M daerah Palestina, Siria, dan Asia Kecil ditaklukan oleh
Turki yang merupakan salah satu negara Islam. Posisi keagamaan dari bangsa yang
berkuasa ini menjadi ancaman bagi orang kristen di Eropa, dimana orang kristen
diganggu dan disiksa ketika mengunjungi tempat-tempat suci di Palestina.
Kondisi ini disampaikan kepada paus. Dan Kaisar Pun yang merupakan kaisar
Byzantium memohon pertolongan dari barat. Sehingga pada suatu sinode di
Clermont (Prancis) pada tahun 1095M, umat kristen dikerahkan oleh Paus Urbanus
II untuk melakukan perang suci untuk merebut Tanah Suci dari tangan umat Islam.
Hal ini mendorong segala lapisan masyarakat mengikuti ajakan tersebut dengan
prinsip “Allah menghendakinya!”.[1]
Usaha untuk merebut Tanah Suci, yaitu Yerusalem, dilakukan dengan usaha
peperangan. Peperangan ini disebut dengan Perang Salib atau Perang Suci. Perang
Salib terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan berlangsung secara bertahap,
dan secara umum diketahui bahwa perang salib terjadi sebanyak delapan kali.
Perang salib terjadi diantara umat Kristen dan umat Islam, pada awalnya perang
ini dimaksudkan untuk tujuan keagamaan, namun pada beberapa perang salib
lainnya ditemukan tujuan politik. Perang salib bukan hanya sekali saja terjadi,
dimana ada 8 (delapan) tahap peperangan, namun perlu diketahui bahwa dalam
seluruh tahap peperangan tersebut tidak umat Kristen yang selalu membawa
kemenangan, pada beberapa tahap, umat Islam membawa kemanangan juga.
Perang salib ketujuh merupakan
pembahasan pokok di dalam makalah ini, dimana perang salib ketujuh dipimpin
oleh Raja Louis IX dari Perancis dan perang salib ini berlangsung selama 6 (enam) tahun (1248-1254M).
Perang salib ketujuh tidak begitu memberikan hasil yang memuaskan, atau dengan
kata lain bahwa Raja Louis tidak mampu memenangkan peperangan ini.
2.1. Latar Belakang
Perang salib ketujuh terjadi dengan latar
belakang penguasaan Baitul Maqdis (Al Quds, Yerusalem) oleh bangsa Khwarezm
pada tahun 1244M. Pada saat itu bangsa Khwarezm baru berpindah, karena serangan
oleh bangsa Mongol. Hal ini mendorong bangsa Khwarezm berusaha untuk
menaklukkan Baitul Maqdis, dengan tujuan agar dapat bersekutu dengan bangsa
Mamluk dari Mesir. Persekutuan tersebut membuat Baitul Maqdis (Yerusalem) jatuh
ke tangan Islam lagi.
Peralihan kekuasaan Baitul Maqdis telah terjadi
beberapa kali dalam dua kurun waktu yang lalu, sehingga hal ini bukan merupakan
kejadian yang begitu menarik perhatian pemimpin-pemimpin kristen. Paus
Innosensius IV dan Frederick II, kaisar Romawi Suci melanjutkan perjuangan
kepausan-kekaisaran. Frederick ditangkap pada saat perjalanan ke Konsili Lyon
dan kemudian ditangkap. Pada tahun 1245M, ia secara resmi digulingkan oleh
Innosensius IV. Paus Gregorious IX dan Pangeran Robert dari Artois (saudara
Raja Louis IX) telah ditawarkan untuk mengadakan perang salib dalam rangka
merebut kembali Yerusalem, namun hal itu ditolak. Pada saat itu Henry III dari
Inggris masih berjuang dengan Simon de Montfort karena sedang ada masalah di
Inggris. Henry dan Louis sedang berselisih, dan mereka sedang terlibat dalam
Capetia-Plantagenet. Henry II berjanji untuk tidak melakukan gencatan senjata
selama Louis sedang pergi berperang. Kemudia Raja Louis IX mengundang Raja
Haakon IV dari Norwegia untuk turut serta dalam perang salib, dimana hal ini
dapat dilihat dari dikirimnya Matius Paris yang merupakan seorang penulis
sejarah inggris ke Norwegia.[2]
Namun usaha ini tetap saja ditolak, sehingga hanya Raja Louis IX yang
berminat untuk melakukan perang salib kembali, dalam rangka untuk mengembalikan
Yerusalem ke tangan Kristen. Pada tahun 1245M, Raja Louis IX menyatakan niatnya
untuk pergi ke Timur untuk berjuang dan merebut Yerusalem dari tangan Islam.[3]
2.2. Masa
Persiapan
Perang salib ketujuh dilakukan dengan persiapan yang cukup matang dan dapat
dikatakan jauh lebih besar pengeluaran yang dilakukan oleh Raja Louis IX.
Persiapan ini dilakukan kurang lebih selama 4 (empat) tahun. Pertama, Raja
Louis membangun pelabuhan besar di Aigues Mortes, Prancis Selatan yang
sebelumnya belum ditempati (atau suatu tanah kosong). Pembangunan pelabuhan
yang besar tentu bermaksud untuk membentuk suatu armada yang besar pula, dan
hal itu nyata dari usaha Louis yang mengumpulkan sebuah armada besar untuk
diberangkatkan ke Timur. Pada proses pembangunan ini, Raja Louis IX melibatkan
para insinyur dan pembangun jembatan yang memainkan peranan penting dalam
peperangan. Kedua, pada tanggal 28 Agustus 1948, armada uang dibangun oleh
Louis berangkat dari Prancis dan tiba di Siprus pada 18 September.[4] Namun sebelum Louis
memulai penyerangan, sudah ada saran dari orang Acre agar melakukan negoisasi
perdamaian terhadap umat Islam yang menguasai Yerusalem. Akan tetapi Louis
menolak dan dai membuka hubungan diplomatik degan bangsa Mongol dengan mengirim
2 (dua) misi diplomatik pada tahun 1245 lewat Paus Innosein IV. Misi diplomatik
ini bertujuan agar kaum Mongol berpindah ke agama Kristen. Pengiriman ini
didasari oleh kabar bahwa sebagian dari orang-orang Mongol adalah kaum Kristen
Nestor. Utusan pertama mendapat informasi bahwa orang-orang Mongol tidak
tertarik untuk pindah agama, dan mereka hanya tertarik pada penaklukan kaum
Islam saja. Utusan kedua kembali membawa informasi dan dia disertai/bersama
dengan wakil kaum Nestor yang dikirm Jendral Mongol, yaitu Baichu yang pada
saat itu sedang berencana menyerang Baghdad. Ia menyatakan bahwa ada dukungan
untuk mendorong dilancarkannya Perang Salib untuk memecah perhatian kaum muslim
di Suriah, akan tetapi hal itu tidak menjamin bahwa akan ada aliansi permanen
diantara kaum Kristen dengan kaum Mongol. Perwakilan Nestor dari Mongol itu
kemudian dikirim kembali kepada Jendral Baichu pada bulan November 1248.
Sebulan kemudian, datang lagi 2 (dua) orang Nestor di Siprus. Mereka perwakilan
dari Jendral Mongol yang lain, yaitu Aljighidai. Mereka memberitahu Louis IX
yang pada saat itu telah tiba di Siprus, bahwa kaum Mongol amat tertarik dengan
agama Kristen. Kemudian Louis mengirim utusan kepada Khan, Raja Mongol sambil
membawa hadiah berupa altar kecil portabel. Tetapi 3 (tiga) tahun kemudian
Louis kecewa ketika utusannya kembali dengan berita bahwa kaum Mongol sama
sekali tidak tertarik dengan agama Kristen, tetapi mereka mempertimbangkan
mengenai usaha Louis untuk membuka aliansi dengan raja Prancis.[5]
Selain usaha untuk membangun aliansi dengan Mongol, Raja Louis IX juga
melakukan usaha-usaha yang lain dalam rangka persiapan perang salib ketujuh
ini. Namun perlu diketahui bahwa pada masa itu negara Perancis merupakan negara
terkuat di Eropa. Dengan niat untuk melakukan Perang
Salib, Albigensian telah membawa daerah Provence ke dalam penguasaan Paris. Poitou diperintah oleh saudara Louis IX, Alphonse dari Poitiers yang menyertainya dalam perang salib tersebut. Seorang saudaranya
yang lain, Charles I dari Anjou juga menyertai Louis.[6] Kondisi tersebut
berpengaruh juga pada persiapana yang dilakukan oleh Raja Louis IX.
Pada masa persiapan ini juga, Raja Louis IX telah mengumpulkan sepersepuluh
dari gereja (kebanyakannya datang daripada zakat gereja) dengan dasar perintah dari paus.[7] Pada tahun 1248, dia dan
pasukannya yang berjumlah sekitar 15,000 orang, yang diantaranya melibatkan
3,000 orang kesatria dan 5,000 orang pemanah, telah belayar dengan 36 buah
kapal dari pelabuhan Aigues-Mortes yang dibina khusus sebagai persediaan bagi perang salib tersebut. Persediaan
Louis bagi ekspedisi ini terancang dengan baik, dan dia mampu mencapai atau
menghabiskan sekitar 1,500,000 livres tournois (Paris pound). Persiapan yang mewah
ini dapat terjadi karena bangsawan yang menyertai dan mendukung Louis pada
ekspedisi turut membantu dengan meminjam uang daripada Perbendaharaan Kerajaan,
sehingga perang salib tersebut disebut-sebut sebagai perang yang sangat mahal.[8] Hal dikatakan karena dana
perang yang dikeluarkan sangat besar, dan persiapannya juga merupakan persiapan
yang cukup matang dan pada dasarnya menjanjikan kemenangan. Persiapan ini
menargetkan tujuan yang besar, sehingga persiapan yang dilakukan juga
besar-besaran.
2.3. Masa
Penyerangan
Raja Louis IX memulai penyerangannya dengan berlayar ke Siprus pada tahun 1948M. Pada saat itu mereka menghabiskan masa musim sejuk di
pulau tersebut sambil berunding dengan pelbagai kuasa di Timur, seperti Empayar
Nicaea Bizantin, Kerajaan
Antioch, dan Kesatria Kuil. Pada saat Raja Louis IX sudah berada di
Siprus dan telah melakukan perundingan, pasukannya bertambah 700 orang kesatria
dari Siprus dan Siriah.[9] Kedatangan Raja Louis ke
Siprus telah didengar oleh Al-Salih Ayyub, sehingga dia mempersiapkan
pasukannya di Mesir.[10]
Raja Louis IX menargetkan Mesir sebagai sasaran perang salibnya. Louis memperkirakan bahwa Mesir
dapat menyediakan pengkalan untuk menyerang Yerusalem, karena kekayaaan yang
dimiliki tanah Mesir diyakininya dapat membantu untuk mempersiapkan pasukan
tentara salib dengan baik.
Pada 6 Juni 1249M, Damietta yang berada di daerah sungai Nil dapat
ditaklukan oleh pasukan Louis. Walaupun menerima sedikit tentangan daripada
orang Mesir yang mundur jauh ke hulu Sungai Nil. Bagaimana pun kondisi/keadaan
alam berpengaruh juga dalam peperangan ini, dimana banjir Sungai Nil cukup
sering terjadi di hulu sungai. Hal itu membuat Louis dan pasukannya menetap di
Damietta selama enam bulan.[11]
Louis telah berhasil menguasai Damietta, namun dia tidak lupa akan
perjanjian yang telah disepakati semasa Perang
Salib Kelima. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa
daerah Damietta sepatutnya diserahkan kepada Kerajaan
Jerusalem, yang pada saat itu merupakan sebuah negara
serpihan di Acre. Namun Louis tetap menggunakan daerah Damietta sebagai
pengkalan/benteng yang dipersiapkannya untuk melancarkan serangan terhadap
orang Islam di Siria. Hal ini menunjukkan bahwa Louis telah melanggar
perjanjian yang sebelumnya telah disepakati. Pada saat itu Louis IX juga
menuliskan dan mengirim sepucuk surat kepada al-Salih Ayyub yang berbunyi:[12]
Seperti mana yang tuan ketahui bahawa saya
adalah pemerintah umat Kristian dan saya tahu bahawa tuan adalah pemerintah
umat Muhammad. Orang Andalusia memberi wang dan hadiah kepada saya
ketika mana kami menunggang mereka bagaikan lembu. Kami membunuh kaum lelaki
mereka dan kami buatkan kaum wanita mereka menjadi janda. Kami ambil
budak-budak lelaki dan perempuan sebagai tawanan perang dan kami buatkan
rumah-rumah mereka kosong. Saya sudah cukup katakan pada tuan dan saya
nasihatkan tuan habis-habisan, oleh itu sekarang sekiranya tuan melafazkan
sumpah terkuat pada saya dan sekiranya tuan pergi kepada paderi-paderi dan
rahib-rahib Kristian dan sekiranya tuan membawa lilin di depan mata saya
sebagai tanda kepatuhan pada salib, semua ini tidak dapat memujuk saya daripada
mencapai dan membunuh tuan di tempat kesayangan di atas dunia. Sekiranya tanah
tersebut akan menjadi milik saya maka ia adalah hadiah buat saya. Sekiranya
tanah tersebut adalah milik tuan dan tuan mengalahkan saya maka tuan berada di
pihak yang menang. Saya sudah mengatakan pada tuan dan telah memberi amaran
pada tuan mengenai askar-askar saya yang taat pada saya. Mereka dapat memenuhi
padang-padang terbuka dan gunung-ganang, bilangan mereka seperti batu kerakal.
Mereka akan dihantar kepada tuan dengan pedang kebinasaan.
Pada bulan November sultan Dinasti Ayyubiyyah Mesir, yaitu Al-Salih Ayyub, meninggal dunia karena sakit. Hal ini
mendorong satu pasukan tentara yang diketuai Robert dari Artois, dan Kesatria Kuil menyerang
perkemahan tentara Mesir di Gideila. Serangan Robert dilakukan secara tidak
sabar, dimana dia tidak menunggu pasukan utama Louis.[13] Penyerangan tersebut tentu
memicu kemarahan Al-Mansurah, sehingga menimbulkan perlawanan yang disebut sebagai Pertempuran Al-Mansurah. Usaha Al-mansurah menyebabkan serangan pasukan yang dipimpin oleh Robert
mengalami kekalahan, dan bahkan Robert sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut. Sementara
itu, pasukan tentara utama Louis baru saja tiba dan berusaha menahan serangan
dari kaum Islam. Selama beberapa minggu, pasukan utama Louis dikepung. Kemudian
Turanshah dari golongan Mamluk tiba di Mesir dan segera menyerang pasukan
Louis. Hal ini membuat pasukan kristen tersebut kalah, dan Louis berusaha untuk
mengadakan perundingan namun ditolak oleh Turanshah.[14]
Serangan-serangan tersebut berhasil mengalahkan pasukan tentara salib yang
dipimpin oleh Raja Louis IX, dan mereka dipukul mundur ke pangkalan militer
yang telah dibangunnya di Damietta. Kekalahan ini tidak membuat Louis berhenti
untuk beperang. Pada masa itu Louis menggerakkan pasukkannya untuk bergerak mengepung
Al-Mansurah, namun tidak ada hasil yang didapat. Hal ini dipengaruhi juga oleh
persediaan makanan yang semakin menipis, dan keadaan alam yang tidak sesuai
dengan kemampuan tubuh pasukan Louis. Kondisi ini membuat usaha tersebut
berakhir oleh karena kelaparan yang menyebabkan para tentara salib banyak mati
kelaparan. Kematian tersebut membuat kuantitas pasukan Louis berkurang, dan
kalah jumlah dengan tentara Islam. Dimana pada saat itu pasukan Islam berjumlah
sekitar 25,000 orang dan jumlah pasukan Louis kurang dari 15,000.[15]
Pada bulan Maret 1250, Louis akhirnya memutuskan untuk kembali ke Damietta,
tetapi sebelum mereka kembali, mereka diserang oleh kalangan Mamluk pada Pertempuran di Fariskur. Pada pertempuran tersebut, Louis dan pasukannya mengalami kekalahan dan
Louis sendiri menjadi tawanan. Kemudian Louis jatuh sakit akibat terkena
disenteri, dan telah dirawat oleh seorang doktor Arab.[16]
Mengetahui itu, isteri Louis (Ratu Margaret) meminta Prancis untuk
melangsungkan suatu negoisasi dengan kaum Mamluk. Dan akhirnya pemimpin Mamluk
bersedia melepaskan Raja Louis IX dengan mengajukan beberapa syarat, yaitu
memberikan uang tebusan sebesar 50,000 bezant emas (seharga dengan pendapatan
bangsa Prancis selama setahun) dan menyerahkan daerah Damietta kepada mereka
(Mamluk). Pada bulan Mei 1950, Raja Louis IX ditebus dengan 50,000 bezant emas, dan dia dengan segera meninggalkan Mesir dan pergi menuju
daerah Acre yang merupakan salah satu kepunyaan tentara salib yang masih tinggal di Siria.
2.4. Masa Setelah Penyerangan
Usaha Louis tidak berhenti setelah dia ditahan dan kemudian dibebaskan oleh
negaranya sendiri. Raja Louis IX memang menghentikan urusannya dengan orang
Mamluk, yang pada saat itu merupakan musuh bagi Sultan Damsyik. Hal ini disebabkan perlakuan mereka
kepada Raja Louis IX ketika dia ditahan, dimana perlakuan yang diterima Louis
cukup baik. Kemudian Louis menetap di Tanah Suci (Yerusalem) selama dua tahun,
dan di sana dia membangun pangkalan militernya yang baru.
Dia juga membangun pangkalan militer pasukan tentara salib yang lain di berbagai
daerah, khususnya di daerah Jaffa dan Saida.[17] Walaupun Kerajaan Siprus menyatakan bahwa itu merupakan
daerah kekuasaannya, namun pada kenyataannya Louis-lah yang berkuasa di daerah
tersebut, karena Louis mempunyai kuasa de facto di daerah tersebut.[18]
Raja Louis IX juga melanjutkan negoisasinya dengan orang Mongol yang sebelumnya telah diharapkan mau memeluk agama kristen, dan mau
berjuang bersama-sama dalam rangka membantu gerakan pasukan Raja Louis IX dalam
melawan orang Islam, dan untuk mengambil kembali negeri yang seharusnya menjadi
milik orang kristen. Namun perlu diketahui bahwa orang Islam
juga mengadakan suatu negoisasi terhadap orang Mongol untuk melawan dan bahkan
menaklukkan orang Kristian.[19]
Pada kenyataanya bangsa Mongol tidak berminat untuk membantu kedua belah
pihak, dan akhirnya membawa malapetaka bagi pihak Kristen dan pihak Islam.[20] Dua orang utusan daripada
orang Mongol yang bernama David dan Marc telah mengunjungi Louis di Siprus.
Kemudian Louis mengirim seorang duta bernama André de Longjumeau, dan kemudian William dari Rubruck untuk menanyakan tanggapan kaum Mongol terhadap permintaan yang telah
disampaikan oleh Raja Louis IX. Namun Khan yang merupakan pemimpin kaum Mongol
menolak permintaan Louis untuk memeluk agama Kristian, dan sebaliknya
menyarankan agar Louis tunduk terhadapnya.[21]
Pada tahun 1254, Louis telah kehabisan dana perang, dan kehadirannya
diperlukan di Perancis oleh karena ibunya, Blanche dari Castille, yang
memerintah di Prancis selama dia berperang di Timur, meninggal dunia. Hal
inilah yang membuat Raja Louis IX menunda niatnya untuk terus berjuang
menaklukan umat muslim dan mengambil kembali Yerusalem dari tangan kaum Islam. Perang
salib yang dipimpin oleh Louis berakhir dengan kegagalan. Akan tetapi Louis
berjanji bahwa dia tidak akan menyerah untuk merebut Yerusalem.[22] Selain itu, perjuangan
yang dilakukan Louis sangat dihargai oleh berbagai kalangan masyarakat,
sehingga dia disebut sebagai “santa” Louis. Dan kemasyhuran yang didapatnya, menjadikan dia sebagai orang
yang memiliki kuasa yang cukup besar di Eropa.[23]
Sejarah Perang Salib Ketujuh ditulis oleh Jean de Joinville yang merupakan salah satu pribadi
yang turut ambil bagian dalm perang tersebut, dan dibantu juga oleh Matthew Paris dan para sejarawan Islam.[24]
III.
Penutup
Peperangan yang terjadi pada perang salib ketujuh ini berlangsung dari tahu
1248-1254M, dimana yang menjadi pemimpin pasukan adalah Raja Louis IX dari
Prancis. Perang salib yang dipimpin oleh Raja Louis IX ini merupakan perang
yang sangat mahal bila dilihat dari proses persiapan perang salib yang pernah
terjadi sebelum-sebelumnya, karena untuk mempersiapkan pasukan saja, Raja Louis
sudah banyak dibantu oleh para bangsawan, gereja, dan bahkan dibantu oleh paus.
Hal ini juga terlihat dari pasukan yang dibawa Raja Louis ke Siprus jumlahnya
sangat banyak, dan hal ini tentu membutuhkan persediaan makanan yang banyak.
Jadi dapat dikatakan bahwa perang salib ketujuh ini merupakan perang yang
mahal.
Perlu disadari bahwa tujuan dari perang salib ketujuh ini bukan hanya
sekedar merebut Yerusalem dari tangan kaum Islam, namun ada juga maksud untuk
mengkristenkan bangsa Mongol, dimana bangsa Mongol ditakuti dalam peperangan.
Jadi bisa saja Raja Louis IX melakukan negoisasi dengan bangsa Mongol agar
mendapat kekuatan yang lebih besar, dan dapat menaklukkan umat Islam. Tentu dengan
takluknya umat Islam terhadap pasukan tentara salib yang dipimpin oleh Louis,
maka seluruh daerah kekuasaan Islam akan jatuh ke tangan kaum Kristen. Tujuan
ini semakin nampak ketika Raja Louis bermaksud untuk memfokuskan serangannya
terhadap Mesir, dimana Mamluk berasal dari Mesir dan Mamluklah yang menguasai
Yerusalem pada saat itu. Jadi dapat dikatakan bahwa sudut pandang ini
menunjukkan bahwa perang salib ketujuh ini bukan karena masalah keagamaan lagi,
namun sudah menjadi masalah kekuasaan (politik).
Perang salib ketujuh yang dilancarkan oleh Raja Louis IX dan pasukannya
tidak berhasil atau mengalami kegagalan, karena kelalaian dari Robert yang
tidak menunggu pasukan utama Louis dalam melakukan penyerangan.
Daftar Pustaka
Dr. Berkdari dan Dr. I. H. Enklaar
2010 : Sejarah Gereja (Jakarta:
BPK Gunung Mulia)
Google Book
Atlas Perang Salib
Henry G. Bohn
1969 : The Road to Knowledge of The
Return of Kings:
Chronicles of The Crusades (AMS Press)
J. Riley
1993 : The Crusades: A History
M. R. B. Shaw (Translated)
1963 : Joinville and Villardouin:
Chronicles of The Crusades
(New York: Penguin Classics)
Peter Jackson (Translated)
1988 : Seventh Crusader: Source and
Documents
(Inggris: Ashgate Publishing)
Internet
http://archive.kaskus.co.id/thread/9226757/100
(Minggu, 27 September 2015 –
22.00 WIB)
https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade
(Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)
[1] Lih. Dr.
Berkdari dan Dr. I. H. Enklaar, Sejarah
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), Hlm. 82
[2] Lih.
(Google Book) Peter Jackson, Seventh
Crusades: Source and Documents (Inggris: Ashgate Publishing, 1988), Hlm.
17-20
[3] Lih.
(Google Book) Henry G. Bohn, The Road To
Knowledge of The Return of Kings: Chronicles of The Crusades (AMS Press,
1969), Hlm. 430
[4] Lih.
(Google Book) Peter Jackson, Seventh
Crusades: Source and Documents, Hlm.
21-22
[5] Lih. http://archive.kaskus.co.id/thread/9226757/100
(Minggu, 27 September 2015 – 22.00 WIB)
[6] Lih.
(Google Book) Peter Jackson, Seventh
Crusades: Source and Documents, Hlm. 23-24
[7] Lih.
(Google Book) Peter Jackson, Seventh
Crusades: Source and Documents, Hlm. 21-22
[8] Lih.
(Googel Book) J. Riley, The Crusades: A
History, Hlm. 193
[9] Lih.
(Google Book) Peter Jackson, Seventh
Crusades: Source and Documents, Hlm. 63
[10] Lih.
(Google Book) Atlas Perang Salib,
Hlm. 173
[11] Lih. (Google
Book) Peter Jackson, Seventh Crusades:
Source and Documents, Hlm. 64-65
[12] Lih.
(Google Book) Henry G. Bohn, The Road To
Knowledge of The Return of Kings: Chronicles of The Crusades, Hlm. 430
[13] Lih. http://archive.kaskus.co.id/thread/9226757/100
(Minggu, 27 September 2015 – 22.00 WIB)
[14] Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade
(Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)
[15] Lih. (Google
Book) Peter Jackson, Seventh Crusades:
Source and Documents, Hlm. 63
[16] Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade
(Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)
[17] Lih.
(Google Book) M. R. B. Shaw (translated),
Joinville and Villehardouin: Chronicles of the Crusades (New York: Penguin
Classics, 1963), Hlm. 261
[18] Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade
(Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)
[19] Lih. (Google
Book) Peter Jackson, Seventh Crusades:
Source and Documents, Hlm. 67-69
[20] Lih. (Google
Book) Peter Jackson, Seventh Crusades:
Source and Documents, Hlm. 66
[21] Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade
(Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)
[22] Lih. http://archive.kaskus.co.id/thread/9226757/100
(Minggu, 27 September 2015 – 22.00 WIB)
[23] Lih.
(Google Book) Peter Jackson, Seventh
Crusades: Source and Documents, Hlm. 69-71
[24] Lih. https://en.wikipedia.org/wiki/Seventh_Crusade
(Minggu, 27 September 2015 – 22.35 WIB)
No comments:
Post a Comment