Bibliografi
buku:
Judul : Strategi Kebudayaan
Peniulis : Prof. Dr. C. A. Van Peursen
Penerbit : Kanisius
Tempat
Terbit : Yogyakarta
Tahun
Terbit : 1988
Buku karya Prof. Dr. Van Puersen berjudul Strategi Kebudayaan
terbitan Kanisius-Yogyakarta ini tidak untuk menyajikan suatu pelukisan ataupun
keterangan gamblang mengenai pergeseran-pergeseran dahsyat yang terjadi dalam
bidang kebudayaan. Buku ini bermaksud membeberkan suatu skema gambar sederhana
mengenai perkembangan kebudayaan yang dapat dipakai dalam situasi-situasi yang
selalu berubah dan dialami oleh manusia.
PERKEMBANGAN
KEBUDAYAAN
Kebudayaaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang
atau kelompok orang-orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan
semacam sekolah di mana manusia dapat belajar, manusia tidak hanya bertanya
tetapi juga bagiamana harus menyikapi segala sesuatu yang ada dan terjadi di
alam. Sebuah batu batui menjadi tantangan bagi pemahat, banjir menjadikan
manusia harus berpikir bagaimana mengantisipasi, udara dingin mendorong manusia
membuat baju dari bahan-bahan yang dapat melindungi tubuh dari kedinginan.
Manusia juga tidak bertopang dagu dengan atau membiarkan dirinya
hanyut dengan proses aqproses alam, bisa jadi manusia melawan arus dalam artian
tidak hanya mengikuti arus alam, tetapi juga mengikuti kata hati. Salah satu
tindakan mengikuti kata hati adalah dengan menilai serta mengevaluasi
alam sekitarnya serta alam manusia sendiri. Dalam mengevaluasi alam bukan hanya
terbatas pada sesuatu yang sifatnya rohani, misalnya ilmu pengetahuan,
kesadaran moril, keyakinan, religius, kesadaran sosial dan ilmu kemasyarakatan.
Lebih dari pada itu manusia juga mengevaluasi norma-norma serta perubahan baik
jasmaniah maupun alamiah.
BAGAN TIGA TAHAP
Tiga tahap yang dimaksud pada bagian ini adalah tahap mitis, tahap ontologis, dan tahapfungsional. Tahap mitis ialah sikap
manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan. Tahap
ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi dalam kepungan kekuasaan mitis,
melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ihwal, dalam tahap ini manusia
mulai mengambil jarak terhadapn segala sesuatu yang dirasakan mengepung
manusia. Pada tahap ini manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai
dasar hakekat segala sesuatu dan segala sesuatu menurut perinciannya.
STRATEGI KEBUDAYAAN
Dari ketiga tahap tersebut baik mitis,ontologis, maupun
fungsional bukan merupakanbagian yang terpisah-pisah. Manusia primitif dengan
dongeng-dongeng mitisnya juga dapat mendekati sesuatu secara fungsional.
Sebaliknya masyarakat yang berada pada masa modern tidak lepas dari unsur-unsur
magis serta masih dapat dipengaruhi oleh mitos-mitos. Sejarah kebudayaan
manusia tidak dengan sendirinya memperlihatkan suatu garis yang menanjak yang
akhirnya mengharuskan manusia mengatur strategi kebudayaannya.
ALAM PIKIRAN MITIS
Orang menyebut budaya yang lama dengan istilah
”primitif. Kendati sebutan itu menurut Peursen sudah tidak relevan
lagi. Karena, menurutnya, dunia alam pikirannya mengandung suatu filsafat
yang dalam, gambaran yang ajaib dan adat istiadat yang beragam. Runutan
epistemologis akan menemukan kata mitos dari kata mitis ini, kata mitos sendiri
berarti sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu untuk sekompok
orang. Mitos bukan hanya reportase peristiwa-peristiwa yang dulu terjadi,
tetapi mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan pedoman
dalam menentukan kebijaksanaan manusia.
Mitos biasanya diturunkan oleh pendahulu dan akan diteruskan
lagi. Begitulah kemudian akhirnya sebuah mitos bergulir dari jaman ke jaman.
Cerita atau tuturan penurunan ini dapat diungkapkan dengan kata-kata,
tari-tarian, atau pementasan lain, wayang misalnya. Tarian di samping sebagai
salah satu wujud tradisi lisan, juga sekaligus sebagai suatu bentuk seni
pertunjukan. Dikatakan sebagai suatu tradisi lisan karena tarian tersebut
mengandung dimensi mithologi atau pesan tertentu yang hanya dipahami oleh
pendukung tarian tersebut, dengan demikian menjadi sarana komunikasi,
sosialisasi atau sebagai suatu proses reproduksi kebudayaan baik dalam konteks
ritual, seni, maupun dalam bentuk pertunjukan lainnya. Dengan asumsi bahwa
tarian merupakan bagian dari media pertunjukan dan performance itu selalu
mengharapkan adanya audience. Selain Kapferer, Bauman juga menekankan bahwa performance
merupakan suatu bentuk perilaku yang komunikatif dan sebagai suatu peristiwa
komunikasi, atau “performance usually
of communication, framed in a special way and put on display for an
audience”. Ini menunjukkan bahwa bahwa tarian sebagai suatu bentuk
seni pertunjukan sama dengan seni pertunjukan lainnya dimana audience menjadi
bagian darinya. Disamping itu, tarian juga merupakan salah satu alat atau media
komunikasi yang bersifat lisan (non-verbal), baik dalam konteks seni maupun
ritual. Proses transformasi makna lewat komunikasi tersebut, berbeda dengan
bahasa (narasi dan visual), dimana makna yang diekspresikan lewat tarian
melalui perilaku atau gerakan.Mitos tidak hanya sebuah reportase akan apa yang
telah terjadi saja, namun mitos itu memberikan semacam arah kepada kelakuan
manusia dan digunakan sebagai pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos
manusia mengambil bagian (ber-part-sipasi). Partisipasi manusia dalam alam
pikiran mitis ini dilukiskan sederhana sebagai berikut: Terdapat subjek, yaitu
manusia (S) yang dilingkari oleh dunia, obyek (O). Tetapi subjek itu tidak
bulat sehingga daya-daya kekuatan alam dapat menerobosnya. Manusia (S) itu
terbuka dan dengan demikian berpartisipasi dengan daya-daya kekuatan alam (O).
Partisipasi tersebut berarti bahwa manusia belum mempunyai identitas atau
individualitas yang bulat, masih sangat terbukan dan belum merupakan suatu
subjek yang berdikari sehingga dunia sekitarnya pun belum dapat disebut
(O) yang sempurna dan utuh.
Mitos memiliki beberapa fungsi, fungsi yang pertama ialah
menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos tidak memberikan
bahan informasi mengenai kekuatan itu tetapi membantu manusia agar dapat
menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam
kehidupan. Fungsi yang kedua dari mitos sangat bertalian erat dengan fungsi
yang pertama yaitu perantara manusia dengan kekuatan gaib. Sedang fungsi yang
ketiga yaitu memberikan pengetahuan tentang terjadinya dunia. Fungsi-fungsi
tersebut memaparkan strategi secara meneyeluruh, mengatur dan mengarahkan
hubungan antara manusia dan daya-daya kekuatan alam.
Pada tahap mitis ungkapan “itu ada” merupakan puncak pengalaman
yang dialami manusia. Dalam dunia mitis manusia belum merupakan seorang
individu (subyek) yang bulat, ia dilanda oleh gambaran-gambaran dan
perasaan-perasaaan ajaib, seolah-olah ia diresapi oleh roh-roh dan daya-daya
dari luar. Ia terpesona oleh dunia ajaib, penuh teka-teki tentang kesuburan,
hidup dan mati, pertalian suku. Mau tidak mau ia harus mengakui bahwa sesuatu
berada hingga sampai pada puncaknya yaitu sesuatu itu
ada.
Pada tahap mitis ada dua hal yang sangat berlawanan yaitu mitos
religius dan praktek magi. Dalam kehidupan manusia primitive magi memainkan
peranan besar. Dalam, dunia mitos manusia mengaraahkan pandangannya dari dunia
ini kepada dunia yang penuh kekuasaan yang tinggi, dalam magi manusia bertitik
tolak dari dunia penuh kekuasaan. Atau lebih sederhana mitos lebih mirip dengan
pujaan religius sedang magi lebih condong menguasai lewat beberapa kepandaian.
Magi mau menangkis mara bahaya, mempengaruhi daya-daya kekuatan alam, menguasai
orang-orang yang mau membunuh orang lain dengan menusuk-nusuk gambarnya.
ALAM PIKIRAN
ONTOLOGIS
Dalam alam pikiran ontologis, manusia mulai mengambil jarak
terhadap segala sesuatu yang mengitarinya. Ia tidak begitu terkurung lagi,
bahkan kadang ia bertindak sebagai penonton atas hidupnya sendiri. Ia berusaha
memperoleh pengertian mengenai daya-daya kekuatan yang menggerakkan alam
dan manusia. Perkembangan ini pernah disebut sebagai perkembangan dari ”mitos”
ke ”logos”. Kata ”logos” mengandung arti sesuatu yang mirip dengan ”logis”.
Namun dalam tahap ini memang manusia tidak hanya melulu berpikir secara logis,
tapi emosi dan harapan juga bermain di sini, pun agama dan keyakinan juga tetap
berpengaruh. Sekarang ajaran mengenai dunia mitologis berubah menjadi
metafisika. Refleksi atas kehidupan manusia dengan para pemikir besar
Yunani, sebut saja Aristoteles, Plato, dan dedengkot filsafat yang lain
meramaikan alam pikiran ontologis ini. Pertanyaan yang diajukan dalam alam
pikiran ini adalah tentang dunia transenden, tentang kebebasan manusia,
pengertian mengenai dosa dan kehidupan, eskaton (akhir jaman), dll.
Sebagaimana dalam tahap mitis. Tahapontology juga memilki beberapa fungsi yaitu membuat
suatu peta mengenai segala sesuatu mengenai manusia. Sikap ontologis
berusaha menampakkan dunia transendensi sehingga dapat dimengerti. Sebagai
contoh adalah pembuktian adanya Tuhan. Hal ini diawali dari pengalaman manusia
mengenai daya-daya kekuatan yang direnungkan dalam alam filsafat. Sikap mitis
dan renungan ontologis berhubungan namun pendekatannya berbeda. Dalam sikap
mitis manusia mengambil bagian dalam daya-daya yang meresapi alam dan manusia
sedangkan dalam perenungan ontologis manusia mengambil jarak terhadap segala
sesuatu yang mengitarinya agar dengan demikian lewat pengertian dapat
dibuktikan adanya sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi.
Fungsi mitos yang kedua adalah jaminan mengenai hari ini.
Proses-proses yang terjadi di alam raya dan dalam hidup menusia mulai
diterangkan dengan bertitik pangkal pada hukum-hukum abadi. Mitos-mitos masih
dipakai, tetapi sekarang lebih sebagai suatu alat atau sarana untuk menerangkan
sesuatu atau menuturkan sesuatu yang sukar diungkapkan dengan cara lain.
Fungsi ketiga dari ontologis adalah menyajikan pengetahuan.
Dalam alam pikiran ontologism yang dipentingkanadalah hakekat sesuatu apanya,
pada tahap ini manusia juga ingin mengakui daya-daya yang menguasai kehidupan
manusia beserta alam raya tetapi lewat jalan memperoleh pengetahuan dan
mengakui apanya.
Manusia berusaha menempatkan diri dalam hubungan baik dan dalam
alamontologism hubungan
tersebut tak lain daripada hubungan yang masuk akal menurut arti harfiah, akal
budi harus mengakui hakekat manusia, dunia dan dewa-dewa dengan demikian akan
menampilkan kebenaran. Tetapi kedua sikap itu tidak selalu sepi dari
kesombongan. Dalam duinia mitis kesombongan menghasilkan magi, sedang
dalam ontologism kesombongan
menghasilkan substansialisme.
Substansialisme berasal dari kata substansi yang berarti sesuatu
yang dapat berdiri sendiri yang mempunyai landasan sendiri dan tidak perelu
bersandar atau bergantung pada sesuatu yang berada di luar. Dengan demikian hubungan
makhluk yang satu dengan yang lain dapat diputuskan. Substansialisme mengadakan
isolasi. Memisahkan manusia, barang-barang, dunia nilai-nilai, Tuhan, dipandang
sebagai lingkaran-lingkaran yang berdiri sendiri lepas antara yang satu dengan
yang lain.
Substansialisme merupakan bahaya yang selalu menyergap alam
pikiran ontologism.
Nilai-nilai dan konsep-konsep dijadikan substansi-substansi yang terlepas.
Bahkan manusia dijadikan dua substansi yaitu badan dan jiwa. Masyarakat tak
lain daripada suatu penjumlahan individu-individu. Distansi menjadi keretakan
dan masyarakat dijadikan sistem tertutup yang tak dapat diganggu gugat, entah
karena sistem feudal, kapitalis, atau disiplin partai.
ALAM PIKIRAN
FUNGSIONAL
Fungsional dapat dilihat sebagai suatu pembebasan dari
substansialisme. Alam pikiran fungsional menyangkut hubungan, pertautan dan
relasi. Alam pikiran manusia selalu mengandung aspek-aspek fungsionil. Alam
pikiran ini meliputi baik teori maupun praktek, perbuatan etis dan karya
artistik, sektor pekerjaan dan keputusan-keputusan politis. Tetapi di tengah
gejala-gejala nampak adanya sikap dasar dalam alam fungsional yaitu orang
mencari hubungan-hubungan antara semua bidang, arti sebuah kata atau perbuatan
atau barang dipandang menurut peran dan fungsi yang dimainkan dalam keseluruhan
yang saling berhubungan. Dalam alam pikiran fungsionil nampak bagiamana manusia
dan dunia saling menunjukkan, relasi, kebertautan antara yang satu dengan yang
lain.
Ada tiga aspek dalam pikiran fungsionil. Aspek pertama yaitu
bagaiamana manusia ingin memperlihatkan daya-daya kekuatan sekitarnya aatau
menjadikan semuanya itu sesuatu yang dialami. Dalam pikiran refleksi, kesadaran
sosial, kesenian dan religi, manusia berusaha mewujudkannya, bagaimana sesuatu
mempunyai arti atau tidak berarti.
Aspek yang kedua adalah bagaimana memberi dasar kepada masa
kini. Di sini akan terlihat bagaimana manusia dan struktur sosialnya dapat
diberi arti dan dibenarkan. Tehnik dan rekreasi, psikoterapi, kesenian, teologi
dan sopan-santun sangat erat hubungannya secara fungsionil, asal bidang-bidang
itu mampu memberi arti kepada situasi-situasi konkrit.
Aspek ketiga yang menyerupai aspek-aspek semacam itu dalam tahap
mitis dan ontologism ialah peran ilmu pengetahuan. Pada tahap inipun orang
ingin menambah pengetahuan.
Jika dalam mitis ada magi, dalam ontologis ada substansialisme,
maka dalam alam fungsionil ada operasional. Gejala operasional adalah suatu
bahaya yang melampaui batas-batas yang merongrong sesuatu. Operasionalisme
selalu membayangi pikiran fungsionil; bagaikan suara hati yang gelisah. Manusia
menjadi terkurung dalam operasi-operasi dan akal-akalnya sendiri. Sikap
fungsionil lebih menunjukkan suatu tanggung jawab daripada suatu tahap yang
telah tercapai.
KEBUDAYAAN SEBAGAI
RENCANA
Proses belajar dalam kebudayaan menghasilkan bentuk-bentuk baru
dan menimbun (akumulasi) pengetahuan dan kepandaian. Ini tidak berarti bahwa
lewat proses belajar selalu dihasilkan buah-buah yang positif. Lewat trial and
error manusia menjadi bijaksana, kekeliruan dan kesalahan ada manfaatnya.
Dengan belajar manusia dapat mengenal tanda-tanda dan tidak
hanya tanda-tanda yang diikutsertakan. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan
tetap dengan apa yang ditandai. Manusia dapat menciptakan tanda-tanda yang
akhirnya disebut dengan lambing. Lambang-lambang yang menceritakan pengalaman
merupakan ilustrasi mengenai proses belajar yang luas dan biasanya kita sebut
kebudayaan.
Kebudayaan adalah sebuah
rencana. rencana membutuhkan strategi. Stratgei ini harus mencari keseimbngan
yang didasarkan pada keseimbangan manusia. Keseimbangan manusia adalah
transendensi dan imanensi. Jika imanensi mengungkung manusia dalam suatu sekup
yang bernama "kedaulatan manusia", maka transendensi bisa memberi
manusi menerobos blok-blok pengetahuan yang telah terimanenkan. Karena
identitas kebudayaan butuh juga keberanian. Kberanian ini didasarkan pada
pertanyaan-pertanyaan etis. Maka akan terwujudlah kebudayaan yang
seimbang.
Buku yang cukup lugas untuk memahami kebudayaan. Pada awalnya aku cuma mengira bahwa kebudayaan yang dibahas oleh Peursen terbatas pada skema bagan kebudayaan yakni mitis, ontologis dan fungsional. Tapi ternyata skema itu hanya digunakan Peursen untuk menjelaskan kronologi kebudayaan dalam lingkup yang sangat luas dan beragam. Terlepas dari itu, skema itu amat membantu untuk memahami perkembngan kebudayaan sebagai suatu proses belajar, sebagai sebuah rencana, sebagai sebuah usaha mencari titik keseimbangan antara transendenis dan imanensi.
Buku yang cukup lugas untuk memahami kebudayaan. Pada awalnya aku cuma mengira bahwa kebudayaan yang dibahas oleh Peursen terbatas pada skema bagan kebudayaan yakni mitis, ontologis dan fungsional. Tapi ternyata skema itu hanya digunakan Peursen untuk menjelaskan kronologi kebudayaan dalam lingkup yang sangat luas dan beragam. Terlepas dari itu, skema itu amat membantu untuk memahami perkembngan kebudayaan sebagai suatu proses belajar, sebagai sebuah rencana, sebagai sebuah usaha mencari titik keseimbangan antara transendenis dan imanensi.
Yang menarik dari buku
ini, adalah kebudayaan ditafsirkan dalam frame keseimbangan yang imanen dan
transende Peursen. Karena kebudayaan jika hanya bersifat imanen akan kehilangan
sifat vitalnya untuk maju, jika terjebak pada transendensi akan kehilangan
nilai kegunaannya sebagai manusia.
Disisi lain amat terlihat pengaruh "teologi" dan sastra dalam karyanya ini. Lukian-lukisan dan penafsiran-penafsiran yang disandarkan pada "yang transenden" seringditemukan dalam berbagai tafsirannya tentang kebudayaan. Terlepas dari itu, buku tua yang kaya untuk memahami kebudayaa
Disisi lain amat terlihat pengaruh "teologi" dan sastra dalam karyanya ini. Lukian-lukisan dan penafsiran-penafsiran yang disandarkan pada "yang transenden" seringditemukan dalam berbagai tafsirannya tentang kebudayaan. Terlepas dari itu, buku tua yang kaya untuk memahami kebudayaa
Secara gamblang menjelaskan tentang fungsi kebudayaan secara
horizontal atau fertikal dan mudah untuk dipahami dengan beberapa
contoh-contohnya. Salut untuk penerjemahnyaBuku karya Prof. Dr. Van Puersen berjudul
Strategi Kebudayaan terbitan Kanisius
Yogyakarta ini tidak
untuk menyajikan suatu pelukisan ataupun keterangan gamblang mengenai
pergeseran-pergeseran dahsyat yang terjadi dalam bidang kebudayaan. Buku ini
bermaksud membeberkan suatu skema gambar sederhana mengenai perkembangan
kebudayaan yang dapat dipakai dalam situasi-situasi yang selalu berubah dan
dialami oleh manusia.
strategi pada buku ini bisa langsung diterapkan
di dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya bila kita bermain catur, maka
kadang–kadang kita juga mengorbankan satu buah catur, tetapi dengan maksud agar
pada jangka panjang strategi kita akan menang.dalam kehidupan sehari-hari
kadang-kadang kita maju selangkah lagi sehingga kita sanggup mengorbankan
sesuatu , agar bagi orang lain sebuah jalan buntu dapat diterobos.
Pada bagian prakata, van
Peursen—sebagai ahli filsafat—menuliskan buku ini sebagai media pemahaman bagi
masyarakat atau pembacanya, khususnya di Indonesia, yang saat itu sedang
dihadapkan pada permasalahan kebudayaan seperti perubahan-perubahan nilai
sosial-budaya-politik, atas imbas dari pengaruh kebudayaan luar negeri dalam
berbagai bentuk seperti gaya hidup, fashion, pola konsumsi, dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut dijadikan van Peursen sebagai
titik tolak untuk meninjau kebudayaan yang seyogyanya dipergunakan “sebagai
siasat manusia menghadapi hari depan” (hlm. 5) dan merupakan proses
pembelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat yang sifatnya kontinyu.
Buku ini menjadi medium, dimana
sang penulis hendak memaparkan sekaligus merumuskan perubahan unsur-unsur
budaya dalam kehidupan—yang disesuaikan melalui pendekatan (dimensi) tertentu
dengan mengangkat berbagai masalah kebudayaan sebagai objek dan bukti yang riil
dalam memperjelas pendekatannya.
Buku ini menjabarkan tiga garis
besar tahap pandangan perkembangan kebudayaan: mitologis, ontologis, dan
fungsionalis. Ketiga tahap inilah yang kemudian dianggap sebagai strategi
kebudayaan. Tidak ada tahap yang bisa dikatakan lebih unggul atau lebih maju
dibandingkan dengan tahap yang lain, karena masing-masing memiliki kekhasan
peran. Tentu ketiganya dijelaskan dengan fungsi dan pengaplikasiannya
sendiri-sendiri. Dikatakan demikian karena setiap orang punya kecenderungan
yang tersegmentasi dalam mengilustrasikan kebudayaan. Hal ini yang kemudian
oleh van Peursen, dianalogikan seperti menafsirkan sebuah lukisan, yangoutput-nya
multitafsir.
Sepanjang isi buku ini,
kebudayaan memang dikemukakan sebagai kesatuan komponen antara makhluk hidup
(manusia dan hewan) dengan alam—tetapi bukan alam seperti pada umumnya. Alam
dianggap sebagai sesuatu yang memiliki entitas atau berwujud (kasat mata) dan
alam abstrak (tidak kasat mata), yang bisa dimisalkan seperti alam ide-ide yang
digagas oleh Plato.
Keunikan lagi yang ditemukan dalam
tulisan-tulisan van Peursen adalah pembagian objek dan subjek kebudayaan. Alam,
lingkungan, dan daya-daya keduniawian dilabeli sebagai objek. Sedangkan
organisme, yakni manusia dan hewan dilabeli sebagai subjek. Lalu bagaimana
proses hingga hasil perilaku, tindakan-tindakan subjek kepada objek ini
dimunculkan? Van Peursen kembali lagi pada tiga tahap perkembangan kebudayaan
yang sudah diungkapkan.
Tahap Mitologis: Pandangan atas Alam Kebudayaan
Primitif
Kendati hidup di zaman modern,
van Peursen menyatakan bahwa istilah “primitif” sudah tidak relevan karena
menurutnya segala penggambaran tentang simbol dan adat istiadat berisikan
filosofi yang dalam. Primitif bukanlah sebuah masa dimana manusia selalu
bersikap konservatif atas hal-hal yang tampak baru atau asing.
Deskripsi kebudayaan primitif
yang diberikan dalam tahap ini dinyatakan bahwa manusia berhubungan langsung
dengan alam dan mampu menanggapi daya-daya yang muncul. Dalam pola-pola yang
beragam, daya-daya atau kekuatan oleh alam tersebut diekspresikan manusia
berupa hasil-hasil kesenian. Tarian-tarian, simbol, doa, dan upacara adat
adalah media penyampaian dan pemaknaan.
Runtutan kemunculan tahap
mitologis diturunkan oleh para nenek moyang manusia. Bukan dengan teori-teori,
melainkan cerita secara turun-temurun—intra-generasi dan antar-generasi—yang
disebut sebaga mitos. Mitos, dalam konteks pembahasan van Peurseun adalah
“cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang” (hlm. 37) dalam berperilaku. Mitos dapat dituturkan
secara lisan maupun tertulis. Satu dari sekian banyak media penyalur mitos yang
hingga saat kini kita temui, ialah wayang. Plot dan alur cerita wayang umumnya
berisikan pengalaman manusia; pemunculan lambang-lambang kebaikan dan kejahatan
pada sosok manusia; hingga segala hal keduniawian bahkan keilahian yang berada
di luar kemampuan individu (transcendent). Terminologi transcendent ini,
jika dihubungkan dalam filsafat modern, berarti terkait dengan segala sesuatu
yang berada di luar atau mengatasi kemampuan koderat manusia.. Pada bagian prakata, van Peursen—sebagai ahli
filsafat—menuliskan buku ini sebagai media pemahaman bagi masyarakat atau
pembacanya, khususnya di Indonesia, yang saat itu sedang dihadapkan pada
permasalahan kebudayaan seperti perubahan-perubahan nilai
sosial-budaya-politik, atas imbas dari pengaruh kebudayaan luar negeri dalam
berbagai bentuk seperti gaya hidup, fashion, pola konsumsi, dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut dijadikan van Peursen sebagai titik
tolak untuk meninjau kebudayaan yang seyogyanya dipergunakan “sebagai siasat
manusia menghadapi hari depan” (hlm. 5) dan merupakan proses pembelajaran bagi
seluruh lapisan masyarakat yang sifatnya kontinyu.
Buku ini menjadi medium, dimana
sang penulis hendak memaparkan sekaligus merumuskan perubahan unsur-unsur
budaya dalam kehidupan—yang disesuaikan melalui pendekatan (dimensi) tertentu
dengan mengangkat berbagai masalah kebudayaan sebagai objek dan bukti yang riil
dalam memperjelas pendekatannya.
Buku ini menjabarkan tiga garis
besar tahap pandangan perkembangan kebudayaan: mitologis, ontologis, dan
fungsionalis. Ketiga tahap inilah yang kemudian dianggap sebagai strategi
kebudayaan. Tidak ada tahap yang bisa dikatakan lebih unggul atau lebih maju
dibandingkan dengan tahap yang lain, karena masing-masing memiliki kekhasan
peran. Tentu ketiganya dijelaskan dengan fungsi dan pengaplikasiannya
sendiri-sendiri. Dikatakan demikian karena setiap orang punya kecenderungan
yang tersegmentasi dalam mengilustrasikan kebudayaan. Hal ini yang kemudian
oleh van Peursen, dianalogikan seperti menafsirkan sebuah lukisan, yangoutput-nya
multitafsir.
Sepanjang isi buku ini,
kebudayaan memang dikemukakan sebagai kesatuan komponen antara makhluk hidup
(manusia dan hewan) dengan alam—tetapi bukan alam seperti pada umumnya. Alam
dianggap sebagai sesuatu yang memiliki entitas atau berwujud (kasat mata) dan
alam abstrak (tidak kasat mata), yang bisa dimisalkan seperti alam ide-ide yang
digagas oleh Plato.
Keunikan lagi yang ditemukan
dalam tulisan-tulisan van Peursen adalah pembagian objek dan subjek kebudayaan.
Alam, lingkungan, dan daya-daya keduniawian dilabeli sebagai objek. Sedangkan
organisme, yakni manusia dan hewan dilabeli sebagai subjek. Lalu bagaimana
proses hingga hasil perilaku, tindakan-tindakan subjek kepada objek ini
dimunculkan? Van Peursen kembali lagi pada tiga tahap perkembangan kebudayaan
yang sudah diungkapkan.
Tahap Mitologis: Pandangan atas Alam Kebudayaan
Primitif
Kendati hidup di zaman modern,
van Peursen menyatakan bahwa istilah “primitif” sudah tidak relevan karena
menurutnya segala penggambaran tentang simbol dan adat istiadat berisikan
filosofi yang dalam. Primitif bukanlah sebuah masa dimana manusia selalu
bersikap konservatif atas hal-hal yang tampak baru atau asing.
Deskripsi kebudayaan primitif
yang diberikan dalam tahap ini dinyatakan bahwa manusia berhubungan langsung
dengan alam dan mampu menanggapi daya-daya yang muncul. Dalam pola-pola yang
beragam, daya-daya atau kekuatan oleh alam tersebut diekspresikan manusia
berupa hasil-hasil kesenian. Tarian-tarian, simbol, doa, dan upacara adat
adalah media penyampaian dan pemaknaan.
Runtutan kemunculan tahap
mitologis diturunkan oleh para nenek moyang manusia. Bukan dengan teori-teori,
melainkan cerita secara turun-temurun—intra-generasi dan antar-generasi—yang
disebut sebaga mitos. Mitos, dalam konteks pembahasan van Peurseun adalah
“cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang” (hlm. 37) dalam berperilaku. Mitos dapat dituturkan
secara lisan maupun tertulis. Satu dari sekian banyak media penyalur mitos yang
hingga saat kini kita temui, ialah wayang. Plot dan alur cerita wayang umumnya
berisikan pengalaman manusia; pemunculan lambang-lambang kebaikan dan kejahatan
pada sosok manusia; hingga segala hal keduniawian bahkan keilahian yang berada
di luar kemampuan individu (transcendent). Terminologi transcendent ini,
jika dihubungkan dalam filsafat modern, berarti terkait dengan segala sesuatu
yang berada di luar atau mengatasi kemampuan koderat manusia.
Di samping itu, mitos pun
ditautkan dengan sebuah fungsi untuk menumbuhkan segala perasaan-perasaan dalam
diri (immanent), seperti kepercayaan, jaminan rasa aman, dan kelancaran
akan kehidupan oleh manusia dalam berpartisipasi sekaligus mengelola
pekerjaan-pekerjaan. Kemudian setelah mitos diturunkan, muncul
tindakan-tindakan manusia untuk mendekatkan dirinya terhadap kekuatan-kekuatan
di luar dirinya yang disebut magi. Jika manusia menguasaimagi,
ia akan berpotensi merendahkan segala hasil-hasil kebudayaan (simbol, tarian,
kepercayaan pada dewa).
Skema dalam tahap mitologis
kira-kira digambarkan dengan adanya manusia (subjek) yang dikelilingi oleh
dunia atau alam sekitarnya (objek). Manusia di sini,digambarkan dengan lingkaran yang tidak utuh atau terputus-putus,
sehingga daya-daya dari dunia atau alam dapat merasukinya. Manusia bekerja
secara pasif. Sebaliknya, alam bekerja
secara aktif.
Tahap Ontologis: Aktualisasi Diri Manusia terhadap Alam
Apabila manusia dalam tahap mitis
dikelilingi oleh kekuatan ilahi dan menimbulkan perasaan-perasaan terkurung
atau inferior, maka ontologis sebaliknya. Ontologis menyikapinya dengan
mengartikan manusia bekerja lebih aktif terhadap daya-daya kekuatan alam. Van
Peursen menitikberatkan tahap ontologis sebagai masa di mana manusia mulai mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan
atas daya-daya kekuatan yang muncul begitu saja. Alih-alih manusia bersikap
tunduk terhadap kekuatan, mereka bahkan mulai mengambil jarak lantas memisahkan
diri dari hal keduniawian. Dalam tahap ini, yang tidak boleh dikesampingkan
adalah manusia mulai mengandalkan pikiran logis yang mana semua serba
dibuktikan secara rasional. Cara pemikiran yang logis ini juga berbeda pada
tiap-tiap masyarakat. Dalam buku ini dicontohkan melalui masyarakat barat
dengan cara berpikirnya berciri khas tentang hal-hal konkret, komersil, dan
riil yang memunculkan ilmu pengetahuan dan teknik-teknik. Berbanding terbalik
pada masyarakat timur, yang dianggap oleh masyarakat barat berpikiran
mengambang.
Lebih lanjut, pemikiran ontologis
menelurkan suatu faham baru, yang disebut substansialisme. Paham substansialis
ini menempatkan nilai-nilai dan orang-orang pada tempatnya masing-masing. Pada
akhirnya, paham ini menganggap manusia dan hakekat nilai norma ke-Tuhan–an memiliki identitasnya sendiri.
Tahap Fungsionalis:
Jukstaposisi Manusia dan Alam Kebudayaan
Peralihan tahap perkembangan
kebudayaan dari mitologis dan ontologis ke arah tahap fungsionil membuka cara
pandang baru. Sebelumnya dijelaskan bahwa manusia dan daya kekuatan alam hanya
memiliki hubungan satu arah saja. Bagi van Peursen, “kata fungsi selalu menunjukkan pengaruh terhadap sesuatu yang lain”
(hlm. 85). Pernyataantersebut yang kemudian
menunjukkantahapan fungsionil sebagai
strategi bagaimana manusia berkeinginan mempertunjukkan bahkan membuktikan
daya-daya kekuatan alam sembari menjadikan segala kekuatan tersebut dapat
dialami (experienced), sejauh itu
ada ataupun tiada. Atau dengan kata
lain, manusia telah menyejajarkan dirinya dengan alam, dan keduanya diketahui
sama-sama memiliki posisi tawar dalam tahap ini. Tahap ini merupakan tahap
dimana sikap keterbukaan antar manusia dan alam seolah-olah terwujud.
Fenomenanya saat ini bisa kita lihat dengan adanya iktikad baik manusia dalam
memahami gejala alam melalui pengembangan ilmu-ilmu lingkungan, dan lain
sebagainya.
Kita ketahui sebelumnya ontologis
memiliki pahamnya sendiri. Tahap fungsionil memiliki pula dengan nama
eksistensialis. Sejauh yang ditulis dalam buku ini, eksistensialis menolak atas
apa yang dinyatakan oleh substansialis—yang terkesan otoriter, membatasi setiap unsur-unsur kebudayaan (nilai-nilai adanya Tuhan,
norma, kaidah-kaidah), dan seolah-olah unsur-unsur tersebut mempunyai
eksistensi dan esensinya sendiri, tidak peduli apakah dapat dikaitkan atau
berarti sesuatu bagi kita.Karena pada
dasarnya fungsionil
selalu mencari relasi antar-komponen yang terlibat dalam kebudayaan, maka van
Peursen menjelaskannya sebagai berikut:
“Sikap fungsionil memberi dasar
kepada masa kini, di mana kekuatan mitis pada peristiwa masa lampau mampu
memberikan jaminan keberlangsungan perbuatan masa kini. Aspek lainnya
menjelaskan peranan ilmu pengetahuan, artinya ilmu pengetahuan berfungsi
memahami pergeseran teori-teori ke arah praktek—atau sebagai contoh gerakan
kearah transendensi sekaligus membuka hal-hal imanensi.“
Paham lain yang muncul sebagai
imbas transisi tahap ontologis ke fungsionil yaitu operasionalisme—yang diperuntukkan
menyingkap segi negatiftahap fungsionil.
Operasionalisme diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk dipakai dan
diikutsertakan dalam proses produksi dengan tata cara dan aturan yang berlaku.
Pergeseran-pergeseran tahap kebudayaan pada masyarakat menimbulkan hal-hal
multitafsir. Masyarakat Yunani yang kala itu masih kental terhadap paham
mitologis-nya sehingga mendirikan panting-patung dewa sebagai simbol kekuasaan,
keagungan, dan keilahian dapat menjadi rujukan. Seiring berkembangnya zaman,
patung dewa mulai tergantikan. Seperti di Italia
misalnya, yang dahulu dominan memiliki
patung raja-raja. Maka dapat diketahui, dari kedua contoh ini terjadi
pergeseran tahap mitologis dan ontologis.
Di samping itu, mitos pun
ditautkan dengan sebuah fungsi untuk menumbuhkan segala perasaan-perasaan dalam
diri (immanent), seperti kepercayaan, jaminan rasa aman, dan kelancaran
akan kehidupan oleh manusia dalam berpartisipasi sekaligus mengelola
pekerjaan-pekerjaan. Kemudian setelah mitos diturunkan, muncul
tindakan-tindakan manusia untuk mendekatkan dirinya terhadap kekuatan-kekuatan
di luar dirinya yang disebut magi. Jika manusia menguasaimagi,
ia akan berpotensi merendahkan segala hasil-hasil kebudayaan (simbol, tarian,
kepercayaan pada dewa).
Skema dalam tahap mitologis
kira-kira digambarkan dengan adanya manusia (subjek) yang dikelilingi oleh dunia
atau alam sekitarnya (objek). Manusia di sini,digambarkan dengan lingkaran yang tidak utuh atau terputus-putus,
sehingga daya-daya dari dunia atau alam dapat merasukinya. Manusia bekerja
secara pasif. Sebaliknya, alam bekerja
secara aktif.
Tahap Ontologis: Aktualisasi Diri Manusia terhadap Alam
Apabila manusia dalam tahap mitis
dikelilingi oleh kekuatan ilahi dan menimbulkan perasaan-perasaan terkurung
atau inferior, maka ontologis sebaliknya. Ontologis menyikapinya dengan
mengartikan manusia bekerja lebih aktif terhadap daya-daya kekuatan alam. Van
Peursen menitikberatkan tahap ontologis sebagai masa di mana manusia mulai mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan
atas daya-daya kekuatan yang muncul begitu saja. Alih-alih manusia bersikap
tunduk terhadap kekuatan, mereka bahkan mulai mengambil jarak lantas memisahkan
diri dari hal keduniawian. Dalam tahap ini, yang tidak boleh dikesampingkan
adalah manusia mulai mengandalkan pikiran logis yang mana semua serba
dibuktikan secara rasional. Cara pemikiran yang logis ini juga berbeda pada
tiap-tiap masyarakat. Dalam buku ini dicontohkan melalui masyarakat barat
dengan cara berpikirnya berciri khas tentang hal-hal konkret, komersil, dan
riil yang memunculkan ilmu pengetahuan dan teknik-teknik. Berbanding terbalik
pada masyarakat timur, yang dianggap oleh masyarakat barat berpikiran
mengambang.
Lebih lanjut, pemikiran ontologis
menelurkan suatu faham baru, yang disebut substansialisme. Paham substansialis
ini menempatkan nilai-nilai dan orang-orang pada tempatnya masing-masing. Pada
akhirnya, paham ini menganggap manusia dan hakekat nilai norma ke-Tuhan–an memiliki identitasnya sendiri.
Tahap Fungsionalis:
Jukstaposisi Manusia dan Alam Kebudayaan
Peralihan tahap perkembangan
kebudayaan dari mitologis dan ontologis ke arah tahap fungsionil membuka cara
pandang baru. Sebelumnya dijelaskan bahwa manusia dan daya kekuatan alam hanya
memiliki hubungan satu arah saja. Bagi van Peursen, “kata fungsi selalu menunjukkan pengaruh terhadap sesuatu yang lain”
(hlm. 85). Pernyataantersebut yang kemudian
menunjukkantahapan fungsionil sebagai
strategi bagaimana manusia berkeinginan mempertunjukkan bahkan membuktikan
daya-daya kekuatan alam sembari menjadikan segala kekuatan tersebut dapat
dialami (experienced), sejauh itu
ada ataupun tiada. Atau dengan kata
lain, manusia telah menyejajarkan dirinya dengan alam, dan keduanya diketahui
sama-sama memiliki posisi tawar dalam tahap ini. Tahap ini merupakan tahap
dimana sikap keterbukaan antar manusia dan alam seolah-olah terwujud. Fenomenanya
saat ini bisa kita lihat dengan adanya iktikad baik manusia dalam memahami
gejala alam melalui pengembangan ilmu-ilmu lingkungan, dan lain sebagainya.
Kita ketahui sebelumnya ontologis
memiliki pahamnya sendiri. Tahap fungsionil memiliki pula dengan nama
eksistensialis. Sejauh yang ditulis dalam buku ini, eksistensialis menolak atas
apa yang dinyatakan oleh substansialis—yang terkesan otoriter, membatasi setiap unsur-unsur kebudayaan (nilai-nilai adanya Tuhan,
norma, kaidah-kaidah), dan seolah-olah unsur-unsur tersebut mempunyai
eksistensi dan esensinya sendiri, tidak peduli apakah dapat dikaitkan atau
berarti sesuatu bagi kita.Karena pada
dasarnya fungsionil
selalu mencari relasi antar-komponen yang terlibat dalam kebudayaan, maka van
Peursen menjelaskannya sebagai berikut:
“Sikap fungsionil memberi dasar
kepada masa kini, di mana kekuatan mitis pada peristiwa masa lampau mampu
memberikan jaminan keberlangsungan perbuatan masa kini. Aspek lainnya
menjelaskan peranan ilmu pengetahuan, artinya ilmu pengetahuan berfungsi
memahami pergeseran teori-teori ke arah praktek—atau sebagai contoh gerakan
kearah transendensi sekaligus membuka hal-hal imanensi.“
Paham lain yang muncul sebagai
imbas transisi tahap ontologis ke fungsionil yaitu operasionalisme—yang diperuntukkan
menyingkap segi negatiftahap fungsionil.
Operasionalisme diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk dipakai dan
diikutsertakan dalam proses produksi dengan tata cara dan aturan yang berlaku.
Pergeseran-pergeseran tahap kebudayaan pada masyarakat menimbulkan hal-hal
multitafsir. Masyarakat Yunani yang kala itu masih kental terhadap paham
mitologis-nya sehingga mendirikan panting-patung dewa sebagai simbol kekuasaan,
keagungan, dan keilahian dapat menjadi rujukan. Seiring berkembangnya zaman, patung
dewa mulai tergantikan. Seperti di Italia
misalnya, yang dahulu dominan memiliki
patung raja-raja. Maka dapat diketahui, dari kedua contoh ini terjadi
pergeseran tahap mitologis dan ontologis.
No comments:
Post a Comment