Thursday, 21 April 2016

AJARAN KEKRISTENAN TENTANG KESELAMATAN DAN KEMAJEMUKAN AGAMA

AJARAN KEKRISTENAN TENTANG KESELAMATAN
DAN KEMAJEMUKAN AGAMA

PENDAHULUAN
Pada akhir-akhir ini di Negara kita Indonesia, tindakan kekerasan atas nama agama semakin marak terjadi. Peristiwa di Tolikara Papua, pembakaran dan pembongkaran Gereja di Aceh Singkil dan Jambi serta aksi di Bitung Sulawesi Utara tindakan protes demonstran menolak pendirian rumah ibadah dan juga masih banyak lagi kasus-kasus interfaith yang belum tuntas dibicarakan dalam tataran dunia global itu sendiri. Terkhusus Negara kita Indonesia yang sejak dahulu dikenal Negara yang menjunjung tinggi nilai keberagamanan, tentunya ini menjadi menjadi peristiwa memilukan bagi negara kita akan situasi dalam memahami multi kultural keberagaman sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa atas kehidupan kepada kita. Pada pembahasan ini, Penulis akan memaparkan bagaimana ajaran kekristenan tentang memahami keselamatan dan kemajemukan dalam agama itu sendiri.

Pemahaman Agama[1]
Krisis ini sangat dasyat karena mengganggu ketentraman hidup seluruh manusia yang didalamnya kekerasan seperti terorisme. Agama sering dipakai untuk menjadi skenario kekerasan. Misalnya, karena orang al-Qaedah adalah orang Islam, maka mereka dikaitkan dengan terorisme. Hal ini tentunya mengganggu peradapan manusia masa kini.
Pertanyaan kritis yang bisa tanyakan adalah Siapakah yang pantas disalahkan: agama  atau manusia yang beragama? Pertanyaan ini sah saja karena sulit membedakan antara agama semata-mata dan orang yang memeluknya?. Mengutip teolog Karl Bart tentang agama adalah hasil pemikiran, dengan dengan demikian buatan manusia. Dengan agamanya, manusia mendekatkan diri pada Allah, dan hendaknya jugalah menyenangkan Allah sedikit banyak terpaksa menyenangkan manusia yang religious yang begitu sibuk itu. Yang penulis pahami adalah bilamana agama ikut bertanggungjawab atas kekacauan sekarang ini, maka manusia bertanggungjawab juga, bukan Allah.
Karl Barth dalam pandangannya tentang Agama juga menekankan Agama adalah buatan manusia.  Allah ingin berkomunikasi dengan manusia, karena itu sebenarnya tema suatu agama adalah percakapan antara Allah dan manusia. Allah bukan Allah yang monologis, melainkan yang dialogis, yang mau bercakap dengan makhluknya secara bermakna. Agama yang sebenarnya adalah proses komuniksi yang hidup antara manusia. Agama itu ibarat rekaman dari sisi manusia, semacam protokol yang dipertanggungjawabkan oleh manusia, bukan Allah.

Alkitab Sebagai Cermin Keselamatan[2]
Alkitab memperlihatkan kepada kita umat manusia, bahwa baik Kristen maupun orang dari kepercayaan lain adalah manusia juga. Maka wawasan Alkitab untuk manusia, baik perseorangan maupun keluarga atau masyarakat, adalah juga wawasan untuk kita dan untuk dunia masa kini.
Sebagai contoh, kita telah melihat bagaimana orang dari masa Alkitab cenderung menghubungkan para allah mereka dengan raja, tempat dan orang; bagaimana Perjanjian Lama dan Baru secara radikal menantang ide ini. Terkadang orang Kristen di Barat berpikir bahwa Islam aneh sebab mengkaitkan politik dan agama, atau bahwa kepercayaan Sikh aneh sebab hampir seluruh penganutnya orang Punjab[3]. Studi kita memperlihatkan bahwa justru Kekristenan yang aneh, sebab ia menantang kaitan politis dan merangkul semua orang. Ini harus membuat kita bertanya bagaimana kita memperhitungkan hubungan kepercayaan orang kuasa dalam misi kita, dan relasi-relasi sosial serta politis kita.
Sukar mencocokkan keseluruhan kepercayaan ke dalam satu kategori tertentu. Kenyataannya ialah kepercayaan mana pun diterima dan dipraktikan dalam cara-cara berbeda oleh orang yang berbeda. Sama seperti agama Kanaan berubah bersama waktu, agama masa kini pun terus berubah. Menurut Penulis mustahil menemukan satu tempat dalam Alkitab  yang memperhatikan kepercayaan tertentu mana pun secara keseluruhan, apalagi yang memperlihatkan bagaimana harus memperlakukan semua orang bukan Kristen. Juga tidak mungkin mengganggap satu kelompok tertentu dari masa Alkitab melalui kelompok mana pun masa kini.
Contoh melihat muslim dan islam dalam Alkitab. Sebagian akan melihat ke Syariah, hukum Islam, dan berkata bahwa Islam legalistik, karena itu kita dapat melihat Muslim dalam catatan Injil-injil tentang orang Farisi. Yang lain akan melihat pada kelompok-kelompok Muslim militant, dan berkata bahwa Islam bersifat politis, sehingga kita dapat melihat Islam dalam kisah penakklukan Israel oleh Asyur dan Babel. Namun ini bukan keseluruhan kisah. Ada Muslim yang dengan tulus mencari Allah mereka sembahyang,  berpuasa, memberi sedekah kepada yang miskin, dan siap menanti Allah kapan saja. Kita dapat melihat mereka dalam diri Kornelius, yang doanya didengar Allah dan yang kepadanya Petrus diutus. Yang menarik adalah rintangan bukan datang dari Kornelius tetapi dari Petrus. Pengertian Petrus tentang kekudusan menyebabkan ia tidak bersedia mengunjungi rumah Kornelius; dan ia sangat kaget bahwa Allah bersedia memberikan Roh Kudus kepada orang bukan Yahudi. Disi mudah kita lihat kesejajaran: ada banyak tempat di mana orang Kristen enggan mengunjungi orang Muslim, dan ada banyak orang Kristen meragukan bahwa Muslim dapat beriman kepada Yesus Kristus.
Barangkali hal terdekat dengan Islam dalam Alkitab ialah agama Yahudi di zaman Yesus. Hal ini tidak mengherankan, sebab Islam tumbuh dari akar-akar Yahudi dan Kristen. Kita dapat melihat beberapa hal berikut dalam Islam:
1.      Kaitan erat antara hukum agamawi dan kebudayaan
2.      Monoteisme kaku yang menyebabkan inkarnasi semacam hujatan
3.      Ide-ide kuat tentang apa yang dibolehkan dan tidak dibolehkan
4.      Kaitan antara agama, manusia dan politik. Islam, seperti halnya Yudaisme pada abad pertama, dikaitkan dengan komunitas,
5.      Keragaman, seperti Yahudaisme abad pertama, sikap Islam terhadap komunitas-mounitas dari kebudayaan dan kepercayaan lain beragam adanya.

Untuk banyak orang Kristen di seluruh dunia, pertanyaan paling mendesak tentang orang dari kepercayaan lain ialah apakah kita dapat hidup dalam damai. Perjanjian Baru memberi tahu kita bahwa politik tidak boleh didahulukan–Yesus memburaikan kaitan antara raja, orang, dan allah, dan kerajaanNya bukan dari dunia ini. Namun kita ada di dalam dunia ini, dan kita hidup dalam komunitas manusia.
Alkitab menyatakan dan memerlihatkan sosiopolitis pada banyak situasi, dan disitu kita menemukan sesuatu dari situasi kita.
-          Ada masa ketika umat Allah berada di bawah tekanan. Mereka tertindas itu ialah minoritas di Mesir di Keluaran 1-15, dan di Persia dan Kitab Ester.
-          Ada masa ketika umat Allah aman, bahkan berkuasa. Yosua dan Hakim-hakim memperlihatkan sekelompok suku yang mendapatkan tanah dan jati diri.
Alkitab menawarkan wawasan tentang bagaimana kita dapat bereaksi dalam situasi yang berbeda, dan tentang apa yang Allah yang inginkan dari kita dan bagimana Ia akan bertindak bagi kita.
Dalam 1 Petrus 2:9 kita melihat para pengikut Kristus harus menjadi bangsa yang kudus dan imamat yang rajani; mereka harus hidup sedemikian rupa agar orang kafir melihat kehidupan mereka yang baik dan memuliakan Allah (Bab 12). Perjanjian Baru menjelaskan bahwa orang Kristen harus berbagi kabar baik tentang Yesus Kristus dengan setiap orang yang telah Allah ciptakan, dan itu termasuk orang dari semua kepercayaan dan yang tidak beragama.
Seperti Petrus dipanggil untuk mewartakan Injil kepada orang Yahudi, maka sebagian kita dipanggil untuk mewartakan Injil kepada orang yang telah mengetahui sebagian dari kisah Alkitab.
Di Yerusalem Petrus menyampaikan khotbah yang sangat efektif sesudah satu peristiwa penyembuhan (Kis.3). Dengan hati-hati ia mengingatkan para pendengarnya tentang apa yang mereka sudah ketahui, lalu memimpin mereka ke sang Mesias yang telah lama dinanti-nanti.
Masa kini kita sering berbicara kepada orang yang telah tahu sesuatu tentang kisah Alkitab. Apakah yang telah diketahui oleh para pendengar Petrus tentang Allah dan tentang Yesus? Pikiran tentang terakhir kali Anda berbagi Injil dengan seseorang. Apa yang mereka telah tahu menurut pengandaian Anda?
Kitab Injil memperlihatkan kita bagaimana Yesus berurusan dengan segala jenis orang, dari perseorangan dengan berbagai kebutuhan sampai para pemimpin yang bermusuhan. Maka catatan ini memberi kita sumber yang kaya bagi misi dalam tempat-tempat di mana kita melihat aspek-aspek agama yang sama. Keseluruhan metode Allah mengusulkan sebuah strategi untuk misi: pertama, menemukan seorang kunci dan menumbuhan ia dalam imannya kepada Kristus; kemudian, membangun keluarga-keluarga yang menghidupi kehidupan Kristen, lalu menumbuhkan komunitas-komunitas yang dapat memperlihatkan kepada orang lain seperti apa Allah sesungguhnya. Sebagimana contoh Abraham mengusulkan sebuah pola untuk memanggil orang dari kepercayaan lain untuk mengikuti Kristus. Dalam sejarah Israel enggan untuk membagi berkat bagi bangsa-bangsa lain , seperti halnya Petrus dan Yunus cepat belajar, dan bergembira melihat kemurahan hati Allah yang universal. Sebagai contoh tentang kehidupan Hindu di Inggris, haruskah orang Hindu diizinkan membangun kuil di Inggris? Sebagian mengatakan, Ya, Alkitab berkata kita harus mengasihi  orang pendatang dan memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Mereka adalah penduduk Inggris. Mereka harus memiliki kebebasan mempraktekan agama mereka, bahkan meski itu tidak benar. Bukankah kita ingin bebas mendirikan gereja di India?. Lihat kisah Elia dan para nabi baal! Penyembahan Hindu adalah penyembahan berhala, dan kita tidak boleh mendorong penyembahan tidak benar di dalam satu Negara Kristen.
Jika orang Hindu itu adalah warga Inggris yang menginginkan kebebasan untuk mempraktekan kepercayaan mereka, bagian kunci Alkitab boleh jadi adalah perlakuan adil kepada kaum minoritas. Di ekstrim lain, jika orang Hindu memberi dana asing dan mendeklarasikan keunggulan Hindu, prinsip kunci Alkitab adalah menyaksikan Ketuhanan Kristus.

Ajaran Alkitab Tentang Keselamatan[4]
Pembicaraan tentang keselamatan yang universal sesuatu yang amat sensitive bagi orang Kristen di Indonesia dalam percakapan yang berkaitan dengan kemajemukan agama-agama. Setiap kali ada usaha untuk memperluas wawasan umat kristiani kearah apresiasi terhadap agama lain, setiap kali pula ada reaksi yang menyesalkan apresiasi ini sebagai sesuatu yang mengurangi nilai keselamatan yang ada pada Yesus Kristus. Bahkan, apabila dapat diperlihatkan bahwa sepanjang sejarah penghayatan iman yang berlangsung dari zaman Alkitab, sekalipun ada proses apresiasi dan pengambilahlian dari agama lain, hal ini juga dianggap sebagai sesuatu yang merugikan jati diri agama Kristen sendiri. Cara berpikirnya sederhana saja: kalau yang lain itu diapresiasikan berarti ada yang baik pada yang lain itu. Jadi, kalau ada pada yang yang lain, untuk apa kita menjadi kristiani, untuk apa kita menerima keselamatan dari Kristus?
Cara berpikir seperti ini “orang percaya” sangat dipertentangkan dengan manusia-manusia yang lain. Atau dengan kata lain, dipertentangkan dengan manusia-manusia lain. Atau dengan kata lain, dipertentangkan dengan anyk orang. orang percaya adalah orang yang selamat, sedangkan orang banyak adalah yang tidak/belum selamat. Bisa dikatakan bahwa dasar itu diambil dari Yohanes 3:16, “Allah mengasihi dunia ini, oleh karena itu PutraNya yang tunggal dikaruniakanNya kepada dunia, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya mendapatkan keselamatan. Tekanannya ada pada setiap orang percaya. Jadi, percaya dulu, baru selamat.”
Di dalam Perjanjian Baru tidak ada universalisme begitu saja. Oleh karena itu, adalah patut memperhatikan ungkapan setiap orang percaya dalam ayat ini. Bagian pertama dari ayat 16 mulai dengan mengemukakan kasih Allah yang besar kepada dunia ini, sehingga ia rela mengaruniakan anakNya, sedangkan ayat 17 mengemukakan bahwa anakNya diutus bukan untuk menghakimi melainkan untuk menyelamatkan. Memang sulit untuk menekankan bahwa tekanannya adalah mengenai pengasihan Allah kepada dunia. Tetapi minimal yang dapat dikatakan mengenai konteks Yohanes 3:16 adalah bahwa ada tekanan yang seimbang di antara kasih Allah dan keputusan yang harus diambil oleh manusia, bukan tekanan yang menonjolkan orag harus percaya saja.
Akan halnya “orang banyak”, kita melihat didalam Injil-injil, terutama Injil Markus, bahwa Yesus melayani orang-orang banyak (ochlos) tanpa menekankan mengenai pemuridan mereka. Rupanya, Yesus digambarkan melayani dua golongan, para murid dan orang banyak. Para murid tidak dipertentangkan dengan orang banyak. Bahkan, dalam Injil Markus para murid disebut degil.
Ketika Yesus berada saat terakhir dalam menghadapi kesengsaraanNya, tidak ada seorangpun disampingNya. Orang banyak sudah melarikan diri semua, begitu pula para murid! Kalau Yesus sendiri tidak memberi batasan yang sangat jelas mengenai keberadaan murid dan keberadaan orang banyak, perbuatan kita di masa kini yang malah menarik garis batas yang jelas dan mempertentangkan antara keduanya yang merupakan segala sesuatu yang gegabah dan riskan.
Idea mengenai sejarah keselamatan sudah banyak ditanggalkan dalam teologi biblika. Namun, tetap benar dan sah, bahwa pembicaraan mengenai keselamatan umat berhubungan  erat dengan keselamatan dunia. Pada bagian-bagian yang paling tajam menekankan pada umat, seperti kitab Wahyu, pada akhirnya tetap ada perhatian pada dunia, sekalipun dunia itu adalah langit baru dan bumi baru. Kalau kita kembali kepada pembahasan kita diatas, mengenai penciptaan, kita akan menyadari bahwa penciptaan manusia dalam narasi Kejadian pasal 1-11 disusul dengan pemanggilan Abraham dalam Kejadian 12. Pemanggilan Abraham dalam Torah bermuara pada pemanggilan Musa dalam Keluaran pasal 3 dan akhirnya pembebasan umat Israel dari Mesir dan kisah awal mengenai jati diri Israel sebagai umat Allah. Jadi, dari universal garisnya menjadi agak sempit ke garis partikular. Namun sebaliknya, dalam penghayatan umat mengenai keberadaan umat Israel sesudah pembuangan dalam syair-syair Hamba Tuan, kita melihat garis yang berlawanan arah dari garis partikular ke garis universal.
Dari pemahaman ini, sangat jelaslah bahwa keselamatan dalam Alkitab tidak bisa diartikan hanya mutlak bersifat partikularistik. Dalam Alkitab sendiri jelas, bahwa keselamatan juga mengandung makna universalistik. Kalau tidak demikian, mana mungkin Injil menyebar ke lingkungan yang lebih luas daripada kekristenan Yahudi yang membatasi keselamatan dalam  Kristus hanya pada keyahudian saja? Paulus digambarkan menghantam pembatasan ini dalam seranganya terhadap praktik sunat yang mau diterapkan oleh Kristen Yahudi terhadap Non- Yahudi. Tetapi, oleh banyak orang Kristen sekarang ini cara berpikir orang Kristen Yahudi itu mau diambil ali. Jadi, bukannya mengikuti Paulus, melainkan mengikuti lawan-lawan Paulus! Oleh karena jasa Paulus, keselamatan terbuka bagi orang-orang non Yahudi. Namun, oleh banyak orang Kristen sekarang, keselamatan ditutup menjadi hak eksekutif dari kelompok Kristen saja. Kalau dulu orang Kristen Yahudi berkata kepada dunia: engkau harus disunat dulu selamat, sekarang banyak orang kristiani berkata kepada dunia: engkau harus percaya dulu atau dibabtis dulu baru selamat. Praktik baptis dalam kenyataan telah mengganti praktik sunat, padahal maksud Paulus bukan mengganti praktik sunat dengan praktik babtis melainkan menghapus sunat! Itu berarti, babtisan tidak dapat dianggap sejalan dengan sunat, atau dengan kata lain babtisan harus berfungsi lain daripada sunat. Disini tidak ada maksud untuk merelatifkan keselamatan dengan misalnya merumuskan bahwa Kristus menyelamatkan semua orang di semua agama. Namun, dalam kehidupan Kristiani yang sehari-hari berkomunikasi dengan masyarakat yang bersifat majemuk, pemahaman keselamatan yang bersifat non-majemuk tidak mungkin dapat dipertahankan. Kita memiliki dasar Alkitab yang kuat kalau kita berpindah dari pemahaman keselamatan yang eksklusif ke pemahaman keselamatan yang inklusif.
Keselamatan di dalam Kristus menurut iman kristiani pada dewasa ini tidak diartikan semata-mata hanya bersifat spiritual, vertikal dan seberang sana. Semua golongan akan setuju, bahwa keselamatan bersifat menyeluruh, holistik, meliputi rohani maupun jasmani, vertikal maupun horizontal. Keselamatan diwartakan, dan sementara itu mewartakan secara konkret juga melakukan tindakan-tindakan sosial. Tetapi, hubungan langsung antara keselamatan dan tindakan sosial biasanya menjadi masalah bagi umat kristiani.

Penutup
Alkitab menjadi dasar yang harus kita tunjukan bahwasahnya memuaskan bagi usaha kerukunan dan dialog umat beragama. Namun, pada akhirnya dasar teologis dalam memahaminya secara teologis berkaitan dengan shalom yang biasa diartikan damai. Shalom yang dihubungkan dengan situasi dalam damai dalam dunia dan masyarakat namun berasal dari Allah.





[1] Kutipan tulisan Prof. Dr. Olaf Schumann, Agama dan Budaya Global dari Perspektif Teologis, hlm. 9-11.
[2] Ida Glaser , Alkitab dan Kepercayaan lain, Waskita, hlm 228-272
[3] Provinsi Punjab atau Panjab  diucapkan (bantuan·info) (Punjabi/Urdu: پنجاب) di Pakistan adalah wilayah yang paling banyak penduduknya di negara itu dan merupakan tempat asal suku Punjabi dan berbagai kelompok lainnya. Daerah-daerah sekitarnya adalah Sindh di selatan, , Balochistan dan North West Frontier Province di sebelah barat, Azad Kashmir yang dikuasai Pakistan, Jammu dan Kashmir yang dikuasai India dan Islamabad di sebelah utara, serta Punjab India dan Rajasthan di sebelah timur. Bahasa-bahasa utamanya adalah bahasa Punjabi, bahasa Seraiki, dan Urdu. Ibukota provinsinya adalah Lahore. Nama Punjab secara harafiah diterjemahkan dari bahasa Persia menjadi kata Panj (پنج), yang mempunyai akar yang sama dengan kata Pāñca dalam bahasa Sanskerta, yang berarti "lima", dan Āb (آب), yang berakar sama dengan bahasa Sanskerta Āp, yang berarti "air". Karenanya nama Punjab dapat diterjemahkan sebagai "kelima air", atau negeri lima sungai, yang merujuk kepada Sungai Beas, Ravi, Sutlej, Chenab dan Jhelum. Sebagian dari Indus juga terletak di Punjab, tetapi tidak dianggap sebagai bagian dari "kelima" sungai.
[4] TimBalitbang PGI, Merentas Jalan Teologi Agama, hlm.  117-120.