TEOLOGI
TRAUMA DAN TEOLOGI DISABILITAS
I.
PENDAHULUAN
Pembahasan teologi trauma dan teologi disabilitas
merupakan pemahaman baru bagi dunia teologi abad XXI ini. Teologi yang ditawarkan adalah
perjuangan kemanusiaan itu sendiri. trauma yang lebih menekankan psikis atau
kejiwaan dan disablitas menekankan masalah fisik.
II.
ISI
2.1 Teologi Trauma[1]
Dalam perjalanan penelitian terhadap Trauma, banyak para ahli
yang pendapat dan berargumen, seperti Judith Herman, yang mengemukakan bahwa
terdapat tiga penyebab utama daripada Taruma tersebut dapat muncul mengganggu
psikologis seseorang dan biasanya ini terjadi selalu bersamaan dengan munculnya
gerakan politik.
-
Pertama, disebut Histeria, yaitu suatu gangguan psikologis yang dialami perempuan
yang muncul dari gerakan politik kaum republic
dan anti klerus pada ahkhir abad ke-19.
-
Kedua, Sindrom Neurosis yang dialami oleh veteran perang, terlebih perang yang
terjadi di Inggris, Amerika Serikat dan puncaknya sesudah perang Vietnam.
Ketiga, kekerasan Sessual dan domestik, yang terjadi dan pada saat ini
jugalah muncul gerakan feminis di Eropa Barat dan Amerika Utara sebagai bentuk
menggugah kesadarn terhadap kekerasan seksual dan domestik yang terjadi.
ü Pemahaman
Trauma
Pembahasan daripata Traumatik ini
menitik beratkan pada bagian pertama yaitu Histeria.
Charot, seorang pekerja rumah sakit meggambarkan bahwa Histeria merupakan
kerusakan saraf, seperti kecacatan motorik, kehilangan daya sensorik ,
konvulsi, dan amnesia. Dan pada kesimpulan yang dilakukan oleh Janet di Prancis
dan Freud bersama rekannya Joseph Breuer di Wina mengatakan penyebab seseorang Histeria iaah karena trauma. Herman,
1992 mengatakan bahwa dampak daripada traumatik itu sendiri ialah menyebabkan
sistem daya tahan, keterhubungan serta pemaknaan hidupnya menjadi tidak
terkendali.
Dalam permasalahan traumatik ini,
banyak dari berbagai disiplin ilmu melakukan penelitian terhadapnya, salah satu
dari disiplin ilmu tersebut ialah kaum feminis yang juga hadir serta memberikan
penanganan.Hess yang merupakan seorang tokoh feminis memberikan sumbangan
penelitian bahwa traumanik tidak hanya terjadi kepada korban-korban yang
mengalami peristiwa mengerikan saja melainkan kepada yang melihat ataupun
menyaksikan suatu peristiwa yang mengerikan pun dapat terjadi. Seperti para
pemberi pertolongan terhadap bencana yang terjadi, pada posisi ini seseorang
akan berhadapan langsung dengan situasi dan lingkungan yang mengerikan dan akan
selalu terbayang kepadanya bagaimana kengerian kejadian itu terjadi. Inilah
sumbangan penelitian yang diberikan, dan kaum feminis juga melihat bahwa
penanganan terhadap orang orang yang menyaksikan suatu peristiwa perlu juga
dilakukan.
ü Teologi
Trauma
Masuk kepada pembahasan telogi
trauma. Kejadian yang mendalam kepada setiap orang yang mengalami traumatis
sering membawa dirinya kepada banyak pertanyaan dan peyesalan diri, seperti
mempertanyakan kehadiran Tuhan yang dia percayai pada saat peristiwa tersebut
terjadi, dan juga perasan-perasaan bersalah, kotor dan serta merasa bahawa
kejadian tersebut merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan dalam
hidupnya, serta ada juga yang memandang bahwa itu merupakan hukuman yang
diberikan Tuhan padanya.
Menurut beberapa para ahli,
pandangan seseorang dalam memandang Tuhan terhadap sebuah peristiwa yang
menimpa dirinya tidaklah terlepas dari masa kanak-kanak, yaitu jikalau seorang
lebih menerima gambaran baik dari orang tua dan keluarganya sekelilingnya maka
kebaikan kebijaksanaan Tuhan lebih tinggi dipandangnya didalam kehidupannya.
Begitu juga dengan Carrie Doehring yang berpendapat jikalau seorang anak
berhadapan dengan kekerasan maka, gambarannya terhadap Tuhan menjadi sangat
negative dan bersosok penuh angkara murka serta penghukum. Hess melihat bahwa
dampat daripada trauma mengakibatkan seseorang akan lebih cendrung menganmbil
tindakan untuk keluar dari kelompok agama-agama yang sebelumnya diikuti. Bahkan
ada yang meninggalkannya dan mencari suasana baru dimana kelompok tersebut
diharapkan tidak akan memperbincangkan masalah traumatisnya.
Penjabaran dapat disimpulkan bahwa
trauma yang dialami akan semakin membawa seseorang semakin jauh kepada Tuhan,
dan permasalahan ini haruslah segera diselesaikan dengan mencari solusi dari
sudut pandang teologi kekristenan.
Seorang teolog konstrutif yang
bernama Serene Jones dalam kajiannya berpendapat bahwa penyembuhan terhadap
traum dapat dilakukan dengan healing
imagination. Jones berpendapat bahwa dengan bahasa iman orang Kristen bisa
menembus jantung imajinasi. Penekanan yang dilakukan Jones dalam menjawab
permasalaha ini ialah Jika Anugerah memiliki kekuatan untuk membentuk kembali
imajinasi, maka Teologi adalah bahasa yang menjelaskan kekuatan dan
membangkitkan kehidupan orang-orang, yaitu dengan cara menceritakan rahmat yang
mengisi kisah-kisah imajinasi baru, serta imajinasi yang menyajikan ketenangan
serta penyebuhan. Pemikiran lain juga disumbangkan oleh seorang teolog
sistematik yang bernamaShelly Rambo. Rambo menyumbangkan pemikiran yang belum
di eksporasi yaitu narasi sentral. Rambo
menekankan penebusan yang telah dilakukan oleh Yesus melalui kematian dan
kebangkitan. Namun peikiran yang disumbangkan ini mengalami tantangan oleh
penyintas trauma, pemahaman mengenai kemenangan hidup atas kematian tidak dapat
menolong dirinya ketika bayang-bayang kekerasan mendera dirinya sampai pada
posisi mengancam hidup dirinya. Kesimpulan yang dapat dari sumbangan pemikiran
yang diberikan oleh kedua teolog diatas ialah kemampuan melihat perjuangan manusia untuk bertahan dan bagaimana harapan
untuk pemulihan bisa diberikan.
2.2 Teologi Disabilitas[2]
Menurut Kamus Cambridge Advanced Learner Disabilitas adalah keadaan sakit, luka
atau kondisi yang membuat seseorang sulit untuk melakukan sesuatu yang
dilakukan orang lain. World Healt Organization (WHO), disabilitas bukan hanya
masalah kesehatan, melainkan sebuah fenomena yang kompleks, yang merefleksikan
interaksi antara sifat-sifat tubuh seseorang dan sifat-sifat masyarakat tempat
tinggalnya.
Yusak . Setiawan istilah difabel hanya menunjuk pada kenyataan
bahwa orang-orang dengan “kecacatan” adalah orang yang dianggap normal. Istilah
difabel menurutnya adalah menyembunyikan realitas yang
palin krusial dan hakiki dari persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Sejarah Pemahaman Disabilitas
-
Disabilitas pada zaman Israel Kuno
Keluaran 4:11 menegaskan bahwa
Allahlah yang menciptakan orang-orang yang tidak mampu berbicara dan mendengar.
Ayat ini memotivasi Musa untuk berani bicara dihadapan umat Israel dan
Firaun.Pada konteks ini Allah memperlihatkan kedaulatanNya atas tubuh manusia,yang
merupakan bagian dari seluruh ciptaanNya. Namun sebaliknya Imamat 21:16-23
sering mendiskriminasi kaum disable
yang akan menghampiri altar dan hendak mempersembahkan bahkan lebih
mementingkan persembahan korban yang benar, layak dan kudus.
-
Disabilitas di Gereja Mula-Mula
Pemahamannya kaum disabled dapat
masuk ke dalam Kerajaan Surga jika mereka disembuhkan Pemahaman Lukas 7:22
Yohanes 9:3 dan Matius 4:24 bahwa disabled menjadi orang-orang yang bergantung pada kuasa
penyembuhan Allah, orang-orang yang berdosa, dan orang-orangyang dirasuki oleh
roh jahat.
-
Disabilitas dalam sejarah kekristenan
lama dan abad-abad pertengahan
Bagi orang Yunani disabled dianggap secara keluarga namun secara poliitis
disingkirkan. Namun perkembangannya disabilitas dianggap sebagai dampak dari
faktor lingkungan, komplikasi dalam masa kehamilan, atau pengaruh yang
merugikan pada masa kehamilan. Namun, dari perspektif religius, anak-anak disable dianggap sebagai produk dari orangtua yang
berdosa.
-
Disabilitas pada zaman Reformasi dan
awal modernitas
Di sepanjang dan sesudah Reformasi,
aspek medis menjadi fokus utama ketika membicarakan disabilitas. Calvin
mendukung pemikiran Augustinus bahwa semua kecacatan merupakan gambaran dari
anugerah Allah. Luther mengaitkan ketulian seseorang dengan unsur religius,
bahwa yang penting adalah hati seorang yang tidak tuli ketika mendengar suara
Allah.
Yong mengungkapkan bahwa di dalam
Alkitab dan gereja ada tiga gagasan yang dikemukakan ketika berbicara tentang
disabilitas, yaitu:
1. Disabilitas
merupakan bagian dari rencana Allah.
2. Orang-orang
disable didorong untuk memiliki pengharapan dan percaya pada rencana Allah atas
hidup mereka.
3. Gereja
(dan masyarakat) harus menerima dan memberi tempat bagi mereka untuk melayani
dan berkarya bersama dengan umat lainnya.
-
Berbagai Pendekatan Terhadap Disabilitas
Thomas E. Reynolds menyebut dua
model pendekatan terhadap disabilitas, yaitu model medis (merepresentasikan ketidakmampuan,
abnormalitas, atau keadaan yang tidak menguntungkan, yang memerlukan manajemen
dan koreksi untuk memulihkan fungsi sebagaimana mestinya) dan model sosial
(para penyandang disabilitas dalam perjuangan mereka untuk keadilan dan
kesetaraan, melawan ketidak adilan, peremehan, penyiikiran dan penolakan. Model
sosial beragumentasi bahwa kelemahan tiidak harus merupakan disabilitas.
Kelemahan hanya menjadi disablitas jika masyarakat dan lingkungan sosial tidak
mengakomodasi kelemahan yang membuat penyandang disabilitas tidak dapat
berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat. Model sosial tidak menuntut
penyandang disabilitas menyesuaikan diri dari dengan dunia normal, tetapi
menuntut penyedian fasilitas dan infrastruktur).
Teologi Disabilitas hadir ketika
banyak orang, baik kaum disable
maupun non disabled mulai menggarisbawahi pentingnya pengalaman
kaum disabled bagi refleksi dan praktik berteologi. Disabilitas
kerap dikaitan domain dari medis dan rehabilitas.
Gereja acap kali mengaitkan
disabilitas dengan dosa, orang yang tidak berguna sebagai objek yang perlu
dikasihani. Akibatnya, gereja melakukan seperti yang dilakukan oleh pihak medis
dan rehabilitasi, yaitu upaya mengembalikan orang disabled tersebut ketengah-tengah situasi yang dianggap bisa
diterima.
Disabilitas seringkali dianggap
sebagai persoalan individu. Padahal
disabilitas bukan tragedi personal. Disabilitas adalah sebuah pengalaman sosial
yang dibentuk oleh konteks khusus dimana seseorang menagalami perilaku yang
berbeda
K.C Abraham memiliki anak Liza yang
i disable. Dia dan isterinya
membesarkan Liza. Abrahaman memahami
teologi adalah sebuah ilmu atau percakapan dari dan untuk orang normal,
sehingga agak sulit untuk menemukan tulisan-tulisan tentang disabilitas. Karena
karena gambaran kesempurnaan dan keindahan seringkali dilekatkan bukan kepada
kaum disabled. Tidak ada keindahan dalam diri orang disabled. Kesempurnaan diukur melalui
penampilan fisik dan mental yang baik, yang jarang ditemukan pada kaum disabled. Apapun bentuk
disabillitas, itu membuatmu seperti bukan manusia yang sempurna. Akibatnya,
orang-orang disabled seringkali disingkirkan dari komunitas. Mereka
diharapkan tidak terlihat.
Kesadaran disabiliti WCC sudah
sejak 1970 an yang dibuktikan dengan adanya desk untuk isu difabilitas yang mempopulerkan
istilah difabel Sejak itu perkembangan teologi disabilitas
sangat pesat.
Nancy Eisland dalam bukunya The
Disable God menghadirkan tanggapan
teologis terhadap sebuah kontektual bahwa Allah dipahami sebagai disabel. Lukas
24:36-39 bahwa Kristus yang telah bangkit membawa luka-luka penyalibanNya.
Kristus yang telah bangkit adalah disable. Allah digambarkan memiliki keterbatasan,
tuli, buta, timpang, saling bergantung, down
syndrom, dan biopolar. Oleh sebab itu,
menolak orang-orang i disable sama dengan menolak Allah
Eiesland mencoba menawarkan sebuah
prototipe simbolis dan membuka ruang bagi tugas teologi untuk memikirkan
ulang terhadap simbol, metafora, ritual
dan doktrin kristen yang mudah diakses oleh kaum disabilitas.
Thomas Reynolds berpendapat bahwa
kita memiliki sifat mudah kena serang atau terluka dan memiliki ketergantungan;
padahal manusia ingin diterima dan diakui. Manusia diciptakan menurut gambar
Allah. Untuk hidup dalam gambar Allah adalah dengan mengakui bahwa dirinya
memiliki keterbatasan, kerapuhan, dan ketergantungan.
Upaya untuk mewujudkan komunitas
yang saling menghargai sesama rupa Allah maka perlulah menjnjung kesetaraan:
1. Melakukan
upaya rekonstruksi atas teks-teks Alkitab yang meminggirkan orang-orang disable.
2. Mengkritisi
simbol-simbol gereja yang diskriminatif.
3. Memikirkan
desig gedung gereja yang ramah bagi semua orang’
4. Merancang
liturgi yang memberi ruang kepada semua orang.
5. Melibatkan
secara penuh orang-orang disable
dalam berbagai kegiatan gerejawi.
6. Mengkritis
dan rancangan kurikulum yang memberdayakan semua orang.
Hans Reinders menekankan tentang
disabilitas adalah keinginan Allah akan kemampuan atau ketidakmampuannya, Allah
mengasihi manusia.
III.
PENUTUP
Gereja harus membuka diri untuk
mendengarkan orang-orang disabilitas dan trauma dan memampukan mereka menjadi
orang mandiri dan mampu berpartisipasi aktif di gereja dan masyarakat luas.
Permasalahan tentang
gangguan-gangguan dikalangan belum dapat dipahami dengan benar, kebanyakan
menganggap bahwa seseorang telah mengalami gangguan dan pergi ke psikiater maka
langsung di anggap gila dan haruslah dijahui. Begitu juga dengan kehadiran
gereja dalam menanggapi permasalah traumatis ini. Pada masa sekarang ini belum banyak
kehadiran gereja yang mampu memberikan layanan rumah aman kepada orang-orang
yang menjadi korban kekerasan, dan perangkulan terhadap merekapun masih belum
juga terjamin.
Kehadiran daripada
masalah trauma ini merupakan tantangan yang segera harus dijawab oleh teologi
kekristenan dimana melalui teologi ini orang-orang mampu menguatkan dan
mendekatkan diri walaupun bayang-bayang yang mengancam hidupnya terus menerus
datang menghampiri, sehingga setiap orang mampu terobati dan juga mengobati
kepada sesama ditengah trauma yang sedang dialaminya.
Refleksi
Penyebab disablitas, keinginan yang
tidak dipenuhi oleh suami/istri (pemahaman adat) keinginan ngidam yang tidak
dipenuhi. Tidak taat adat/ penyebab pelanggaran adat/ sehingga menjadi kutuk.
Kegiatan dipasung/
Kalau ini buta siapa yang salah,,
kerajaan Allah dinyatakan (Alkitab)
Kepasraan menolak atau pasrah
menerima.
Persembahaan terhadap tuyul
sehingga anaknya menjadi cacat.
Cara memahami dan perlakuaanya
dengan benar. Pemahaman yang salah
Lebih bagus cepat mati lebih baik
(pemahaman)
Melihat kondisi, memperlakukan anak
disabilitas / teologinya bagaimana memperlakukannya secara praktis.
Penanganan,
[1] Jan
S.Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer
(Jakarta: BPK Gunung Mulia ,2018), 341-366.
[2] Ibid., 385-404.
No comments:
Post a Comment