Sunday, 1 July 2018

Strategi Kebudayaan

Bibliografi buku:
Judul               : Strategi Kebudayaan
Peniulis            : Prof. Dr. C. A. Van Peursen
Penerbit           : Kanisius
Tempat Terbit  : Yogyakarta
Tahun Terbit    : 1988
Buku karya Prof. Dr. Van Puersen berjudul Strategi Kebudayaan terbitan Kanisius-Yogyakarta ini tidak untuk menyajikan suatu pelukisan ataupun keterangan gamblang mengenai pergeseran-pergeseran dahsyat yang terjadi dalam bidang kebudayaan. Buku ini bermaksud membeberkan suatu skema gambar sederhana mengenai perkembangan kebudayaan yang dapat dipakai dalam situasi-situasi yang selalu berubah dan dialami oleh manusia.
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN
Kebudayaaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang-orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan semacam sekolah di mana manusia dapat belajar, manusia tidak hanya bertanya tetapi juga bagiamana harus menyikapi segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam. Sebuah batu batui menjadi tantangan bagi pemahat, banjir menjadikan manusia harus berpikir bagaimana mengantisipasi, udara dingin mendorong manusia membuat baju dari bahan-bahan yang dapat melindungi tubuh dari kedinginan.
Manusia juga tidak bertopang dagu dengan atau membiarkan dirinya hanyut dengan proses aqproses alam, bisa jadi manusia melawan arus dalam artian tidak hanya mengikuti arus alam, tetapi juga mengikuti kata hati. Salah satu tindakan  mengikuti kata hati adalah dengan menilai serta mengevaluasi alam sekitarnya serta alam manusia sendiri. Dalam mengevaluasi alam bukan hanya terbatas pada sesuatu yang sifatnya rohani, misalnya ilmu pengetahuan, kesadaran moril, keyakinan, religius, kesadaran sosial dan ilmu kemasyarakatan. Lebih dari pada itu manusia juga mengevaluasi norma-norma serta perubahan baik jasmaniah maupun alamiah.

BAGAN TIGA TAHAP
Tiga tahap yang dimaksud pada bagian ini adalah tahap mitis, tahap ontologis, dan tahapfungsional. Tahap mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan. Tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ihwal, dalam tahap ini manusia mulai mengambil jarak terhadapn segala sesuatu yang dirasakan mengepung manusia. Pada tahap ini manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu dan segala sesuatu menurut perinciannya.

STRATEGI KEBUDAYAAN
Dari ketiga tahap tersebut baik mitis,ontologis, maupun fungsional bukan merupakanbagian yang terpisah-pisah. Manusia primitif dengan dongeng-dongeng mitisnya juga dapat mendekati sesuatu secara fungsional. Sebaliknya masyarakat yang berada pada masa modern tidak lepas dari unsur-unsur magis serta masih dapat dipengaruhi oleh mitos-mitos. Sejarah kebudayaan manusia tidak dengan sendirinya memperlihatkan suatu garis yang menanjak yang akhirnya mengharuskan manusia mengatur strategi kebudayaannya.

ALAM PIKIRAN MITIS
Orang menyebut budaya yang lama dengan istilah ”primitif. Kendati sebutan itu menurut Peursen sudah tidak relevan lagi. Karena, menurutnya, dunia alam pikirannya mengandung suatu filsafat yang dalam, gambaran yang ajaib dan adat istiadat yang beragam. Runutan epistemologis akan menemukan kata mitos dari kata mitis ini, kata mitos sendiri berarti sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu untuk sekompok orang. Mitos bukan hanya reportase peristiwa-peristiwa yang dulu terjadi, tetapi mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan pedoman dalam menentukan kebijaksanaan manusia.
Mitos biasanya diturunkan oleh pendahulu dan akan diteruskan lagi. Begitulah kemudian akhirnya sebuah mitos bergulir dari jaman ke jaman. Cerita atau tuturan penurunan ini dapat diungkapkan dengan kata-kata, tari-tarian, atau pementasan lain, wayang misalnya. Tarian di samping sebagai salah satu wujud tradisi lisan, juga sekaligus sebagai suatu bentuk seni pertunjukan. Dikatakan sebagai suatu tradisi lisan karena tarian tersebut mengandung dimensi mithologi atau pesan tertentu yang hanya dipahami oleh pendukung tarian tersebut, dengan demikian menjadi sarana komunikasi, sosialisasi atau sebagai suatu proses reproduksi kebudayaan baik dalam konteks ritual, seni, maupun dalam bentuk pertunjukan lainnya. Dengan asumsi bahwa tarian merupakan bagian dari media pertunjukan dan performance itu selalu mengharapkan adanya audience. Selain Kapferer, Bauman juga menekankan bahwa performance merupakan suatu bentuk perilaku yang komunikatif dan sebagai suatu peristiwa komunikasi, atau “performance usually of communication, framed in a special way and put on display for an audience”. Ini menunjukkan bahwa bahwa tarian sebagai suatu bentuk seni pertunjukan sama dengan seni pertunjukan lainnya dimana audience menjadi bagian darinya. Disamping itu, tarian juga merupakan salah satu alat atau media komunikasi yang bersifat lisan (non-verbal), baik dalam konteks seni maupun ritual. Proses transformasi makna lewat komunikasi tersebut, berbeda dengan bahasa (narasi dan visual), dimana makna yang diekspresikan lewat tarian melalui perilaku atau gerakan.Mitos tidak hanya sebuah reportase akan apa yang telah terjadi saja, namun mitos itu memberikan semacam arah kepada kelakuan manusia dan digunakan sebagai pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia mengambil bagian (ber-part-sipasi). Partisipasi manusia dalam alam pikiran mitis ini dilukiskan sederhana sebagai berikut: Terdapat subjek, yaitu manusia (S) yang dilingkari oleh dunia, obyek (O). Tetapi subjek itu tidak bulat sehingga daya-daya kekuatan alam dapat menerobosnya. Manusia (S) itu terbuka dan dengan demikian berpartisipasi dengan daya-daya kekuatan alam (O). Partisipasi tersebut berarti bahwa manusia belum mempunyai identitas atau individualitas yang bulat, masih sangat terbukan dan belum merupakan suatu subjek yang berdikari sehingga dunia sekitarnya pun belum dapat disebut  (O) yang sempurna dan utuh.
Mitos memiliki beberapa fungsi, fungsi yang pertama ialah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan itu tetapi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam kehidupan. Fungsi yang kedua dari mitos sangat bertalian erat dengan fungsi yang pertama yaitu perantara manusia dengan kekuatan gaib. Sedang fungsi yang ketiga yaitu memberikan pengetahuan tentang terjadinya dunia. Fungsi-fungsi tersebut memaparkan strategi secara meneyeluruh, mengatur dan mengarahkan hubungan antara manusia dan daya-daya kekuatan alam.
Pada tahap mitis ungkapan “itu ada” merupakan puncak pengalaman yang dialami manusia. Dalam dunia mitis manusia belum merupakan seorang individu (subyek) yang bulat, ia dilanda oleh gambaran-gambaran dan perasaan-perasaaan ajaib, seolah-olah ia diresapi oleh roh-roh dan daya-daya dari luar. Ia terpesona oleh dunia ajaib, penuh teka-teki tentang kesuburan, hidup dan mati, pertalian suku. Mau tidak mau ia harus mengakui bahwa sesuatu berada hingga sampai pada puncaknya yaitu sesuatu itu ada.           
Pada tahap mitis ada dua hal yang sangat berlawanan yaitu mitos religius dan praktek magi. Dalam kehidupan manusia primitive magi memainkan peranan besar. Dalam, dunia mitos manusia mengaraahkan pandangannya dari dunia ini kepada dunia yang penuh kekuasaan yang tinggi, dalam magi manusia bertitik tolak dari dunia penuh kekuasaan. Atau lebih sederhana mitos lebih mirip dengan pujaan religius sedang magi lebih condong menguasai lewat beberapa kepandaian. Magi mau menangkis mara bahaya, mempengaruhi daya-daya kekuatan alam, menguasai orang-orang yang mau membunuh orang lain dengan menusuk-nusuk gambarnya.

ALAM PIKIRAN ONTOLOGIS
Dalam alam pikiran ontologis, manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang mengitarinya. Ia tidak begitu terkurung lagi, bahkan kadang ia bertindak sebagai penonton atas hidupnya sendiri. Ia berusaha memperoleh pengertian  mengenai daya-daya kekuatan yang menggerakkan alam dan manusia. Perkembangan ini pernah disebut sebagai perkembangan dari ”mitos” ke ”logos”. Kata ”logos” mengandung arti sesuatu yang mirip dengan ”logis”. Namun dalam tahap ini memang manusia tidak hanya melulu berpikir secara logis, tapi emosi dan harapan juga bermain di sini, pun agama dan keyakinan juga tetap berpengaruh. Sekarang ajaran mengenai dunia mitologis berubah menjadi metafisika. Refleksi atas kehidupan manusia dengan para pemikir besar Yunani,  sebut saja Aristoteles, Plato, dan dedengkot filsafat yang lain meramaikan alam pikiran ontologis ini. Pertanyaan yang diajukan dalam alam pikiran ini adalah tentang dunia transenden, tentang kebebasan manusia, pengertian mengenai dosa dan kehidupan, eskaton (akhir jaman), dll.
Sebagaimana dalam tahap mitis. Tahapontology juga memilki beberapa fungsi yaitu membuat suatu  peta mengenai segala sesuatu mengenai manusia. Sikap ontologis berusaha menampakkan dunia transendensi sehingga dapat dimengerti. Sebagai contoh adalah pembuktian adanya Tuhan. Hal ini diawali dari pengalaman manusia mengenai daya-daya kekuatan yang direnungkan dalam alam filsafat. Sikap mitis dan renungan ontologis berhubungan namun pendekatannya berbeda. Dalam sikap mitis manusia mengambil bagian dalam daya-daya yang meresapi alam dan manusia sedangkan dalam perenungan ontologis manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang mengitarinya agar dengan demikian lewat pengertian dapat dibuktikan adanya sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi.
Fungsi mitos yang kedua adalah jaminan mengenai hari ini. Proses-proses yang terjadi di alam raya dan dalam hidup menusia mulai diterangkan dengan bertitik pangkal pada hukum-hukum abadi. Mitos-mitos masih dipakai, tetapi sekarang lebih sebagai suatu alat atau sarana untuk menerangkan sesuatu atau menuturkan sesuatu yang sukar diungkapkan dengan cara lain.
Fungsi ketiga dari ontologis adalah menyajikan pengetahuan. Dalam alam pikiran ontologism yang dipentingkanadalah hakekat sesuatu apanya, pada tahap ini manusia juga ingin mengakui daya-daya yang menguasai kehidupan manusia beserta alam raya tetapi lewat jalan memperoleh pengetahuan dan mengakui apanya.
Manusia berusaha menempatkan diri dalam hubungan baik dan dalam alamontologism hubungan tersebut tak lain daripada hubungan yang masuk akal menurut arti harfiah, akal budi harus mengakui hakekat manusia, dunia dan dewa-dewa dengan demikian akan menampilkan kebenaran. Tetapi kedua sikap itu tidak selalu sepi dari kesombongan. Dalam duinia mitis kesombongan menghasilkan magi, sedang dalam ontologism kesombongan menghasilkan substansialisme.
Substansialisme berasal dari kata substansi yang berarti sesuatu yang dapat berdiri sendiri yang mempunyai landasan sendiri dan tidak perelu bersandar atau bergantung pada sesuatu yang berada di luar. Dengan demikian hubungan makhluk yang satu dengan yang lain dapat diputuskan. Substansialisme mengadakan isolasi. Memisahkan manusia, barang-barang, dunia nilai-nilai, Tuhan, dipandang sebagai lingkaran-lingkaran yang berdiri sendiri lepas antara yang satu dengan yang lain.
Substansialisme merupakan bahaya yang selalu menyergap alam pikiran ontologism. Nilai-nilai dan konsep-konsep dijadikan substansi-substansi yang terlepas. Bahkan manusia dijadikan dua substansi yaitu badan dan jiwa. Masyarakat tak lain daripada suatu penjumlahan individu-individu. Distansi menjadi keretakan dan masyarakat dijadikan sistem tertutup yang tak dapat diganggu gugat, entah karena sistem feudal, kapitalis, atau disiplin partai.

ALAM PIKIRAN FUNGSIONAL
Fungsional dapat dilihat sebagai suatu pembebasan dari substansialisme. Alam pikiran fungsional menyangkut hubungan, pertautan dan relasi. Alam pikiran manusia selalu mengandung aspek-aspek fungsionil. Alam pikiran ini meliputi baik teori maupun praktek, perbuatan etis dan karya artistik, sektor pekerjaan dan keputusan-keputusan politis. Tetapi di tengah gejala-gejala nampak adanya sikap dasar dalam alam fungsional yaitu orang mencari hubungan-hubungan antara semua bidang, arti sebuah kata atau perbuatan atau barang dipandang menurut peran dan fungsi yang dimainkan dalam keseluruhan yang saling berhubungan. Dalam alam pikiran fungsionil nampak bagiamana manusia dan dunia saling menunjukkan, relasi, kebertautan antara yang satu dengan yang lain.
Ada tiga aspek dalam pikiran fungsionil. Aspek pertama yaitu bagaiamana manusia ingin memperlihatkan daya-daya kekuatan sekitarnya aatau menjadikan semuanya itu sesuatu yang dialami. Dalam pikiran refleksi, kesadaran sosial, kesenian dan religi, manusia berusaha mewujudkannya, bagaimana sesuatu mempunyai arti atau tidak berarti.
Aspek yang kedua adalah bagaimana memberi dasar kepada masa kini. Di sini akan terlihat bagaimana manusia dan struktur sosialnya dapat diberi arti dan dibenarkan. Tehnik dan rekreasi, psikoterapi, kesenian, teologi dan sopan-santun sangat erat hubungannya secara fungsionil, asal bidang-bidang itu mampu memberi arti kepada situasi-situasi konkrit.
Aspek ketiga yang menyerupai aspek-aspek semacam itu dalam tahap mitis dan ontologism ialah peran ilmu pengetahuan. Pada tahap inipun orang ingin menambah pengetahuan.
Jika dalam mitis ada magi, dalam ontologis ada substansialisme, maka dalam alam fungsionil ada operasional. Gejala operasional adalah suatu bahaya yang melampaui batas-batas yang merongrong sesuatu. Operasionalisme selalu membayangi pikiran fungsionil; bagaikan suara hati yang gelisah. Manusia menjadi terkurung dalam operasi-operasi dan akal-akalnya sendiri. Sikap fungsionil lebih menunjukkan suatu tanggung jawab daripada suatu tahap yang telah tercapai.

KEBUDAYAAN SEBAGAI RENCANA
Proses belajar dalam kebudayaan menghasilkan bentuk-bentuk baru dan menimbun (akumulasi) pengetahuan dan kepandaian. Ini tidak berarti bahwa lewat proses belajar selalu dihasilkan buah-buah yang positif. Lewat trial and error manusia menjadi bijaksana, kekeliruan dan kesalahan ada manfaatnya.
Dengan belajar manusia dapat mengenal tanda-tanda dan tidak hanya tanda-tanda yang diikutsertakan. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai. Manusia dapat menciptakan tanda-tanda yang akhirnya disebut dengan lambing. Lambang-lambang yang menceritakan pengalaman merupakan ilustrasi mengenai proses belajar yang luas dan biasanya kita sebut kebudayaan.
Kebudayaan adalah sebuah rencana. rencana membutuhkan strategi. Stratgei ini harus mencari keseimbngan yang didasarkan pada keseimbangan manusia. Keseimbangan manusia adalah transendensi dan imanensi. Jika imanensi mengungkung manusia dalam suatu sekup yang bernama "kedaulatan manusia", maka transendensi bisa memberi manusi menerobos blok-blok pengetahuan yang telah terimanenkan. Karena identitas kebudayaan butuh juga keberanian. Kberanian ini didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan etis. Maka akan terwujudlah kebudayaan yang seimbang.
Buku yang cukup lugas untuk memahami kebudayaan. Pada awalnya aku cuma mengira bahwa kebudayaan yang dibahas oleh Peursen terbatas pada skema bagan kebudayaan yakni mitis, ontologis dan fungsional. Tapi ternyata skema itu hanya digunakan Peursen untuk menjelaskan kronologi kebudayaan dalam lingkup yang sangat luas dan beragam. Terlepas dari itu, skema itu amat membantu untuk memahami perkembngan kebudayaan sebagai suatu proses belajar, sebagai sebuah rencana, sebagai sebuah usaha mencari titik keseimbangan antara transendenis dan imanensi. 
Yang menarik dari buku ini, adalah kebudayaan ditafsirkan dalam frame keseimbangan yang imanen dan transende Peursen. Karena kebudayaan jika hanya bersifat imanen akan kehilangan sifat vitalnya untuk maju, jika terjebak pada transendensi akan kehilangan nilai kegunaannya sebagai manusia.
Disisi lain amat terlihat pengaruh "teologi" dan sastra dalam karyanya ini. Lukian-lukisan dan penafsiran-penafsiran yang disandarkan pada "yang transenden" seringditemukan dalam berbagai tafsirannya tentang kebudayaan. Terlepas dari itu, buku tua yang kaya untuk memahami kebudayaa
Secara gamblang menjelaskan tentang fungsi kebudayaan secara horizontal atau fertikal dan mudah untuk dipahami dengan beberapa contoh-contohnya. Salut untuk penerjemahnyaBuku karya Prof. Dr. Van Puersen berjudul Strategi Kebudayaan terbitan Kanisius
Yogyakarta ini tidak untuk menyajikan suatu pelukisan ataupun keterangan gamblang mengenai pergeseran-pergeseran dahsyat yang terjadi dalam bidang kebudayaan. Buku ini bermaksud membeberkan suatu skema gambar sederhana mengenai perkembangan kebudayaan yang dapat dipakai dalam situasi-situasi yang selalu berubah dan dialami oleh manusia.

strategi pada buku ini bisa langsung diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya bila kita bermain catur, maka kadang–kadang kita juga mengorbankan satu buah catur, tetapi dengan maksud agar pada jangka panjang strategi kita akan menang.dalam kehidupan sehari-hari kadang-kadang kita maju selangkah lagi sehingga kita sanggup mengorbankan sesuatu , agar bagi orang lain sebuah jalan buntu dapat diterobos.

Pada bagian prakata, van Peursen—sebagai ahli filsafat—menuliskan buku ini sebagai media pemahaman bagi masyarakat atau pembacanya, khususnya di Indonesia, yang saat itu sedang dihadapkan pada permasalahan kebudayaan seperti perubahan-perubahan nilai sosial-budaya-politik, atas imbas dari pengaruh kebudayaan luar negeri dalam berbagai bentuk seperti gaya hidup, fashion, pola konsumsi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut dijadikan van Peursen sebagai titik tolak untuk meninjau kebudayaan yang seyogyanya dipergunakan “sebagai siasat manusia menghadapi hari depan” (hlm. 5) dan merupakan proses pembelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat yang sifatnya kontinyu.
Buku ini menjadi medium, dimana sang penulis hendak memaparkan sekaligus merumuskan perubahan unsur-unsur budaya dalam kehidupan—yang disesuaikan melalui pendekatan (dimensi) tertentu dengan mengangkat berbagai masalah kebudayaan sebagai objek dan bukti yang riil dalam memperjelas pendekatannya.
Buku ini menjabarkan tiga garis besar tahap pandangan perkembangan kebudayaan: mitologis, ontologis, dan fungsionalis. Ketiga tahap inilah yang kemudian dianggap sebagai strategi kebudayaan. Tidak ada tahap yang bisa dikatakan lebih unggul atau lebih maju dibandingkan dengan tahap yang lain, karena masing-masing memiliki kekhasan peran. Tentu ketiganya dijelaskan dengan fungsi dan pengaplikasiannya sendiri-sendiri. Dikatakan demikian karena setiap orang punya kecenderungan yang tersegmentasi dalam mengilustrasikan kebudayaan. Hal ini yang kemudian oleh van Peursen, dianalogikan seperti menafsirkan sebuah lukisan, yangoutput-nya multitafsir.
Sepanjang isi buku ini, kebudayaan memang dikemukakan sebagai kesatuan komponen antara makhluk hidup (manusia dan hewan) dengan alam—tetapi bukan alam seperti pada umumnya. Alam dianggap sebagai sesuatu yang memiliki entitas atau berwujud (kasat mata) dan alam abstrak (tidak kasat mata), yang bisa dimisalkan seperti alam ide-ide yang digagas oleh Plato.
Keunikan lagi yang ditemukan dalam tulisan-tulisan van Peursen adalah pembagian objek dan subjek kebudayaan. Alam, lingkungan, dan daya-daya keduniawian dilabeli sebagai objek. Sedangkan organisme, yakni manusia dan hewan dilabeli sebagai subjek. Lalu bagaimana proses hingga hasil perilaku, tindakan-tindakan subjek kepada objek ini dimunculkan? Van Peursen kembali lagi pada tiga tahap perkembangan kebudayaan yang sudah diungkapkan.
Tahap Mitologis: Pandangan atas Alam Kebudayaan Primitif
Kendati hidup di zaman modern, van Peursen menyatakan bahwa istilah “primitif” sudah tidak relevan karena menurutnya segala penggambaran tentang simbol dan adat istiadat berisikan filosofi yang dalam. Primitif bukanlah sebuah masa dimana manusia selalu bersikap konservatif atas hal-hal yang tampak baru atau asing.
Deskripsi kebudayaan primitif yang diberikan dalam tahap ini dinyatakan bahwa manusia berhubungan langsung dengan alam dan mampu menanggapi daya-daya yang muncul. Dalam pola-pola yang beragam, daya-daya atau kekuatan oleh alam tersebut diekspresikan manusia berupa hasil-hasil kesenian. Tarian-tarian, simbol, doa, dan upacara adat adalah media penyampaian dan pemaknaan.
Runtutan kemunculan tahap mitologis diturunkan oleh para nenek moyang manusia. Bukan dengan teori-teori, melainkan cerita secara turun-temurun—intra-generasi dan antar-generasi—yang disebut sebaga mitos. Mitos, dalam konteks pembahasan van Peurseun adalah “cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang” (hlm. 37) dalam berperilaku. Mitos dapat dituturkan secara lisan maupun tertulis. Satu dari sekian banyak media penyalur mitos yang hingga saat kini kita temui, ialah wayang. Plot dan alur cerita wayang umumnya berisikan pengalaman manusia; pemunculan lambang-lambang kebaikan dan kejahatan pada sosok manusia; hingga segala hal keduniawian bahkan keilahian yang berada di luar kemampuan individu (transcendent). Terminologi transcendent ini, jika dihubungkan dalam filsafat modern, berarti terkait dengan segala sesuatu yang berada di luar atau mengatasi kemampuan koderat manusia.. Pada bagian prakata, van Peursen—sebagai ahli filsafat—menuliskan buku ini sebagai media pemahaman bagi masyarakat atau pembacanya, khususnya di Indonesia, yang saat itu sedang dihadapkan pada permasalahan kebudayaan seperti perubahan-perubahan nilai sosial-budaya-politik, atas imbas dari pengaruh kebudayaan luar negeri dalam berbagai bentuk seperti gaya hidup, fashion, pola konsumsi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut dijadikan van Peursen sebagai titik tolak untuk meninjau kebudayaan yang seyogyanya dipergunakan “sebagai siasat manusia menghadapi hari depan” (hlm. 5) dan merupakan proses pembelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat yang sifatnya kontinyu.
Buku ini menjadi medium, dimana sang penulis hendak memaparkan sekaligus merumuskan perubahan unsur-unsur budaya dalam kehidupan—yang disesuaikan melalui pendekatan (dimensi) tertentu dengan mengangkat berbagai masalah kebudayaan sebagai objek dan bukti yang riil dalam memperjelas pendekatannya.
Buku ini menjabarkan tiga garis besar tahap pandangan perkembangan kebudayaan: mitologis, ontologis, dan fungsionalis. Ketiga tahap inilah yang kemudian dianggap sebagai strategi kebudayaan. Tidak ada tahap yang bisa dikatakan lebih unggul atau lebih maju dibandingkan dengan tahap yang lain, karena masing-masing memiliki kekhasan peran. Tentu ketiganya dijelaskan dengan fungsi dan pengaplikasiannya sendiri-sendiri. Dikatakan demikian karena setiap orang punya kecenderungan yang tersegmentasi dalam mengilustrasikan kebudayaan. Hal ini yang kemudian oleh van Peursen, dianalogikan seperti menafsirkan sebuah lukisan, yangoutput-nya multitafsir.
Sepanjang isi buku ini, kebudayaan memang dikemukakan sebagai kesatuan komponen antara makhluk hidup (manusia dan hewan) dengan alam—tetapi bukan alam seperti pada umumnya. Alam dianggap sebagai sesuatu yang memiliki entitas atau berwujud (kasat mata) dan alam abstrak (tidak kasat mata), yang bisa dimisalkan seperti alam ide-ide yang digagas oleh Plato.
Keunikan lagi yang ditemukan dalam tulisan-tulisan van Peursen adalah pembagian objek dan subjek kebudayaan. Alam, lingkungan, dan daya-daya keduniawian dilabeli sebagai objek. Sedangkan organisme, yakni manusia dan hewan dilabeli sebagai subjek. Lalu bagaimana proses hingga hasil perilaku, tindakan-tindakan subjek kepada objek ini dimunculkan? Van Peursen kembali lagi pada tiga tahap perkembangan kebudayaan yang sudah diungkapkan.
Tahap Mitologis: Pandangan atas Alam Kebudayaan Primitif
Kendati hidup di zaman modern, van Peursen menyatakan bahwa istilah “primitif” sudah tidak relevan karena menurutnya segala penggambaran tentang simbol dan adat istiadat berisikan filosofi yang dalam. Primitif bukanlah sebuah masa dimana manusia selalu bersikap konservatif atas hal-hal yang tampak baru atau asing.
Deskripsi kebudayaan primitif yang diberikan dalam tahap ini dinyatakan bahwa manusia berhubungan langsung dengan alam dan mampu menanggapi daya-daya yang muncul. Dalam pola-pola yang beragam, daya-daya atau kekuatan oleh alam tersebut diekspresikan manusia berupa hasil-hasil kesenian. Tarian-tarian, simbol, doa, dan upacara adat adalah media penyampaian dan pemaknaan.
Runtutan kemunculan tahap mitologis diturunkan oleh para nenek moyang manusia. Bukan dengan teori-teori, melainkan cerita secara turun-temurun—intra-generasi dan antar-generasi—yang disebut sebaga mitos. Mitos, dalam konteks pembahasan van Peurseun adalah “cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang” (hlm. 37) dalam berperilaku. Mitos dapat dituturkan secara lisan maupun tertulis. Satu dari sekian banyak media penyalur mitos yang hingga saat kini kita temui, ialah wayang. Plot dan alur cerita wayang umumnya berisikan pengalaman manusia; pemunculan lambang-lambang kebaikan dan kejahatan pada sosok manusia; hingga segala hal keduniawian bahkan keilahian yang berada di luar kemampuan individu (transcendent). Terminologi transcendent ini, jika dihubungkan dalam filsafat modern, berarti terkait dengan segala sesuatu yang berada di luar atau mengatasi kemampuan koderat manusia.
Di samping itu, mitos pun ditautkan dengan sebuah fungsi untuk menumbuhkan segala perasaan-perasaan dalam diri (immanent), seperti kepercayaan, jaminan rasa aman, dan kelancaran akan kehidupan oleh manusia dalam berpartisipasi sekaligus mengelola pekerjaan-pekerjaan. Kemudian setelah mitos diturunkan, muncul tindakan-tindakan manusia untuk mendekatkan dirinya terhadap kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang disebut magi. Jika manusia menguasaimagi, ia akan berpotensi merendahkan segala hasil-hasil kebudayaan (simbol, tarian, kepercayaan pada dewa).
Skema dalam tahap mitologis kira-kira digambarkan dengan adanya manusia (subjek) yang dikelilingi oleh dunia atau alam sekitarnya (objek). Manusia di sini,digambarkan dengan lingkaran yang tidak utuh atau terputus-putus, sehingga daya-daya dari dunia atau alam dapat merasukinya. Manusia bekerja secara pasif. Sebaliknya, alam bekerja secara aktif.
Tahap Ontologis: Aktualisasi Diri Manusia terhadap Alam
Apabila manusia dalam tahap mitis dikelilingi oleh kekuatan ilahi dan menimbulkan perasaan-perasaan terkurung atau inferior, maka ontologis sebaliknya. Ontologis menyikapinya dengan mengartikan manusia bekerja lebih aktif terhadap daya-daya kekuatan alam. Van Peursen menitikberatkan tahap ontologis sebagai masa di mana manusia mulai mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan atas daya-daya kekuatan yang muncul begitu saja. Alih-alih manusia bersikap tunduk terhadap kekuatan, mereka bahkan mulai mengambil jarak lantas memisahkan diri dari hal keduniawian. Dalam tahap ini, yang tidak boleh dikesampingkan adalah manusia mulai mengandalkan pikiran logis yang mana semua serba dibuktikan secara rasional. Cara pemikiran yang logis ini juga berbeda pada tiap-tiap masyarakat. Dalam buku ini dicontohkan melalui masyarakat barat dengan cara berpikirnya berciri khas tentang hal-hal konkret, komersil, dan riil yang memunculkan ilmu pengetahuan dan teknik-teknik. Berbanding terbalik pada masyarakat timur, yang dianggap oleh masyarakat barat berpikiran mengambang.
Lebih lanjut, pemikiran ontologis menelurkan suatu faham baru, yang disebut substansialisme. Paham substansialis ini menempatkan nilai-nilai dan orang-orang pada tempatnya masing-masing. Pada akhirnya, paham ini menganggap manusia dan hakekat nilai norma ke-Tuhanan memiliki identitasnya sendiri.
Tahap Fungsionalis: Jukstaposisi Manusia dan Alam Kebudayaan
Peralihan tahap perkembangan kebudayaan dari mitologis dan ontologis ke arah tahap fungsionil membuka cara pandang baru. Sebelumnya dijelaskan bahwa manusia dan daya kekuatan alam hanya memiliki hubungan satu arah saja. Bagi van Peursen, kata fungsi selalu menunjukkan pengaruh terhadap sesuatu yang lain” (hlm. 85). Pernyataantersebut yang kemudian menunjukkantahapan fungsionil sebagai strategi bagaimana manusia berkeinginan mempertunjukkan bahkan membuktikan daya-daya kekuatan alam sembari menjadikan segala kekuatan tersebut dapat dialami (experienced), sejauh itu ada ataupun tiada. Atau dengan kata lain, manusia telah menyejajarkan dirinya dengan alam, dan keduanya diketahui sama-sama memiliki posisi tawar dalam tahap ini. Tahap ini merupakan tahap dimana sikap keterbukaan antar manusia dan alam seolah-olah terwujud. Fenomenanya saat ini bisa kita lihat dengan adanya iktikad baik manusia dalam memahami gejala alam melalui pengembangan ilmu-ilmu lingkungan, dan lain sebagainya.
Kita ketahui sebelumnya ontologis memiliki pahamnya sendiri. Tahap fungsionil memiliki pula dengan nama eksistensialis. Sejauh yang ditulis dalam buku ini, eksistensialis menolak atas apa yang dinyatakan oleh substansialis—yang terkesan otoriter, membatasi setiap unsur-unsur kebudayaan (nilai-nilai adanya Tuhan, norma, kaidah-kaidah), dan seolah-olah unsur-unsur tersebut mempunyai eksistensi dan esensinya sendiri, tidak peduli apakah dapat dikaitkan atau berarti sesuatu bagi kita.Karena pada dasarnya fungsionil selalu mencari relasi antar-komponen yang terlibat dalam kebudayaan, maka van Peursen menjelaskannya sebagai berikut:
“Sikap fungsionil memberi dasar kepada masa kini, di mana kekuatan mitis pada peristiwa masa lampau mampu memberikan jaminan keberlangsungan perbuatan masa kini. Aspek lainnya menjelaskan peranan ilmu pengetahuan, artinya ilmu pengetahuan berfungsi memahami pergeseran teori-teori ke arah praktek—atau sebagai contoh gerakan kearah transendensi sekaligus membuka hal-hal imanensi.“
Paham lain yang muncul sebagai imbas transisi tahap ontologis ke fungsionil yaitu operasionalisme—yang diperuntukkan menyingkap segi negatiftahap fungsionil. Operasionalisme diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk dipakai dan diikutsertakan dalam proses produksi dengan tata cara dan aturan yang berlaku. Pergeseran-pergeseran tahap kebudayaan pada masyarakat menimbulkan hal-hal multitafsir. Masyarakat Yunani yang kala itu masih kental terhadap paham mitologis-nya sehingga mendirikan panting-patung dewa sebagai simbol kekuasaan, keagungan, dan keilahian dapat menjadi rujukan. Seiring berkembangnya zaman, patung dewa mulai tergantikan. Seperti di Italia misalnya, yang dahulu dominan memiliki patung raja-raja. Maka dapat diketahui, dari kedua contoh ini terjadi pergeseran tahap mitologis dan ontologis.
Di samping itu, mitos pun ditautkan dengan sebuah fungsi untuk menumbuhkan segala perasaan-perasaan dalam diri (immanent), seperti kepercayaan, jaminan rasa aman, dan kelancaran akan kehidupan oleh manusia dalam berpartisipasi sekaligus mengelola pekerjaan-pekerjaan. Kemudian setelah mitos diturunkan, muncul tindakan-tindakan manusia untuk mendekatkan dirinya terhadap kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang disebut magi. Jika manusia menguasaimagi, ia akan berpotensi merendahkan segala hasil-hasil kebudayaan (simbol, tarian, kepercayaan pada dewa).
Skema dalam tahap mitologis kira-kira digambarkan dengan adanya manusia (subjek) yang dikelilingi oleh dunia atau alam sekitarnya (objek). Manusia di sini,digambarkan dengan lingkaran yang tidak utuh atau terputus-putus, sehingga daya-daya dari dunia atau alam dapat merasukinya. Manusia bekerja secara pasif. Sebaliknya, alam bekerja secara aktif.
Tahap Ontologis: Aktualisasi Diri Manusia terhadap Alam
Apabila manusia dalam tahap mitis dikelilingi oleh kekuatan ilahi dan menimbulkan perasaan-perasaan terkurung atau inferior, maka ontologis sebaliknya. Ontologis menyikapinya dengan mengartikan manusia bekerja lebih aktif terhadap daya-daya kekuatan alam. Van Peursen menitikberatkan tahap ontologis sebagai masa di mana manusia mulai mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan atas daya-daya kekuatan yang muncul begitu saja. Alih-alih manusia bersikap tunduk terhadap kekuatan, mereka bahkan mulai mengambil jarak lantas memisahkan diri dari hal keduniawian. Dalam tahap ini, yang tidak boleh dikesampingkan adalah manusia mulai mengandalkan pikiran logis yang mana semua serba dibuktikan secara rasional. Cara pemikiran yang logis ini juga berbeda pada tiap-tiap masyarakat. Dalam buku ini dicontohkan melalui masyarakat barat dengan cara berpikirnya berciri khas tentang hal-hal konkret, komersil, dan riil yang memunculkan ilmu pengetahuan dan teknik-teknik. Berbanding terbalik pada masyarakat timur, yang dianggap oleh masyarakat barat berpikiran mengambang.
Lebih lanjut, pemikiran ontologis menelurkan suatu faham baru, yang disebut substansialisme. Paham substansialis ini menempatkan nilai-nilai dan orang-orang pada tempatnya masing-masing. Pada akhirnya, paham ini menganggap manusia dan hakekat nilai norma ke-Tuhanan memiliki identitasnya sendiri.
Tahap Fungsionalis: Jukstaposisi Manusia dan Alam Kebudayaan
Peralihan tahap perkembangan kebudayaan dari mitologis dan ontologis ke arah tahap fungsionil membuka cara pandang baru. Sebelumnya dijelaskan bahwa manusia dan daya kekuatan alam hanya memiliki hubungan satu arah saja. Bagi van Peursen, kata fungsi selalu menunjukkan pengaruh terhadap sesuatu yang lain” (hlm. 85). Pernyataantersebut yang kemudian menunjukkantahapan fungsionil sebagai strategi bagaimana manusia berkeinginan mempertunjukkan bahkan membuktikan daya-daya kekuatan alam sembari menjadikan segala kekuatan tersebut dapat dialami (experienced), sejauh itu ada ataupun tiada. Atau dengan kata lain, manusia telah menyejajarkan dirinya dengan alam, dan keduanya diketahui sama-sama memiliki posisi tawar dalam tahap ini. Tahap ini merupakan tahap dimana sikap keterbukaan antar manusia dan alam seolah-olah terwujud. Fenomenanya saat ini bisa kita lihat dengan adanya iktikad baik manusia dalam memahami gejala alam melalui pengembangan ilmu-ilmu lingkungan, dan lain sebagainya.
Kita ketahui sebelumnya ontologis memiliki pahamnya sendiri. Tahap fungsionil memiliki pula dengan nama eksistensialis. Sejauh yang ditulis dalam buku ini, eksistensialis menolak atas apa yang dinyatakan oleh substansialis—yang terkesan otoriter, membatasi setiap unsur-unsur kebudayaan (nilai-nilai adanya Tuhan, norma, kaidah-kaidah), dan seolah-olah unsur-unsur tersebut mempunyai eksistensi dan esensinya sendiri, tidak peduli apakah dapat dikaitkan atau berarti sesuatu bagi kita.Karena pada dasarnya fungsionil selalu mencari relasi antar-komponen yang terlibat dalam kebudayaan, maka van Peursen menjelaskannya sebagai berikut:
“Sikap fungsionil memberi dasar kepada masa kini, di mana kekuatan mitis pada peristiwa masa lampau mampu memberikan jaminan keberlangsungan perbuatan masa kini. Aspek lainnya menjelaskan peranan ilmu pengetahuan, artinya ilmu pengetahuan berfungsi memahami pergeseran teori-teori ke arah praktek—atau sebagai contoh gerakan kearah transendensi sekaligus membuka hal-hal imanensi.“
Paham lain yang muncul sebagai imbas transisi tahap ontologis ke fungsionil yaitu operasionalisme—yang diperuntukkan menyingkap segi negatiftahap fungsionil. Operasionalisme diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk dipakai dan diikutsertakan dalam proses produksi dengan tata cara dan aturan yang berlaku. Pergeseran-pergeseran tahap kebudayaan pada masyarakat menimbulkan hal-hal multitafsir. Masyarakat Yunani yang kala itu masih kental terhadap paham mitologis-nya sehingga mendirikan panting-patung dewa sebagai simbol kekuasaan, keagungan, dan keilahian dapat menjadi rujukan. Seiring berkembangnya zaman, patung dewa mulai tergantikan. Seperti di Italia misalnya, yang dahulu dominan memiliki patung raja-raja. Maka dapat diketahui, dari kedua contoh ini terjadi pergeseran tahap mitologis dan ontologis.



No comments:

Post a Comment