Wednesday, 21 November 2018

TEOLOGI TRAUMA DAN TEOLOGI DISABILITAS


TEOLOGI TRAUMA DAN TEOLOGI DISABILITAS

I.                   PENDAHULUAN
Pembahasan  teologi trauma dan teologi disabilitas merupakan pemahaman baru bagi dunia teologi abad  XXI ini. Teologi yang ditawarkan adalah perjuangan kemanusiaan itu sendiri. trauma yang lebih menekankan psikis atau kejiwaan dan disablitas menekankan masalah fisik.

II.                ISI
2.1  Teologi Trauma[1]
Dalam perjalanan  penelitian terhadap Trauma, banyak para ahli yang pendapat dan berargumen, seperti Judith Herman, yang mengemukakan bahwa terdapat tiga penyebab utama daripada Taruma tersebut dapat muncul mengganggu psikologis seseorang dan biasanya ini terjadi selalu bersamaan dengan munculnya gerakan politik.
-        Pertama, disebut Histeria, yaitu suatu gangguan psikologis yang dialami perempuan yang muncul dari gerakan politik kaum  republic dan anti klerus pada ahkhir abad ke-19.
-        Kedua, Sindrom Neurosis yang dialami oleh veteran perang, terlebih perang yang terjadi di Inggris, Amerika Serikat dan puncaknya sesudah  perang Vietnam.
Ketiga, kekerasan Sessual dan domestik, yang terjadi dan pada saat ini jugalah muncul gerakan feminis di Eropa Barat dan Amerika Utara sebagai bentuk menggugah kesadarn terhadap kekerasan seksual dan domestik yang terjadi.

ü  Pemahaman Trauma
Pembahasan daripata Traumatik ini menitik beratkan pada bagian pertama yaitu Histeria. Charot, seorang pekerja rumah sakit meggambarkan bahwa Histeria merupakan kerusakan saraf, seperti kecacatan motorik, kehilangan daya sensorik , konvulsi, dan amnesia. Dan pada kesimpulan yang dilakukan oleh Janet di Prancis dan Freud bersama rekannya Joseph Breuer di Wina mengatakan penyebab seseorang Histeria iaah karena trauma. Herman, 1992 mengatakan bahwa dampak daripada traumatik itu sendiri ialah menyebabkan sistem daya tahan, keterhubungan serta pemaknaan hidupnya menjadi tidak terkendali.
Dalam permasalahan traumatik ini, banyak dari berbagai disiplin ilmu melakukan penelitian terhadapnya, salah satu dari disiplin ilmu tersebut ialah kaum feminis yang juga hadir serta memberikan penanganan.Hess yang merupakan seorang tokoh feminis memberikan sumbangan penelitian bahwa traumanik tidak hanya terjadi kepada korban-korban yang mengalami peristiwa mengerikan saja melainkan kepada yang melihat ataupun menyaksikan suatu peristiwa yang mengerikan pun dapat terjadi. Seperti para pemberi pertolongan terhadap bencana yang terjadi, pada posisi ini seseorang akan berhadapan langsung dengan situasi dan lingkungan yang mengerikan dan akan selalu terbayang kepadanya bagaimana kengerian kejadian itu terjadi. Inilah sumbangan penelitian yang diberikan, dan kaum feminis juga melihat bahwa penanganan terhadap orang orang yang menyaksikan suatu peristiwa perlu juga dilakukan.
ü  Teologi Trauma
Masuk kepada pembahasan telogi trauma. Kejadian yang mendalam kepada setiap orang yang mengalami traumatis sering membawa dirinya kepada banyak pertanyaan dan peyesalan diri, seperti mempertanyakan kehadiran Tuhan yang dia percayai pada saat peristiwa tersebut terjadi, dan juga perasan-perasaan bersalah, kotor dan serta merasa bahawa kejadian tersebut merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan dalam hidupnya, serta ada juga yang memandang bahwa itu merupakan hukuman yang diberikan Tuhan padanya.
Menurut beberapa para ahli, pandangan seseorang dalam memandang Tuhan terhadap sebuah peristiwa yang menimpa dirinya tidaklah terlepas dari masa kanak-kanak, yaitu jikalau seorang lebih menerima gambaran baik dari orang tua dan keluarganya sekelilingnya maka kebaikan kebijaksanaan Tuhan lebih tinggi dipandangnya didalam kehidupannya. Begitu juga dengan Carrie Doehring yang berpendapat jikalau seorang anak berhadapan dengan kekerasan maka, gambarannya terhadap Tuhan menjadi sangat negative dan bersosok penuh angkara murka serta penghukum. Hess melihat bahwa dampat daripada trauma mengakibatkan seseorang akan lebih cendrung menganmbil tindakan untuk keluar dari kelompok agama-agama yang sebelumnya diikuti. Bahkan ada yang meninggalkannya dan mencari suasana baru dimana kelompok tersebut diharapkan tidak akan memperbincangkan masalah traumatisnya.
Penjabaran dapat disimpulkan bahwa trauma yang dialami akan semakin membawa seseorang semakin jauh kepada Tuhan, dan permasalahan ini haruslah segera diselesaikan dengan mencari solusi dari sudut pandang teologi kekristenan.

Seorang teolog konstrutif yang bernama Serene Jones dalam kajiannya berpendapat bahwa penyembuhan terhadap traum dapat dilakukan dengan healing imagination. Jones berpendapat bahwa dengan bahasa iman orang Kristen bisa menembus jantung imajinasi. Penekanan yang dilakukan Jones dalam menjawab permasalaha ini ialah Jika Anugerah memiliki kekuatan untuk membentuk kembali imajinasi, maka Teologi adalah bahasa yang menjelaskan kekuatan dan membangkitkan kehidupan orang-orang, yaitu dengan cara menceritakan rahmat yang mengisi kisah-kisah imajinasi baru, serta imajinasi yang menyajikan ketenangan serta penyebuhan. Pemikiran lain juga disumbangkan oleh seorang teolog sistematik yang bernamaShelly Rambo. Rambo menyumbangkan pemikiran yang belum di eksporasi yaitu narasi sentral. Rambo menekankan penebusan yang telah dilakukan oleh Yesus melalui kematian dan kebangkitan. Namun peikiran yang disumbangkan ini mengalami tantangan oleh penyintas trauma, pemahaman mengenai kemenangan hidup atas kematian tidak dapat menolong dirinya ketika bayang-bayang kekerasan mendera dirinya sampai pada posisi mengancam hidup dirinya. Kesimpulan yang dapat dari sumbangan pemikiran yang diberikan oleh kedua teolog diatas ialah kemampuan melihat perjuangan  manusia untuk bertahan dan bagaimana harapan untuk pemulihan bisa diberikan.

2.2  Teologi Disabilitas[2]
Menurut Kamus Cambridge Advanced Learner Disabilitas adalah keadaan sakit, luka atau kondisi yang membuat seseorang sulit untuk melakukan sesuatu yang dilakukan orang lain. World Healt Organization (WHO), disabilitas bukan hanya masalah kesehatan, melainkan sebuah fenomena yang kompleks, yang merefleksikan interaksi antara sifat-sifat tubuh seseorang dan sifat-sifat masyarakat tempat tinggalnya.
Yusak . Setiawan istilah  difabel hanya menunjuk pada kenyataan bahwa orang-orang dengan “kecacatan” adalah orang yang dianggap normal. Istilah  difabel  menurutnya adalah menyembunyikan realitas yang palin krusial dan hakiki dari persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Sejarah Pemahaman Disabilitas
-          Disabilitas pada zaman Israel Kuno
Keluaran 4:11 menegaskan bahwa Allahlah yang menciptakan orang-orang yang tidak mampu berbicara dan mendengar. Ayat ini memotivasi Musa untuk berani bicara dihadapan umat Israel dan Firaun.Pada konteks ini Allah memperlihatkan kedaulatanNya atas tubuh manusia,yang merupakan bagian dari seluruh ciptaanNya. Namun sebaliknya Imamat 21:16-23 sering mendiskriminasi kaum disable yang akan menghampiri altar dan hendak mempersembahkan bahkan lebih mementingkan persembahan korban yang benar, layak dan kudus.
-          Disabilitas di Gereja Mula-Mula
Pemahamannya kaum disabled dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga jika mereka disembuhkan Pemahaman Lukas 7:22 Yohanes 9:3 dan Matius 4:24 bahwa  disabled  menjadi orang-orang yang bergantung pada kuasa penyembuhan Allah, orang-orang yang berdosa, dan orang-orangyang dirasuki oleh roh jahat.
-          Disabilitas dalam sejarah kekristenan lama dan abad-abad pertengahan
Bagi orang Yunani  disabled  dianggap secara keluarga namun secara poliitis disingkirkan. Namun perkembangannya disabilitas dianggap sebagai dampak dari faktor lingkungan, komplikasi dalam masa kehamilan, atau pengaruh yang merugikan pada masa kehamilan. Namun, dari perspektif religius, anak-anak  disable  dianggap sebagai produk dari orangtua yang berdosa.
-          Disabilitas pada zaman Reformasi dan awal modernitas
Di sepanjang dan sesudah Reformasi, aspek medis menjadi fokus utama ketika membicarakan disabilitas. Calvin mendukung pemikiran Augustinus bahwa semua kecacatan merupakan gambaran dari anugerah Allah. Luther mengaitkan ketulian seseorang dengan unsur religius, bahwa yang penting adalah hati seorang yang tidak tuli ketika mendengar suara Allah.
Yong mengungkapkan bahwa di dalam Alkitab dan gereja ada tiga gagasan yang dikemukakan ketika berbicara tentang disabilitas, yaitu:
1.      Disabilitas merupakan bagian dari rencana Allah.
2.      Orang-orang disable didorong untuk memiliki pengharapan dan percaya pada rencana Allah atas hidup mereka.
3.      Gereja (dan masyarakat) harus menerima dan memberi tempat bagi mereka untuk melayani dan berkarya bersama dengan umat lainnya.
-          Berbagai Pendekatan Terhadap Disabilitas
Thomas E. Reynolds menyebut dua model pendekatan terhadap disabilitas, yaitu  model medis (merepresentasikan ketidakmampuan, abnormalitas, atau keadaan yang tidak menguntungkan, yang memerlukan manajemen dan koreksi untuk memulihkan fungsi sebagaimana mestinya) dan model sosial (para penyandang disabilitas dalam perjuangan mereka untuk keadilan dan kesetaraan, melawan ketidak adilan, peremehan, penyiikiran dan penolakan. Model sosial beragumentasi bahwa kelemahan tiidak harus merupakan disabilitas. Kelemahan hanya menjadi disablitas jika masyarakat dan lingkungan sosial tidak mengakomodasi kelemahan yang membuat penyandang disabilitas tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat. Model sosial tidak menuntut penyandang disabilitas menyesuaikan diri dari dengan dunia normal, tetapi menuntut penyedian fasilitas dan infrastruktur).

Teologi Disabilitas hadir ketika banyak orang, baik kaum disable maupun  non disabled  mulai menggarisbawahi pentingnya pengalaman kaum  disabled  bagi refleksi dan praktik berteologi. Disabilitas kerap dikaitan domain dari medis dan rehabilitas.
Gereja acap kali mengaitkan disabilitas dengan dosa, orang yang tidak berguna sebagai objek yang perlu dikasihani. Akibatnya, gereja melakukan seperti yang dilakukan oleh pihak medis dan rehabilitasi, yaitu upaya mengembalikan orang disabled tersebut ketengah-tengah situasi yang dianggap bisa diterima.
Disabilitas seringkali dianggap sebagai persoalan  individu. Padahal disabilitas bukan tragedi personal. Disabilitas adalah sebuah pengalaman sosial yang dibentuk oleh konteks khusus dimana seseorang menagalami perilaku yang berbeda
K.C Abraham memiliki anak Liza yang i disable. Dia dan isterinya membesarkan Liza. Abrahaman memahami  teologi adalah sebuah ilmu atau percakapan dari dan untuk orang normal, sehingga agak sulit untuk menemukan tulisan-tulisan tentang disabilitas. Karena karena gambaran kesempurnaan dan keindahan seringkali dilekatkan bukan kepada kaum  disabled.  Tidak ada keindahan dalam diri orang  disabled. Kesempurnaan diukur melalui penampilan fisik dan mental yang baik, yang jarang  ditemukan pada kaum  disabled. Apapun bentuk disabillitas, itu membuatmu seperti bukan manusia yang sempurna. Akibatnya, orang-orang  disabled  seringkali disingkirkan dari komunitas. Mereka diharapkan tidak terlihat.
Kesadaran disabiliti WCC sudah sejak 1970 an yang dibuktikan dengan adanya  desk  untuk isu difabilitas yang mempopulerkan istilah  difabel  Sejak itu perkembangan teologi disabilitas sangat pesat.
Nancy Eisland dalam bukunya  The Disable God  menghadirkan tanggapan teologis terhadap sebuah kontektual bahwa Allah dipahami sebagai disabel. Lukas 24:36-39 bahwa Kristus yang telah bangkit membawa luka-luka penyalibanNya. Kristus yang telah bangkit adalah disable. Allah digambarkan memiliki keterbatasan, tuli, buta, timpang, saling bergantung, down syndrom,  dan  biopolar. Oleh sebab itu, menolak orang-orang i disable sama dengan menolak Allah
Eiesland mencoba menawarkan sebuah prototipe simbolis dan membuka ruang bagi tugas teologi untuk memikirkan ulang  terhadap simbol, metafora, ritual dan doktrin kristen yang mudah diakses oleh kaum disabilitas.
Thomas Reynolds berpendapat bahwa kita memiliki sifat mudah kena serang atau terluka dan memiliki ketergantungan; padahal manusia ingin diterima dan diakui. Manusia diciptakan menurut gambar Allah. Untuk hidup dalam gambar Allah adalah dengan mengakui bahwa dirinya memiliki keterbatasan, kerapuhan, dan ketergantungan.
Upaya untuk mewujudkan komunitas yang saling menghargai sesama rupa Allah maka perlulah menjnjung kesetaraan:
1.      Melakukan upaya rekonstruksi atas teks-teks Alkitab yang meminggirkan orang-orang disable.
2.      Mengkritisi simbol-simbol gereja yang diskriminatif.
3.      Memikirkan desig gedung gereja yang ramah bagi semua orang’
4.      Merancang liturgi yang memberi ruang kepada semua orang.
5.      Melibatkan secara penuh orang-orang disable dalam berbagai kegiatan gerejawi.
6.      Mengkritis dan rancangan kurikulum yang memberdayakan semua orang.
Hans Reinders menekankan tentang disabilitas adalah keinginan Allah akan kemampuan atau ketidakmampuannya, Allah mengasihi manusia.


III.             PENUTUP
Gereja harus membuka diri untuk mendengarkan orang-orang disabilitas dan trauma dan memampukan mereka menjadi orang mandiri dan mampu berpartisipasi aktif di gereja dan masyarakat luas.
Permasalahan tentang gangguan-gangguan dikalangan belum dapat dipahami dengan benar, kebanyakan menganggap bahwa seseorang telah mengalami gangguan dan pergi ke psikiater maka langsung di anggap gila dan haruslah dijahui. Begitu juga dengan kehadiran gereja dalam menanggapi permasalah traumatis ini. Pada masa sekarang ini belum banyak kehadiran gereja yang mampu memberikan layanan rumah aman kepada orang-orang yang menjadi korban kekerasan, dan perangkulan terhadap merekapun masih belum juga terjamin.
Kehadiran daripada masalah trauma ini merupakan tantangan yang segera harus dijawab oleh teologi kekristenan dimana melalui teologi ini orang-orang mampu menguatkan dan mendekatkan diri walaupun bayang-bayang yang mengancam hidupnya terus menerus datang menghampiri, sehingga setiap orang mampu terobati dan juga mengobati kepada sesama ditengah trauma yang sedang dialaminya.


Refleksi
Penyebab disablitas, keinginan yang tidak dipenuhi oleh suami/istri (pemahaman adat) keinginan ngidam yang tidak dipenuhi. Tidak taat adat/ penyebab pelanggaran adat/ sehingga menjadi kutuk.

Kegiatan dipasung/

Kalau ini buta siapa yang salah,, kerajaan Allah dinyatakan (Alkitab)

Kepasraan menolak atau pasrah menerima.

Persembahaan terhadap tuyul sehingga anaknya menjadi cacat.


Cara memahami dan perlakuaanya dengan benar. Pemahaman yang salah
Lebih bagus cepat mati lebih baik (pemahaman)


Melihat kondisi, memperlakukan anak disabilitas / teologinya bagaimana memperlakukannya secara praktis.

Penanganan, 


[1] Jan S.Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer (Jakarta: BPK Gunung Mulia ,2018), 341-366.
[2] Ibid., 385-404.

No comments:

Post a Comment